Yastri Rustina-Fah 5
Yastri Rustina-Fah 5
Oleh
Yastri Rustina
NIM: 103022027529
Di Bawah Bimbingan
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Anggota
Penguji,
Pembimbing
Oleh
Yastri Rustina
NIM: 103022027529
LEMBAR PERNYATAAN
Yastri Rustina
ABSTRAK
Yastri Rustina
Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum
Aceh
Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden Gus Dur dalam
menghadapi referendum Aceh adalah mengadakan dialog dengan masyarakat
Aceh dengan damai. Tuntutan referendum dengan opsi merdeka tidak dapat
dipenuhi oleh pemerintah karena persoalan Aceh masih bisa diatasi dengan cara
lain salah satunya melalui dialog. Selain itu pula Presiden Gus Dur berhasil
mengadakan perundingan dengan GAM yang dilakukan di Swiss dan
menghasilkan adanya Jeda Kemanusiaan di Aceh. Pernyataan Gus Dur mengenai
persetujuan dilaksanakannya referendum di Aceh bukanlah suatu kebijakan akan
tetapi itu hanyalah pernyataan pribadi dari Presiden Gus Dur.
Referendum Aceh merupakan tuntutan dari masyarakat Aceh dimana di
dalamnya terdapat dua opsi pilihan yaitu berpisah dari Indonesia atau tetap
bergabung. Referendum ini berawal dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap
pemerintah pusat dari masa Soekarno sampai masa Orde Baru pimpinan Soeharto,
dimana saat itu diberlakukannya Daerah Operasi Militer atau yang biasa disebut
DOM. DOM diberlakukan untuk menumpas Gerakan-Gerakan Pengacau
Keamanan akan tetapi pada prakteknya rakyat Aceh yang tidak bersalah menjadi
korbannya. Referendum muncul dari demonstrasi para mahasiswa yang
terinspirasi oleh peristiwa Timor Timur. Dalam perkembangannya mereka
mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh yang kemudian mengadakan
Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh yang menghasilkan dua
opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kebijakan seorang presiden
dalam hal ini Presiden Gus Dur menangani masalah referendum Aceh ini. Melalui
berbagai sumber Presiden memang sempat mengemukakan bahwa ia setuju
dengan adanya referendum di Aceh namun dalam referendum tersebut tidak ada
opsi merdeka ia hanya menawarkan otonomi khusus ataupun otonomi istimewa.
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim.
Puji beserta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat iman dan islam dan hanya dengan ridho dan inaya-Nya-lah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam
senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para
sahabatnya serta para pengikutnya.
Akhirnya dengan limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui
dalam mencari sumber pustaka maupun wawancara, namun banyak pengalaman
yang penulis dapat dari kesulitan dan hambatan tersebut. Alhamdulillah hal
tersebut dapat teratasi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing
Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.
2. Bapak Drs. Maruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, MA, MA,
selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
3. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A, selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah memberikan pengarahan yang sangat berharga kepada
penulis sampai tulisan ini selesai.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu
pengetahuan, semoga penulis dapat memanfaatkan dan mengamalkan
dengan baik sesuai dengan syariat Islam serta berguna bagi agama, nusa
dan bangsa.
5. Hormat dan bakti penulis yang tertinggi dan setulus-tulusnya kepada
Bapak dan Ibu-ku Tercinta dan Tersayang yang selalu memberikan
limpahan kasih sayang hingga penulis dapat menempuh pendidikan
dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan
limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Dan untuk
keluarga besarku yang
penulis.
6. Bapak Dr. H Muchtar Aziz MA yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk diwawancarai oleh penulis sebagai sumber tulisan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Untuk nene-neneku di SPI (Sulis, Ipunk, Babay, Nuril, Riza, Dena, Sinta,
Rara) semoga persahabatan kita akan terus berlanjut tidak hanya sebatas
masa kuliah. Sahabat-sahabatku yang tergabung dalam BFC (Nana, Kajol,
Iep, Tila, Ratu, Icha, Iqoh, Umu, Moef) walaupun kita jauh namun kalian
akan selalu tetap dekat di hatiku dan kepada semua teman-temanku yang
tak bisa disebutkan satu-persatu kalian selalu memberi kesan tersendiri di
hati penulis dan yang terakhir Aku Sayang Kalian.
8. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang
telah banyak membantu memberikan pelayanan bagi penulis.
Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang
telah turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis hanya dapat
berdoa semoga bantuan dari berbagai pihak dapat diterima sebagai amal shaleh
dan mudah-mudahan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT atas
bantuan yang diberikan kepada penulis. Amin Ya Rabbalalamin.
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................... 6
D. Metodelogi Penelitian .................................................................. 7
E. Survei Pustaka...............................................................................
8
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 10
BAB II
BAB III
BAB IV
REFERENDUM ACEH
A. Latar Belakang Munculnya Referendum Aceh...................................
49
B. Langkah Menuju Referendum Aceh ................................................... 57
C. Kebijakan politik Gus Dur Dalam Menghadapi Referendum Aceh ...
59
D. Implikasi dan Reaksi Dari Referendum Aceh.....................................
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 73
B. Saran ................................................................................................... 74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat sebagai
Presiden RI ke-4 mulai 21 Oktober 1999 pada hari Gus Dur dilantik hingga Juli
2001 dengan mengalahkan calon lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri.
Pemungutan suara yang dilakukan secara tertutup pada tanggal 20 Oktober 1999
di parlemen menghasilkan 373 suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 suara
untuk Megawati, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Maka hasil sidang yang
diperoleh mengumumkan dan menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua
Umum Pengurus Besar NU sebagai presiden RI ke-4, periode 1999 sampai 2004
menggantikan B.J. Habibie.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Habibie tampaknya belum
memuaskan banyak pihak sehingga banyak anggota MPR/DPR yang di dalam
Sidang Umum tahun 1999 menolak hasil pertanggungjawaban Habibie, Sehingga
terjadi
perubahan
peta
politik
di
mana
Habibie
mundur
setelah
pulih kembali setelah selama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia terpuruk dilanda
krisis ekonomi dan politik yang begitu dahsyat. Ada sejumlah faktor mengapa
harapan masyarakat sangat besar terhadap duet kepemimpinan Gus Dur-Mega.
Pertama, kecuali Soekarno-Hatta yang dipilih secara aklamasi oleh anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk pertama kalinya
sepanjang sejarah Indonesia merdeka, presiden dan wapres dipilih secara
demokratis oleh para anggota MPR hasil pemilu 1999 yang relatif damai dan
demokratis pula. Kedua, K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati merupakan
kombinasi dari dua golongan bangsa yang terpenting yaitu islam disatu pihak dan
golongan nasional lainnya.1
Harapan itu pun sirna ketika kritikan terhadap pemerintahan Gus Dur
terjadi sejak ia tidak mampu untuk memperbaiki kondisi negara ini. Kritikan
terhadap pemerintahannya terjadi sejak Presiden Gus Dur mengumumkan Kabinet
Persatuan Nasional di mana kekuatannya merupakan hasil kompromi dari partaipartai pendukungnya. Namun kabinet yang dikatakan Gus Dur akan lebih ramping
dari kabinet sebelumnya ternyata jumlah menteri lebih banyak bahkan ada dua
departemen yang dihapus, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan,
yang pada masa Soeharto sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan
penerbitan dan pemberitaan dalam media.
Gus Dur mempunyai daftar panjang yang luar biasa mengenai apa yang
harus dikerjakan dan masalah apa yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah
mengatasi gerakan separatis di Papua Barat dan Aceh. Sebagai presiden, Gus Dur
terus mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh dalam
1
Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 17
dengan Indonesia, kenapa untuk Aceh tidak bisa. Janji ini menjadi obat mujarab
bagi bangsa Aceh. Tidak lama kemudian, setelah kembali dari keliling dunia, Gus
Dur kembali memutarbalikan janji dan fakta yang sudah ada. Gus Dur tetap akan
memberikan referendum untuk Aceh akan tetapi dengan opsi otonomi luas dan
sempit. Disini nampak sekali bahwa presiden sepertinya hendak mempermainkan
istilah referendum yang sudah dikenal luas sebagai sebuah solusi untuk
menentukan sikap, apakah tetap bergabung dengan negara tersebut atau pisah
untuk waktu yang tidak terbatas.4
Semenjak menjadi presiden, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah
besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara tentang perjuangan
hak-hak kaum minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1999-2001) telah
memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Paling tidak selama kurang dua tahun banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi
bangsa. Bahkan proyek Desakralisasi Istana, Supremasi Sipil, Konflik dengan
parlemen menjadi wacana yang menakjubkan dimasanya.5
Gus Dur menjadi sosok paling unik, khas dan cukup fenomenal. Tidak saja
dalam jagat organisasi NU, tetapi juga jagat ke-Indonesiaan. Unik, khas dan
fenomenal karena dalam diri Gus Dur melekat sejumlah predikat yang cukup
beragam dari budayawan, agamawan, intelektual sampai pada politikus.6
Untuk itu penulis berusaha mengkaji kebijakan politik Gus Dur selama ia
menjabat sebagai presiden RI dan hanya terfokus kepada kebijakannya terhadap
referendum Aceh. Dengan ini penulis mengajukannya sebagai karya ilmiah skripsi
4
3. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah:
a. Apa yang melatarbelakangi dilaksanakannya referendum Aceh?
b. Bagaimana langkah menuju referendum Aceh?
c. Apa saja langkah Politik Gus Dur dalam menghadapi referendum
Aceh?
d. Bagaimana implikasi dan reaksi terhadap tercetusnya referendum
Aceh?
D. Metodologi Penelitian
Dalam mengkaji permasalahan di atas penulis menggunakan metode:
1. Teknik Pengumpulan data
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, ditinjau dari jenis data
yang diperoleh adalah jenis metode penelitian kepustakaan atau library
research, dengan cara meneliti berbagai sumber buku, majalah, surat kabar dan
lainnya, di berbagai perpustakaan antara lain Perpustakaan Utama UIN,
Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan PBNU, Perpustakaan DPR/MPR,
Perpustakaan Nasional, Wahid Institute serta perpustakaan umum lainnya yang
tentu mempunyai data yang berkaitan dengan karya tulis ini. Selain itu juga
penulis melakukan wawancara untuk melengkapi data-data yang telah ada.
2. Metode analisa data
a. Heuristik
Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yang
dilakukan oleh penulis adalah
dengan topik. Dari data yang telah terkumpul dari berbagai sumber,
kemudian ditelaah kembali dan diklasifikasikan serta disusun sesuai
jenisnya.
b. Kritik sumber
Yaitu mencari kevaliditasan sumber sejarah atau informasi
dengan kata lain penulis akan menilai, menguji, dan menyeleksi
sumber sejarah yang otentik dan relevan. Sumber-sumber yang telah
didapat kemudian akan diverifikasi keabsahannya melalui kritik intern
dan ekstern.
c. Interpretasi
Memberikan penafsiran terhadap fakta sejarah dengan cara
menerangkan peristiwa yang telah terjadi dan mengaitkannya dengan
sumber sejarah yang didapat dari pengumpulan data tersebut.
3. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan
skripsi, tesis, dan disertasi UIN Jakarta tahun 2007 cetakan kedua.
E. Survei Pustaka
Pembahasan tentang Aceh telah banyak dilakukan, karya tersebut antara lain:
1. Bara Dalam Sekam
Buku ini,7 membahas mengenai pencarian akar masalah dan solusi atas
gejolak serta ledakan kekerasan di sejumlah daerah rawan konflik di tanah
air, dalam bahasan ini yaitu Aceh, Maluku, Riau dan Papua. Keempat
daerah yang disorot di sini telah mengalami konflik dan gejolak lokal
dengan intensitas persoalan yang paling mendasar dari berbagai konflik
dan gejolak lokal tersebut.
Riza Sihbudi, et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001)
8
Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,
(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003)
ini penulis ingin menyajikan fakta dan keinginan yang sebenarnya dari
masyarakat yang sudah lama terkungkung dalam ketidakjelasan dan
ketidakadilan hidup seperti dalam hal pembagian pengolahan sumber daya
alam Aceh serta budaya kekerasan sampai saat itu. Masalah Aceh
membutuhkan penanganan yang khusus dan berkelanjutan.
3. Aceh Win-Win Solution
Buku ini,9 menceritakan tentang bagaimana solusi atau penyelesaian
tentang konflik-konflik di Aceh, setelah Indonesia merdeka, rakyat Aceh
merasa dikhianati dan bahkan dilupakan. Tuntutan mereka untuk
mendirikan provinsi tersendiri dengan status daerah istimewa ditolak
pemerintah
pusat.
Kekecewaan
telah
dialami
Aceh,
termasuk
pemberlakuan DOM dan berbagai pelanggaran HAM. Karena itu buku ini
membahas mengenai bagaimana mencari solusi terhadap peristiwaperistiwa tersebut, dari mulai penyelesaian Aceh secara damai atau melalui
dialog.
Dari tiga buku di atas dapat diambil persamaannya yaitu
bagaimanakah seharusnya penyelesaian terhadap kasus Aceh tersebut, di
dalamnya termasuk opsi otonomi ataupun referendum. Yang membedakan
antara skripsi ini dengan buku-buku tersebut adalah bagaimana kebijakan
Presiden Gus Dur saat itu dalam menghadapi isu referendum Aceh
tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Musni Umar. ed, Aceh Win-Win Solution (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002)
Bab II
Bab III : Gambaran umum tentang Aceh, meliputi: geografi dan demografi
Aceh, keadaan sosial dan budaya serta perjalanan politik Aceh pasca
kemerdekaan.
Bab IV : Munculnya referendum Aceh, yaitu latar belakang dilaksanakannya
referendum Aceh, langkah menuju referendum Aceh, kebijakan politik
Gus Dur dan implikasi dan reaksi dilaksanakannya referendum Aceh
Bab V
BAB II
BIOGRAFI GUS DUR
10
Tim Incres, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus
Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), h. 4
menamatkan
pendidikannya
di
SMEP,
Gus
Dur
banyak
12
13
15
Laode Ida, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Raja Grafindo
1999), h. 261
17
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 85-
86
18
Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid, (Jogjakarta: LKIS 2000), h. 148
HAM. Buku ini berisi 17 artikel yang memuat sejumlah gagasan besar Gus
Dur tentang perlunya penafsiran kembali ajaran agama dan dialektikanya
dengan diskursus ke-indonesia-an. Bagaimana seharusnya menempatkan
ajaran agama dalam konteks pembangunan dan kehidupan berbangsa dan
bernegara menjadi titik tolak acuan bagi Gus Dur dalam memetakan posisi
agama dalam diskursus modernitas.
2. Tuhan Tidak Perlu Dibela
19
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jogjakarta: LKIS 1999), penyunting:
M. Shaleh Isre
21
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran
K.H.Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 1999)
penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits
diduduki oleh PKB yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan PPP yang
dipimpin oleh Hamzah Haz. Urutan selanjutnya ditempati oleh PAN pimpinan
Amien Rais, yang akhirnya membawa ia untuk menduduki jabatan Ketua MPR.
Penyusunan pemerintahan menjadi tugas Presiden yang akan dipilih oleh MPR
dengan 700 anggotanya dalam bulan Oktober 1999. Oleh karena itu, lama
sebelum hasil pemungutan suara diumumkan pada tanggal 1 September, pusat
perhatian para pemimpin partai bergeser. Kalau semula mereka mengupayakan
dukungan rakyat, sekarang mereka beralih ke perundingan di antara mereka untuk
menjajaki bersama kemungkinan perlunya koalisi. Sepanjang hampir seluruh
kurun waktu antara pemilihan umum dan pemilihan presiden, calon yang berada
paling depan menuju kursi kepresidenan adalah calon dari Golkar, Habibie dan
calon dari PDI-P Mega. Mula-mula Megawati mengandalkan dukungan PKB dan
PAN, mitra-mitra PDI-P dalam koalisi informal yang muncul dari apa yang
disebut Komunike Paso tanggal 18 Mei, sementara Habibie bersandar pada
dukungan PPP dan militer, dan menyebut Wiranto sebagai Wapres yang
cenderung dipilihnya nanti.
Perkembangan terpenting dalam bulan-bulan setelah pemilihan umum
adalah kemunculan apa yang disebut Poros Tengah, sebuah aliansi partai-partai
muslim yang dirintis oleh Hamzah Haz dan diumumkan oleh Amien Rais pada
tanggal 20 Juli 1999. Logikanya ialah bahwa dengan jumlah gabungan sebesar
sekitar 200 kursi di MPR, partai-partai muslim dapat menandingi Golkar atau
PDI-P, sehingga berposisi untuk menempatkan calonnya di Istana. Calon yang
disepakati ialah Abdurrahman Wahid. Selain itu, Golkar sendiri jauh dari utuh.
Fraksi reformis pimpinan Akbar Tanjung dan Marzuki Darusman tidak gembira
Inu Kencana,et.al, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama 2006), h. 52-
53
25
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan,
2000), hal 339
seluruh dukungannya kepada satu-satunya calon dari Poros Tengah Abdurrahman Wahid. Setelah bergabungnya Golkar,
Amien menghubungi Gus Dur dan ternyata Gus Dur menyetujui untuk terus lanjut ke pemilihan kursi Presiden.
Gus Dur memang relative diterima semua pihak dan yang lebih penting lagi,
rupanya ia telah mendapat restu dari K.H. Abdullah Faqih pemimpin Pondok
Pesantren Langitan Tuban yang sangat disegani warga NU. Restu ini membuat
fraksi PKB, yang sebelumnya mendukung Megawati, berpindah dan menyokong
sepenuhnya kepada Gus Dur. Gedung MPR 20 Oktober 1999, Sidang Umum
MPR berujung dramatis. Gus Dur yang dikenal sebagai Ketua Umum PBNU
terpilih menjadi Presiden RI. Ia mengalahkan Megawati, Ketua Umum PDI-P.
Sebanyak 373 dari 691 anggota MPR memberikan suaranya untuk Kiai tersebut.
Naiknya Gus Dur tak lepas dari faktor Poros Tengah yang dimotori oleh Amien
Rais.
Gus Dur yang menggantikan Habibie karena pertanggungjawabannya
ditolak dalam sidang umum MPR, mengemban estafeta kepemimpinan nasional
yang tidak ringan. Gus Dur dihadapkan dengan persoalan bangsa yang menuntut
untuk secepatnya dicarikan jalan keluarnya, sehingga Indonesia dapat bangun dari
keterpurukannya dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Warisan
kemiskinan, pemutusan hubungan, kemerosotan nilai tukar rupiah, hutang luar
negeri satu sisi, dan sisi lain tuntutan agenda reformasi harus sama-sama
mendapat perhatian yang serius.
Harapan perbaikan ekonomi di tangan Gus Dur sangat besar, karena ia
dipilih secara demokrasi dan dinilai proses sidang pemilihannya transparan,
diliput oleh media dalam dan luar. Namun harapan itu hanyalah tinggal harapan,
karena presiden baru ini tidak mengetahui apa yang diderita rakyatnya, merasa
tidak mempunyai beban, maka langkah-langkah yang diambil bukan mengarah
26
Riza Sihbudi. Politik Luar Negeri Gus Dur, Forum Keadilan, 21 November 1999, h.
11
27
Ira Rakhmawati, Surat Terbuka Kepada Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bang
Akbar dengan Elite Politik Lainnya: Dari anak bangsa, (Jakarta: Bina Pariwara, 2001), h. 21
bahwa
kabinetnya
yang
mengakomodasikan
banyak
partai,
28
30
BAB III
31
Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi Atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 31
32
Zulkifli Husin, et,al, Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Masyarakat
Nelayan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala dan Jakarta), h. 8
perkebunan sebagai berikut: karet, minyak sawit, inti sawit, kelapa, kopi, cengkeh,
pala, lada dan cokelat.33
Aceh yang berada di ujung pulau Sumatera secara historis mempunyai
peranan penting dalam pelayaran dan perniagaan dunia yang melalui selat Malaka,
bandar-bandar Aceh menjadi sangat penting sebagai bandar penghubung yang
melayani kebutuhan perbekalan seperti bahan makanan, air dan keperluan seharihari. Ini yang menghantarkan Aceh menjadi mahkota alam yang merupakan
bandar penghubung dalam hal ini jalur pelayaran dagang antara Timur Tengah,
Eropa, Kerajaan Demak, Brunei, dan Turki Usmani.34
Aceh merupakan salah satu provinsi kaya di Indonesia. Tanahnya subur,
banyak komoditas padi dihasilkan Aceh, tembakau, kelapa sawit, dan kopi.
Kekayaan mineral juga banyak. Sejak lama, berbagai industri sudah dibangun di
Aceh. Hasil ladang minyak dan pabrik pupuk Aceh merupakan salah satu sumber
pendapatan negara. Pantai-pantainya indah dan berbagai kawasan perairan laut
kaya akan ikan. Di sejumlah pulau kecil di lepas pantai, banyak terdapat hutan
bakau yang dikelilingi terumbu karang yang indah sehingga cocok menjadi
kawasan wisata. Pulau-pulau kecil lainnya dipenuhi pohon kelapa yang buahnya
banyak diperdagangkan ke berbagai wilayah lain.
Daerah Aceh mempunyai potensi dan sumber daya alam yang cukup besar,
baik di bidang pertanian, perindustrian, pertambangan maupun pariwisata. Namun
potensi ini belum banyak dikembangkan karena sulitnya medan dan kurangnya
sarana dan prasarana lainnya.
33
Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1990), cet 1, h.
34
38
35
37
lahannya, dan sulit komunikasi antar daerah masih menjadi halangan besar bagi
pembangunan di daerah ini.38 Pada tahun 1990, Aceh baru berpenduduk 3.415.875
jiwa, dari penduduk sejumlah itu lebih dari 70%nya bermukim di pedesaan dan
berusaha di sektor pertanian. Karena itu pula sektor pertanian masih memegang
peranan penting dalam perekonomian daerah, meskipun sektor-sektor lainnya
seperti industri dalam tahun terakhir ini telah pula memberi kontribusi yang cukup
besar.
Mengenai pembangunan, di Aceh menganut konsep keseimbangan dalam
usaha mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan sosial yang tinggi sekaligus
meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat di
daerah ini. Pembangunan di daerah pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan
pembangunan yang berlangsung di daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh swasta (masyarakat). Pembangunan di Aceh didasarkan pada 4
trilogi pembangunan, yaitu trilogi pembangunan nasional, trilogi pemerintah
daerah, trilogi keistimewaan Aceh, dan trilogi etos kerja. Mengingat Aceh masih
relatif tertinggal dibanding provinsi lain di Indonesia, maka, secara operasional
usaha pembangunan di daerah ini tidak memadai lagi ditempuh dengan cara-cara
yang konvensional semata.
38
2004), h. 39
pelaksanaannya, masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi/adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat
dalam kehidupan sosial budaya Aceh, sebagai hasilnya, Islam dan budaya Aceh menyatu sehingga sulit untuk dipisahkan.39
Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 M, banyak sekali mempengaruhi adat istiadat Aceh, bahkan pengaruh
Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang berbunyi: Hukom ngo adat lagee zatg ngo sipheuet (hukum dengan adat
seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisahkan). Yang dimaksud dengan hukum disini adalah hukum Islam yang diajarkan
oleh para ulama. Demikian besar pengaruh Islam di Aceh, sehingga sapaan waktu berjumpa dan ucapan waktu berpisah,
tidak lagi diucapkan dengan kata lain melainkan sudah menjadi Assalamualaikum (selamat, tuan) dan jawabannya
waalaikumsalam wa rahmatullah...(tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari
orang lain, melainkan sudah diganti dengan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Apabila mendengar ada orang
meninggal, segera mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun (semua kita milik Allah dan kita semua akan
kembali kepada-Nya).40
Sistem kemasyarakatan Aceh juga sangat erat berkaitan dengan Islam. Masyarakat Aceh merupakan suatu
masyarakat yang bertingkat dan tersusun dalam golongan-golongan. Golongan tersebut adalah golongan bangsawan, kaum
alim ulama, golongan rakyat umum dan juga kelompok-kelompok lain seperti orang pendatang atau orang asing. Memang
suatu kenyataan bahwa kaum bangsawan dan alim ulama pada umumnya menduduki tingkatan atas, akan tetapi dari
kalangan rakyat umum pun tidak kurang yang mendapat kehormatan dan berada di tingkat yang tinggi, misalnya saja
orang-orang yang sudah menunaikan ibadah Haji, dan kaum saudagar.41
Sebelum Aceh diperintah oleh Belanda, penggolongan masyarakat adalah:
1. Golongan Hulubalang (ulebalang), yaitu golongan yang memerintah negeri. Golongan ini, mula-mula juga merupakan
rakyat biasa. Tetapi karena mempunyai wibawa, disebabkan kekayaan, keberanian, kecakapan dalam mengatur dan
memimpin maka ia diangkat menjadi kepala rakyat.
2. Golongan ulama/golongan ahli dan pengajar agama. Golongan ini berasal dari
rakyat biasa. Tetapi karena ketukunannya belajar, mereka memperoleh
berbagai ilmu pengetahuan.
3. Golongan saudagar, yaitu golongan orang kaya. Golongan ini pun berasal dari
rakyat biasa yang mempunyai nasib lebih baik dalam usaha mereka
mendapatkan kekayaan.
4. Golongan tani, golongan inilah yang terbanyak.
5. Golongan terpelajar/pegawai, yang dimaksudkan dengan terpelajar ialah
mereka yang telah mengenyam pendidikan barat, lalu diangkat menjadi
pegawai pemerintah.
6. Golongan buruh.42
Dari berbagai golongan ini nantinya timbul perbedaan keinginan dalam
penyelesaian kasus Aceh ini. Golongan pelajar, buruh, tani dan ulama
39
Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve 2004), h. 219
40
Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h.
6
41
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia: jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka 1993) h. 84
42
Taufik, Agama dan Perubahan, h. 10-11
43
44
Snouck Hurgronje, Aceh dan Adat Istiadat, (Jakarta: INIS 1996), h. 46, penterjemah:
Sutan Maimoen
untuk membedakan mana rumah dan yang mana Meunasah dan sekaligus juga
orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat.45
Selain Meunasah, ada pula tempat ibadah di Gampong yang dibangun tanpa
tiang, namun memakai pondasi tembok yang ditinggikan, lalu di atasnya diberi
semen tangga dari batu untuk memasuki tempat ibadah, namun gedungnya sendiri
selalu dibuat dari kayu, dan di dinding dalam dibuat relung batu (Mehrab/Merab)
untuk menunjukkan kiblat ke kabah di Mekah. Kadang-kadang pekarangan
tempat ibadah itu dipagari dengan tembok terendah bersegi empat. Bangunan
yang lebih megah itu disebut Dayah dan berfungsi sama dengan Meunasah.
Dalam kebudayaan Aceh terdapat banyak variasi terutama dalam dialek bahasa dan adat istiadat. Hal ini
disebabkan karena pengaruh luar yang terus menerus terjadi. Pengaruh luar ini termasuk kebudayaan daerah tetangga dan
asing. Kebudayaan luar antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan bangsa-bangsa. Dapat dikatakan pengaruh luar ini
memperkaya kebudayaan Aceh sebagai keseluruhan kebudayaan Aceh yang memberi peranan yang amat penting dalam
terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia, karena kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan daerah yang telah
mengalami perkembangan lebih lanjut.46
Secara garis besar bahasa di daerah Aceh dapat dibedakan menjadi empat bahasa, yaitu bahasa Gayo Alas, bahasa
Aneuk Jamee, bahasa Tamiang, dan bahasa Aceh Tengah. Bahasa Aneuk Jamee khusus digunakan oleh penduduk di Aceh
Selatan dan Aceh Barat. Bahasa Tamiang digunakan oleh penduduk di daerah pantai Timur. Bahasa Aceh adalah bahasa
yang paling banyak digunakan di propinsi ini, antara lain di Aceh Timur, Utara, Pidie, dan sebagian Aceh Barat.47
115-116
47
dari dalam masyarakat Aceh sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh mencari identitasnya sendiri dan
berhadapan pula dengan kebudayaan nasional.49
49
melawan
Belanda
itu
dinamakan
perang
sabil
yaitu
perang
mempertahankan agama Allah, dan mereka yang tewas dalam perang tersebut
dianggap mati syahid. Perang Aceh yang dahsyat itu berlangsung selama 31 tahun
yang berakhir pada tahun 1904 dengan kemenangan Belanda, akan tetapi dalam
hatinya rakyat Aceh masih belum menerima kekuasaan Belanda. Ternyata
beberapa kali setelah tahun 1904, terjadi pemberontakan terhadap Belanda,
misalnya di Bakongan antara tahun 1925-1927, di Lhong pada tahun 1933.
Kemudian pemberontakan Aceh yang paling besar terhadap Belanda adalah ketika
pemerintah Belanda menghadapi musuh dari luar yaitu Jepang pada waktu Perang
Pasifik, sehingga ketika bala tentara Jepang masuk ke Aceh, mereka tidak
menemui perlawanan lagi dari tentara Belanda yang sudah lebih dahulu pergi
untuk menyelamatkan diri.52 Dilihat dari inilah Bung Karno meminta Aceh untuk
berperang aktif dalam melawan Belanda karena keteguhan hati mereka dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan Islam.
Kemerdekaan Indonesia disambut oleh rakyat Aceh dengan gegap gempita.
Mereka bertekad akan mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan merdeka
atau mati syahid. Mereka berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan
kemerdekaan sehingga rencana Belanda hendak menduduki Aceh tidak dapat
terlaksana. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini para ulama berada di
51
52
53
Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi
sebagian dari pada Negara Islam Indonesia.55
Atas Nama Umat Islam
Daerah Atjeh dan Sekitarnya
TTD
Teungku Muhammad Daud
Beureuh
Tertanggal:
Atjeh Darussalam:
13 Muharram 1373
21 September 1953
55
56
karena peristiwa Mar ini, tidak ada seorang pun yang mau menamai anaknya
dengan awalan atau akhiran Mar di Aceh. Tidak ada nama-nama seperti
Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, dan ini berlangsung dalam beberapa
tahun. Peristiwa ini masih berhubungan dengan peristiwa Daud Beureuh. Pada
suatu hari di bulan maret 1954, dalam rangka operasi militer mengejar
pemberontak. Sebuah iring-iringan truk militer melewati desa kecil. Sesampainya
di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak iring-ringan
militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak, tembak menembak terjadi
antara militer dengan pemberontak. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak,
sedang segerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua
kampung yang kemudian namanya menjadi tenar itu.57
Hari itu juga diadakan operasi besar-besaran dalam Kampung Pulot dan Cot
Jeumpa, dalam rangka mengejar pemberontak yang diduga keras bersembunyi di
sekitar kampung tersebut. Di sinilah mulainya sikap tentara yang sewenangwenang. Rakyat menjadi korban karena mereka tidak tahu menahu tentang para
pemberontak. Tentara yang tidak mendapatkan jawaban-jawaban mengenai
pemberontak menjadi marah, dan tentara menembakkan peluru senjatanya ke
arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Inilah awal mula perilaku tentara yang
semena-mena terhadap rakyat.
Peristiwa Pulot Cot Jeumpa, cepat tersiar ke seluruh pelosok Indonesia.
Selanjutnya kabinet mengirim menteri-menteri untuk mempelajari dari dekat
peristiwa tersebut. Dewan Keamanan Nasional ikut membicarakan, anggota
parlemen Sutarjo menganjurkan agar soal penyelesaian pemberontakan Darul
57
Islam diarahkan kepada putera Aceh sendiri, dan kepada para pemimpin
pemberontakan diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan baikbaik, artinya harus dilakukan penyelesaian secara damai dan bijaksana.58
Selanjutnya pada 13 April 1954, pemerintah memberi keterangan dalam rapat
paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa. Dari keterangan
pemerintah, diambil kesimpulan bahwa dalam penyelesaian peristiwa Daud
Beureuh ini pemerintah mengambil tindakan kekerasan senjata untuk mengatasi
para pemberontak yang memberontak dengan senjata terhadap pemerintah RI.
Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 1959, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dengan otonom yang luas, khususnya dalam urusan agama, adat dan
pendidikan, sebagai tonggak sejarah dari perkembangan masyarakat Aceh sejak
tahun 1950-an, yang diawali dengan pergolakan berdarah menuju ke zaman
pembaharuan dan zaman kemajuan.59
Untuk mencapai lahirnya propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebelumnya telah
dilakukan beberapa usaha untuk memulihkan keamanan di Aceh oleh pemerintah
pusat. Pada masa pemerintah Ali Sastroamidjojo dalam usahanya memulihkan
keamanan di Aceh telah memilih tindakan kekerasaan senjata dengan harapan
bahwa kaum pemberontak dapat ditumpas pada akhir tahun 1953 atau paling
lambat pada bulan Maret 1954. Ternyata sampai kabinet Ali jatuh pada tahun
1955 keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Setelah itu, kabinet Burhanuddin
Harahap, mencoba pemulihan keamanan dengan cara halus. Ia berusaha
melakukan kontak dengan para pemberontak, tetapi usaha tersebut tidak berhasil.
Bahkan pada tahun 1955, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengirim dua
58
kurirnya Abdullah Arif dan Hasbullah Daud untuk melakukan kontak dengan para
pemimpin pemberontak namun tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1957
Kolonel Sjamaun Gaharu Panglima KDMA (Komando Daerah Militer Aceh)
mengadakan kontak dengan pihak pemberontak, dan usaha tersebut berhasil.
Kemudian diantara pemimpin-pemimpin pemberontak terdapat suatu kesepakatan
yang kemudian terkenal dengan Ikrar Lam Teh, pada 8 April 1957. Atas dasar
Ikrar Lam Teh ini tercapai pula suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan
KDMA untuk menghentikan tembak menembak atau gencatan senjata. Gencatan
senjata ini berjalan sampai tahun 1959. Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 1959,
Dewan Revolusi mengadakan musyawarah dengan pemerintah RI yang dipimpin
oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, musyawarah pun berhasil dan
memutuskan sejak tanggal 26 Mei 1959, menyatakan bahwa daerah Swatantra
tingkat I Aceh dapat disebut Daerah Istimewa Aceh.60
Dari berbagai peristiwa, dapat dilihat bahwa pendirian yang kuat para tokoh
Aceh yang didukung oleh ulama dan masyarakatnya, untuk menuntut
keistimewaan Aceh akhirnya dapat dibuktikan oleh sejarah. Status keistimewaan
Aceh ini kemudian diinformasikan melalui UU No 18 tahun 1965 tentang
Pemerintahan Daerah di mana Aceh memperoleh keistimewaan di bidang agama,
adat dan pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1979 gagasan NAM
(Negara Aceh Merdeka) dimunculkan oleh tokoh yang berasal dari Tiro bernama
Dr. Hasan Tiro. Ia lahir di desa Tiro, dekat Lammeulo di Pidie. Pada masa
Belanda ia adalah salah seorang murid Daud Beureuh di madrasah Blang Paseh di
60
61
Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti 1995), h. 301
62
Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 37-38
BAB IV
REFERENDUM ACEH
Latar Belakang Referendum Aceh
Setelah Indonesia merdeka, Aceh masih terus menjadi tempat
kekerasaan, baik yang dilakukan oleh yang pro pemerintah maupun yang anti
pemerintah. Namun dapat dipastikan dalam hal ini, korban selalu berjatuhan
dari pihak rakyat sipil. Pada tahun 1953-1959 misalnya diperkirakan ratusan
rakyat menjadi korban kasus DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh di
Aceh. Kekerasan juga terjadi saat peristiwa Cumbok yang menyebabkan
banyak sekali Ulebalang yang diculik. Peristiwa Cumbok adalah kasus
pembunuhan terhadap uleebalang di Sigli, karena kaum uleebalang
berkeinginan mengembalikan kekuasaan Belanda di mana dalam masa
penjajahan Belanda di Aceh, mereka sangat diuntungkan oleh Belanda dan
melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Korban
kekerasaan di Aceh mencapai puncaknya adalah pada masa Orde Baru.63
Persoalan di Aceh dapat digolongkan dalam dua akar masalah, pertama adalah pemberlakuan Daerah
Operasi Militer ( DOM ) dan tindak kekerasan militer Orde Baru (Juli 1990-Agustus 1998) maupun sesudah DOM
(Agustus 1998-2000) serta tidak seriusnya pemerintahan untuk mengadili para pelaku tindak kekerasaan pada masa
DOM maupun pasca DOM.
Pada awal RI terbentuk, saat negara ini belum memiliki apa-apa, rakyat
Aceh melalui dukungan para ulama telah memberikan andil yang amat besar
dalam membantu kelangsungan hidup republik dengan menyumbang sejumlah
63
10-11
Musni Umar (ed), Aceh Win-Win Solution, (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002), h.
65
Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 44
Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah PT Arun pada 1972 memberikan
harga antara Rp. 10,00-180,00 per meter. Sementara PT AAF memberikan
harga Rp 300-350 per meter pada 1980. PT PIM memberikan harga antara
Rp 800,00-1200,00.
Sebagian masyarakat ditakut-takuti untuk menyerahkan tanah dengan
menggunakan pihak militer dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik
maupun non fisik.
Pengusiran penduduk asli Aceh akibat tanahnya digusur.
Eksploitasi pusat atas Daerah Istimewa Aceh.
Adanya kecemasan bagi entitas lokal terhadap program transmigrasi yang
dilakukan oleh pemerintah.
Akumulasi perasaan kecewa karena diperlakukan tidak adil, telah
mendorong sebagian rakyat Aceh tidak lagi mampu menahan marah, sehingga
terpaksa mengangkat senjata sebagai ungkapan protes mereka terhadap
pemerintah. Dalam perkembangannya, kemudian mereka mendirikan Angkatan
Gerakan Aceh Merdeka, sikap perlawanan dari sebagian rakyat Aceh tersebut
ditanggapi oleh pemerintah Orde Baru dengan pengiriman TNI ke Aceh untuk
memadamkan pemberontakan yang dianggap sebagai Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK).
Gerakan Aceh Merdeka sudah ada sejak 4 Desember 1976. Tetapi, ketika
itu, pertarungan antara anggota GAM dengan TNI hanya terjadi sebatas kedua
belah pihak yang bertikai. Artinya dampak negatifnya kepada rakyat sipil tidak
terlalu banyak. Akan tetapi baru pada tahun 1989, rakyat sipil merasakan
betapa menderitanya mereka akibat konflik GAM-TNI tersebut. Hal ini
berawal dari terjadinya perampasan 18 pucuk senjata anggota TNI yang sedang
melakukan program ABRI Masuk Desa (AMD) di kota Makmur, Aceh Utara.
Di tahun 1989 itu, seorang anggota Kopassus yang desertir berpangkat kopral
tiba-tiba muncul dan menyebut dirinya sebagai Panglima Perang GAM. Kopral
ini menyebut dirinya sebagai Robert. Robert inilah yang kemudian berhasil
mengkondisikan lahirnya DOM, di daerah Aceh yang sangat kaya akan gas
alam, hutan dan berbagai kandungan mineral lainnya. Gubernur Aceh saat itu
Ibrahim Hasan merasa terganggu akibat ulah GAM yang dimotori Robert
hingga ia melaporkan situasi daerahnya kepada Presiden Soeharto. Saat itu
juga presiden memerintahkan Panglima ABRI waktu itu Try Sutrisno agar
mengendalikan situasi Aceh. Hanya saja, saat diklarifikasikan DPR pada awal
Desember 1999, Try Sutrisno membantah, jika disebutkan di Aceh telah
diberlakukan DOM, yang ada hanya Operasi Jaring Merah untuk menumpas
Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka. Dalam forum itu, anggota DPR
sempat pula mempertanyakan, siapa sesungguhnya Robert dan tak seorang pun
petinggi militer Orde Baru itu menjelaskan.66 Operasi Jaring Merah ini hanya
terfokus di tiga daerah rawan konflik yaitu Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie,
karena diberlakukannya Operasi Jaring Merah tersebut maka Aceh di Sebut
Daerah Operasi Militer sejak itu mulai dikenal istilah DOM.
Dilihat dari segi politik kenapa diberlakukannya DOM di Aceh adalah
perpecahan dalam kubu TNI yang saat itu dipimpin oleh Jendral Beny
Moerdani di mana saat itu akan digantikan oleh Prabowo Subianto yang saat
itu menjadi menantu presiden Soeharto. Ketika akhirnya pemilihan Wakil
Presiden di mana Soeharto mencalonkan Sudharmono untuk menjadi Wapres
kemudian Beny mencalonkan Jaelani Naro yang saat itu menjabat sebagai
Ketua Umum PPP untuk menjadi Wapres akan tetapi pemilihan tersebut
akhirnya menetapkan bahwa Sudharmono menjadi Wapres dari sini pula awal
hubungan Soeharto dan Beny Moerdani Menjadi buruk. Kemudian Beny
Moerdani yang kecewa terhadap pemerintahan Soeharto saat itu secara diamdiam mendukung pasukan GAM yang bermarkas di Malaysia karena Prabowo
Subianto dikirim ke Aceh sebagai Kepala Kostrad pada periode 1989-1999.
keberadaannya di Aceh ini guna menekan Beny Moerdani dan beberapa faksi
militer yang tidak sejalan dengan Soeharto.67
Oleh karena kegiatan GAM di tanah Serambi Mekah terus meningkat
intensitasnya dan tampaknya mendapat dukungan serta simpati dari sebagian
masyarakat Aceh, untuk menghentikannya serta mencegah meluasnya
pengaruh GAM ke dalam masyarakat, TNI terpaksa memberlakukan Daerah
Operasi Militer di daerah tersebut.68
DOM dengan Operasi Jaring Merah di daerah Aceh telah diberlakukan
sejak tahun 1989, yang pada mulanya diperuntukkan mengamankan situasi
dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah sebagai GAM, yang
selanjutnya disebut GPK. Namun sejak operasi tersebut diberlakukan, ternyata
yang terjadi bukan hanya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang
begitu nyata, seperti tindak kekerasaan yang berlangsung itu dirasakan sendiri
66
Neta S. Pane, Sejarah dan Kemakmuran Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan
Impian, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), h. 172
67
Rahadi Wiratama Teguh, et.al. Supremasi Sipil, pelembagaan Politik dan Masalah
Integrasi Nasional: Masalah Krusial Konsolidasi Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 170-172
68
Musni Umar, Aceh Win-Win, h. 12
dan
adat
istiadatnya.
Seharusnya
untuk
menyelesaikan
adat
dan
pemerintah
setempat.
Apapun
alasannya,
akibat
DOM
Pangab/Menhankam
di
Aceh
Jenderal
dicabut
TNI
pada
Wiranto
8
di
Agustus
masjid
1998
oleh
Baiturrahman
daftar
orang-orang
yang
bertanggung
jawab
serta
72
73
Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz. MA. Tanggal 14 Mei 2008, di
Gedung DPR-RI lantai 16
75
Namun aksi kekerasan baik oleh milisi GAM maupun aparat keamanan RI
terus berlangsung. Korban jiwa di kalangan rakyat sipil tidak terhitung
jumlahnya. Pemerintah tidak mungkin mengabulkan tuntutan referendum
rakyat Aceh, terutama jika terdapat opsi merdeka. MPR telah mengamanatkan
dan merekomendasikan agar pemerintah memelihara keutuhan dan kesatuan
wilayah RI setelah kehilangan Timor Timur. Penyelesaian konflik vertikal dan
separatisme harus dilakukan dengan semangat kesatuan dan persatuan, bukan
perpecahan dan fragmentasi negara.76
Apapun keputusan pemerintah dalam menangani konflik di Aceh,
referendum merupakan solusi paling akhir setelah berbagai upaya mengalami
kegagalan, sebelumnya harus diupayakan cara damai, dengan cara
memperlakukan rakyat Aceh secara adil. Apabila perbaikan perlakuan telah
diterima, maka menurut hukum, negara diberi wewenang menyelesaikan
separatisme secara represif.
Tuntutan referendum di Aceh dengan opsi merdeka merupakan
akumulasi dari kekecewaan dan kemarahan rakyat terhadap pemerintah pusat.
Karenanya dalam menyelesaikan kemelut Aceh, ada beberapa alternatif yang
perlu ditempuh oleh pemerintah pusat. Dalam pernyataan politik, misalnya,
Presiden RI Abdurrahman Wahid dengan tegas memperlihatkan sikap yang
lebih jelas mengenai masalah separatisme. Antara lain dikatakan, Langkahlangkah komprehensif untuk menyelesaikan masalah Aceh yang terus
dilakukan pemerintah dalam kerangka solusi damai, dalam bingkai NKRI, dan
lebih mengutamakan pendekatan dialog dan komunikasi politik hendaknya
76
terus dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, setiap upaya yang menyimpang
dari semangat dan komitmen ini, apalagi bila berbentuk suatu gerakan untuk
memisahkan diri NKRI tentu akan dihentikan, serta diberikan tindakan tegas
sesuai konstitusi, amanah MPR dan tatanan hukum yang berlaku.77
Pemilihan keputusan referendum tidak dapat diambil sendiri oleh
presiden.
Kewenangan
mengeluarkan
kebijakan
kewilayahan,
yakni
melepaskan salah satu wilayah negara hukum bukan hanya menjadi wewenang
presiden semata. Dalam mengambil keputusan tentang pemberian referendum
di Aceh, presiden tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus meminta
persetujuan MPR. Dalam era reformasi di mana MPR bersidang setiap tahun,
permintaan persetujuan bukan hal yang sulit. Persetujuan harus diberikan oleh
MPR secara kelembagaan bukan oleh pimpinan MPR beserta pimpinan
fraksi-fraksi.78
Adapun langkah terbaik untuk menyelesaikan persoalan Aceh harus
dibicarakan secara nasional. Misalnya dibahas dan diputuskan dalam sidang
pleno DPR. Paling tidak ada 3 persoalan yang perlu dicermati sebelum
referendum dilakukan. Pertama, mempertegas posisi Aceh dalam struktur
sistem sosial Indonesia yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Kedua,
mencari dasar hukum yang benar untuk menandai boleh atau tidaknya
dilakukan referendum di Aceh. Ketiga, dalam memberikan opsi untuk
77
78
151-152
79
pengadilan yang jujur bagi pelanggar HAM baik selama pemberlakuan DOM
maupun pasca DOM.80
Pro dan kontra atas pernyataan Presiden Gus Dur pada 3 November 1999
ketika ia ditanya wartawan di Phnom Penh, Kampuchia, Gus Dur
mengatakan81, kalau Timor Timur boleh diadakan referendum kenapa di
Aceh tidak boleh?. Walaupun diselenggarakan referendum Aceh tidak akan
lepas dari Indonesia karena Aceh ikut mendirikan RI. Gus Dur juga
mengatakan Aceh tidak akan meninggalkan Indonesia. Kalaupun ada
kehendak referendum itu wajar-wajar saja. Referendum kenapa tidak,
keputusan akhir dari suara itu bagaimana nanti harus dihormati, tetapi ia yakin
Aceh tidak akan lepas. Gus Dur sudah menyatakan pro referendum, walaupun
ada referendum di Tim-Tim, mengapa Aceh tidak boleh itukan tidak adil,
tegas Gus Dur. Tentang mekanisme referendum, Gus Dur mengatakan masih
akan dibicarakan lagi dengan pemerintah daerah. Mengenai isu adanya
tandatangan sekitar dua juta orang pro referendum, Gus Dur mengatakan:itu
kan belum separuh rakyat Aceh, tetapi silahkan saja, itu adalah urusan orang
Aceh. Gus Dur juga mengatakan kepada wartawan, bahwa ia menginginkan
referendum Aceh karena sebelumnya beberapa pimpinan sipil dan militer
setempat telah berbuat kesalahan pada masyarakat Aceh.82 Ucapan Gus Dur
tersebut dianggap bahwa pusat membuka lebar pintu keluar bagi seluruh
provinsi yang masih tergabung dalam bentuk republik kesatuan, dengan ini
akan mengakibatkan bagi pecahnya negara.83
80
81
82
83
Menurut Muchtar Aziz anggota Dewan saat itu sekaligus selaku wakil
ketua peduli Aceh, dan sekarang menjabat sebagai anggota MPR periode
2004-2009 mengatakan Gus Dur mengemukakan bahwa ia menyetujui adanya
referendum di Aceh akan tetapi itu belum pasti di dalamnya opsi merdeka
mungkin saja hanya pemberlakuan otonomi khusus atau istimewa itu belum
jelas.84
Sebagai seorang Presiden Gus Dur terus mengadakan pertemuan dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat Aceh dalam usahanya untuk menegoisasikan
suatu penyelesaian. Sayang sekali bagi presiden ini, tidaklah mudah untuk
mencapai kemajuan mengenai penyelesaian masalah Aceh. Memang masalah
konflik separatis di mana saja di dunia ini selalu merupakan masalah yang
sulit dipecahkan. Walaupun Gus Dur menyatakan rasa optimisme bahwa ia
akan menyelesaikan masalah Aceh dengan cepat, tapi kenyataannya itu tidak
terbukti. Prioritas utamanya adalah mencoba membujuk rakyat Aceh untuk
menaruh kepercayaan kepada pemerintah dan memberi waktu bagi
pemerintah.85
Salah satu usaha Gus Dur dalam menangani kasus Aceh adalah
melakukan perundingan damai dengan GAM. Pada 9 Desember 1999, HDC
mampu mengajak pemerintah RI-GAM menandatangani Cessation of
Hostilities Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan) sebanyak enam
halaman kuarto di markas HDC Jenewa, Swiss.86 Perundingan itu adalah
perundingan pertama di Davos, Swiss, dan menghasilkan jeda kemanusiaan,
84
Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di
Gedung DPR-RI, lantai 16
85
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid,
(Jogjakarta: LKIS, 2001), h. 362
86
Sinar Harapan, 11 Juli 2000
Moh. Sobary et.al, Gus Dur di Istana Rakyat (Catatan Tahun Pertama), (Jakarta:
LKBN Antara & Bright Communication, 2000), h. 257
Aceh
yang
mendukung
penyelenggaraan
referendum,
aspirasi
masyarakat
Aceh.
Dukungan
Taliban
terhadap
Mereka
pun
ikut
memprakarsai
penyelenggaraan
kongres
terdiri
atas
aktivis
mahasiswa,
LSM
dan
santri.
Pada
88
89
Reaksi pun dimunculkan oleh para mahasiswa dan warga Aceh se-Jawa.
Mereka melakukan demonstrasi di gedung DPR/MPR guna menuntut
referendum di Aceh. Massa yang terhimpun dalam forum Persatuan
Komunikasi Rakyat Aceh (FOPKRA) ini sempat mengibar-ngibarkan spanduk
dan poster bertuliskan referendum di tiang bendera di halaman gedung. Selain
menuntut referendum mereka juga mendesak agar pemerintah menghukum
para pelanggar HAM di Aceh. Mereka juga mengatakan reeferendum
merupakan harga mati yang tidak bisa diganti dengan opsi lain. Tuntutan
referendum harus dipenuhi, apakah nanti merdeka, membentuk negara federal
atau otonomi khusus, yang jelas mereka menuntut agar referendum harus
berjalan dulu.90
Di Aceh, aparat kepolisian resort Aceh Besar dibantu pasukan brimob,
membubarkan apel siaga pejuang referendum Aceh di halaman gedung DPRD
Aceh. Petugas mengambil sejumlah bendera referendum dan meminta para
peserta apel tersebut meninggalkan halaman dewan. Upacara peringatan
setahun perjuangan referendum, semula sudah mendapat persetujuan dari
pimpinan dewan yang bernegoisasi dengan panitia penyelenggara. Akan tetapi
mereka dibubarkan karena mereka menaikkan bendera referendum di tiang
utama karena perjanjiannya mereka boleh menaikkan bendera referendum
akan tetapi bukan di tiang utama.91
Ribuan massa yang menuntut referendum berlaku anarkis di Meulaboh,
Aceh Barat. Mereka membakar gedung pemerintah yakni kantor Bupati Aceh
Barat, kantor Bappeda, kantor DPRD setempat dan kantor meteorologi serta
90
91
menjadi salah satu langkah awal penyelesaian Aceh. Ini salah satu hasil
kesimpulan rapat. Pada rapat Pansus, semua wakil masyarakat Aceh, kecuali
Kapolda bersikap sama. Mereka berpendapat satu-satunya cara untuk
menyelesaikan kasus Aceh saat ini hanya melalui referendum. Pada bagian
lain, Pansus DPR mengakui bahwa referendum sudah menjadi kehendak
rakyat Aceh. Dalam hasil rapat Pansus ini dihasilkanlah sepuluh rekomendasi
pansus Aceh, yang isinya antara lain DPR mendesak untuk secepatnya
membangun dan merehabilitasi fasilitas umum di Aceh, seperti tempat ibadah
dan sekolah, selain itu pemerintah perlu memberaikan kompensasi material
dan spiritual kepada korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh,
termasuk kepada keluarga yang ditinggalkan. Pansus Aceh juga mendesak
pemerintah untuk segera mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang
terjadi di Serambi Mekah lewat pengadilan koneksitas, baik sebelum maupun
setelah pencabutan daerah operasi militer (DOM).94 Akan tetapi, semua itu
sepertinya tidak membuahkan hasil apa-apa setelah beberapa lama gejolak di
Aceh masih terjadi.95
Ketika anggota Pansus melakukan rapat kerja dengan berbagai tokoh
Aceh, ratusan mahasiswa, masyarakat dan pemuda Aceh dari berbagai kota di
pulau Jawa menggelar aksi di balkon gedung DPR. Massa ini membawa
berbagai spanduk dan pamplet yang semuanya menuntut pelaksanaan
referendum di Aceh. Ketua DPR saat itu Akbar Tanjung, menemui
demonstran tersebut. Sayangnya dialog berakhir ricuh setelah sikap Akbar
Tanjung ini ternyata dinilai tak memuaskan para demonstran. Ketika didesak
94
http//www.depan.go.id
Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di
Gedung DPR-RI, lantai 16
95
atau
tidak.
Menurut
penjelasan
presiden,
pilihan
Aceh
96
99
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan dalam karya ini, maka kesimpulan
dari penulis sebagai berikut:
1. Latar belakang munculnya ide referendum Aceh adalah kekecewaan
masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat yang berawal dari pengingkaran
janji oleh Presiden Soekarno untuk menjalankan syariat Islam di Aceh.
Kemudian berlanjut pada masa Soeharto, dimana pada masa Orde Baru ini
pemerintah mengeksploitasi secara besar-besaran kekayaan alam Aceh akan
tetapi pembagiannya tidak merata ke seluruh wilayah Aceh, karena itu Aceh
menjadi wilayah yang terbelakang. Pada masa Orde Baru ini juga
diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) dimana operasi ini
diperuntukkan menumpas gerakan-gerakan pengacau keamanan yang ada di
Aceh. Akan tetapi, yang menjadi korban justru rakyat yang tidak bersalah,
selain itu banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Karena
itu muncul ide merdeka dan referendum yang berisikan merdeka atau tetap
bergabung dalam NKRI.
2. Ide referendum tercetus atas Kongres Mahasiswa Aceh Serantau untuk
mengembalikan kedaulatan Aceh. Keseriusan Aceh untuk menuntut adanya
referendum terlihat dengan pembentukan Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA), dan juga Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR).
Isi dari SU MPR tersebut adalah tetap bergabung dengan Indonesia atau
berpisah dari Indonesia. Pada saat SU MPR tersebut Gus Dur hadir yang
kemudian meresmikan papan referendum tersebut. Inilah yang menyebabkan
pribadi
bukanlah
suatu
kebijakan
poiltik.
Adapun
bila
tersebut
mengakibatkan
banyaknya
fasilitas
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (dkk). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara.
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2004
----------- Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV Rajawali, 1983
Adan Yusuf. Hasanuddin. Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh,
Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003
Al chaidar. Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah
Operasi Militer di Aceh 1989-1998. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998
Alaena, Badrun. NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja. Jogjakarta: Tiara
Wacana, 2000.
Azra, Azyumardi. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan,
2000
Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman
Wahid, Jogjakarta: LKIS
Danudjaja, Budiarto. Hari-Hari Indonesia Gus Dur, Jogjakarta: Galang
Press,1999
El-Ibrahimy, M. Nur. TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di
Aceh. Jakarta: Gunung Agung 1982
Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990
Emmerson K, Donald. (ed). Indonesia Beyond Soeharto, Negara, Ekonomi,
Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, bekerjasama
dengan The Asia Foundation Indonesia 2001
Sihbudi, Riza et.al. Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas
Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Bandung: Mizan
2001
Singgih S, Dody. Memaknai Referendum Secara Sosiologi, Suara Pembaruan 5
Desember 1999
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 2001
Umar, Musni, ed. Aceh Win-Win Solution, Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002
Van Dijk, Cornelis. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti 1995
Wahid, Abdurrahman. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama
Era Lengser. Jogjakarta: LKIS, 1999
---------- Prisma Pemikiran Gus Dur. Jogjakarta: LKIS, 1999
--------- Tuhan Tidak Perlu Dibela. Jogjakarta: LKIS, 1999
Wiratama Teguh, Rahadi, et.al. Supremasi Sipil, pelembagaan Politik dan
Masalah Integrasi Nasional: Masalah Krusial Konsolidasi Demokrasi,
Jakarta: LP3ES, 2003
Zada, Khamami (ed). Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan. Jakarta:
LAKPESDAM, 2002
Surat Kabar Dan Majalah
Indomedia, 11 November 1999
Indomedia, 26 November 1999
Kompas, 26 November 1999
Kompas, 9 November 1999
Republika, 30 November 1999