Anda di halaman 1dari 87

KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR

SEBAGAI PRESIDEN RI KE-4 TERHADAP


REFERENDUM ACEH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh

Yastri Rustina
NIM: 103022027529

Di Bawah Bimbingan

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A


NIP: 150 240 083

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H. /2008 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4


Terhadap Referendum Aceh telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06 Juni 2008.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Humaniora (S. Hum.) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 06 Juni 2008

Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota

Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. H. M. Maruf Misbah, M. A


NIP: 150 247 010

Usep Abdul Matin, S.Ag, M. A, M. A


NIP:150 288 391

Anggota

Penguji,

Dra. Hj. Tati Hartimah M. A


NIP: 150 240 484

Pembimbing

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M. A


NIP: 150 240 083

KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR SEBAGAI PRESIDEN


RI KE-4 TERHADAP REFERENDUM ACEH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora

Oleh
Yastri Rustina
NIM: 103022027529

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H. /2008 M.

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 06 Juni 2008

Yastri Rustina

ABSTRAK

Yastri Rustina
Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum
Aceh
Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden Gus Dur dalam
menghadapi referendum Aceh adalah mengadakan dialog dengan masyarakat
Aceh dengan damai. Tuntutan referendum dengan opsi merdeka tidak dapat
dipenuhi oleh pemerintah karena persoalan Aceh masih bisa diatasi dengan cara
lain salah satunya melalui dialog. Selain itu pula Presiden Gus Dur berhasil
mengadakan perundingan dengan GAM yang dilakukan di Swiss dan
menghasilkan adanya Jeda Kemanusiaan di Aceh. Pernyataan Gus Dur mengenai
persetujuan dilaksanakannya referendum di Aceh bukanlah suatu kebijakan akan
tetapi itu hanyalah pernyataan pribadi dari Presiden Gus Dur.
Referendum Aceh merupakan tuntutan dari masyarakat Aceh dimana di
dalamnya terdapat dua opsi pilihan yaitu berpisah dari Indonesia atau tetap
bergabung. Referendum ini berawal dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap
pemerintah pusat dari masa Soekarno sampai masa Orde Baru pimpinan Soeharto,
dimana saat itu diberlakukannya Daerah Operasi Militer atau yang biasa disebut
DOM. DOM diberlakukan untuk menumpas Gerakan-Gerakan Pengacau
Keamanan akan tetapi pada prakteknya rakyat Aceh yang tidak bersalah menjadi
korbannya. Referendum muncul dari demonstrasi para mahasiswa yang
terinspirasi oleh peristiwa Timor Timur. Dalam perkembangannya mereka
mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh yang kemudian mengadakan
Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh yang menghasilkan dua
opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kebijakan seorang presiden
dalam hal ini Presiden Gus Dur menangani masalah referendum Aceh ini. Melalui
berbagai sumber Presiden memang sempat mengemukakan bahwa ia setuju
dengan adanya referendum di Aceh namun dalam referendum tersebut tidak ada
opsi merdeka ia hanya menawarkan otonomi khusus ataupun otonomi istimewa.

KATA PENGANTAR

Bismillahhirahmanirrahim.
Puji beserta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat iman dan islam dan hanya dengan ridho dan inaya-Nya-lah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam
senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para
sahabatnya serta para pengikutnya.
Akhirnya dengan limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui
dalam mencari sumber pustaka maupun wawancara, namun banyak pengalaman
yang penulis dapat dari kesulitan dan hambatan tersebut. Alhamdulillah hal
tersebut dapat teratasi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing
Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.
2. Bapak Drs. Maruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, MA, MA,
selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
3. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A, selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah memberikan pengarahan yang sangat berharga kepada
penulis sampai tulisan ini selesai.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu
pengetahuan, semoga penulis dapat memanfaatkan dan mengamalkan
dengan baik sesuai dengan syariat Islam serta berguna bagi agama, nusa
dan bangsa.
5. Hormat dan bakti penulis yang tertinggi dan setulus-tulusnya kepada
Bapak dan Ibu-ku Tercinta dan Tersayang yang selalu memberikan
limpahan kasih sayang hingga penulis dapat menempuh pendidikan
dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan
limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Dan untuk
keluarga besarku yang

tercinta keberadaan kalian sangat berarti bagi

penulis.
6. Bapak Dr. H Muchtar Aziz MA yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk diwawancarai oleh penulis sebagai sumber tulisan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Untuk nene-neneku di SPI (Sulis, Ipunk, Babay, Nuril, Riza, Dena, Sinta,
Rara) semoga persahabatan kita akan terus berlanjut tidak hanya sebatas
masa kuliah. Sahabat-sahabatku yang tergabung dalam BFC (Nana, Kajol,
Iep, Tila, Ratu, Icha, Iqoh, Umu, Moef) walaupun kita jauh namun kalian
akan selalu tetap dekat di hatiku dan kepada semua teman-temanku yang
tak bisa disebutkan satu-persatu kalian selalu memberi kesan tersendiri di
hati penulis dan yang terakhir Aku Sayang Kalian.
8. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang
telah banyak membantu memberikan pelayanan bagi penulis.

Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang
telah turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis hanya dapat
berdoa semoga bantuan dari berbagai pihak dapat diterima sebagai amal shaleh
dan mudah-mudahan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT atas
bantuan yang diberikan kepada penulis. Amin Ya Rabbalalamin.

Jakarta, 06 Juni 2008

Penulis

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................... 6
D. Metodelogi Penelitian .................................................................. 7
E. Survei Pustaka...............................................................................
8
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 10

BAB II

BIOGRAFI GUS DUR

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan........................................... 11


B. Prestasi dan Karya-Karya Tulis Gus Dur............................................
15
a. Prestasi Gus Dur............................................................................
15
b. Karya-Karya Tulis Gus Dur ..........................................................
18

C. Gus Dur Sebagai Presiden...................................................................


20

BAB III

GAMBARAN UMUM ACEH

A. Letak Geografi dan Demografi ........................................................... 28


B. Keadaan Sosial dan Budaya ................................................................ 32
C. Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan ..................................... 39

BAB IV
REFERENDUM ACEH
A. Latar Belakang Munculnya Referendum Aceh...................................
49
B. Langkah Menuju Referendum Aceh ................................................... 57
C. Kebijakan politik Gus Dur Dalam Menghadapi Referendum Aceh ...
59
D. Implikasi dan Reaksi Dari Referendum Aceh.....................................
66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 73
B. Saran ................................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................75


LAMPIRAN ........................................................................................................81

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat sebagai
Presiden RI ke-4 mulai 21 Oktober 1999 pada hari Gus Dur dilantik hingga Juli
2001 dengan mengalahkan calon lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri.
Pemungutan suara yang dilakukan secara tertutup pada tanggal 20 Oktober 1999
di parlemen menghasilkan 373 suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 suara
untuk Megawati, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Maka hasil sidang yang
diperoleh mengumumkan dan menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua
Umum Pengurus Besar NU sebagai presiden RI ke-4, periode 1999 sampai 2004
menggantikan B.J. Habibie.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Habibie tampaknya belum
memuaskan banyak pihak sehingga banyak anggota MPR/DPR yang di dalam
Sidang Umum tahun 1999 menolak hasil pertanggungjawaban Habibie, Sehingga
terjadi

perubahan

peta

politik

di

mana

Habibie

mundur

setelah

pertanggungjawabannya ditolak. Akhirnya pencalonan pun terpecah menjadi 2


kubu yaitu Megawati yang dicalonkan PDI-P dan Gus Dur yang dijagokan oleh
Poros Tengah.
Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden
dan wakil presiden dalam sidang umum MPR 1999 memberi harapan yang besar
bagi bangsa Indonesia. Harapan besar itu pada umumnya bersumber dari
keinginan kolektif agar kehidupan sosial, ekonomi, dan politik nasional segera

pulih kembali setelah selama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia terpuruk dilanda
krisis ekonomi dan politik yang begitu dahsyat. Ada sejumlah faktor mengapa
harapan masyarakat sangat besar terhadap duet kepemimpinan Gus Dur-Mega.
Pertama, kecuali Soekarno-Hatta yang dipilih secara aklamasi oleh anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk pertama kalinya
sepanjang sejarah Indonesia merdeka, presiden dan wapres dipilih secara
demokratis oleh para anggota MPR hasil pemilu 1999 yang relatif damai dan
demokratis pula. Kedua, K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati merupakan
kombinasi dari dua golongan bangsa yang terpenting yaitu islam disatu pihak dan
golongan nasional lainnya.1
Harapan itu pun sirna ketika kritikan terhadap pemerintahan Gus Dur
terjadi sejak ia tidak mampu untuk memperbaiki kondisi negara ini. Kritikan
terhadap pemerintahannya terjadi sejak Presiden Gus Dur mengumumkan Kabinet
Persatuan Nasional di mana kekuatannya merupakan hasil kompromi dari partaipartai pendukungnya. Namun kabinet yang dikatakan Gus Dur akan lebih ramping
dari kabinet sebelumnya ternyata jumlah menteri lebih banyak bahkan ada dua
departemen yang dihapus, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan,
yang pada masa Soeharto sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan
penerbitan dan pemberitaan dalam media.
Gus Dur mempunyai daftar panjang yang luar biasa mengenai apa yang
harus dikerjakan dan masalah apa yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah
mengatasi gerakan separatis di Papua Barat dan Aceh. Sebagai presiden, Gus Dur
terus mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh dalam
1

Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 17

menegosiasikan suatu penyelesaian. Tapi sayangnya masalah yang ada di Aceh


tidaklah semudah yang diperkirakan. Dalam menghadapi tuntutan rakyat Aceh
yang meminta referendum dalam hitungan minggu, Gus Dur mencoba mengulur
waktu. Dengan berbuat demikian ia masuk dalam suatu pola sikap yang
merugikan posisinya sebagai presiden.2
Kebijakan Gus Dur dalam menangani konflik pemerintah dengan GAM
dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang cenderung lebih lunak dan toleran
seperti kebijakannya yang mengijinkan OPM mengibarkan bendera bintang kejora
dan bahkan ia memberi sumbangan untuk kongres rakyat Papua. Ini berdampak
negatif dan menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI, karena kesempatan tersebut
digunakan OPM sebagai sarana sosialisasi gagasan dan Konsolidasi gerakan
pemisahan diri.3 Kemudian kebijakannya di Aceh dengan memberikan jeda
kemanusian di Aceh dan memberikan janji kepada GAM untuk melakukan
referendum di Aceh. Ia berkeinginan agar setiap penyelesaian konflik ini
dilakukan secara dialogis dan bukan dengan kekerasan.
Sehari setelah terpilih menjadi presiden, Gus Dur berjanji untuk
menjanjikan Aceh sebagai kunjungan perdananya dengan sasaran penyelesaian
kasus Aceh yang sudah berkepanjangan itu. Janjinya tersebut ternyata beralih arah
dari ujung barat pulau Sumatera ke luar negeri untuk mengunjungi beberapa
negara seperti Singapura, Cina, Amerika, Malaysia dan negara-negara di Timur
Tengah. Yang lebih menarik lagi adalah dalam perjalanannya itu sang presiden
dengan tegas mengatakan di dalam buku Tamaddun dan Sejarah bahwa kalau
untuk Timor Timur bisa diberikan referendum dengan opsi gabung atau pisah
2
3

Kompas, 22 April 2000


Budiarto Danudjaja, Hari-Hari Indonesia Gus Dur, (Jakarta: Galang Pres, 1999), h. 152

dengan Indonesia, kenapa untuk Aceh tidak bisa. Janji ini menjadi obat mujarab
bagi bangsa Aceh. Tidak lama kemudian, setelah kembali dari keliling dunia, Gus
Dur kembali memutarbalikan janji dan fakta yang sudah ada. Gus Dur tetap akan
memberikan referendum untuk Aceh akan tetapi dengan opsi otonomi luas dan
sempit. Disini nampak sekali bahwa presiden sepertinya hendak mempermainkan
istilah referendum yang sudah dikenal luas sebagai sebuah solusi untuk
menentukan sikap, apakah tetap bergabung dengan negara tersebut atau pisah
untuk waktu yang tidak terbatas.4
Semenjak menjadi presiden, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah
besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara tentang perjuangan
hak-hak kaum minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1999-2001) telah
memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Paling tidak selama kurang dua tahun banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi
bangsa. Bahkan proyek Desakralisasi Istana, Supremasi Sipil, Konflik dengan
parlemen menjadi wacana yang menakjubkan dimasanya.5
Gus Dur menjadi sosok paling unik, khas dan cukup fenomenal. Tidak saja
dalam jagat organisasi NU, tetapi juga jagat ke-Indonesiaan. Unik, khas dan
fenomenal karena dalam diri Gus Dur melekat sejumlah predikat yang cukup
beragam dari budayawan, agamawan, intelektual sampai pada politikus.6
Untuk itu penulis berusaha mengkaji kebijakan politik Gus Dur selama ia
menjabat sebagai presiden RI dan hanya terfokus kepada kebijakannya terhadap
referendum Aceh. Dengan ini penulis mengajukannya sebagai karya ilmiah skripsi
4

Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,


(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003), h. 162-163
5
Khamami Zada, ed. Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:
LAKPESDAM, 2002), h. 7
6
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 67

dengan judul: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4


Terhadap Referendum Aceh.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Masalah pokok yang menjadi dasar pikiran dari penulisan ini
adalah, apa latar belakang diadakannya referendum Aceh? Siapa sajakah
yang berperan penting dalam referendum Aceh? Bagaimana langkah untuk
menuju referendum Aceh? Bagaimana langkah politik Gus Dur dalam
menghadapi referendum Aceh? Adakah unsur-unsur lain yang terkait
dengan diadakannya referendum Aceh selain unsur politik? Bagaimana
implikasi dan reaksi terhadap referendum Aceh? Apakah tercetusnya
referendum Aceh hanya diwakili oleh kaum elit atau masyarakat
seluruhnya? Apakah referendum Aceh efektif untuk penyelesaian masalah
di Aceh?
2. Pembatasan Masalah
Masalah atau pertanyaan tersebut penting untuk dicermati akan
tetapi skripsi ini hanya akan membatasi pada latar belakang diadakannya,
langkah menuju referendum Aceh, langkah politik Gus Dur dalam
menghadapi referendum Aceh, serta reaksi dan implikasi diadakannya
referendum Aceh.

3. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah:
a. Apa yang melatarbelakangi dilaksanakannya referendum Aceh?
b. Bagaimana langkah menuju referendum Aceh?
c. Apa saja langkah Politik Gus Dur dalam menghadapi referendum
Aceh?
d. Bagaimana implikasi dan reaksi terhadap tercetusnya referendum
Aceh?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah penulis sampaikan,
maka tujuan diadakannya penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya referendum Aceh
b. Untuk mengetahui langkah-langkah politik menuju referendum Aceh
yang dilakukan oleh Gus Dur?
c. Untuk mengetahui implikasi dan reaksi yang ditimbulkan dengan
adanya referendum Aceh
2. Manfaat Penulisan
Menambah khazanah keilmuan mengenai suatu kebijakan maupun
mengenai suatu tuntutan referendum.

D. Metodologi Penelitian
Dalam mengkaji permasalahan di atas penulis menggunakan metode:
1. Teknik Pengumpulan data
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, ditinjau dari jenis data
yang diperoleh adalah jenis metode penelitian kepustakaan atau library
research, dengan cara meneliti berbagai sumber buku, majalah, surat kabar dan
lainnya, di berbagai perpustakaan antara lain Perpustakaan Utama UIN,
Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan PBNU, Perpustakaan DPR/MPR,
Perpustakaan Nasional, Wahid Institute serta perpustakaan umum lainnya yang
tentu mempunyai data yang berkaitan dengan karya tulis ini. Selain itu juga
penulis melakukan wawancara untuk melengkapi data-data yang telah ada.
2. Metode analisa data
a. Heuristik
Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yang
dilakukan oleh penulis adalah

memilih data yang memang sesuai

dengan topik. Dari data yang telah terkumpul dari berbagai sumber,
kemudian ditelaah kembali dan diklasifikasikan serta disusun sesuai
jenisnya.
b. Kritik sumber
Yaitu mencari kevaliditasan sumber sejarah atau informasi
dengan kata lain penulis akan menilai, menguji, dan menyeleksi
sumber sejarah yang otentik dan relevan. Sumber-sumber yang telah
didapat kemudian akan diverifikasi keabsahannya melalui kritik intern
dan ekstern.
c. Interpretasi
Memberikan penafsiran terhadap fakta sejarah dengan cara
menerangkan peristiwa yang telah terjadi dan mengaitkannya dengan
sumber sejarah yang didapat dari pengumpulan data tersebut.

3. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan
skripsi, tesis, dan disertasi UIN Jakarta tahun 2007 cetakan kedua.

E. Survei Pustaka
Pembahasan tentang Aceh telah banyak dilakukan, karya tersebut antara lain:
1. Bara Dalam Sekam
Buku ini,7 membahas mengenai pencarian akar masalah dan solusi atas
gejolak serta ledakan kekerasan di sejumlah daerah rawan konflik di tanah
air, dalam bahasan ini yaitu Aceh, Maluku, Riau dan Papua. Keempat
daerah yang disorot di sini telah mengalami konflik dan gejolak lokal
dengan intensitas persoalan yang paling mendasar dari berbagai konflik
dan gejolak lokal tersebut.

2. Tamaddun dan Sejarah


Buku ini,8 membahas tentang kondisi histories-sosiologis Aceh sejak
masa awal berdirinya, mengungkapkan tentang keinginan besar Aceh
dengan berkiblat kepada adat istiadat, budaya, tradisi keagamaan, selain
itu buku ini juga membahas tentang politik yang merujuk kepada prinsip
dan asas-asas politik Islam yang masih dalam koridor ke-Aceh-an. Di buku
7

Riza Sihbudi, et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001)
8
Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,
(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003)

ini penulis ingin menyajikan fakta dan keinginan yang sebenarnya dari
masyarakat yang sudah lama terkungkung dalam ketidakjelasan dan
ketidakadilan hidup seperti dalam hal pembagian pengolahan sumber daya
alam Aceh serta budaya kekerasan sampai saat itu. Masalah Aceh
membutuhkan penanganan yang khusus dan berkelanjutan.
3. Aceh Win-Win Solution
Buku ini,9 menceritakan tentang bagaimana solusi atau penyelesaian
tentang konflik-konflik di Aceh, setelah Indonesia merdeka, rakyat Aceh
merasa dikhianati dan bahkan dilupakan. Tuntutan mereka untuk
mendirikan provinsi tersendiri dengan status daerah istimewa ditolak
pemerintah

pusat.

Kekecewaan

telah

dialami

Aceh,

termasuk

pemberlakuan DOM dan berbagai pelanggaran HAM. Karena itu buku ini
membahas mengenai bagaimana mencari solusi terhadap peristiwaperistiwa tersebut, dari mulai penyelesaian Aceh secara damai atau melalui
dialog.
Dari tiga buku di atas dapat diambil persamaannya yaitu
bagaimanakah seharusnya penyelesaian terhadap kasus Aceh tersebut, di
dalamnya termasuk opsi otonomi ataupun referendum. Yang membedakan
antara skripsi ini dengan buku-buku tersebut adalah bagaimana kebijakan
Presiden Gus Dur saat itu dalam menghadapi isu referendum Aceh
tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Musni Umar. ed, Aceh Win-Win Solution (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002)

Untuk memudahkan penulisan maka diperlukan sistematika penulisan.


Untuk itu penulis membagi materi ke dalam beberapa bab yaitu,
Bab I
: Bab ini terdiri dari pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penelitian, survei pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II

: Pada bab ini penulis mulai melakukan pembahasan mengenai biografi


Gus Dur meliputi: latar belakang keluarga dan pendidikan, prestasi dan
karya-karya tulis Gus Dur, Gus Dur sebagai presiden.

Bab III : Gambaran umum tentang Aceh, meliputi: geografi dan demografi
Aceh, keadaan sosial dan budaya serta perjalanan politik Aceh pasca
kemerdekaan.
Bab IV : Munculnya referendum Aceh, yaitu latar belakang dilaksanakannya
referendum Aceh, langkah menuju referendum Aceh, kebijakan politik
Gus Dur dan implikasi dan reaksi dilaksanakannya referendum Aceh
Bab V

: Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

BAB II
BIOGRAFI GUS DUR

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan


Gus Dur panggilan akrab K.H. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama
Abdurrahman Ad-dakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang Jawa
Timur, ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H. Abdul Wahid
Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asyari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng
dan pendiri Jamiyah Nahdhatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia,
bahkan barangkali juga di dunia, melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang.
Ibunya Hj. Sholehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syamsuri, pendiri
pondok pesantren Denanyar Jombang dan Rois Aam Syuriah PBNU setelah K.H.
Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian secara genetik, Gus Dur memang
keturunan darah biru dan jika meminjam istilah Clifford Geertz, ia tergolong
seorang santri dan Priyayi sekaligus, baik dari trah ayah maupun ibu, Gus Dur
sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur
adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia.10
Meski demikian, sejarah hidup Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan
seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat
kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pondok pesantren. Dalam usia lima
tahun, ia sudah lancar membaca Al-Quran, gurunya waktu itu adalah
kakeknya sendiri K.H.Hasyim Asyari. Pada masa kecilnya, Gus Dur tidak
seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama

10

Tim Incres, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus
Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), h. 4

kakeknya daripada bersama ayahnya. Berkat tinggal bersama kakeknyalah Gus


Dur banyak mengenal tokoh-tokoh penting politik.
Masa kecilnya ia lewatkan di kawasan Menteng, Jakarta. Disini, antara lain ia
bertetangga dengan keluarga Prof. Rooseno, dan Toeti Heraty, (salah seorang
anak Prof Rooseno), teman Gus Dur semasa kecil. Selain itu, seraya belajar di
sekolah SD umum, Gus Dur juga dikirim ayahnya untuk mengikuti les privat
bahasa Belanda kepada seorang warga Jerman yang masuk Islam, Willem
Buhl, yang mengganti namanya menjadi Iskandar. Inilah yang mengantarnya
ke khazanah musik klasik, karena lagu-lagu itu diputar untuk mempermudah
pelajaran bahasa Belandanya.
Selanjutnya pada April 1953, ketika itu Gus Dur berumur 13 tahun, Gus Dur
harus sudah kehilangan ayahnya, dan hidup sebagai anak yatim. Wahid Hasyim
ayahandanya meninggal dunia pada usia 38 tahun karena kecelakaan kendaraan.
Pada saat itu Gus Dur melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bersama
ayahnya. Ia berada di depan dan ayahnya berada di belakang. Ketika mobilnya
terbalik, ayahnya terlempar keluar dan terluka parah. Sehari kemudian ia
meninggal dunia.11
Lepas SD, Gus Dur masuk sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di
Jakarta, namun itu hanya berlangsung satu tahun. Sebab tahun berikutnya, ia
dikirim ke pesantren Krapyak. Namun rupanya ia tidak betah di pesantren itu. Gus
Dur masih ingin melanjutkan pelajarannya di sebuah SMEP yang dikelola gereja
katolik setempat. Maka ia pun pindah ke Jogjakarta, dan kos di rumah K.H.Junaid,
seorang guru SMEP sekaligus pemimpin Muhammadiyah di kota itu. Setelah
11

Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada 2005), h. 339-340

paginya mengaji kepada Kiai Masum di pesantren Krapyak, siangnya sekolah di


SMEP, malamnya berdiskusi mengenai berbagai hal dengan K.H.Junaid dan
anggota Muhammadiyah. Di Jogjakarta, kebiasaan membacanya mulai meningkat.
Disinilah ia mulai belajar bahasa Inggris. Karya sastrawan dunia, seperti
Hemingway, Steinbeck, Malraux atau Faulkner sudah dibacanya. Sementara
Sumantri, anggota PKI yang menjadi salah seorang gurunya memberikan bukubuku Marxis-Lennis. Maka, selain Das Kapitas, dalam usia remaja itu, ia juga
sudah membaca What Is To Be Done, petunjuk praktis Lennin tentang bagaimana
melakukan revolusi.12
Setelah

menamatkan

pendidikannya

di

SMEP,

Gus

Dur

banyak

menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren yang berada di


bawah naungan NU. Pada mulanya ia mondok di Tegal Rejo Magelang (19571959). Selama ia di pesantren ini, Gus Dur menunjukkan bakat dan kemampuan
dirinya dalam bidang ilmu agama Islam di bawah naungan Kiai Khudori, selain
belajar ilmu agama Islam, selama di pesantren ini, Gus Dur banyak menghabiskan
waktunya untuk membaca buku-buku karangan sarjana barat. Kemampuan Gus
Dur membaca buku-buku barat tersebut jarang dimiliki oleh para santri pada
umumnya. Melalui belajar secara otodidak ini yang dimulainya sejak usia dini.
Menyebabkan Gus Dur sudah mengenal karya-karya sastra tingkat dunia,
pemikiran filsafat karangan tokoh-tokoh terkemuka seperti Karl Marx, Lenin,
Gramsei, Mao Zedong.
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Gus Dur menimba ilmu di Muallimat
Bahrululum, Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Selanjutnya pada tahun 1964 ia

12

Forum Keadilan, (30-31 Oktober 1999), h. 70

berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo hingga


tahun 1966. Selama belajar di Mesir, Gus Dur banyak menggunakan waktunya
untuk menonton film-film terbaik Perancis, Inggris dan Amerika, serta membaca
buku-buku di perpustakaan Al-Azhar Kairo, hal ini ia lakukan karena ia merasa
kecewa dengan sistem pengajaran di Al-Azhar yang dinilainya sudah ketinggalan
zaman.13
Tidak cocok dengan atmosfer dunia intelektual di tempat belajarnya yang
menekankan pada metode hapalan, Gus Dur justru banyak belajar secara mandiri
(otodidak), saat itu ia banyak menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan
terlengkap di kota Kairo, yaitu American University Library. Dari Kairo, ia
pindah ke Baghdad Gus Dur justru bukan memperdalam studi-studi keislaman,
akan tetapi mempelajari sastra dan kebudayaan Arab, Filsafat Eropa dan Teori
Sosial.14
Perjalanan panjang Gus Dur di luar negeri berakhir pada tahun 1971, ketika
akhirnya dia harus kembali kepangkuan ibu pertiwi di pondok pesantren. Gus Dur
menikah dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat orang anak, Allisa
Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus dan
Inayah Wulandari.

B. Prestasi dan Karya Tulis Gus Dur

13

Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan, h. 340-341


Faisal Ismail, Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Proyek
Peningkatan Pengkajian kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama
Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Depag RI 2004), H. 190-191
14

a. Prestasi Gus Dur


Setelah Gus Dur kembali ke Indonesia, dengan bekal ijazah S1
Universitas Baghdad, pada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asyari (Unhas) di Jombang hingga
tahun 1974. Ketika itu pula, ia menekuni kembali bakatnya menulis dan
menjadi kolumnis. Tahun 1974, Gus Dur diminta K.H.Yusuf Hasyim,
pamannya untuk membantu di pondok pesantren Tebu Ireng di Jombang. Gus
Dur menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebu Ireng hingga tahun
1980. Selama periode inilah secara teratur ia semakin terlibat dalam
kepengurusan NU dengan menjabat sebagai Wakil Khatib Syuriah PBNU.
Dari sini Gus Dur mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan
kepesantrenan di berbagai tempat, dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun
kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada
program training-training. Di LP3ES, ia bekerjasama dengan M. Dawam
Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan
masyarakat pesantren. Kemudian dalam perkembangannya, bersama para kiai
yang dimotori oleh LP3ES, Gus Dur mendirikan P3M (Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat).15 Pembentukkan P3M ini berawal
dari dinamika pemikiran dan keberhasilan program LP3ES selama tahun 70-an
serta bisa ditariknya Pondok Pesantren dalam proses perubahan sosial dan
politik. Peranan yang dilakukan P3M salah satunya adalah mendukung
proyek-proyek pembangunan secara kritis misalnya lewat program KB
(Keluarga Berencana).

15

Tim Incres, Beyond The Symbol, h. 19-20

Setelah pindah ke Jakarta, ia merintis karir sebagai pengasuh pondok


pesantren Ciganjur. Pada seluruh waktu sepanjang dekade 80-an, Gus Dur
tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir, intelektual, budayawan, dan
agamawan. Darah seninya yang kental sempat menarik jalan hidupnya, pada
tahun 1983, Gus Dur ditawari menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
Taman Ismail Marzuki. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu pun diterimanya.
Kemudian ia juga menjadi ketua juri Festival Film Indonesia (FFI), 19861987, itulah awal aktualisasi perjalanan kebudayaan Gus Dur. Keputusan
tersebut mendapat reaksi dari para kiai NU, akan tetapi ia tetap menerimanya,
karena memang Gus Dur sangat menyenangi bidang kesenian terutama
perfilman. Pada tahun 1984, ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 19841999.
Selain itu Gus Dur menduduki jabatan sebagai salah seorang presiden pada
Konferensi Dunia Untuk Agama dan Perdamaian (World Council For Religion
and Peace) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Lalu ia menjadi Anggota
Dewan Pembina Institute Simon Perez yang berpusat di Tel Aviv Israel,
menurutnya undangan menjadi anggota ini justru menunjukkan penghormatan
penting bagi NU dan pertanda adanya kesadaran internasional yang sejati,
keterlibatannya ini membuka jalan untuk memperjuangkan misi islam dan
sekaligus misi perdamaian di antara sesama umat beragma di dunia.16
ketertarikannya terhadap Israel juga terlihat ketika ia menjadi presiden di
mana ia mengadakan hubungan dagang dengan negara tersebut. Selain itu juga
Gus Dur menjadi Dewan Penasihat pada Internasional Dialoque Foundation
16

Laode Ida, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Raja Grafindo
1999), h. 261

on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di Den Haag Belanda. Di


Indonesia, selain menjadi pendiri Forum Demokrasi (FORDEM), ia adalah
penggagas berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI). Jadi tidak salah
jika Gus Dur, setelah menjadi presiden, memberikan status yang sama kepada
umat Konghucu dalam merayakan hari besar mereka. Dalam konteks
pendirian Fordem awal 1991, di mana Gus Dur menjadi Ketua Umum adalah
salah satu bukti perhatiannya yang besar terhadap proses demokratisasi.17
Sebagai implikasi dari pemikiran dan gerakan sosialnya, Gus Dur pernah
menerima penghargaan sebagai Man of The Year 1990 dan oleh majalah editor
Harian Surya Surabaya ia juga pernah diberi gelar Tokoh Terpopuler. Pada
tanggal 31 Agustus 1993, ia juga memperoleh penghargaan Magsaysay dari
Filiphina. Ini suatu bukti pengakuan nasional dan internasional terhadap peran
dan kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat demokratis, terbuka dan toleran.
Puncaknya melalui Sidang Umum MPR-RI Oktober 1999, ia terpilih
sebagai Presiden RI ke-4, saat sekitar sebulan lagi ia akan mengakhiri masa
jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU yang telah dijabatnya selama 15
tahun.18
Dari banyaknya prestasi yang ia raih, Gus Dur ternyata bukan hanya
seorang agamawan, melainkan ia juga seorang budayawan dan politisi. Ketika
ia berada di tengah komunitas NU, ia berperan sebagai ulama sekaligus Ketua
PBNU, ketika ia berada di DKJ, ia berperan sebagai budayawan, dan ketika

17

Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 85-

86
18

Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid, (Jogjakarta: LKIS 2000), h. 148

bersama Megawati, Habibie dan tokoh-tokoh lainnya, ia memainkan peranan


sebagai politisi. Gus Dur selain seorang intelektual dan seorang pemikir, ia
juga seorang aktivis organisasi.
b. Karya Tulis Gus Dur
Sebagai seorang intelektual, Gus Dur mengkomunikasikan pemikiranpemikirannya lewat tulisan-tulisan dalam berbagai topik yang beberapa di
antaranya sudah dijadikan buku, sebagian lainnya telah menjadi artikel ilmiah
bagian dari sebuah buku editorial. Gagasan-gagasan dan sikapnya dalam
menanggapi persoalan yang berkembang di masyarakat banyak dijumpai
dalam buku hasil karyanya. Di samping yang termuat di media massa, jurnal
laporan penelitian atau dapat ditemukan dalam hasil wawancara. Diantara
karya-karya Gus Dur yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku adalah
sebagai berikut:
1. Prisma Pemikiran Gus Dur
Buku ini,19 tidak menekankan terhadap topik tertentu, tetapi lebih pada
pemikiran Gus Dur

secara umum terkait dengan hubungan agama dan

HAM. Buku ini berisi 17 artikel yang memuat sejumlah gagasan besar Gus
Dur tentang perlunya penafsiran kembali ajaran agama dan dialektikanya
dengan diskursus ke-indonesia-an. Bagaimana seharusnya menempatkan
ajaran agama dalam konteks pembangunan dan kehidupan berbangsa dan
bernegara menjadi titik tolak acuan bagi Gus Dur dalam memetakan posisi
agama dalam diskursus modernitas.
2. Tuhan Tidak Perlu Dibela
19

Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Jogjakarta: LKIS 1999),


penyunting: M. Shaleh Isre

Dari judulnya, buku ini20 terkesan provokatif, namun berisi kritik


mendasar terhadap bangunan pengetahuan, pemikiran dan gerakan yang
ditampilkan oleh komunitas muslim yang pada saat itu gemar menampilkan
sosok sektarianisme. Buku ini, merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang
dimuat di Majalah Tempo pada paro tahun 1980-an. Isi buku ini
mencerminkan sikap Gus Dur untuk lebih mengedepankan semangat
persamaan, keadilan dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi
berbagai perkembangan dalam konstelasi sosial politik di Indonesia. Sebuah
buku yang juga menampilkan suatu sikap kearifan hidup untuk tidak banyak
mencela pemahaman keagamaan orang lain, sekaligus menghormatinya
dalam kerangka demokratisasi dan hak asasi manusia.
3. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H.
Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4
Buku ini,21 menceritakan tentang pemikiran-pemikiran Gus Dur yang
terekam dalam harian Kompas. Buku ini merupakan upaya memahami
ucapan, pemikiran, dan kiprah Gus Dur secara rasional dan mengambil
pelajaran dan kritik atasnya. Buku ini menghimpun pemikiran Gus Dur
sekitar soal-soal agama Islam dan negara. Pemikiran tentang sikap soal
kepemimpinan politik, serta kepemimpinan dalam bidang moral, spiritual
yang sudah melewati wacana NU. Dalam buku ini juga berisi tentang ajakan
Gus Dur untuk membangun tradisi politik yang demokratis dan demokrasi di
Indonesia. Selain itu buku ini juga berisi pemikiran Gus Dur sekitar politik
20

Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jogjakarta: LKIS 1999), penyunting:
M. Shaleh Isre
21
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran
K.H.Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 1999)
penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits

Indonesia kontemporer, kepemimpinan politik, hubungan antara individu


dan negara, masalah HAM, dwifungsi ABRI dan pengembangan demokrasi.

C. Gus Dur Sebagai Presiden


Mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI ke-2 untuk masa jabatan yang
ketujuh pada tanggal 21 Mei 1998, adalah tonggak sejarah yang sangat
menentukan bagi perjalanan bangsa negara ini ke masa depan. Pada tanggal itu
juga merupakan waktu yang sangat bersejarah, karena terjadi proses peralihan
kekuasaan dari orang kuat Indonesia, Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden
B.J. Habibie. Habibie disumpah menjadi Presiden ke-3 di tengah persoalan bangsa
yang sangat berat, dan dipundaknya telah ada beban untuk melaksanakan agenda
reformasi yang menjadi tuntutan bangsa, dari mulai memberantas KKN sampai
perbaikan krisis ekonomi.22
Di bawah kepemimpinan Habibie, ternyata rakyat belum puas akan
kinerjanya. Pada tanggal 10 November 1998, demonstrasi yang didominasi oleh
mahasiswa menuntut agar Habibie segera menyerahkan kekuasaan kepada
pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Presidium kepemimpinan pro-reformasi
yang terdiri atas Megawati (PDI-P), Gus Dur (PKB), Amien Rais (PAN), Uskup
Belo dan Sultan Hamengkubuwono X.23
Selanjutnya, pemilihan umum pun dilakukan. PDI-P di bawah pimpinan
Megawati berhasil menduduki peringkat pertama, mengalahkan Golkar yang
selama Orde Baru memimpin perolehan suara. Tempat ketiga dan keempat
22

Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan NU Dalam Pentas Politik Nasional, (Surakarta:


Muhammadiyah University Press, 2003), h. 111-117
23
Chriss Manning dan Peter Van Diermen, Indonesia di Tengah Transisi:Aspek-Aspek
Sosial dari Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 21

diduduki oleh PKB yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan PPP yang
dipimpin oleh Hamzah Haz. Urutan selanjutnya ditempati oleh PAN pimpinan
Amien Rais, yang akhirnya membawa ia untuk menduduki jabatan Ketua MPR.
Penyusunan pemerintahan menjadi tugas Presiden yang akan dipilih oleh MPR
dengan 700 anggotanya dalam bulan Oktober 1999. Oleh karena itu, lama
sebelum hasil pemungutan suara diumumkan pada tanggal 1 September, pusat
perhatian para pemimpin partai bergeser. Kalau semula mereka mengupayakan
dukungan rakyat, sekarang mereka beralih ke perundingan di antara mereka untuk
menjajaki bersama kemungkinan perlunya koalisi. Sepanjang hampir seluruh
kurun waktu antara pemilihan umum dan pemilihan presiden, calon yang berada
paling depan menuju kursi kepresidenan adalah calon dari Golkar, Habibie dan
calon dari PDI-P Mega. Mula-mula Megawati mengandalkan dukungan PKB dan
PAN, mitra-mitra PDI-P dalam koalisi informal yang muncul dari apa yang
disebut Komunike Paso tanggal 18 Mei, sementara Habibie bersandar pada
dukungan PPP dan militer, dan menyebut Wiranto sebagai Wapres yang
cenderung dipilihnya nanti.
Perkembangan terpenting dalam bulan-bulan setelah pemilihan umum
adalah kemunculan apa yang disebut Poros Tengah, sebuah aliansi partai-partai
muslim yang dirintis oleh Hamzah Haz dan diumumkan oleh Amien Rais pada
tanggal 20 Juli 1999. Logikanya ialah bahwa dengan jumlah gabungan sebesar
sekitar 200 kursi di MPR, partai-partai muslim dapat menandingi Golkar atau
PDI-P, sehingga berposisi untuk menempatkan calonnya di Istana. Calon yang
disepakati ialah Abdurrahman Wahid. Selain itu, Golkar sendiri jauh dari utuh.
Fraksi reformis pimpinan Akbar Tanjung dan Marzuki Darusman tidak gembira

dengan pencalonan Habibie. Ini membuat Marzuki mengajukan tawaran sejumlah


nama lain untuk dicalonkan menjadi Presiden, di dalamnya terdapat beberapa
nama termasuk Jendral Wiranto, yang waktu itu menjabat sebagai Panglima TNI
dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Nasional. Muncul juga spekulasi bahwa
fraksi Akbar akan bergabung dengan Megawati untuk memagari kemungkinan
bahwa fraksi Poros Tengah yang muslim akan mengambil kekuasaan.
Dalam suasana SI MPR yang digelar di bawah pimpinan Amien Rais,
Sidang menolak pertanggungjawaban presiden RI ke-3 Prof B.J Habibie, dan
setelah itu Golkar kehilangan calon presidennya. Kemudian Golkar memberi
suara untuk suara untuk beralih kepada Gus Dur, daripada memilih Megawati.
PAN yang didirikan Amien Rais bersama PK yang bernuansa Islam membentuk
fraksi reformasi, lalu mereka mengusung Gus Dur ke kursi presiden.24
Pidato pertanggungjawaban Habibie ditanggapi skeptis jauh sebelum
dibacakan. Pertanggungjawaban Habibie itu telah dinilai secara apriori oleh
sebagian fraksi dan anggota MPR bahkan sebelum Presiden Habibie
menyampaikan laporannya ada pihak-pihak di MPR yang menolak pidato
pertanggungjawaban tersebut, padahal mereka belum melihatnya.25
Pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dikarenakan berbagai alasan
salah satunya adalah kebijakannya terhadap Timor Timur untuk referendum yang
akhirnya Timor Timur pisah dari Indonesia, lambannya ia dalam mengadili
mantan Presiden Soeharto dan tidak meningkatnya perekonomian Indonesia.
Akhirnya Golkar menarik Habibie dari persaingan pemilihan Presiden, tempat Habibie digantikan oleh Akbar
Tanjung yang ketika itu telah menjabat sebagai Ketua DPR. Akan tetapi, karena menyadari bahwa Akbar bukan calon yang
kemungkinan besar untuk berhasil, maka baru beberapa jam Golkar sudah menarik kembali calonnya dan menyalurkan
24

Inu Kencana,et.al, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama 2006), h. 52-

53
25

Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan,
2000), hal 339

seluruh dukungannya kepada satu-satunya calon dari Poros Tengah Abdurrahman Wahid. Setelah bergabungnya Golkar,
Amien menghubungi Gus Dur dan ternyata Gus Dur menyetujui untuk terus lanjut ke pemilihan kursi Presiden.

Gus Dur memang relative diterima semua pihak dan yang lebih penting lagi,
rupanya ia telah mendapat restu dari K.H. Abdullah Faqih pemimpin Pondok
Pesantren Langitan Tuban yang sangat disegani warga NU. Restu ini membuat
fraksi PKB, yang sebelumnya mendukung Megawati, berpindah dan menyokong
sepenuhnya kepada Gus Dur. Gedung MPR 20 Oktober 1999, Sidang Umum
MPR berujung dramatis. Gus Dur yang dikenal sebagai Ketua Umum PBNU
terpilih menjadi Presiden RI. Ia mengalahkan Megawati, Ketua Umum PDI-P.
Sebanyak 373 dari 691 anggota MPR memberikan suaranya untuk Kiai tersebut.
Naiknya Gus Dur tak lepas dari faktor Poros Tengah yang dimotori oleh Amien
Rais.
Gus Dur yang menggantikan Habibie karena pertanggungjawabannya
ditolak dalam sidang umum MPR, mengemban estafeta kepemimpinan nasional
yang tidak ringan. Gus Dur dihadapkan dengan persoalan bangsa yang menuntut
untuk secepatnya dicarikan jalan keluarnya, sehingga Indonesia dapat bangun dari
keterpurukannya dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Warisan
kemiskinan, pemutusan hubungan, kemerosotan nilai tukar rupiah, hutang luar
negeri satu sisi, dan sisi lain tuntutan agenda reformasi harus sama-sama
mendapat perhatian yang serius.
Harapan perbaikan ekonomi di tangan Gus Dur sangat besar, karena ia
dipilih secara demokrasi dan dinilai proses sidang pemilihannya transparan,
diliput oleh media dalam dan luar. Namun harapan itu hanyalah tinggal harapan,
karena presiden baru ini tidak mengetahui apa yang diderita rakyatnya, merasa
tidak mempunyai beban, maka langkah-langkah yang diambil bukan mengarah

pada pemulihan ekonomi, sebaliknya malah memperparah ekonomi. Pada bulan


pertama pemerintahan Gus Dur, yang seharusnya menyamakan persepsinya
dengan kabinet terutama tim ekonominya, dalam mencari solusi dari krisis
ekonomi, tidak dimanfaatkan Gus Dur, sebaliknya malah membuat statementstatement yang merusak pasar. Salah satu contohnya adalah Gus Dur ingin
membuka hubungan dagang dengan Israel di mana banyak kalangan yang
menentang terutama dari kalangan Islam. Karena protes tersebutlah menyebabkan
berkurangnya investor asing yang datang ke Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Riza Sihbudi kepada majalah Forum
Keadilan, Gus Dur tetap ingin membuka hubungan dagang dengan Israel, yang
terbukti justru membangkitkan protes-protes dari kalangan masyarakat Islam. Jika
aksi itu semakin luas, tampaknya tidak ada investor asing yang mau datang ke
Indonesia. Padahal menurut Menlu Alwi Shihab yang menjabat pada saat itu,
pembukaan hubungan dagang dengan Israel dimaksudkan untuk menarik para
investor besar Amerika yang umumnya keturunan Yahudi.26
Masalah ekonomi memang sangat rumit, berkali-kali Gus Dur mengatakan
bahwa perekonomian Indonesia akan pulih dalam beberapa bulan, bahkan terakhir
ia mengatakan pada tahun 2004 nanti GDP Indonesia akan mencapai US$ 5.000
per orang, nyatanya rupiah terus terpuruk, inflasi melambung dan lebih-lebih lagi
hutang terus bertumpuk. Rakyat tidak lagi dapat diberi janji, mereka perlu visi dan
langkah nyata.27

26

Riza Sihbudi. Politik Luar Negeri Gus Dur, Forum Keadilan, 21 November 1999, h.

11
27

Ira Rakhmawati, Surat Terbuka Kepada Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bang
Akbar dengan Elite Politik Lainnya: Dari anak bangsa, (Jakarta: Bina Pariwara, 2001), h. 21

Memang, setelah Gus Dur menduduki kursi kepresidenan, pemerintahannya


segera diwarnai oleh perseteruan keras di antara berbagai unsur kabinet dalam
memperebutkan kontrol atas lembaga-lembaga strategis. Hal yang tidak kalah
penting, adalah keterlibatan dirinya dalam sejumlah skandal yang berkaitan
dengan mobilisasi terselubung dana-dana politik. Dua skandal yang menonjol
adalah mobilisasi persediaan dana politik melalui penggunaan uang dari dana
pensiun pegawai badan logistik negara, serta rekening hibah illegal dari Sultan
Brunei yang masing-masing populer dengan sebutan Bullogate dan Bruneigate.28
Kritik kepada presiden juga mengarah kepada kebijakan politiknya meski
beberapa di antaranya masih dalam taraf ide atau gagasan yang dianggapnya
hanya membuat kontroversi. Mengenai kunjungan-kunjungannya ke luar negeri
yang terlalu sering dan memakan waktu cukup lama, telah dianggap pemborosan.
Kemudian,

bahwa

kabinetnya

yang

mengakomodasikan

banyak

partai,

sebagaimana sebelum diramalkan banyak orang akan sangat resisten bagi


munculnya konflik internal, mulai memperlihatkan tanda-tanda. Belum genap tiga
bulan usia kabinetnya, satu personel telah jadi korban. Hamzah Haz, yang karena
dugaan kuat terlibat dalam money politic menjelang pemilihan presiden dalam SU
MPR 1999, harus diberhentikan di tengah jalan. Padahal, presiden sendiri telah
dengan tegas saat pelantikan kabinetnya menyatakan tidak ada rencana untuk
melakukan resuffle.29
Kepercayaan terhadap Gus Dur mulai turun, karena ketidakmampuannya
memberantas KKN, ditambah perilaku ekonomi yang ia lakukan. Selain dari

28

Vedi.R.Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto,


(Jakarta: LP3ES 2005), h.
29
Khamami Zada (ed), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:
LAKPESDAM 2002), h. 38-39

ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Gus Dur, orang-orang kabinet pun


merasa tidak puas terhadap kinerja Gus Dur. Banyak kalangan mengatakan bahwa
Gus Dur berjalan sendiri. Gus Dur mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
kurang menguntungkan kelompok partai tertentu, terutama terhadap partai-partai
Poros Tengah atau pun partai Golkar, yang membuat menteri-menteri dari partaipartai itu bekerja setengah hati. Mereka tidak berada dalam situasi psikologis yang
nyaman di dalam kabinet karena adanya pernyataan-pernyataan Gus Dur yang
tidak jelas ujung pangkalnya. Sepeti tuduhannya terhadap beberapa menteri yang
diduga terlibat KKN.
Gus Dur mengeluarkan pernyataan tersebut di hadapan masyarakat dan
mahasiswa Indonesia di Salt Lake City, Amerika, ketika ia berkunjung ke negara
tersebut pada November 1999. Di antara nama-nama tersebut adalah, Menteri
Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Hamzah Haz, Menteri Tenaga
Kerja Bomer Pasaribu dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yusuf Kalla.30
Pada waktu Gus Dur menjadi presiden, disintegrasi bangsa semakin terbuka
dengan dibiarkannya beberapa daerah menyuarakan keinginan untuk
memisahkan diri dari NKRI, misalnya Riau, Jatim, Madura, Aceh, Irian Jaya.
Pemicunya adalah lepasnya Timtim. Kecenderungan Gus Dur yang berjalan
sendiri tanpa dipertimbangkan dampaknya bagi masyarakat luas, misalnya
perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, toleransi pengibaran bendera
bintang kejora oleh Presiden merupakan langkah yang kontraproduktif. Model

30

Tebak-Tebakan ala Gus Dur. Forum Keadilan, 28 November 1999, h. 18-19

jalan sendiri ini menguntungkan Gerakan Papua Merdeka, dan menambah


tugas baru buat aparat keamanan.
Puncaknya pada Sidang Istimewa (SI) MPR 2001, Gus Dur turun dari kursi Presiden karena di-impeach oleh MPR.
Kesalahannya adalah pertama, mengabaikan Memorandum I yang berisikan bahwa presiden telah melanggar UUD 1945
pasal 9 tentang sumpah jabatan dan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kedua, mengabaikan Memorandum II dimana Gus Dur diberi kesempatan
selama satu bulan untuk meperbaiki kinerjanya sebagaimana yang telah diatur dengan ketetapan MPR No III/MPR/1978
dan pasal 7 Tap MPR mengatur, apabila dalam waktu satu bulan presiden tidak mengindahkan Memorandum II, DPR dapat
meminta MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa.

BAB III

GAMBARAN UMUM ACEH

A. Geografi dan Demografi


Aceh atau secara resmi, Nangroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah
Istimewa yang terletak di Pulau Sumatra. Secara geografis Aceh terdiri atas 9
kabupaten, 2 kodya, 3 kotip, 142 kecamatan dan 5463 desa. Luas wilayahnya
adalah 57,365.57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatra persegi,
yang meliputi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan status daerah
istimewa. Aceh terletak di barat laut Sumatra.31 Aceh dikelilingi Selat Melaka di
sebelah Utara, Provinsi Sumatera Utara di Timur dan Lautan Hindi di Selatan dan
Barat. Ibukota Aceh adalah Banda Aceh yang dulunya dikenali sebagai Kutaradja.
Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah
seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa.
Aceh mempunyai lahan hutan terluas yaitu mencapai 39.615.76 km persegi,
diikuti lahan perkebunan kecil seluas 3.135.22 km persegi, sedangkan lahan
pertambangan mempunyai luas terkecil yaitu 4,42 km persegi. Aceh mempunyai
luas perairan 56.563 km persegi yang terdiri dari laut teritorial 23.563 km persegi
dan perairan laut dalam 33.000 km persegi. Di samping zona ekslusif ekonomi
(ZEE) 200 mil dari pantai.32
Adapun kegiatan dalam bidang perkebunan di daerah ini dapat dibagi
menjadi 2, perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Adapun perincian dari hasil

31

Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi Atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 31
32
Zulkifli Husin, et,al, Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Masyarakat
Nelayan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala dan Jakarta), h. 8

perkebunan sebagai berikut: karet, minyak sawit, inti sawit, kelapa, kopi, cengkeh,
pala, lada dan cokelat.33
Aceh yang berada di ujung pulau Sumatera secara historis mempunyai
peranan penting dalam pelayaran dan perniagaan dunia yang melalui selat Malaka,
bandar-bandar Aceh menjadi sangat penting sebagai bandar penghubung yang
melayani kebutuhan perbekalan seperti bahan makanan, air dan keperluan seharihari. Ini yang menghantarkan Aceh menjadi mahkota alam yang merupakan
bandar penghubung dalam hal ini jalur pelayaran dagang antara Timur Tengah,
Eropa, Kerajaan Demak, Brunei, dan Turki Usmani.34
Aceh merupakan salah satu provinsi kaya di Indonesia. Tanahnya subur,
banyak komoditas padi dihasilkan Aceh, tembakau, kelapa sawit, dan kopi.
Kekayaan mineral juga banyak. Sejak lama, berbagai industri sudah dibangun di
Aceh. Hasil ladang minyak dan pabrik pupuk Aceh merupakan salah satu sumber
pendapatan negara. Pantai-pantainya indah dan berbagai kawasan perairan laut
kaya akan ikan. Di sejumlah pulau kecil di lepas pantai, banyak terdapat hutan
bakau yang dikelilingi terumbu karang yang indah sehingga cocok menjadi
kawasan wisata. Pulau-pulau kecil lainnya dipenuhi pohon kelapa yang buahnya
banyak diperdagangkan ke berbagai wilayah lain.
Daerah Aceh mempunyai potensi dan sumber daya alam yang cukup besar,
baik di bidang pertanian, perindustrian, pertambangan maupun pariwisata. Namun
potensi ini belum banyak dikembangkan karena sulitnya medan dan kurangnya
sarana dan prasarana lainnya.

33

Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1990), cet 1, h.

34

Denys Lombard, Kerajaan Aceh, (Jakarta: Balai Pustaka 1986), h. 96-99

38

Dalam bidang pertanian, Aceh menghasilkan cukup bahan makanan seperti


beras, kedelai, ubi kayu, dan sayur-sayuran serta buah-buahan. Di samping
pertanian, perkebunan dan pertambangan, usaha peternakan dan perikanan juga
memegang peranan penting. Aceh mempunyai potensi yang besar, baik perikanan
laut maupun perikanan darat. Wilayah Aceh juga mengandung berbagai bahan
tambang, antara lain minyak bumi, gas alam, tembaga, emas, dan besi.35
Jenis flora dan fauna yang terdapat di Aceh tidak banyak berbeda dengan
jenis flora dan fauna di wilayah lainnya. Selain berbagai jenis tumbuhan dan
binatang yang telah dibudidayakan oleh masyarakat, terdapat pula jenis dan corak
tumbuhan dan binatang yang tumbuh dan hidup liar di kawasan hutan. Salah satu
jenis tumbuhan yang dibudidayakan oleh masyarakat sebagai tanaman hias yaitu
Bungong Jeumpa (Cempaka: Mechiale Chamcapa), telah ditetapkan sebagai
maskot daerah. Kawasan hutan daerah Aceh tergolong hutan tropis. Diantara
keistimewaannnya, hutan di daerah ini memiliki cukup luas tumbuhan Pinus
Maskusii yang dipercaya sebagai asal pinus di seluruh Indonesia. Selain itu
terdapat pula bunga Raflesia Achehensies, yang termasuk tumbuhan langka dan
digolongkan bunga terbesar di dunia. Tanaman ini tersebar di hutan cagar alam
Serba Jadi.36
Aceh memiliki banyak potensi objek wisata yang cukup menjanjikan untuk
dikembangkan. Potensi wisata itu meliputi objek wisata alam, budaya, bahari, dan
objek wisata industri. Tetapi karena keterbatasan prasarana dan sarana penunjang,
maka objek-objek wisata di daerah ini belum berkembang dibanding daerah lain

35

B. Setiawan, Ensiklopedi Nasional, h. 42


Profil Provinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Yayasan Bhakti
Wawasan Nusantara Bekerjasama dengan Majalah TELSTRA-Strategic Review dan PT Intermasa,
1992), h. 68
36

sehingga belum juga dapat dipasarkan dan dipromosikan ke wisatawan asing


maupun domestik.37
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku kaum dan bangsa.
Bentuk fisikal mereka menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Cina, Eropa dan
India. Leluhur orang Aceh dikatakan telah datang dari Semenanjung Malaysia,
Cham, Cochin China dan Kamboja. Kumpulan-kumpulan etnik yang terdapat di
Aceh adalah orang Aceh yang terdapat di merata Aceh, orang Gayo di Aceh
Tengah, sebagian Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues, orang Alas di Aceh
Tenggara, orang Tamiang di Aceh Tamiang, Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan
Aceh Barat Daya, orang Kluet di Aceh Selatan dan orang Simeulue di Pulau
Simeulue. Aceh juga mempunyai bilangan keturunan Arab yang tinggi. Sebuah
suku bangsa berketurunan Eropa juga terdapat di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.
Mereka beragama Islam dan dipercayai adalah dari keturunan askar-askar Portugis
yang telah memeluk agama Islam. Pada umumnya, mereka mengamalkan budaya
Aceh dan hanya boleh bertutur dalam bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1905, diperkirakan penduduk Aceh tidak lebih dari 750.000 jiwa,
termasuk penduduk pulau sekitarnya. Menurut data tahun 1987 penduduk Daerah
Istimewa Aceh sekitar 3,12 juta jiwa. Sebagian besar penduduk daerah ini adalah
penduduk asli yang sudah sejak dahulu tinggal di daerah ini. Kepadatan penduduk
di Daerah Istimewa Aceh tidak merata di setiap daerah. Sebagian besar tinggal di
daerah rendah atau daerah dekat pantai. Daerah pedalaman hanya sedikit didiami.
Di pedalaman ini hanya ada satu kota kabupaten, yaitu Takengon. Sebagian besar
tanah masih berupa hutan lebat atau padang ilalang. Kurangnya penduduk, luas

37

Profil Provinsi, h. 219

lahannya, dan sulit komunikasi antar daerah masih menjadi halangan besar bagi
pembangunan di daerah ini.38 Pada tahun 1990, Aceh baru berpenduduk 3.415.875
jiwa, dari penduduk sejumlah itu lebih dari 70%nya bermukim di pedesaan dan
berusaha di sektor pertanian. Karena itu pula sektor pertanian masih memegang
peranan penting dalam perekonomian daerah, meskipun sektor-sektor lainnya
seperti industri dalam tahun terakhir ini telah pula memberi kontribusi yang cukup
besar.
Mengenai pembangunan, di Aceh menganut konsep keseimbangan dalam
usaha mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan sosial yang tinggi sekaligus
meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat di
daerah ini. Pembangunan di daerah pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan
pembangunan yang berlangsung di daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh swasta (masyarakat). Pembangunan di Aceh didasarkan pada 4
trilogi pembangunan, yaitu trilogi pembangunan nasional, trilogi pemerintah
daerah, trilogi keistimewaan Aceh, dan trilogi etos kerja. Mengingat Aceh masih
relatif tertinggal dibanding provinsi lain di Indonesia, maka, secara operasional
usaha pembangunan di daerah ini tidak memadai lagi ditempuh dengan cara-cara
yang konvensional semata.

B. Keadaan Sosial dan Budaya


Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan sehingga setiap kebudayaan berbeda wujudnya dengan
kebudayaan yang lain. Aceh pun memiliki kebudayaannya sendiri. Dengan polesan warna Islam yang kental, maka budaya
Aceh berkembang tidak hanya dalam bentuk adat maupun seni, melainkan dalam suatu peradaban yang tinggi
Berdasarkan beberapa sumber, para sejarawan dan arkeolog menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama di
nusantara berdiri di daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa agama yang masuk ke daerah ini adalah Islam, yang dalam
batas tertentu telah tersebar dan teradaptasi dengan unsur kebudayaan Persia dan Gujarat (India). Islam yang telah berbaur
dengan unsur India dan Persia ini memberi corak tersendiri terhadap budaya dan tradisi Aceh. Namun dalam

38

2004), h. 39

B. Setiawan, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia: jilid I, (Jakarta: Delta Pamungkas

pelaksanaannya, masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi/adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat
dalam kehidupan sosial budaya Aceh, sebagai hasilnya, Islam dan budaya Aceh menyatu sehingga sulit untuk dipisahkan.39
Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 M, banyak sekali mempengaruhi adat istiadat Aceh, bahkan pengaruh
Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang berbunyi: Hukom ngo adat lagee zatg ngo sipheuet (hukum dengan adat
seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisahkan). Yang dimaksud dengan hukum disini adalah hukum Islam yang diajarkan
oleh para ulama. Demikian besar pengaruh Islam di Aceh, sehingga sapaan waktu berjumpa dan ucapan waktu berpisah,
tidak lagi diucapkan dengan kata lain melainkan sudah menjadi Assalamualaikum (selamat, tuan) dan jawabannya
waalaikumsalam wa rahmatullah...(tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari
orang lain, melainkan sudah diganti dengan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Apabila mendengar ada orang
meninggal, segera mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun (semua kita milik Allah dan kita semua akan
kembali kepada-Nya).40
Sistem kemasyarakatan Aceh juga sangat erat berkaitan dengan Islam. Masyarakat Aceh merupakan suatu
masyarakat yang bertingkat dan tersusun dalam golongan-golongan. Golongan tersebut adalah golongan bangsawan, kaum
alim ulama, golongan rakyat umum dan juga kelompok-kelompok lain seperti orang pendatang atau orang asing. Memang
suatu kenyataan bahwa kaum bangsawan dan alim ulama pada umumnya menduduki tingkatan atas, akan tetapi dari
kalangan rakyat umum pun tidak kurang yang mendapat kehormatan dan berada di tingkat yang tinggi, misalnya saja
orang-orang yang sudah menunaikan ibadah Haji, dan kaum saudagar.41
Sebelum Aceh diperintah oleh Belanda, penggolongan masyarakat adalah:
1. Golongan Hulubalang (ulebalang), yaitu golongan yang memerintah negeri. Golongan ini, mula-mula juga merupakan
rakyat biasa. Tetapi karena mempunyai wibawa, disebabkan kekayaan, keberanian, kecakapan dalam mengatur dan
memimpin maka ia diangkat menjadi kepala rakyat.

2. Golongan ulama/golongan ahli dan pengajar agama. Golongan ini berasal dari
rakyat biasa. Tetapi karena ketukunannya belajar, mereka memperoleh
berbagai ilmu pengetahuan.
3. Golongan saudagar, yaitu golongan orang kaya. Golongan ini pun berasal dari
rakyat biasa yang mempunyai nasib lebih baik dalam usaha mereka
mendapatkan kekayaan.
4. Golongan tani, golongan inilah yang terbanyak.
5. Golongan terpelajar/pegawai, yang dimaksudkan dengan terpelajar ialah
mereka yang telah mengenyam pendidikan barat, lalu diangkat menjadi
pegawai pemerintah.
6. Golongan buruh.42
Dari berbagai golongan ini nantinya timbul perbedaan keinginan dalam
penyelesaian kasus Aceh ini. Golongan pelajar, buruh, tani dan ulama
39

Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve 2004), h. 219
40
Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h.
6
41
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia: jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka 1993) h. 84
42
Taufik, Agama dan Perubahan, h. 10-11

menginginkan adanya referendum di Aceh akan tetapi golongan uleebalang hanya


menginginkan diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh.
Masyarakat Aceh adalah penggolongan rakyat dalam kelompoknya soeke
(suku) atau Kawon (kaum) penggolongan atas kawon ini didasarkan atas
keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya. Kawon terdiri
dari 4, yaitu:
1. Kawon Imeuet Peut (kaum imam empat) adalah mereka yang berasal dari
orang Hindu yang telah memeluk islam.
2. Kawon Lherentoih (suku 300) adalah mereka yang berasal dari orang-orang
mantir dan batak.
3. Kawon Tok Baru adalah mereka yang terdiri dari orang-orang asing seperti
orang Arab, orang parsi dan orang Turki.
4. Kawon Ia Sandang adalah orang hindu yang bekerja untuk majikan masingmasing.43
Masing-masing kawon ini mempunyai pimpinan yang dipilihnya sendirisendiri dan disebut Panglima Kawon. Walaupun kedudukannya turun temurun,
kalau Panglima Kawon yang baru sudah dipilih harus disahkan oleh Ulebalang
yang berkuasa dimana Panglima Kawon itu bertempat tinggal. Ulebalang adalah
penguasa sebuah Nangroe (negeri) yaitu gabungan beberapa mukim. Para
Ulebalang menerima kekuasaannya langsung dari Sultan Aceh. Mereka
memerintah secara turun temurun dan setiap penggantian pimpinan harus
disyahkan oleh Sultan.

43

Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, h. 86-87

Adapun sistem kekeluargaan di Aceh adalah parental, kecuali di daerah


Gayo Alas. Parental adalah kekerabatan yang menghubungkan kekerabatan
melalui pihak ayah dan pihak ibu, jadi melalui dua pihak. Oleh karena itu, sesuai
dengan hukum Islam, orang boleh menikah dengan saudara sepupunya baik dari
pihak ayah atau ibu. Demikian pula hukum warisan, sejak zaman Iskandar Muda
sampai sekarang, yang dipakai adalah hukum islam baik di pengadilan negeri
maupun di pengadilan agama.
Satuan wilayah terkecil di Aceh adalah Gampong (dalam bahasa melayu:
kampung) yaitu, pekarangan yang sebagian ditata untuk kebun, dengan satu
rumah atau lebih yang satu sama lain terpisah dengan pagar dan jalan kampung
(jurong).44
Di Gampong atau di dekatnya selalu akan ditemukan bangunan yang ditata
sebagai rumah, namun tanpa kamar, lorong atau pembagian lain. Di dekat tangga
bangunan yang disebut Meunasah ini terdapat cadangan air, apakah hanya berupa
galian di tanah atau dibuat dari batu, pipa atau saluran bambu yang miring dari
sumur yang berdekatan yang bermuara di tempat cadangan air untuk memudahkan
pengisian air setiap hari daripada menimba dari sumur. Meunasah berasal dari
Bahasa Arab Madrasah yang berarti tempat belajar atau sekolah. Memang
Meunasah itu mempunyai multi fungsi, diantaranya sebagai tempat belajar
membaca Al-Quran dan pelajaran-pelajaran lain. Fungsi lain dari Meunasah itu
adalah sebagai tempat shalat lima waktu untuk kampung tersebut. Dalam
hubungan ini, diatur pula letak meunasah itu harus berbeda dengan letak rumah

44

Snouck Hurgronje, Aceh dan Adat Istiadat, (Jakarta: INIS 1996), h. 46, penterjemah:
Sutan Maimoen

untuk membedakan mana rumah dan yang mana Meunasah dan sekaligus juga
orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat.45
Selain Meunasah, ada pula tempat ibadah di Gampong yang dibangun tanpa
tiang, namun memakai pondasi tembok yang ditinggikan, lalu di atasnya diberi
semen tangga dari batu untuk memasuki tempat ibadah, namun gedungnya sendiri
selalu dibuat dari kayu, dan di dinding dalam dibuat relung batu (Mehrab/Merab)
untuk menunjukkan kiblat ke kabah di Mekah. Kadang-kadang pekarangan
tempat ibadah itu dipagari dengan tembok terendah bersegi empat. Bangunan
yang lebih megah itu disebut Dayah dan berfungsi sama dengan Meunasah.
Dalam kebudayaan Aceh terdapat banyak variasi terutama dalam dialek bahasa dan adat istiadat. Hal ini
disebabkan karena pengaruh luar yang terus menerus terjadi. Pengaruh luar ini termasuk kebudayaan daerah tetangga dan
asing. Kebudayaan luar antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan bangsa-bangsa. Dapat dikatakan pengaruh luar ini
memperkaya kebudayaan Aceh sebagai keseluruhan kebudayaan Aceh yang memberi peranan yang amat penting dalam
terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia, karena kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan daerah yang telah
mengalami perkembangan lebih lanjut.46
Secara garis besar bahasa di daerah Aceh dapat dibedakan menjadi empat bahasa, yaitu bahasa Gayo Alas, bahasa
Aneuk Jamee, bahasa Tamiang, dan bahasa Aceh Tengah. Bahasa Aneuk Jamee khusus digunakan oleh penduduk di Aceh
Selatan dan Aceh Barat. Bahasa Tamiang digunakan oleh penduduk di daerah pantai Timur. Bahasa Aceh adalah bahasa
yang paling banyak digunakan di propinsi ini, antara lain di Aceh Timur, Utara, Pidie, dan sebagian Aceh Barat.47

Mayoritas penduduk di provinsi Aceh memeluk agama Islam. Selain itu


provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain,
karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebahagian besar
warganya yang menganut agama Islam.
Peradaban Aceh menduduki tempat tertinggi pada masa Sultan Iskandar, pada masa ini terjadilah peleburan antara
nilai-nilai ke-Acehan, keislaman dan kenusantaraan secara padu. Aceh merupakan sebuah komunitas plural Islam yang
berperadaban tinggi. Istana diperindah, kemewahan pengiring raja yang besar jumlahnya, kesusastraan yang berkembang
dengan sangat pesat, perdebatan keagamaan yang sangat rumit yang diikuti oleh alim ulama terpelajar dari India dan dari
tempat yang lebih jauh lagi. Istana dihias dengan indah, batu-batu permata menghiasi dinding-dindingnya, ada pula tamantaman. Selain istana dan taman yang menakjubkan yaitu terdapat karya sastra. Beberapa karya besar di Aceh bukan karya
yang disampaikan secara turun temurun dengan lisan, bukan dongeng yang terlalu sering dianggap merupakan inti
kesusastraan Melayu, tetapi karangan yang ditulis dengan prosa yang baik dan benar, di berbagai tulisannya dihiasi dengan
sajak yang ada tanggalnya dan kebanyakan bahkan ada nama pengarangnya.48
Peradaban inilah yang memberikan Aceh rasa percaya diri sebagai sebuah masyarakat yang terhormat, yang mulia
dan berbudi kebangsaan yang luhur. Kebudayaan Aceh yang telah mengalami perkembangan sejak beberapa abad yang lalu
dan diperkirakan telah berkembang sejak pada masa abad ke-13 dan mencapai puncaknya pada masa abad ke-17 sekitar
pemerintah Sultan Iskandar Muda. Kebudayaan Aceh mengalami pasang surut akibat kolonialisasi Belanda dan perpecahan
45
46

Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan, h. 7


Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, ( Jakarta: Bhatara Karya Aksara 1980), h.

115-116
47

B. Setiawan, Ensiklopedi Nasional, h. 41


Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia 2006), h. 212
48

dari dalam masyarakat Aceh sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh mencari identitasnya sendiri dan
berhadapan pula dengan kebudayaan nasional.49

C. Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan

Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1947. Kemerdekaan tersebut


terdorong oleh kejadian sejarah lain, yaitu kekalahan tentara Nippon dalam perang
Asia Timur Raya melawan sekutu, pimpinan Amerika Serikat. Berita tentang
proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diketahui oleh masyarakat Aceh pada
tanggal 21 Agustus 1945, berkat adanya informasi dari Ghazali Yunus dan kawankawan yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei, kantor penerangan Jepang
(Hodoko) dan Atjeh Sinbun. Berita kemerdekaan ini disambut gegap gempita oleh
rakyat Aceh.50
Dalam perkembangan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Aceh
merupakan wilayah yang mempunyai andil cukup besar bagi pertumbuhan
Republik Indonesia. Ketika pertama kali Bung Karno datang ke Aceh
mengadakan pertemuan empat mata dengan Gubernur Militer Aceh Teungku
Daud Beureuh untuk mengumpulkan dana buat pembelian pesawat terbang,
masyarakat Aceh dengan tangan terbuka dan kerelaan menerimanya. Pada tahun
1948, Bung Karno datang ke Aceh untuk kedua kalinya dengan meminta Teungku
Daud Beureuh agar rakyat Aceh mengambil bagian yang aktif dalam perjuangan
melawan Belanda. Persetujuan ini dilakukan dengan syarat agar setelah
perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh dibolehkan menjalankan syariat Islam.
Akan tetapi, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah

49

Al chaidar, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi


Militer di Aceh 1989-1998, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), h. 9-10
50
Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:
Cita Panca Serangkai 1993), h. 97-98

tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak dikabulkan. Bahkan


otonomi Aceh dihapuskan dan Teungku Daud Beureuh dicurigai.51
Perjuangan rakyat Aceh berpuluh-puluh tahun melawan Belanda tak dapat
dikatakan mempunyai dasar lain kecuali mempertahankan agama, sehingga
perang

melawan

Belanda

itu

dinamakan

perang

sabil

yaitu

perang

mempertahankan agama Allah, dan mereka yang tewas dalam perang tersebut
dianggap mati syahid. Perang Aceh yang dahsyat itu berlangsung selama 31 tahun
yang berakhir pada tahun 1904 dengan kemenangan Belanda, akan tetapi dalam
hatinya rakyat Aceh masih belum menerima kekuasaan Belanda. Ternyata
beberapa kali setelah tahun 1904, terjadi pemberontakan terhadap Belanda,
misalnya di Bakongan antara tahun 1925-1927, di Lhong pada tahun 1933.
Kemudian pemberontakan Aceh yang paling besar terhadap Belanda adalah ketika
pemerintah Belanda menghadapi musuh dari luar yaitu Jepang pada waktu Perang
Pasifik, sehingga ketika bala tentara Jepang masuk ke Aceh, mereka tidak
menemui perlawanan lagi dari tentara Belanda yang sudah lebih dahulu pergi
untuk menyelamatkan diri.52 Dilihat dari inilah Bung Karno meminta Aceh untuk
berperang aktif dalam melawan Belanda karena keteguhan hati mereka dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan Islam.
Kemerdekaan Indonesia disambut oleh rakyat Aceh dengan gegap gempita.
Mereka bertekad akan mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan merdeka
atau mati syahid. Mereka berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan
kemerdekaan sehingga rencana Belanda hendak menduduki Aceh tidak dapat
terlaksana. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini para ulama berada di
51
52

Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam, h. 33-34


Ismail Suny, Bunga Rampai Aceh, h. 30-31

garis depan. Setelah kemerdekaan, di Aceh berkumandang seruan-seruan rakyat


agar hukum-hukum Islam dilaksanakan sepenuhnya. Akan tetapi pemimpinpemimpin Aceh melihat waktunya belum tepat untuk memenuhi tuntutan rakyat
tersebut. Karena itu ketika Bung Karno meminta rakyat Aceh untuk berperang
aktif melawan Belanda, Teungku Daud Beureuh selaku wakil rakyat Aceh
meminta agar setelah perjuangan selesai Aceh dibolehkan menjalankan Syariat
Islam. Permintaan ini pun disanggupi oleh Bung Karno. Tetapi setelah perjuangan
selesai Bung Karno tidak menepati janjinya. Ini dibuktikan oleh pidato presiden
Sukarno di Amuntai yang menyatakan tidak menyukai lahirnya negara islam dari
Republik Indonesia, hal ini membuat kecewa rakyat Aceh yang telah diberi janji,
padahal Aceh tidak berniat untuk mendirikan Negara Islam, mereka hanya ingin
menjalankan Syariat Islam.53
Kekecewaan rakyat Aceh sampai ke telinga Imam NII Kartosuwiryo, yang
segera mengirim seorang utusannya Abdul Fatah alias Mustafa, untuk mendekati
para pemimpin Aceh pada awal tahun 1952. Melalui Abdul Fatah, Kartosuwiryo
mengirimkan sebuah salinan dakwahnya tentang gerakan DI/TII, dan mengajak
para pemimpin Aceh untuk bergabung. Ajakan ini mendapat sambutan baik di
Aceh.54
Akibat pencabutan Aceh sebagai daerah otonom yang luas dan hanya diberi
status karesiden inilah, akhirnya hubungan antara Aceh dengan pemerintah
pusat merenggang, dan terjadilah keinginan untuk membentuk Negara Islam
Aceh pada tahun 1953, yang kemudian dikenal dengan pemberontakan Daud

53

M. Nur EL Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di


Aceh, (Jakarta: Gunung Agung 1982), h. 41-67
54
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1990), h. 89

Beureuh. Unsur kekecewaan daerah terhadap pusat inilah yang


melatarbelakangi mengapa Daud Beureuh mendirikan Negara Islam.
Pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletuslah suatu peristiwa yang
merupakan suatu tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Oleh pemerintah pada
waktu itu, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, peristiwa ini
dinamakan peristiwa Daud Beureuh atau pemberontakan Daud Beureueh.
Sedangkan rakyat Aceh menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa berdarah. Pada
tanggal tersebut, Daud Beureuh, seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat,
mantan Gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, mengangkat senjata
terhadap pemerintah pusat dan memproklamasikan Aceh sebagai negara Islam.
Daud Beureuh bersikeras bahwa tidak ada penyelesaian apapun sampai
pemerintah pusat mengakui hak rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam di
daerah itu. Untuk mendukung pendapatnya, Daud menegaskan bahwa Islamlah
yang mendorong para ulama berjuang dalam pemberontakan itu, dan karena Islam
pula mereka mendesak rakyat supaya berpartisipasi. Karena memang tuntutan
rakyat yang ingin menjalankan syariat Islam inilah awal mula peristiwa Daud
Beureuh terjadi.
Untuk menandai lahirnya sejarah baru itu tidak diadakan suatu rapat umum
atau upacara yang meriah. Sebagai gantinya, hanya naskah proklamasi dan sebuah
keterangan politik yang dibacakan dan disebarkan di Indra Puri, sebuah kampung
di sebelah selatan Kutaraja. Adapun isi naskah tersebut adalah:
PROKLAMASI
Berdasarkan pernjataan Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21
Sjawal 1368/7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwiryo atas nama umat islam

Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi
sebagian dari pada Negara Islam Indonesia.55
Atas Nama Umat Islam
Daerah Atjeh dan Sekitarnya
TTD
Teungku Muhammad Daud
Beureuh
Tertanggal:
Atjeh Darussalam:
13 Muharram 1373
21 September 1953

Namun demikian, naskah-naskah ini sebenarnya bukanlah merupakan suatu


tanda pembukaan lembaran baru sejarah Aceh, sebab pemberontakan itu telah
dimulai sehari sebelum proklamasinya sendiri. Kerumunan-kerumunan rakyat
dengan bendera Tentara Islam Indonesia (TII), yang dilengkapi senjata tajam serta
satu atau dua pucuk senjata api, terlihat di kampung-kampung sepanjang jalan
raya dan jalan kereta api. Mereka sedang bersiap-siap menyerang kota di
sekitarnya. Keadaan menjadi begitu kacau, dan jam malam diberlakukan di kotakota. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh agar menjauhkan diri dari
Darul Islam dan tetap setia kepada pemerintah yang sah. Namun demikian, seruan
tersebut tidak membantu pemerintahan daerah yang telah kacau tersebut.56
Setahun setelah peristiwa Daud Beureuh, muncullah peristiwa Pulot-Cot
Jeumpa pada bulan Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar.
Bulan Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan
peristiwa 11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman
tentara republik di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Sehingga

55
56

M Nur El Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureuh, h. 1


M. Nur Ibrahimy, h. 86-87

karena peristiwa Mar ini, tidak ada seorang pun yang mau menamai anaknya
dengan awalan atau akhiran Mar di Aceh. Tidak ada nama-nama seperti
Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, dan ini berlangsung dalam beberapa
tahun. Peristiwa ini masih berhubungan dengan peristiwa Daud Beureuh. Pada
suatu hari di bulan maret 1954, dalam rangka operasi militer mengejar
pemberontak. Sebuah iring-iringan truk militer melewati desa kecil. Sesampainya
di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak iring-ringan
militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak, tembak menembak terjadi
antara militer dengan pemberontak. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak,
sedang segerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua
kampung yang kemudian namanya menjadi tenar itu.57
Hari itu juga diadakan operasi besar-besaran dalam Kampung Pulot dan Cot
Jeumpa, dalam rangka mengejar pemberontak yang diduga keras bersembunyi di
sekitar kampung tersebut. Di sinilah mulainya sikap tentara yang sewenangwenang. Rakyat menjadi korban karena mereka tidak tahu menahu tentang para
pemberontak. Tentara yang tidak mendapatkan jawaban-jawaban mengenai
pemberontak menjadi marah, dan tentara menembakkan peluru senjatanya ke
arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Inilah awal mula perilaku tentara yang
semena-mena terhadap rakyat.
Peristiwa Pulot Cot Jeumpa, cepat tersiar ke seluruh pelosok Indonesia.
Selanjutnya kabinet mengirim menteri-menteri untuk mempelajari dari dekat
peristiwa tersebut. Dewan Keamanan Nasional ikut membicarakan, anggota
parlemen Sutarjo menganjurkan agar soal penyelesaian pemberontakan Darul

57

Al Chaidar, Aceh bersimbah Darah, h. 25-26

Islam diarahkan kepada putera Aceh sendiri, dan kepada para pemimpin
pemberontakan diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan baikbaik, artinya harus dilakukan penyelesaian secara damai dan bijaksana.58
Selanjutnya pada 13 April 1954, pemerintah memberi keterangan dalam rapat
paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa. Dari keterangan
pemerintah, diambil kesimpulan bahwa dalam penyelesaian peristiwa Daud
Beureuh ini pemerintah mengambil tindakan kekerasan senjata untuk mengatasi
para pemberontak yang memberontak dengan senjata terhadap pemerintah RI.
Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 1959, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dengan otonom yang luas, khususnya dalam urusan agama, adat dan
pendidikan, sebagai tonggak sejarah dari perkembangan masyarakat Aceh sejak
tahun 1950-an, yang diawali dengan pergolakan berdarah menuju ke zaman
pembaharuan dan zaman kemajuan.59
Untuk mencapai lahirnya propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebelumnya telah
dilakukan beberapa usaha untuk memulihkan keamanan di Aceh oleh pemerintah
pusat. Pada masa pemerintah Ali Sastroamidjojo dalam usahanya memulihkan
keamanan di Aceh telah memilih tindakan kekerasaan senjata dengan harapan
bahwa kaum pemberontak dapat ditumpas pada akhir tahun 1953 atau paling
lambat pada bulan Maret 1954. Ternyata sampai kabinet Ali jatuh pada tahun
1955 keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Setelah itu, kabinet Burhanuddin
Harahap, mencoba pemulihan keamanan dengan cara halus. Ia berusaha
melakukan kontak dengan para pemberontak, tetapi usaha tersebut tidak berhasil.
Bahkan pada tahun 1955, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengirim dua
58

A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan


Perjuangan Kemerdekaan, (Bulan Bintang: Jakarta 1985), h. 457-458
59
Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 177

kurirnya Abdullah Arif dan Hasbullah Daud untuk melakukan kontak dengan para
pemimpin pemberontak namun tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1957
Kolonel Sjamaun Gaharu Panglima KDMA (Komando Daerah Militer Aceh)
mengadakan kontak dengan pihak pemberontak, dan usaha tersebut berhasil.
Kemudian diantara pemimpin-pemimpin pemberontak terdapat suatu kesepakatan
yang kemudian terkenal dengan Ikrar Lam Teh, pada 8 April 1957. Atas dasar
Ikrar Lam Teh ini tercapai pula suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan
KDMA untuk menghentikan tembak menembak atau gencatan senjata. Gencatan
senjata ini berjalan sampai tahun 1959. Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 1959,
Dewan Revolusi mengadakan musyawarah dengan pemerintah RI yang dipimpin
oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, musyawarah pun berhasil dan
memutuskan sejak tanggal 26 Mei 1959, menyatakan bahwa daerah Swatantra
tingkat I Aceh dapat disebut Daerah Istimewa Aceh.60
Dari berbagai peristiwa, dapat dilihat bahwa pendirian yang kuat para tokoh
Aceh yang didukung oleh ulama dan masyarakatnya, untuk menuntut
keistimewaan Aceh akhirnya dapat dibuktikan oleh sejarah. Status keistimewaan
Aceh ini kemudian diinformasikan melalui UU No 18 tahun 1965 tentang
Pemerintahan Daerah di mana Aceh memperoleh keistimewaan di bidang agama,
adat dan pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1979 gagasan NAM
(Negara Aceh Merdeka) dimunculkan oleh tokoh yang berasal dari Tiro bernama
Dr. Hasan Tiro. Ia lahir di desa Tiro, dekat Lammeulo di Pidie. Pada masa
Belanda ia adalah salah seorang murid Daud Beureuh di madrasah Blang Paseh di

60

M. Nur El Ibrahimy, TGK M.Daud Beureuh, h. 172-175

Sigli, sedangkan pada masa pendudukan Jepang ia belajar di Perguruan Normal


Islam. Sesudah proklamasi ia berangkat ke Jogjakarta untuk belajar di fakultas
hukum Universitas Islam Indonesia. Ia kembali ke Aceh sebentar untuk bekerja
pada pemerintahan darurat Sjafruddin Prawiranegara. Kembali ke Jogjakarta, ia
menjadi salah seorang dari dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia, yang pada
tahun 1950 menerima beasiswa untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas
Columbia. Di Amerika Hasan Tiro bekerja pada dinas penerangan delegasi
Indonesia di PBB.61 Dia datang ke Aceh dari Amerika dan mengatakan akan
mendirikan NAM. Ada dugaan bahwa lahirnya kelompok Hasan Tiro, dengan ide
NAM, maupun kemudian munculnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang
sering disebut oleh pemerintah dan sebagian masyarakat Aceh waktu itu, terkait
dengan mulai hilangnya keistimewaan Aceh sebagai sebuah wilayah yang
otonom. Pemerintah pusat mengambil posisi tegas dengan lahirnya NAM yang
dianggap sebagai GPK. Mereka dihilangkan dan Dr. Hasan Tiro melarikan diri ke
luar negri. Selang 10 tahun kemudian (1987-1990), muncul kembali peristiwaperistiwa gangguan keamanan dengan munculnya kembali GPK-GPK pada tahun
itu.
Penumpasan dilakukan, berkaitan dengan keharusan adanya keamanan di
Aceh pada umumnya dan daerah industri untuk membangun dan mengeksplorasi
kekayaan alam, dan menjaga agar investasi asing masuk ke Aceh. Sejak itulah
Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh dari tahun 1990-1998.62

61

Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti 1995), h. 301
62
Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 37-38

BAB IV
REFERENDUM ACEH
Latar Belakang Referendum Aceh
Setelah Indonesia merdeka, Aceh masih terus menjadi tempat
kekerasaan, baik yang dilakukan oleh yang pro pemerintah maupun yang anti
pemerintah. Namun dapat dipastikan dalam hal ini, korban selalu berjatuhan
dari pihak rakyat sipil. Pada tahun 1953-1959 misalnya diperkirakan ratusan
rakyat menjadi korban kasus DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh di
Aceh. Kekerasan juga terjadi saat peristiwa Cumbok yang menyebabkan
banyak sekali Ulebalang yang diculik. Peristiwa Cumbok adalah kasus
pembunuhan terhadap uleebalang di Sigli, karena kaum uleebalang
berkeinginan mengembalikan kekuasaan Belanda di mana dalam masa
penjajahan Belanda di Aceh, mereka sangat diuntungkan oleh Belanda dan
melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Korban
kekerasaan di Aceh mencapai puncaknya adalah pada masa Orde Baru.63
Persoalan di Aceh dapat digolongkan dalam dua akar masalah, pertama adalah pemberlakuan Daerah
Operasi Militer ( DOM ) dan tindak kekerasan militer Orde Baru (Juli 1990-Agustus 1998) maupun sesudah DOM
(Agustus 1998-2000) serta tidak seriusnya pemerintahan untuk mengadili para pelaku tindak kekerasaan pada masa
DOM maupun pasca DOM.

Pada awal RI terbentuk, saat negara ini belum memiliki apa-apa, rakyat
Aceh melalui dukungan para ulama telah memberikan andil yang amat besar
dalam membantu kelangsungan hidup republik dengan menyumbang sejumlah

63

Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh,


(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003), h. 24-25

emas batangan dan bahkan bahu membahu membeli pesawat untuk


disumbangkan kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi pengorbanan rakyat
Aceh yang amat tulus kepada republik oleh sebagian masyarakat Aceh tidak
mendapat balasan, karena apa yang mereka inginkan untuk mendirikan
provinsi sendiri dengan status daerah istimewa dalam bidang agama, budaya
dan adat istiadat, serta pendidikan waktu itu tidak dikabulkan. Pemerintah
memilih menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara. Setelah rakyat Aceh
mengadakan perlawanan baru tuntutan tersebut dipenuhi. Ini adalah awal
kekecewaan dan kemarahan rakyat Aceh terhadap pemerintah, yang oleh
sebagian rakyat Aceh dianggap sebagai wujud perlakuan tidak adil dalam
bidang politik yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat Aceh.64
Setelah runtuh kekuasaan Orde Lama, dan digantikan dengan Orde Baru,
kemarahan rakyat Aceh semakin bertambah. Penyebabnya antara lain karena
pembangunan dalam bidang ekonomi yang membuka kesempatan luas bagi
penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Daerah Negara
(PMDN) untuk dilaksanakan di Aceh, ternyata belum banyak memberikan
manfaat bagi peningkatan sosial ekonomi rakyat Aceh, kekayaan alam Aceh
yang melimpah diekploitasi secara besar-besaran tetapi rakyat Aceh kurang
mendapatkan manfaatnya. Akibatnya sebagian besar rakyat Aceh tetap hidup
terbelakang dan bodoh. Hasil kekayaan alam yang begitu besar, yang diambil
dari bumi Aceh belum sepadan dengan apa yang diberikan kepada daerah
sehingga daerah tersebut belum memiliki dana yang cukup untuk membangun
Aceh sebagaimana yang mereka harapkan.
64

10-11

Musni Umar (ed), Aceh Win-Win Solution, (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002), h.

Kesempatan bagi rakyat Aceh untuk berusaha, dirasakan kurang banyak


diberikan, baik akses dalam bidang pekerjaan, permodalan maupun
peningkatan keahlian. Begitu pula penerimaan pegawai untuk mengisi
lowongan kerja yang diisi oleh orang-orang dari luar Aceh.
Selain itu kekecewaan-kekecewaan Aceh terhadap pemerintah pusat
adalah pemerintah pusat mengeksplorasi semua kekayaan yang dimiliki Aceh.
Ini terjadi sejak Orde Baru pada awal tahun 1970-an. Sebagaimana diketahui,
di Aceh Utara pada akhir 1960-an ditemukan gas alam di kawasan pemukiman
masyarakat Arun. Penemuan ini diteruskan dengan dibangunnya pusat-pusat
investasi besar berupa PT arun (1974), PT Pupuk Asean, AAF (ASEAN Aceh
Fertili Zer (1981), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) (1982), PT Kertas Kraft
Aceh (KKA-1985), dan sebuah MNC yakni Mobil Oil. Wilayah ini kemudian
dikemas dalam satu wilayah industri yang dinamakan ZILS (Zona Industri
Lhokseumawe).65
Tidak hanya itu, Aceh memang merupakan daerah modal seperti yang
disebut Bung Karno, disana terdapat pusat-pusat industri, seperti kabupaten
Aceh Timur (minyak tanah), Pidie (pabrik pupuk, korek api dan minyak
kelapa), Kabupaten Aceh Barat (tambang emas, pabrik minyak astiri, pabrik
minyak kelapa, industri kerajinan Rencong), Kabupaten Aceh Utara (gas alam,
pabrik kertas, pabrik gula dan industri petrokimia), dan kabupaten Aceh besar
(pabrik topi, rencong, keramik, tenun sarung).
Selain itu, hadirnya wilayah industri ini bukanlah tanpa meninggalkan
masalah, rakyat Aceh tetap menjadi pihak yang dirugikan, misalnya:

65

Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 44

Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah PT Arun pada 1972 memberikan
harga antara Rp. 10,00-180,00 per meter. Sementara PT AAF memberikan
harga Rp 300-350 per meter pada 1980. PT PIM memberikan harga antara
Rp 800,00-1200,00.
Sebagian masyarakat ditakut-takuti untuk menyerahkan tanah dengan
menggunakan pihak militer dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik
maupun non fisik.
Pengusiran penduduk asli Aceh akibat tanahnya digusur.
Eksploitasi pusat atas Daerah Istimewa Aceh.
Adanya kecemasan bagi entitas lokal terhadap program transmigrasi yang
dilakukan oleh pemerintah.
Akumulasi perasaan kecewa karena diperlakukan tidak adil, telah
mendorong sebagian rakyat Aceh tidak lagi mampu menahan marah, sehingga
terpaksa mengangkat senjata sebagai ungkapan protes mereka terhadap
pemerintah. Dalam perkembangannya, kemudian mereka mendirikan Angkatan
Gerakan Aceh Merdeka, sikap perlawanan dari sebagian rakyat Aceh tersebut
ditanggapi oleh pemerintah Orde Baru dengan pengiriman TNI ke Aceh untuk
memadamkan pemberontakan yang dianggap sebagai Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK).
Gerakan Aceh Merdeka sudah ada sejak 4 Desember 1976. Tetapi, ketika
itu, pertarungan antara anggota GAM dengan TNI hanya terjadi sebatas kedua
belah pihak yang bertikai. Artinya dampak negatifnya kepada rakyat sipil tidak
terlalu banyak. Akan tetapi baru pada tahun 1989, rakyat sipil merasakan
betapa menderitanya mereka akibat konflik GAM-TNI tersebut. Hal ini
berawal dari terjadinya perampasan 18 pucuk senjata anggota TNI yang sedang
melakukan program ABRI Masuk Desa (AMD) di kota Makmur, Aceh Utara.
Di tahun 1989 itu, seorang anggota Kopassus yang desertir berpangkat kopral
tiba-tiba muncul dan menyebut dirinya sebagai Panglima Perang GAM. Kopral
ini menyebut dirinya sebagai Robert. Robert inilah yang kemudian berhasil
mengkondisikan lahirnya DOM, di daerah Aceh yang sangat kaya akan gas
alam, hutan dan berbagai kandungan mineral lainnya. Gubernur Aceh saat itu
Ibrahim Hasan merasa terganggu akibat ulah GAM yang dimotori Robert
hingga ia melaporkan situasi daerahnya kepada Presiden Soeharto. Saat itu
juga presiden memerintahkan Panglima ABRI waktu itu Try Sutrisno agar
mengendalikan situasi Aceh. Hanya saja, saat diklarifikasikan DPR pada awal
Desember 1999, Try Sutrisno membantah, jika disebutkan di Aceh telah
diberlakukan DOM, yang ada hanya Operasi Jaring Merah untuk menumpas

Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka. Dalam forum itu, anggota DPR
sempat pula mempertanyakan, siapa sesungguhnya Robert dan tak seorang pun
petinggi militer Orde Baru itu menjelaskan.66 Operasi Jaring Merah ini hanya
terfokus di tiga daerah rawan konflik yaitu Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie,
karena diberlakukannya Operasi Jaring Merah tersebut maka Aceh di Sebut
Daerah Operasi Militer sejak itu mulai dikenal istilah DOM.
Dilihat dari segi politik kenapa diberlakukannya DOM di Aceh adalah
perpecahan dalam kubu TNI yang saat itu dipimpin oleh Jendral Beny
Moerdani di mana saat itu akan digantikan oleh Prabowo Subianto yang saat
itu menjadi menantu presiden Soeharto. Ketika akhirnya pemilihan Wakil
Presiden di mana Soeharto mencalonkan Sudharmono untuk menjadi Wapres
kemudian Beny mencalonkan Jaelani Naro yang saat itu menjabat sebagai
Ketua Umum PPP untuk menjadi Wapres akan tetapi pemilihan tersebut
akhirnya menetapkan bahwa Sudharmono menjadi Wapres dari sini pula awal
hubungan Soeharto dan Beny Moerdani Menjadi buruk. Kemudian Beny
Moerdani yang kecewa terhadap pemerintahan Soeharto saat itu secara diamdiam mendukung pasukan GAM yang bermarkas di Malaysia karena Prabowo
Subianto dikirim ke Aceh sebagai Kepala Kostrad pada periode 1989-1999.
keberadaannya di Aceh ini guna menekan Beny Moerdani dan beberapa faksi
militer yang tidak sejalan dengan Soeharto.67
Oleh karena kegiatan GAM di tanah Serambi Mekah terus meningkat
intensitasnya dan tampaknya mendapat dukungan serta simpati dari sebagian
masyarakat Aceh, untuk menghentikannya serta mencegah meluasnya
pengaruh GAM ke dalam masyarakat, TNI terpaksa memberlakukan Daerah
Operasi Militer di daerah tersebut.68
DOM dengan Operasi Jaring Merah di daerah Aceh telah diberlakukan
sejak tahun 1989, yang pada mulanya diperuntukkan mengamankan situasi
dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah sebagai GAM, yang
selanjutnya disebut GPK. Namun sejak operasi tersebut diberlakukan, ternyata
yang terjadi bukan hanya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang
begitu nyata, seperti tindak kekerasaan yang berlangsung itu dirasakan sendiri

66

Neta S. Pane, Sejarah dan Kemakmuran Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan
Impian, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), h. 172
67
Rahadi Wiratama Teguh, et.al. Supremasi Sipil, pelembagaan Politik dan Masalah
Integrasi Nasional: Masalah Krusial Konsolidasi Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 170-172
68
Musni Umar, Aceh Win-Win, h. 12

oleh masyarakat. DOM menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan


traumatik, sebab apapun ABRI cenderung bertindak semena-mena terhadap
rakyat Aceh yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GPK/GAM.69
Menjadikan suatu daerah menjadi DOM memang belum pasti
menyelesaikan masalah, apalagi mengingat daerah Aceh begitu kuat kultur
keagamaan

dan

adat

istiadatnya.

Seharusnya

untuk

menyelesaikan

permasalahan Aceh harus terlebih dahulu memanfaatkan jasa para ulama,


tokoh

adat

dan

pemerintah

setempat.

Apapun

alasannya,

akibat

diberlakukannya Operasi Jaring Merah (OJM) dan dijadikannya DOM di Aceh


telah menimbulkan pelanggaran hukum dan HAM.
Status

DOM

Pangab/Menhankam

di

Aceh

Jenderal

dicabut
TNI

pada

Wiranto

8
di

Agustus
masjid

1998

oleh

Baiturrahman

Lhokseumawe. Pencabutan ini disambut oleh masyarakat di beberapa tempat,


saat memperingati Maulid Nabi masyarakat melaksanakan sujud syukur.
Rakyat Aceh juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
dianggap telah ikut mencabut DOM.70 Akan tetapi pencabutan DOM ini baru
tahap awal. Rakyat Aceh masih harus berjuang lagi untuk menegakkan hukum
akibat pelanggaran HAM. Kasus-kasus harus diusut dan ditindak lanjuti
sampai tuntas. Selaku pimpinan ABRI, Wiranto memutuskan bahwa
keamanan Aceh sepenuhnya diserahkan kepada rakyat Aceh sendiri, yaitu
kepada para ulama, para tokoh masyarakat, para guru, pejabat pemerintah dan
seluruh lapisan masyarakat. Pangab harus meminta maaf kepada seluruh
masyarakat Aceh atas tingkah laku prajurit ABRI jika telah melukai hati
69

Al chaidar, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi


Militer di Aceh 1989-1998, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), h. 106
70
Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 199

rakyat Aceh selama mereka melaksanakan operasi penumpasan GPK di Aceh


sejak beberapa tahun.
Pasca pencabutan DOM, rakyat juga menuntut dampak yang
ditimbulkan oleh DOM. Rakyat Aceh dengan dukungan masyarakat
intelektualnya tidak pernah berhenti menuntut ditegakkannya hak-hak manusia
di Aceh ini. Pada masa Presiden Habibie, kepala negara tersebut
menyampaikan penyesalan sedalam-dalamnya atas pelanggaran hak asasi
manusia di beberapa daerah yang dilakukan oleh oknum petugas dalam
operasi menghadapi gerakan separatis. Ditetapkannya Aceh sebagai daerah
operasi militer adalah suatu keputusan politik. Karenanya pencabutan DOM
harus diikuti dengan pertanggungjawaban politik, hukum dan sosial ekonomi
dari pemerintah. Pertanggungjawaban politik yang dimaksud adalah
pemerintah harus mengakui bahwa operasi militer di Aceh itu salah, kemudian
mengeluarkan

daftar

orang-orang

yang

bertanggung

jawab

serta

mengumumkan langkah-langkah apa yang diambil pemerintah dengan


kesalahan itu. Akan tetapi, nyatanya pemerintah tidak melakukan pertanggung
jawaban politik tersebut baik hukum maupun sosial.71
Kemudian pasca pencabutan DOM hingga Desember 1998, karena tidak
adanya keseriusan pemerintah dalam menangani para pelanggar HAM, dan
kemudian pemerintah pusat kembali memasukkan ratusan pasukan ke Aceh
maka muncul tentang ide merdeka yang disosialisasikan oleh Gerakan Aceh
merdeka. Gagasan ini, akhirnya mendapat dukungan yang cukup besar dari
masyarakat Aceh terutama dari daerah-daerah bekas diberlakukannya DOM.
Gagasan GAM ini dilakukan dengan cara rapat-rapat akbar yang umumnya
mengundang banyak Teungku (ulama) yang merupakan penganut GAM.
Respon yang diberikan masyarakat cukup kuat.
Kemudian selain opsi merdeka, ada 3 macam aspirasi yang hidup dalam
masyarakat Aceh. Pertama merdeka, yakni lepas dari negara Indonesia dan
71

Al Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, h. 100-101

mendirikan negara Aceh yang berdaulat lazimnya seperti negara-negara lain di


dunia. Kedua referendum, yakni rakyat Aceh secara demokratis diberi pilihan,
merdeka atau tetap bagian dari dan hidup dalam negara Indonesia. Ketiga
otonomi khusus, yakni rakyat Aceh diberikan hak seluas-luasnya dan sesuai
dengan kehendak mereka mengatur dan mengurus dirinya, mengeksploitasi
dan mengolah sumber daya alam untuk kesejahteraan dan kemakmuran
mereka dan siapapun yang tinggal dan hidup di Aceh.72

Menuju Referendum Aceh


3 Februari 1999, gagasan referendum dimunculkan oleh Kongres
Mahasiswa Aceh Serantau. Referendum mereka artikan sebagai cara untuk
mengembalikan kedaulatan Aceh (Aceh Merdeka). Untuk sosialisasi gagasan
ini dibentuklah SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh), SIRA merupakan
salah satu lembaga gerakan sipil masyarakat Aceh yang berjuang
terlaksananya referendum opsi Merdeka di Aceh. Lembaga ini dideklarasikan
dalam sebuah pertemuan atau kongres yang melibatkan 106 lembaga pemuda,
mahasiswa, dan santri baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh. Pertemuan
itu diberi nama KOMPAS, atau Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh
Serantau yang dilaksanakan pada 31 Januari sampai 4 Februari 1999.73 Sejak
itu masyarakat mulai mengenal referendum. Gagasan ini kemudian tersebar di
level masyarakat, dan gerakan atas tuntutan terhadap dua opsi ini, yaitu
merdeka atau referendum semakin meluas dan mengakar tidak hanya sebagai

72
73

Musni Umar, Aceh Win-Win Solution, h. 5


Tempo, 3 April 2001

tuntutan semata akan tetapi mengalami pergeseran-pergeseran ke arah gerakan


yang sebenarnya.
Pada 8 November 1999 rakyat Aceh yang dikomandoi oleh SIRA
melakukan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) yang
dihadiri oleh sekitar 1,5 juta jiwa. Sebelumnya, tepatnya pada 14 September
1999, SIRA bersama dengan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)
meresmikan papan nama referendum yang isinya adalah dua opsi yaitu
merdeka atau tetap dalam NKRI dan saat itu Gus Dur pun hadir,74 dan
kemudian Gus Dur meresmikan papan nama tersebut, dan ikut hadir juga
Amien Rais. Kedua tokoh tersebut pada tahun 1999 terpilih menjadi tokoh
sentral politik di Indonesia, Abdurrahman Wahid menjadi presiden sedangkan
Amien Rais menjadi Ketua MPR. Inilah problema penyelesaian Aceh, di satu
sisi, Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur pada waktu itu
secara pribadi meresmikan dan menyetujui referendum dengan opsi merdeka,
akan tetapi pada saat ia menjabat sebagai presiden RI justru ia tidak
menyepakati opsi merdeka untuk perjuangan dan penyelesaian kasus Aceh.

C. Kebijakan Politik Gus Dur Terhadap Referendum Aceh


Menyelesaikan masalah Aceh yang paling rumit adalah persoalan
persepsi antara lokal dan pusat. Masyarakat lokal umumnya memahami bahwa
penyelesaian masalah Aceh dapat dilakukan dengan cara referendum dengan
mengikutsertakan opsi merdeka di dalamnya. K.H. Abdurrahman Wahid yang
saat itu menjabat sebagai presiden RI memberi 3 opsi mengenai referendum
ini, yaitu (1) otonomi total, (2) otonomi luas dan (3) otonomi khusus.
74

Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz. MA. Tanggal 14 Mei 2008, di
Gedung DPR-RI lantai 16

Sementara masyarakat lokal sebagaimana yang disuarakan oleh LSM,


mahasiswa, ulama dan masyarakat secara luas menghendaki adanya
referendum dengan memasukkan opsi merdeka di dalamnya.75
Antogonisme kepentingan antara pusat dan lokal, masih menjadi
perdebatan. Pihak GAM bahkan dengan tegas menolak untuk mengakui
pemerintah pusat dan dengan jelas menghendaki merdeka dengan caranya
sendiri. Pemerintah harus berusaha mengadakan perundingan dengan pihak
GAM guna mencapai kesepakatan. Bila perundingan gagal, maka sangat sulit
untuk menyelesaikan konflik Aceh. Oleh karena itu pemerintah harus dapat
memberi jaminan agar negosiasi mengenai perbedaan pandangan terutama
dalam persoalan penyelesaian Aceh bisa diselesaikan. Demikian pula dari
kelompok lokal juga harus melakukan negoisasi dengan membawa konsep dan
tawaran-tawaran untuk dialog guna menyelesaikan persoalan Aceh secara
menyeluruh terutama mengenai status tuntutan referendum Aceh dengan opsi
merdeka di dalamnya.
Bila pemerintah pusat gagal meyakinkan masyarakat lokal bahwa
pemerintah pusat sungguh-sungguh hendak menyelesaikan masalah Aceh,
maka seluruh tawaran solusi di atas tidak dapat dijalankan tanpa ada
kesepakatan dengan masyarakat lokal sebelumnya. Solusi di atas bertujuan
untuk segera mengakhiri pertentangan-pertentangan yang terjadi antara
pemerintah pusat, masyarakat lokal dan GAM. Tuntutan referendum ini oleh
pemerintah ditolak dengan tegas. Pemerintah lebih memilih penyelesaian
konflik di Aceh melalui cara-cara damai, lewat dialog dan perundingan.

75

Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 62-63

Namun aksi kekerasan baik oleh milisi GAM maupun aparat keamanan RI
terus berlangsung. Korban jiwa di kalangan rakyat sipil tidak terhitung
jumlahnya. Pemerintah tidak mungkin mengabulkan tuntutan referendum
rakyat Aceh, terutama jika terdapat opsi merdeka. MPR telah mengamanatkan
dan merekomendasikan agar pemerintah memelihara keutuhan dan kesatuan
wilayah RI setelah kehilangan Timor Timur. Penyelesaian konflik vertikal dan
separatisme harus dilakukan dengan semangat kesatuan dan persatuan, bukan
perpecahan dan fragmentasi negara.76
Apapun keputusan pemerintah dalam menangani konflik di Aceh,
referendum merupakan solusi paling akhir setelah berbagai upaya mengalami
kegagalan, sebelumnya harus diupayakan cara damai, dengan cara
memperlakukan rakyat Aceh secara adil. Apabila perbaikan perlakuan telah
diterima, maka menurut hukum, negara diberi wewenang menyelesaikan
separatisme secara represif.
Tuntutan referendum di Aceh dengan opsi merdeka merupakan
akumulasi dari kekecewaan dan kemarahan rakyat terhadap pemerintah pusat.
Karenanya dalam menyelesaikan kemelut Aceh, ada beberapa alternatif yang
perlu ditempuh oleh pemerintah pusat. Dalam pernyataan politik, misalnya,
Presiden RI Abdurrahman Wahid dengan tegas memperlihatkan sikap yang
lebih jelas mengenai masalah separatisme. Antara lain dikatakan, Langkahlangkah komprehensif untuk menyelesaikan masalah Aceh yang terus
dilakukan pemerintah dalam kerangka solusi damai, dalam bingkai NKRI, dan
lebih mengutamakan pendekatan dialog dan komunikasi politik hendaknya

76

Musni Umar, Aceh Win-Win Solution, h. 98-99

terus dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, setiap upaya yang menyimpang
dari semangat dan komitmen ini, apalagi bila berbentuk suatu gerakan untuk
memisahkan diri NKRI tentu akan dihentikan, serta diberikan tindakan tegas
sesuai konstitusi, amanah MPR dan tatanan hukum yang berlaku.77
Pemilihan keputusan referendum tidak dapat diambil sendiri oleh
presiden.

Kewenangan

mengeluarkan

kebijakan

kewilayahan,

yakni

melepaskan salah satu wilayah negara hukum bukan hanya menjadi wewenang
presiden semata. Dalam mengambil keputusan tentang pemberian referendum
di Aceh, presiden tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus meminta
persetujuan MPR. Dalam era reformasi di mana MPR bersidang setiap tahun,
permintaan persetujuan bukan hal yang sulit. Persetujuan harus diberikan oleh
MPR secara kelembagaan bukan oleh pimpinan MPR beserta pimpinan
fraksi-fraksi.78
Adapun langkah terbaik untuk menyelesaikan persoalan Aceh harus
dibicarakan secara nasional. Misalnya dibahas dan diputuskan dalam sidang
pleno DPR. Paling tidak ada 3 persoalan yang perlu dicermati sebelum
referendum dilakukan. Pertama, mempertegas posisi Aceh dalam struktur
sistem sosial Indonesia yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Kedua,
mencari dasar hukum yang benar untuk menandai boleh atau tidaknya
dilakukan referendum di Aceh. Ketiga, dalam memberikan opsi untuk

77

Budiarto Danudjaja, Hari-Hari Indonesia Gus Dur, (Jogjakarta: Galang Press,1999), h.

78

Musni Umar, Aceh Win-Win Solution, h. 101-102

151-152

penyelesaian kasus Aceh harus berdasarkan perundang-undangan yang


berlaku dan disetujui oleh DPR.79
Pengalaman pahit dalam kasus Timor Timur tidak boleh terulang
kembali dalam penyelesaian kemelut Aceh. Pernyataan Gus Dur sewaktu
masih menjabat sebagai presiden RI yang menyatakan setuju dilaksanakannya
referendum Aceh sebenarnya hanya merupakan pendapat pribadi. Namun
karena Gus Dur adalah seorang presiden RI, maka pendapatnya akan selalu
ditagih oleh rakyat Aceh meski diucapkan selaku pribadi dan tidak mewakili
pemerintah atau negara. Pernyataan Gus Dur soal referendum tersebut dapat
menjadi suatu keputusan negara jika ditempuh prosedur konstitusional, Yakni
meminta persetujuan tidak cukup dilakukan melalui konsultasi dengan
pimpinan MPR dan fraksi-fraksi, tetapi harus dengan seluruh anggota MPR.
Jadi, jalan menuju referendum di Aceh masih sangat panjang dan kalau pun itu
ditempuh merupakan upaya paling akhir manakala upaya lainnya tidak dapat
menyelesaikan kemelut Aceh.
Usaha menangani kasus Aceh ini telah tertuang dalam TAP MPR yang
berisikan, pemerintah akan mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah
NKRI dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya
masyarakat Aceh, melalui penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai daerah
otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang dan menyelesaikan kasus
Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan

79

Dody S. Singgih, Memaknai Referendum Secara Sosiologi, Suara Pembaruan 5


Desember 1999

pengadilan yang jujur bagi pelanggar HAM baik selama pemberlakuan DOM
maupun pasca DOM.80
Pro dan kontra atas pernyataan Presiden Gus Dur pada 3 November 1999
ketika ia ditanya wartawan di Phnom Penh, Kampuchia, Gus Dur
mengatakan81, kalau Timor Timur boleh diadakan referendum kenapa di
Aceh tidak boleh?. Walaupun diselenggarakan referendum Aceh tidak akan
lepas dari Indonesia karena Aceh ikut mendirikan RI. Gus Dur juga
mengatakan Aceh tidak akan meninggalkan Indonesia. Kalaupun ada
kehendak referendum itu wajar-wajar saja. Referendum kenapa tidak,
keputusan akhir dari suara itu bagaimana nanti harus dihormati, tetapi ia yakin
Aceh tidak akan lepas. Gus Dur sudah menyatakan pro referendum, walaupun
ada referendum di Tim-Tim, mengapa Aceh tidak boleh itukan tidak adil,
tegas Gus Dur. Tentang mekanisme referendum, Gus Dur mengatakan masih
akan dibicarakan lagi dengan pemerintah daerah. Mengenai isu adanya
tandatangan sekitar dua juta orang pro referendum, Gus Dur mengatakan:itu
kan belum separuh rakyat Aceh, tetapi silahkan saja, itu adalah urusan orang
Aceh. Gus Dur juga mengatakan kepada wartawan, bahwa ia menginginkan
referendum Aceh karena sebelumnya beberapa pimpinan sipil dan militer
setempat telah berbuat kesalahan pada masyarakat Aceh.82 Ucapan Gus Dur
tersebut dianggap bahwa pusat membuka lebar pintu keluar bagi seluruh
provinsi yang masih tergabung dalam bentuk republik kesatuan, dengan ini
akan mengakibatkan bagi pecahnya negara.83

80
81
82
83

TAP MPR RI dan GBHN, Hasil Sidang Umum MPR RI 1999


Kompas, 9 November 1999
Kompas, 9 November 1999
Rahadi Teguh Wiratama, et.al, Supremasi Sipil, h. 122

Menurut Muchtar Aziz anggota Dewan saat itu sekaligus selaku wakil
ketua peduli Aceh, dan sekarang menjabat sebagai anggota MPR periode
2004-2009 mengatakan Gus Dur mengemukakan bahwa ia menyetujui adanya
referendum di Aceh akan tetapi itu belum pasti di dalamnya opsi merdeka
mungkin saja hanya pemberlakuan otonomi khusus atau istimewa itu belum
jelas.84
Sebagai seorang Presiden Gus Dur terus mengadakan pertemuan dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat Aceh dalam usahanya untuk menegoisasikan
suatu penyelesaian. Sayang sekali bagi presiden ini, tidaklah mudah untuk
mencapai kemajuan mengenai penyelesaian masalah Aceh. Memang masalah
konflik separatis di mana saja di dunia ini selalu merupakan masalah yang
sulit dipecahkan. Walaupun Gus Dur menyatakan rasa optimisme bahwa ia
akan menyelesaikan masalah Aceh dengan cepat, tapi kenyataannya itu tidak
terbukti. Prioritas utamanya adalah mencoba membujuk rakyat Aceh untuk
menaruh kepercayaan kepada pemerintah dan memberi waktu bagi
pemerintah.85
Salah satu usaha Gus Dur dalam menangani kasus Aceh adalah
melakukan perundingan damai dengan GAM. Pada 9 Desember 1999, HDC
mampu mengajak pemerintah RI-GAM menandatangani Cessation of
Hostilities Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan) sebanyak enam
halaman kuarto di markas HDC Jenewa, Swiss.86 Perundingan itu adalah
perundingan pertama di Davos, Swiss, dan menghasilkan jeda kemanusiaan,
84

Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di
Gedung DPR-RI, lantai 16
85
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid,
(Jogjakarta: LKIS, 2001), h. 362
86
Sinar Harapan, 11 Juli 2000

yang berlangsung pada 2 Juni-2 September 2000. Indonesia diwakili Menteri


Luar Negeri Hasan Wirajuda sementara GAM diwakili Zaini Abdullah,
Menteri Kesehatan GAM.87 RI dan GAM menandatangani dokumen
sementara yang berisi GAM dan RI setuju untuk mentransformasi perjuangan
GAM dari kekuatan bersenjata menjadi perjuangan politik. Perundingan
tersebut difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC).
Dalam menghadapi tuntutan mengenai diselenggarakan referendum
dalam hitungan minggu, Gus Dur mencoba mengulur waktu. Dengan berbuat
demikian ia masuk ke dalam suatu pola sikap yang merugikan posisinya
sebagai presiden. Sebagaimana telah dipelajari dan juga dipraktekkan selama
masa Soeharto, Gus Dur sebagai presiden mencoba mengelak sikap dan
pernyataan-pernyataannya lebih didorong oleh tuntutan sementara dari
manuver taktiknya untuk dapat bertahan. Pada saat yang sama, ia berulangulang tak bisa menjelaskan apa yang tengah dikerjakannya. Ia mengelak dari
masalah dan sebaliknya menyatakan dukungannya bagi dilaksanaannya
referendum adalah pendapat pribadinya sendiri. Ia menjelaskan bahwa apa
yang ada dalam benaknya saat itu bukanlah suatu referendum mengenai
kemerdekaan tetapi mengenai bentuk-bentuk otonomi. Motifnya adalah
mencoba menarik rakyat Aceh untuk kembali dari tepi konflik dengan pihak
militer Indonesia. Sayang sekali sikapnya yang berputar-putar sekitar masalah
ini yang sebenarnya didasari oleh niat baik, hanya akan memperlemah
kredibilitasnya saja. Namun demikian, ia mampu mempertahankan cita-cita
untuk mencapai penyelesaian lewat perundingan.
87

Moh. Sobary et.al, Gus Dur di Istana Rakyat (Catatan Tahun Pertama), (Jakarta:
LKBN Antara & Bright Communication, 2000), h. 257

Reaksi dan Implikasi


Munculnya referendum Aceh, menimbulkan berbagai reaksi yang
bermacam-macam dari berbagai kalangan maupun dari berbagai organisasi.
Adapun organisasi tersebut adalah:
Rabithah Taliban, organisasi ini lahir bermula dari diselenggarakannya
musyawarah para santri dayah (pesantren) di Banda Aceh 4 April 1999.
Dalam musyawarah tersebut mereka mengeluarkan keputusan mendukung
pelaksanaan referendum. Taliban memutuskan ikut bersama kalangan
masyarakat

Aceh

yang

mendukung

penyelenggaraan

referendum,

nampaknya Taliban termasuk yang mempercayai anggapan bahwa


kemerdekaan Aceh bukan tidak mungkin sebagai hal yang sudah melekat
dengan

aspirasi

masyarakat

Aceh.

Dukungan

Taliban

terhadap

pelaksanaan referendum Aceh, sebagaimana dideklarasikan bersama


dalam pertemuan para santri dayah April 1999, untuk itu Taliban cukup
intensif terlibat dalam gerakan mendukung referendum Aceh.
Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), SMUR berdiri pada 18 Maret
1998, SMUR ikut mendukung digulirkannya ide pelaksanaan referendum
Aceh.

Mereka

pun

ikut

memprakarsai

penyelenggaraan

kongres

mahasiswa dan pemuda Aceh Serantau di Banda Aceh pada tanggal 31


Januari- 4 Februari 1999. Kongres dihadiri 30 peserta dari dan luar Aceh
yang

terdiri

atas

aktivis

mahasiswa,

LSM

dan

santri.

Pada

perkembangannya SMUR termasuk dalam kelompok mahasiswa yang


menyerukan penentuan nasib sendiri melalui referendum di bawah

pengawasan PBB atau lembaga independen internasional. Sebagai solusi


untuk mengatasi masalah krusial di Aceh. Padahal, pihak yang
menggulirkan ide pelaksanaan referendum di Aceh muncul dari kalangan
pejuang GAM, menyusul keberhasilan jajak pendapat di Tim-Tim pada
Agustus 1999. Artinya, ide referendum Aceh sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari aspirasi yang berkembang di berbagai kelompok yang
menginginkan Aceh merdeka dari Indonesia.
Isu referendum berkembang pertama kali dalam sebuah poster pada
demonstrasi mahasiswa, yang diinspirasi oleh referendum di Tim-Tim, tetapi
kemudian diekspos lebih jauh dengan diselenggarakan jajak pendapat oleh
Forlinka, sebuah lembaga yang dikelola oleh para dosen Unsyiah, hasilnya
82,6% mahasiswa dan kaum muda menghendaki referendum. Walaupun jajak
pendapat ini lebih bersifat politik daripada akademik justru karena itu telah
menjadi gerakan, sehingga muncul dalam setiap pertemuan, bahkan kemudian
puncaknya adalah para pertemuan akbar yang diselenggarakan SIRA. Akhirnya
masyarakat pedalaman yang selama ini apatis akhirnya ikut mengumandangkan
kata referendum, yang tidak lain diartikan sebagai kemerdekaan, sebab dalam
referendum yang mereka inginkan adalah kemerdekaan itulah opsi utamanya.
Reaksi juga dimunculkan oleh Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud
yang menyatakan mendukung referendum dan akan menandatangani
komitmen SU-MPR Aceh di masjid raya Baiturrahman.88
Jaksa Agung saat itu yaitu Marzuki Darusman meminta agar DPR jangan
terburu-buru menolak tuntutan referendum. Ia menganjurkan agar pemerintah
mengambil langkah-langkah untuk menggelar dialog yang lebih efektif dan
meminta agar DPR tidak terlalu cepat menolak referendum. Pemerintah dan
DPR harus dapat menciptakan suasana dialog dengan seluruh elemen
masyarakat Aceh.89

88
89

Indomedia, 11 November 1999


Indomedia, 26 November 1999

Reaksi pun dimunculkan oleh para mahasiswa dan warga Aceh se-Jawa.
Mereka melakukan demonstrasi di gedung DPR/MPR guna menuntut
referendum di Aceh. Massa yang terhimpun dalam forum Persatuan
Komunikasi Rakyat Aceh (FOPKRA) ini sempat mengibar-ngibarkan spanduk
dan poster bertuliskan referendum di tiang bendera di halaman gedung. Selain
menuntut referendum mereka juga mendesak agar pemerintah menghukum
para pelanggar HAM di Aceh. Mereka juga mengatakan reeferendum
merupakan harga mati yang tidak bisa diganti dengan opsi lain. Tuntutan
referendum harus dipenuhi, apakah nanti merdeka, membentuk negara federal
atau otonomi khusus, yang jelas mereka menuntut agar referendum harus
berjalan dulu.90
Di Aceh, aparat kepolisian resort Aceh Besar dibantu pasukan brimob,
membubarkan apel siaga pejuang referendum Aceh di halaman gedung DPRD
Aceh. Petugas mengambil sejumlah bendera referendum dan meminta para
peserta apel tersebut meninggalkan halaman dewan. Upacara peringatan
setahun perjuangan referendum, semula sudah mendapat persetujuan dari
pimpinan dewan yang bernegoisasi dengan panitia penyelenggara. Akan tetapi
mereka dibubarkan karena mereka menaikkan bendera referendum di tiang
utama karena perjanjiannya mereka boleh menaikkan bendera referendum
akan tetapi bukan di tiang utama.91
Ribuan massa yang menuntut referendum berlaku anarkis di Meulaboh,
Aceh Barat. Mereka membakar gedung pemerintah yakni kantor Bupati Aceh
Barat, kantor Bappeda, kantor DPRD setempat dan kantor meteorologi serta
90
91

Kompas, 26 November 1999


Serambi Indonesia, 4 Februari 2000

mereka membebaskan sekitar 60 tahanan. Bupati Aceh Barat, Nasruddin MS,


mengatakan amuk massa tersebut pertama melakukan pembakaran kantor
DPRD Aceh Barat. Sedangkan Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) I
Bukit Barisan, Letkol Infantri Nurdin Sulistyo, mengatakan pengunjuk rasa
yang terdiri dari pemuda dan masyarakat diperkirakan mencapai 5000 orang.
Mereka, pada awalnya mendatangi gedung DPRD Tingkat II Aceh Barat di
Meulaboh untuk menyampaikan agar DPRD menandatangani pernyataan
referendum. Ketua DPRD Aceh Barat, Sofyan Sawang dan pimpinan lainnya,
menolak permintaan massa tersebut. Penolakan itu menimbulkan kemarahan
warga yang kemudian mulai membakar gedung DPRD. Selain itu peristiwa
tersebut menyebabkan kerusakan kantor Bupati Nasruddin dan sebagian besar
dokumen yang ada di kantor tersebut hangus terbakar.92
Implikasinya adalah rusaknya fasilitas pemerintah maupun fasilitas
umum lainnya yang meyebabkan kurangnya kinerja pemerintah atau pun
masyarakat dalam melakukan aktivitasnya.
Reaksi pun dimunculkan bukan hanya di wilayah Aceh saja, melainkan
juga di ibukota Jakarta. TNI pun ternyata mendukung adanya referendum di
Aceh, hal ini mungkin dilakukan hanya untuk menambah kacau situasi di
Aceh karena selama ini diketahui bahwa awal mula merebaknya isu
referendum ini adalah dari pemberlakuan DOM yang dikomandoi oleh TNI.93
Panitia Khusus DPR tentang Aceh mengusulkan agar MPR membahas
referendum dalam sidang panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR. Menurut Wakil
Ketua Pansus, Aly Yahya dari Partai Golkar, referendum ini diharapkan bisa
92

Republika, 3 November 1999


Wawancara Langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di
Gedung DPR-RI lantai 16
93

menjadi salah satu langkah awal penyelesaian Aceh. Ini salah satu hasil
kesimpulan rapat. Pada rapat Pansus, semua wakil masyarakat Aceh, kecuali
Kapolda bersikap sama. Mereka berpendapat satu-satunya cara untuk
menyelesaikan kasus Aceh saat ini hanya melalui referendum. Pada bagian
lain, Pansus DPR mengakui bahwa referendum sudah menjadi kehendak
rakyat Aceh. Dalam hasil rapat Pansus ini dihasilkanlah sepuluh rekomendasi
pansus Aceh, yang isinya antara lain DPR mendesak untuk secepatnya
membangun dan merehabilitasi fasilitas umum di Aceh, seperti tempat ibadah
dan sekolah, selain itu pemerintah perlu memberaikan kompensasi material
dan spiritual kepada korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh,
termasuk kepada keluarga yang ditinggalkan. Pansus Aceh juga mendesak
pemerintah untuk segera mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang
terjadi di Serambi Mekah lewat pengadilan koneksitas, baik sebelum maupun
setelah pencabutan daerah operasi militer (DOM).94 Akan tetapi, semua itu
sepertinya tidak membuahkan hasil apa-apa setelah beberapa lama gejolak di
Aceh masih terjadi.95
Ketika anggota Pansus melakukan rapat kerja dengan berbagai tokoh
Aceh, ratusan mahasiswa, masyarakat dan pemuda Aceh dari berbagai kota di
pulau Jawa menggelar aksi di balkon gedung DPR. Massa ini membawa
berbagai spanduk dan pamplet yang semuanya menuntut pelaksanaan
referendum di Aceh. Ketua DPR saat itu Akbar Tanjung, menemui
demonstran tersebut. Sayangnya dialog berakhir ricuh setelah sikap Akbar
Tanjung ini ternyata dinilai tak memuaskan para demonstran. Ketika didesak
94

http//www.depan.go.id
Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di
Gedung DPR-RI, lantai 16
95

bagaimana sikap pribadi Akbar tentang referendum, Ketua Umum Partai


Golkar ini tidak memberi jawaban lugas. Sebelumnya salah seorang peserta
demonstran menanyakan bagaimana sikap dewan tentang tuntutan referendum
rakyat Aceh, tentang hal ini Akbar mengaku tidak bisa menjawab
mengatasnamakan DPR. Ia meminta para demonstran menunggu hasil
kesimpulan Pansus DPR. Tentang pernyataan Gus Dur yang sudah setuju
referendum Akbar menegaskan tidak tahu menahu mengenai masalah ini.
Pernyataan Presiden, menurutnya tidak pernah dikonsultasikan dengan
Dewan.96 Gus Dur pun berulang kali mengatakan ia mendukung referendum
Aceh akan tetapi di dalamnya dengan opsi otonomi yang luas, bukan merdeka.
Yang dimaksudkan dengan Otonomi yang luas adalah dengan syarat
melaksanakan syariat Islam dengan pengecualian bagi mereka yang tidak
beragama Islam.97
Presiden Abdurrahman Wahid mendorong pluralisme dan keterbukaan,
ia mengatakan bahwa rakyat Aceh harus diberikan referendum seperti di TimTim, namun kemudian ia menegaskan bahwa pilihan yang disediakan tidak
termasuk pemisahan diri dari Indonesia.98
Para petinggi Indonesia, termasuk presiden Gus Dur tidak bersedia
mengundang rakyat Aceh untuk memilih masa depannya dalam arti mau
merdeka

atau

tidak.

Menurut

penjelasan

presiden,

pilihan

Aceh

dimaksudkannya hanya menyangkut mau atau tidaknya diterapkannya hukum


Islam di wilayah tersebut. Kasus ini mencerminkan kecenderungan presiden

96

Republika, 30 November 1999


Republika, 29 November 1999
98
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2005), h. 671, Penterjemah: Satrio Wahono et.al
97

untuk melontarkan pernyataan secara spontan, tanpa persiapan, yang


kemudian harus dikoreksi atau dijelaskan lagi. Semakin sering Gus Dur
berubah pikiran atau berganti pernyataan, semakin sedikit orang yang akan
mempercayai apa yang dikatakannya termasuk janjinya. Kalau proses
legitimasi ini dibiarkan, akan menimbulkan kesan kesimpangsiuran di pusat
yang mudah dijadikan alasan lagi di daerah-daerah kenapa mereka harus
merdeka.99

99

Donald K. Emmerson (ed), Indonesia Beyond Soeharto, Negara, Ekonomi,


Masyarakat, Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, bekerjasama dengan The Asia
Foundation Indonesia 2001), h. 659-660

BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan dalam karya ini, maka kesimpulan
dari penulis sebagai berikut:
1. Latar belakang munculnya ide referendum Aceh adalah kekecewaan
masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat yang berawal dari pengingkaran
janji oleh Presiden Soekarno untuk menjalankan syariat Islam di Aceh.
Kemudian berlanjut pada masa Soeharto, dimana pada masa Orde Baru ini
pemerintah mengeksploitasi secara besar-besaran kekayaan alam Aceh akan
tetapi pembagiannya tidak merata ke seluruh wilayah Aceh, karena itu Aceh
menjadi wilayah yang terbelakang. Pada masa Orde Baru ini juga
diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) dimana operasi ini
diperuntukkan menumpas gerakan-gerakan pengacau keamanan yang ada di
Aceh. Akan tetapi, yang menjadi korban justru rakyat yang tidak bersalah,
selain itu banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Karena
itu muncul ide merdeka dan referendum yang berisikan merdeka atau tetap
bergabung dalam NKRI.
2. Ide referendum tercetus atas Kongres Mahasiswa Aceh Serantau untuk
mengembalikan kedaulatan Aceh. Keseriusan Aceh untuk menuntut adanya
referendum terlihat dengan pembentukan Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA), dan juga Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR).
Isi dari SU MPR tersebut adalah tetap bergabung dengan Indonesia atau
berpisah dari Indonesia. Pada saat SU MPR tersebut Gus Dur hadir yang
kemudian meresmikan papan referendum tersebut. Inilah yang menyebabkan

masyarakat Aceh mengira bahwa Gus Dur menyetujui adanya referendum di


Aceh.
3. Kebijakan politik Gus Dur dalam menghadapi tuntutan referendum Aceh ini
adalah melaksanakan dialog dengan cara aman dan damai dan referendum
merupakan pilihan terakhir dalam penyelesaian masalah Aceh tersebut.
Pernyataan Gus Dur pada awal kepemimpinannya merupakan sebuah
pernyataan

pribadi

bukanlah

suatu

kebijakan

poiltik.

Adapun

bila

dilaksanakannya suatu referendum di Aceh, merdeka bukanlah opsi pilihan


yang ada melainkan hanya opsi otonomi khusus atau istimewa. Selain itu
Presiden Gus Dur juga berhasil mengadakan perundingan dengan GAM yang
menghasilkan Jeda Kemanusiaan.
4. Reaksi terhadap referendum Aceh ini muncul dengan ide beragam. Beberapa
organisasi mendukung dengan adanya referendum, organisasi tersebut antara
lain adalah Rabithah Taliban dan Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat
(SMUR). Selain itu, reaksi pun ditimbulkan melalui demonstrasi-demonstrasi
baik di Aceh sendiri maupun di ibukota Jakarta, kebanyakan dari demonstrasi
tersebut mendukung untuk diadakannya referendum di Aceh. Implikasi dari
demonstrasi tersebut adalah kinerja pemerintahan menjadi tidak stabil.
Demonstrasi-demonstrasi

tersebut

mengakibatkan

banyaknya

fasilitas

pemerintah maupun fasilitas umum lainnya menjadi rusak.


B. Saran-Saran
Selama melakukan penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui kendala
karena kurangnya data atau informasi. Di skripsi ini penulis hanya mencantumkan
data-data dari buku, surat kabar dan dokumentasi. Kekurangan dari skripsi ini
salah satunya adalah kurang data melalui wawancara para tokoh yang
menyaksikan langsung peristiwa tersebut karena dalam skripsi ini penulis hanya
mewawancarai kepada satu tokoh saja. Untuk itu bagi mahasiswa lain yang ingin

meneliti mengenai topik ini disarankan agar melakukan wawancara guna


melengkapi data yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (dkk). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara.
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2004
----------- Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV Rajawali, 1983
Adan Yusuf. Hasanuddin. Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh,
Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003
Al chaidar. Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah
Operasi Militer di Aceh 1989-1998. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998
Alaena, Badrun. NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja. Jogjakarta: Tiara
Wacana, 2000.
Azra, Azyumardi. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan,
2000
Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman
Wahid, Jogjakarta: LKIS
Danudjaja, Budiarto. Hari-Hari Indonesia Gus Dur, Jogjakarta: Galang
Press,1999
El-Ibrahimy, M. Nur. TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di
Aceh. Jakarta: Gunung Agung 1982
Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990
Emmerson K, Donald. (ed). Indonesia Beyond Soeharto, Negara, Ekonomi,
Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, bekerjasama
dengan The Asia Foundation Indonesia 2001

Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto.


Jakarta: LP3ES, 2005
Hardi. Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya.
Jakarta: Cita Panca Serangkai 1993
Hasjmy, A. Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan
Perjuangan Kemerdekaan. Bulan Bintang: Jakarta 1985
Husin, Zulkifli et,al. Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Masyarakat
Nelayan di Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala
dan Jakarta
Hurgronje, Snouck. Aceh dan Adat Istiadat. Jakarta: INIS 1996
Ida, Laode. Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta: Raja
Grafindo 1999
Incres, Tim. Beyond The Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus
Dur. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000
Ismail, Faisal. Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta: Proyek
peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang
Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Depag RI, 2004
Kencana, Inu et.al. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh. Jakarta: Balai Pustaka, 1986
----------- Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia 2006
Manning, Chriss dan Van Diermen, Peter. Indonesia Di Tengah Transisi: AspekAspek Sosial dari Reformasi dan Krisis. Jogjakarta: LKIS, 2000

Nata, Abudin. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2005
Profil Provinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Yayasan
Bhakti Wawasan Nusantara Bekerjasama dengan Majalah TELSTRAStrategic Review dan PT Intermasa, 1992
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional
Indonesia: jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka 1993
Pane S, Neta. Sejarah dan Kemakmuran Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan
dan Impian, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001
Rakhmawati, Ira. Surat Terbuka Kepada Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bang
Akbar Dengan Elite Politik Lainnya: Dari Anak Bangsa. Jakarta: Bina
pariwara, 2001
Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2005
Sjamsuddin, Nazaruddin. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam
Aceh. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1990
Setiawan, B. dkk. Ensiklopedi Nasional Indonesia: jilid I. Jakarta: Delta
Pamungkas 2004
Suaedy, Ahmad dan Abdalla, Ulil Abshar (ed). Gila Gus Dur: Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid. Jogjakarta: LKIS 2000
Shobron, Sudarno. Muhammadiyah dan NU Dalam Pentas Politik Nasional.
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003
Suny, Ismail. Bunga Rampai Tentang Aceh. Jakarta: Bhatara Karya Aksara 1980

Sihbudi, Riza et.al. Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Bandung: Mizan
2001
Singgih S, Dody. Memaknai Referendum Secara Sosiologi, Suara Pembaruan 5
Desember 1999
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 2001
Umar, Musni, ed. Aceh Win-Win Solution, Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002
Van Dijk, Cornelis. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti 1995
Wahid, Abdurrahman. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama
Era Lengser. Jogjakarta: LKIS, 1999
---------- Prisma Pemikiran Gus Dur. Jogjakarta: LKIS, 1999
--------- Tuhan Tidak Perlu Dibela. Jogjakarta: LKIS, 1999
Wiratama Teguh, Rahadi, et.al. Supremasi Sipil, pelembagaan Politik dan
Masalah Integrasi Nasional: Masalah Krusial Konsolidasi Demokrasi,
Jakarta: LP3ES, 2003
Zada, Khamami (ed). Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan. Jakarta:
LAKPESDAM, 2002
Surat Kabar Dan Majalah
Indomedia, 11 November 1999
Indomedia, 26 November 1999
Kompas, 26 November 1999
Kompas, 9 November 1999
Republika, 30 November 1999

Republika, 29 November 1999


Republika, 3 November 1999
Serambi Indonesia, 4 Februari 2000
Sinar Harapan, 11 Juli 2000
Tempo, 3 April 2001
Dokumentasi
http//www.depan.go.id
TAP MPR RI dan GBHN, Hasil Sidang Umum MPR RI 1999
Wawancara Langsung Dengan Bapak Dr. H Muchtar Aziz. MA. Di Gedung
DPR/MPR Lantai 16 Tanggal 14 Mei 2008

Anda mungkin juga menyukai