Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
2. PEMBATUBARAAN
Untuk mengetahui bagaimana batubara itu terbentuk, ada dua hal penting yang
harus diketahui, yaitu pertama; lingkungan atau kondisi yang bagaimana batubara itu
dapat terbentuk (lingkungan pengendapan/pembentukan batubara) dan kedua ; tahapan
dan proses apa saja yang berlangsung serta yang menyertainya selama pembentukan
batubara, dari mulai tanaman hingga menjadi batubara..
a. Tumbukan Lempeng (Kerak Bumi) dan Kaitannya dengan Pembentukan
Cekungan Pengendapan Batubara di Indonesia
Bumi yang kita tinggali, sebenarnya merupakan sebuah benda cair (liquid)
panas yang diselimuti oleh suatu lapisan padat yang lebih dingin, yang dikenal sebagai
kerak atau lempeng bumi. Suatu massa cair yang panas akan selalu bergejolak,
ditambah lagi dengan adanya rotasi bumi menghasilkan energi yang luar biasa, hingga
dirasakan pengaruhnya sampai ke kerak bumi bagian atas. Hal ini ditandai dengan
munculnya pergerakan, pergeseran, tumbukan dan pemekaran kerak (lempeng) bumi.
Di Indonesia dan wilayah sekitarnya, tedapat beberapa lokasi tumbukan
lempeng itu, baik yang terbentuk di sebelah barat dan selatan Indonesia, maupun yang
terjadi di Indonesia bagian timur (Gambar 1.) Salah satu dari tumbukan lempeng yang
terkenal adalah tumbukan antara lempeng benua Asia dari utara dan lempeng samudera
Hindia yang bergerak dari selatan mendesak ke utara.
Akibat tumbukan itu menghasilkan suatu morfologi yang khas, yaitu palung
(jurang laut yang sempit dan dalam), punggungan mlange akibat sesar naik, cekungancekungan, dan jajaran gunung-gunung api atau jalur batuan beku (Gambar 2). Dari
model morfologi yang terbentuk akibat tumbukan ini, yang terpenting dan terkait erat
dengan pembentukan batubara adalah munculnya cekungan-cekungan. Cekungancekungan ini dikelompokkan menjadi cekungan busur muka, cekungan antar
pegunungan dan cekungan busur belakang.
Cekungan
busur muka
Cekungan
busur belakang
Punggungan kerak
bagian dalam yang
terangkat
Palung
Kerak samudera
Hindia
Kerak benua
Meleleh
Tahap
Diagenesa
Materi Asal
(Tumbuhan
Proses Penggambutan :
Pengkrusakan/penguraian oleh mikroba
Pembentukan humin (bentuk jelly)
Penurunan keseimbangan biotektonik
Sedimen Organik
(gambut)
Tahap
Metamorfosa/
Metagenesa
BATUBARA :
Lignite
Sub-bituminous
Bituminous
Antrasit
Berkurang
H20 %
VM % (daf)
H % (daf)
O % (daf)
Bertambah
C % (daf)
Nilai kalori (CV)
Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,
ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter,
mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang cukup tinggi, hingga
sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan
hilang. Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah
prosentase unsur C (carbon) yang terkandung dalam batubara. Semakin tinggi
kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan (coalifikasi) semakin baik,
ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari unsure C inilah kalori batubara
dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam batubara, maka nilai kalorinya semakin
tinggi.
Gambar 4. Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992 dengan perubahan dalam
Amijaya, 2007)
Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau
hidrotermal. Lapisan gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu
akan mendapat P dan T yang lebih tinggi dibanding gambut dan batubara di tempat
lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.
Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut (Sukandarrumidi,
1995) :
5(C6H10O5)
cellulosa
5(C6H10O5)
cellulosa
7.
Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa tempat.
8.
Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak pengotornya.
9.
Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites dan inertinites dengan
mineral matteryang melimpah.
A.
In-situ (autochthonous)
Rawa gambur
Sedimentasi bahan
organis (biokimiabiotektonik)
Proses-proses geotektonik
dan geokimia menghasilkan
batubara
Penurunan
dasar rawa
Coal
B. Drift (allochthonous)
Sedimentasi
dan Kompaksi
Transportasi
oleh aliran air
Akumulasi tumbuhan, atau
gambut yang tersingkap,
lapuk, pecah-pecah
tertutup lagi oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentukbentuk perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau pasir
(Gambar 6).
Selama sedimentasi bahan gambut dan setelah batubara terbentuk, terjadi interaksi
dengan berbagai macam proses geologi yang dapat menyebabkan adanya variasi
distribusi lapisan batubara. Proses tersebut antara lain menyebabkan terjadinya
splitting, washouts dan floor rolls. Selain itu struktur geologi dapat menghasilkan
perubahan distribusi seam baik secara lateral maupun vertikal.
A
Gambut
Sedimen pasir/lempung
Gambar 6 . Tahapan pembentukan lensa-lensa batu pasir atau batu lempung pada suatu
seam batubara.
11
Splitting adalah fenomena dimana lapisan batubara terbagi menjadi 2 lapisan atau
lebih. Material (sedimen) bukan batubara yang memisahkan lapisan tersebut dikenal
sebagai parting atau band. Parting atau band merupakan hasil deposisi material klastik
yang menggantikan akumulasi material organik. Material tersebut dapat dihasilkan oleh
karena pembanjiran mire oleh air sungai atau air laut secara periodik.
13
16
Perbedaan penurunan dasar rawa (lebih cepat daripada di tempat lain) ini
mengakibatkan daerah yang lebih rendah akan terisi oleh aliran air baru yang
membawa sedimen asing (pasir atau lempung), sehingga proses penggambutan di
cekungan ini terhenti. Apabila kedudukan dasar rawa yang terisi sedimen asing ini
sudah seimbang dengan dasar rawa di sekitarnya, ekosistem rawa dapat terbentuk lagi,
sehingga memungkinkan proses-proses penggambutan dapat terjadi lagi.
1.
2..
Sebagian dasar rawa turun lebih cepat (a) mengakibatkan masuknya sedimen asing di
tempat tersebut
(a)
3.
Di bagian lain dari rawa juga mengalami hal yang sama (b), sementara itu ekosistem rawa dan
proses penggambutan terjadi lagi di daerah (a).
(b)
4.
Penurunan cekungan di (a) dan (b) normal, sehingga ekosistem rawa kembali
normal, proses penggambutan dapat terjadi lagi di daerah (a) dan (b).
(b)
(a)
(c)
5.
Penurunan dasar rawa yang cepat terjadi lagi di (c) dan (a). Kondisi ini memungkinkan air
laut masuk mengisi rawa yang dekat pantai. Sedimen asing di (c) terbentuk oleh adanya
transgresi (majunya laut terhadap daratan), mengakibatkan ekosistem rawa berubah
menjadi ekosistem laut, menghasilkan sedimen batugamping. Apabila proses-proses
geologi dan iklim memungkinkan, ekosistem raw adapat terbentuk lagi, sehingga proses
penggambutan terjadi lagi. Hasil akhir dari proses-proses ini dapat menghasilkan batubara
yang bercabang-cabang
18
Urat lempung
seperti vein
Lapisan
batubara
Batugamping
Batu pasir
Batubara
Batu lempung
19
5. PERINGKAT BATUBARA
Berdasarkan urutan terbentuknya batubara, jenis dari batubara antara lain :
20
21
Cara pengklasifikasian :
22
Class
Group
I Anthracite*
1.Metaanthracite
2.Anthracite
3.SemianthraciteC
Volatile
Fixed Carbon ,
Calorific Value Limits BTU
Matter Limits,
% , dmmf
per pound (mmmf)
% , dmmf
Equal
Equal Equal
Agglomerat
or
Less Greater or
or
Less
ing
Greater Than Than Less Greater Than
Character
Than
Than Than
nonagglom
98
2
erating
92
98
2
8
86
92
8
14
1.Low
volatile
78
bituminous
coal
2.Medium
volatilebitum 69
inous coal
3.High
volatile Abitu
II Bituminous
minous coal
4.High
volatile Bbitu
minous coal
5.High
volatile Cbitu
minous coal
86
14
22
78
22
31
69
31
14000D
commonly
13000D 14000
agglomerati
ng**E
11500 13000
10500 11500
1.Subbitumin
ousA coal
III
2.Subbitumin
Subbituminous ousB coal
3.Subbitumin
ousC coal
1.Lignite A
IV. Lignite
1.Lignite B
b.
agglomerati
ng
10500 11500
9500
10500
8300
9500
6300
8300
6300
nonagglom
erating
24
menunjukkansub-group.
Sifat caking dan coking dari batubara dibedakan atas kelakuan serbuk
batubara bila dipanaskan. Bila laju kenaikan temperature relative lebih
cepat menunjukkan sifat caking. Sedangkan sifat coking ditunjukkan
apabila laju kenaikan temperature lambat.
- Brown Coal
International klasifikasi dari Brown coal dan lignit dibagi atas
parameternya yaitu total moisture dan low temperature Tar Yield (daf).
Pada klasifikasi ini batubara dibagi atas 6 kleas berdasarkan total
moisture (ash free) yaitu :
1. Nomor kelas 10 dengan total moisture lebih dari 20%, ash free
2. Nomor kelas 11 dengan total moisture 20-30%, ash free
3. Nomor kelas 12 dengan total moisture 30-40%, ash free
4. Nomor kelas 13 dengan total moisture 40-50%, ash free
5. Nomor kelas 14 dengan total moisture 50-60%, ash free
6. Nomor kelas 15 dengan total moisture 60-70%, ash free
Kelas ini dibagi lagi atas group dalam 4 group yaitu :
1. No group 00 tar yield lebih rendah dari 10% daf
2. No group 10 tar yield antara 10-15 % daf
3. No group 20 tar yield antara 15-20 % daf
4. No group 30 tar yield antara 20-25 % daf
5. No group 40 tar yield lebih dari 25% daf
disebut mineral atau mineral matter. Kehadiran mineral dalam jumlah tertentu akan
mempengaruhi kualitas batubara terutama parameter abu, sulfur dan nilai panas
sehingga dapat membatasi penggunaan batubara. Keterdapatan mineral dalam batubara
bermanfaat dalam mempelajari genesa (Finkelman, 1993).
Mineral atau mineral matter pada batubara dapat diartikan sebagai mineralmineral dan material organik lainnya yang berasosiasi dengan batubara (Ward, 1986).
Secara keseluruhan mancakup tiga golongan material yaitu :
a. Mineral dalam bentuk partikel diskrit dan kristalin pada batubara.
b. Unsur atau senyawa dan biasanya tidak termasuk unsur nitrogen dan sulfur.
c. Senyawa anorganik yang larut dalam air pori batubara dan air permukaan
Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuhtumbuhan pembentuk batubara atau disebut inherent mineral serta mineral yang berasal
dari luar rawa atau endapan kemudian ditransport ke dalam cekungan pengendapan
batubara melalui air atau angin dan disebut extraneous atau adventitious mineral matter
(Falcon dan Snyman, 1986; Speight, 1994).
Berdasarkan episode pembentukannya (Mackowsky,1982) membagi mineral
matter menjadi dua kategori yaitu : syngenetic dan epigenetic. Syngenetic (primary)
mineral matter adalah mineral yang terbentuk sebagai detrital maupun authigenic.
Umumnya mineral-mineral ini mempunyai ukuran butir lebih kecil dari mineral
epigenetic dan tersebar secara merata pada batubara.
Berdasarkan atas kelimpahannya, maka mineral-mineral pada batubara dapat
dibedakan atas : mineral utama (major minerals), mineral tambahan (minor minerals)
dan mineral jejak (trace minerals). Ranton (1982) menggolongkan mineral utama jika
kadarnya > 10 % berat, mineral tambahan 1-10 % dan mineral jejak , 1 % berat.
Umumnya yang termasuk mineral utama adalah mineral lempung dan kuarsa
sedangkan mineral minor yang umum adalah karbonat, sulfida dan sulfat.
Klasifikasi mineral yang terdapat pada batubara ditinjau dari segi genetis selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
6.1 Mineral Lempung (Clay)
Mineral ini merupakan kelompok yang palaing dominan dijumpai pada
batubara, sekitar 60-80 % dari total mineral matter. Umumnya terdapat sebagai mineral
primer yang terbentuk akibat adanya aksi air atau angin yang membawa
material
detrital ke dalam cekungan pengendapan batubara. Distribusi mineral lempung dalam
batubara dikendalikan oleh kondisi kimia rawa (Bustin, 1989). Spesies mineral
lempung yang umum terdapat dalam batubara adalah kaolinite, illite dan
montmorilonit. Kaolinit umumnya terdapat dalam batubara secara syngenetic yang
terkonsentrasi pada bidang perlapisan, tersebar pada vitrinit sebagai pengisi rekahan
dan lainnya berbentuk speris. Sedangkan illite biasanya lebih banyak terdapat pada
batubara dengan lapisan penutup (roof) batuan sedimen marin.
27
Mineral lempung yang terbentuk pada fase ke dua (secondary), umumnya dihasilkan
oleh adanya transformasi dari lempung fase pertama. Bila kedalaman penimbunan
bertambah, maka proporsi kaolinit berkurang sedangkan illite bertambah. Asosiasi
mineral lempung pada lapisan batubara berupa inklusi halus yang tersebar dan sebagai
pita-pita lempung (tonstein).
6.2 Kuarsa
Kuarsa (SiO2) adalah salah satu mineral oksida yang paling penting terdapat
dalam batubara (Tylor et al, 1998). Ada dua tipe kuarsa yang dapat dibedakan
berdasarkan teksturnya yaitu : butiran kuarsa klastik berbentuk bulat jika terendapkan
melalui media air dan berbentukmenyudut jika melalui media angin. Sedangkan tipe
lainnya adalah kuarsa kristal halus yang terbentuk dari larutan setelah pengendapan
batubara. Kebanyakan merupakan silika yang terlarut dari hasil pelapukan felspar dan
mika. Kuarsa merupakan mineral syngenetic dan jarang ditemukan sebagai epigenetic
(Ranton, 1982).
Tabel 2. Klasifikasi mineral yang terdapat pada batubara ditinjau dari segi genetis
(Bustin et al, 1989)
Primary (syngenetic) Formation
Detrital
Clays
-Kaolinite
Al2Si2O5 (OH)4
Authigenic
Sericite,
smectite
-Illite
KAl2(AlSiO3)
O10 (OH)2
Mixed-layer
clays
Carbonates
Sulphides
-Siderite
FeCO3
-Dolomite
(CaMg)CO3
-Ankerite,
-Calcite
CaCO3
Pyrite FeS2,
Marcasite
FeS2
Melnikovite
Secondary (Epigenetic)
Formation
Deposited in
Tranformation
cleat fractures & of primary
cavities
minerals
Illite, chlorite
(from other
clays)
-Ankerite
(Mg,Fe,Mn)
CO3
Pyrite,
marcasite,
Sphalerite ZnS,
Galena PbS,
Chalcopyrite
Pyrite
(from siderite)
28
CuFeS2
Silicas
Quartz-SiO2
Quarzt SiO2
Chalcedony
Oxides &
Hydroxides
Rutile TiO2
Hematite
Fe2O3
Limonite
FeO(OH)2H2
O
Phosphates
Apatite
Ca5F(PO4)3
-Phosphorite
-Apatite
Silicates
Sulphates
Zircon ZrSiO4
Felspar
Tourmaline,
Micas
-Hydrated
iron
-Sulphate
-Gypsum
CaSO42H2O
(oxidation
products)
6.3 Karbonat
Terdapat 4 (empat) spesies mineral karbonat yang biasa ditemukan dalam
batubara yaitu : kalsit (CaCO3), siderit (FeCO3), dolomit (Ca, Mg) CO3 dan ankerit
(CaMgFe)CO3. Mineral-mineral ini dapat terbentuk baik pada fase syngenetic akhir
maupun epigenetic (Diessel, 1992). Karbonat syngenetic umumnya terdapat dalam
bentuk konkresi speroidal dan sebagai pengisi ronga-rongga fusinite dan semifusinite.
Siderit yang terbentuk dalam kondisi reduksi dapat dianggap sebagai karbonat primer,
sedangkan kalsit dapat terbentuk baik dalam lingkungan air tawar maupun laut
(Ranton, 1982). Hadirnya dolomit merupakan indikasi lingkungan pengendapan laut
(Stach, 1982).
6.4 Sulfida
29
Pirit dan markasit merupakan mineral sulfida yang paling umum terdapat pada
batubara. Ke dua spesies mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS 2)
hanyan berbeda dalam bentuk kristalnya. Pirit berbentuk kubik dan markasit berbentuk
ortorombik.
Mineral ini dapat terbentuk baik secara syngenetik maupun epigenetik dalam
berbagai bentuk (Diesel, 1992). Beberapa bentuk mineral pirit yang telah ditemukan
dalam batubara adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
Kristal pirit berukuran kecil yang terdapat sebagai inklusi dalam vitrinit
dan semufusinit dan seringkali berasosiasi dengan pirit framboidal.
Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga beberapa centimeter
yang umumnya terdiri dari kristal-kristal membulat atau memanjang.
Bentuk Fe-Sulfida syngenetic yang paling umum adalah kristal pirit
dengan ukuran lebih kecil dari 2 mikron, terdapat dalam bentuk speroidal atau
framboidal dan berasosiasi dengan vitrinit.
Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk lensa-lensa pipih
atau pita-pita yang menunjukkan presipitasi pirit generasi ke dua yang terjadi
selama diagenesa akhir. Hal ini dianggap sebagai peralihan ke pirit epigenetic.
Pirit epigenetic yang terbentuk sebagai material pengisi rekahan, kekar
dan celah.
6.5 Sulfat
Mineral sulfat yang paling dominan terdapat pada batubara adalah bassanit dan
gypsum. Umumnya mineral ini terbentuk dari hasil oksidasi mineral sulfida (pirit) pada
batubara terutama bila berhubungan dengan udara luar dalam waktu lama.
30