Anda di halaman 1dari 30

PROSES TERJADINYA BATUBARA

1. TINJAUAN UMUM (GANESA BATUBARA)


Batubara yang mempunyai rumus kimia C, adalah bahan tambang yang tidak
termasuk dalam kelompok mineral. Batubara (coal) adalah : bahan baker hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan
terkena pengaruh P& T yang berlangsung lama sekali (hingga puluhan-ratusan juta
tahun).
Batubara dapat dikategorikan sebagai salah satu batuan sedimen yang kaya akan
material organik. Cook & Sherwood (1991) mengemukakan bahwa suatu deposit bisa
disebut sebagai batubara jika kandungan material organiknya lebih dari 80%. Deposit
batubara merupakan hasil akhir dari suatu efek kumulatif proses pembusukan dan
penguraian tumbuhan, deposisi dan pembebanan sedimen, proses endogenik seperti
pergerakan kerak bumi dan proses eksogenik contohnya erosi
Proses pembentukan batubara memakan waktu hingga puluhan juta tahun,
dimulai dari pembentukan gambut (peat) kemudian menjadi lignite, sub-bituminous,
bituminous hingga antrasit. Proses pembentukan batubara/pembatubaraan (koalifikasi)
dapat diartikan sebagai proses pengeluaran berangsur-angsur dari zat pembakar (O 2)
dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) hingga akhirnya menyebabkan
konsentrasi karbon tetap (fixed carbon) dalam bahan asal batubara bertambah.
Kandungan Air :
Peat (gambut)
< 60 %
-------------------------------------------------------------------Lignite
30 40 %
Sub-bituminous
10 25 %
Bituminous
5 10 %
Antrasit
1- 3%
Gambut meskipun dalam banyak hal mempunyai kesamaan dengan batubara,
tidak digolongkan sebagai batubara. Gambut secara umum mempunyai pengertian
sebagai suatu sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran
atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup udara (di
bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 60 %. Ada satu hal penting yang
menjadikan alasan, mengapa gambut tidak bisa digolongkan kedalam kelompok
batubara, yaitu pada gambut belum/tidak terjadi metamorfosa akibat pengaruh P
(pressure) & T (temperature), sehingga karakter fisik dan kimianya tidak jauh beda
dengan kayu, meskipun penampakan fisualnya lebih mirip dengan batubara.

2. PEMBATUBARAAN
Untuk mengetahui bagaimana batubara itu terbentuk, ada dua hal penting yang
harus diketahui, yaitu pertama; lingkungan atau kondisi yang bagaimana batubara itu
dapat terbentuk (lingkungan pengendapan/pembentukan batubara) dan kedua ; tahapan
dan proses apa saja yang berlangsung serta yang menyertainya selama pembentukan
batubara, dari mulai tanaman hingga menjadi batubara..
a. Tumbukan Lempeng (Kerak Bumi) dan Kaitannya dengan Pembentukan
Cekungan Pengendapan Batubara di Indonesia
Bumi yang kita tinggali, sebenarnya merupakan sebuah benda cair (liquid)
panas yang diselimuti oleh suatu lapisan padat yang lebih dingin, yang dikenal sebagai
kerak atau lempeng bumi. Suatu massa cair yang panas akan selalu bergejolak,
ditambah lagi dengan adanya rotasi bumi menghasilkan energi yang luar biasa, hingga
dirasakan pengaruhnya sampai ke kerak bumi bagian atas. Hal ini ditandai dengan
munculnya pergerakan, pergeseran, tumbukan dan pemekaran kerak (lempeng) bumi.
Di Indonesia dan wilayah sekitarnya, tedapat beberapa lokasi tumbukan
lempeng itu, baik yang terbentuk di sebelah barat dan selatan Indonesia, maupun yang
terjadi di Indonesia bagian timur (Gambar 1.) Salah satu dari tumbukan lempeng yang
terkenal adalah tumbukan antara lempeng benua Asia dari utara dan lempeng samudera
Hindia yang bergerak dari selatan mendesak ke utara.

Gambar 1. Peta tektonik Indonesia dan wilayah sekitarnya


(sumber Charlile dan Mitchel (1994)

Akibat tumbukan itu menghasilkan suatu morfologi yang khas, yaitu palung
(jurang laut yang sempit dan dalam), punggungan mlange akibat sesar naik, cekungancekungan, dan jajaran gunung-gunung api atau jalur batuan beku (Gambar 2). Dari
model morfologi yang terbentuk akibat tumbukan ini, yang terpenting dan terkait erat
dengan pembentukan batubara adalah munculnya cekungan-cekungan. Cekungancekungan ini dikelompokkan menjadi cekungan busur muka, cekungan antar
pegunungan dan cekungan busur belakang.

Jalur gunung api

Cekungan
busur muka

Cekungan
busur belakang

Punggungan kerak
bagian dalam yang
terangkat

Palung

Kerak samudera
Hindia

Kerak benua

Meleleh

Gambar 2. Model tektonik Indonesia bagian barat


Cekungan antar pegunungan jarang terjadi, kecuali bila ada sesar mendatar yang sangat
besar, seperti yang membelah pulau Sumatera hingga bagian barat Myanmar,
menghasilkan cekungan antar pegunungan. Batubara di Ombilin adalah contoh endapan
batubara yang terbentuk di cekungan antar pegunungan.
Di Jawa, endapan batubara terbatas pada daerah tepian cekungan busur muka.
Karena tidak dijumpai sesar mendatar yang cukup besar di Jawa, maka cekungan antar
gunung yang mengandung batubara tidak berkembang. Sampai saat ini, belum ada
penemuan batubara yang berarti di daerah cekungan bususr belakang di Jawa.
Cekungan busur belakang membentang mulai pesisir timur Sumatera dan utara
Jawa hingga Kalimantan. Gambut dan batubara dengan deposit yang besar banyak
ditemukan di cekungan ini. Batubara di Bukit Asam terjadi di cekungan busur
belakang, demikian pula gambut dan batubara di seluruh Kalimantan terbentuk di
cekunagn busur belakang.

b. Lingkungan Pengendapan Gambut /Batubara


Secara umum lingkungan pembentuk batubara dapat dibedakan menjadi 2 kelompok
yaitu (1) lingkungan paralik atau marginal marine (daerah pesisir) dan (2) lingkungan
limnik atau air tawar.
Pada lingkungan paralik atau marginal marine, terdapat beberapa
sublingkungan dimana batubara umum terbentuk, yaitu pada:
- estuarin, lagun dan teluk: pada lingkungan ini terjadi deposisi sedimen klastik
dan material organik dari marsh/swamp (paya/rawa) di sekitarnya serta
kontribusi alga in situ.
- coastal marsh: lingkungan ini berada pada daerah rendah di belakang gosong
pantai sehingga terpisah dari laut. Akan tetapi pada saat terjadi pasang tinggi
dan badai, coastal marsh secara periodik dipengaruhi oleh air laut. Tumbuhan
yang terdapat pada lingkungan ini adalah tumbuhan yang mampu beradaptasi
dengan berbagai kondisi salinitas. Tumbuhan yang umumnya ditemukan pada
coastal marsh daerah tropis adalah berupa mangrove.
- Lower delta plain marsh/swamp: fasies ini terutama berupa daratan/pulau
interdistributer yang ditumbuhi tumbuhan (mangrove) pada delta bagian depan
yang berhadapan dengan laut. Pada saat terjadi pasang tinggi dan badai, air laut
yang masuk dapat menyebabkan penambahan sulfur sehingga menyebabkan
terbentuknya deposit gambut yang kaya akan pirit. Selain itu pada saat banjir,
sedimen berbutir halus dapat diendapkan bersama material tanaman sehingga
terbentuk gambut yang kandungan abunya tinggi.
Lingkungan limnik atau air tawar merupakan lingkungan yang didominasi oleh
air tawar (atau di atas level pasang tertinggi) dan tidak memiliki hubungan hidrologis
secara langsung dengan laut. Sub-lingkungan yang membentuk deposit batubara
adalah:
- fluvial swamp (termasuk upper delta plain swamp): rawa fluvial banyak
terdapat pada dataran banjir fluvial oleh karena terlindung dari suplai sedimen
oleh adanya leeve sepanjang teras sungai. Gambut/batubara yang dihasilkan
dapat berselang-seling dengan lapisan pasir atau lempung yang terbawa oleh
adanya banjir. Kadang pembentukan gambut pada lingkungan ini juga diselingi
dengan adanya fasies danau.
- danau: pembentukan gambut terutama terjadi pada pinggir danau, sedangkan
pada posisi yang lebih dalam terbentuk lumpur organik oleh karena minimnya
sirkulasi air.
- upland bog: gambut juga dapat terbentuk pada lingkungan yang tidak secara
langsung berhubungan dengan kondisi fluviatil, akan tetapi tetap terjadi drainasi
dan akumulasi material klastik tidak terlalu banyak melampaui akumulasi
tumbuhan.

c. Syarat-Syarat Pembentukan Batubara :


Batubara dapat terbentuk setidaknya harus terpenuhi empat hal, yaitu :
1. Ketersediaan tumbuhan yang melimpah
2. Morfologi tempat pengendapan yang sesuai : kondisi rawa ideal untuk
perkembangan organisme anaeraob, muka air tanah dangkal, iklim yang sesuai.
3. Penurunan dasar cekungan/rawa saat pengendapan (synsedimenter) :
Terjadi keseimbangan biotektonik, yaitu keseimbangan kecepatan
sedimentasi bahan-bahan pembentuk humin atau gambut dengan penurunan
dasar rawa.
Terjadi fase biokimia (proses-proses kimiawi dengan bantuan mikro
organisme dalam lingkungan bebas oksigen).
4. Penurunan cekungan/dasar rawa sesudah pengendapan (postsedimenter) :
Proses-proses geotektonik
Terjadi fase geokimia, yaitu proses-proses kimiawi bahan/material oleh
proses-proses alam yang terjadi di dalam bumi.
d. Tahapan dan Proses Terjadinya Batubara :
Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi dua
kejadian, yaitu pertama tahap/fase diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh
organisme, atau sering juga disebut sebagai tahap/fase biokimia. Kedua adalah tahap
metamorfosa, yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara, yang sering juga disebut
sebagai tahap geokimia (Gambar 3.dan 4)
1. Tahap/Fase Diagenesa (Biokimia)
Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian
pula kondisi air dan tanahnya. Pada lingkungan rawa, sirkulasi air sangat minim
bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama sekali, hal ini mengakibatkan minimnya
kandungan oksigen di rawa. Dalam lingkungan seperti ini, tanaman dan sisa-sisa
tanaman rawa yang mati tidak bisa membusuk secara wajar (untuk pembusukan
dibutuhkan oksigen/bakteri bakteri aerob/suka oksigen). Pada akhirnya yang
dominan adalah bakteri-bakteri jenis an aerab.
Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos
(busuk), tetapi menjadi bahan lain yang disebut dengan gel atau jelly. Penguraian
ini terjadi di lingkungan yang bebas (minim) oksigen. Lingkungan rawa yang
selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi air
yang baik, menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri an aerob
berkembang biak dan aktif mengurai tanaman menjadi gel.
Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk
sedimen, mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan
kandungan air, hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahanbahan organik (humin) yang dikenal sebagai gambut (peat).

2. Fase Metamorfosa (Geokimia)


Pada fase ini, terjadi perubahan yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan
kimiawi bahan gambut menjadi batubara. Perubahan mendasar ini ditandai dengan
semakin menurunnya kandungan air, hydrogen, oksigen, karbon dioksida dan
bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile matter). Bakteri tidak lagi
berperan disini, akan tetapi yang berperan adalah perubahan-perubahan dan
aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam bumi, seperti adanya perubahan tekanan
dan temperatur, struktur, intrusi dan lain sebagainya.

Tahap
Diagenesa

Materi Asal
(Tumbuhan

Rawa Gambut (Mire)


(Dibedakan atas macam lingkungan
pengendapan/facies

Proses Penggambutan :
Pengkrusakan/penguraian oleh mikroba
Pembentukan humin (bentuk jelly)
Penurunan keseimbangan biotektonik

Sedimen Organik
(gambut)

Tahap
Metamorfosa/
Metagenesa

BATUBARA :
Lignite
Sub-bituminous
Bituminous
Antrasit

Berkurang

H20 %
VM % (daf)
H % (daf)
O % (daf)

Bertambah

C % (daf)
Nilai kalori (CV)

Gambar 3. Tahapan pembentukan batubara


6

Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,
ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter,
mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang cukup tinggi, hingga
sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan
hilang. Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah
prosentase unsur C (carbon) yang terkandung dalam batubara. Semakin tinggi
kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan (coalifikasi) semakin baik,
ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari unsure C inilah kalori batubara
dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam batubara, maka nilai kalorinya semakin
tinggi.

Gambar 4. Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992 dengan perubahan dalam
Amijaya, 2007)
Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau
hidrotermal. Lapisan gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu
akan mendapat P dan T yang lebih tinggi dibanding gambut dan batubara di tempat
lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.
Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut (Sukandarrumidi,
1995) :
5(C6H10O5)
cellulosa
5(C6H10O5)
cellulosa

C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO


lignit gas metan
C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO
bitumine gas metan

3. TIPE PENGENDAPAN BATUBARA


Ditinjau dari mekanisme atau tipe pengendapan bahan-bahan pembentuk
batubara maupun pengendapan batubara, dapat digolongkan menjadi dua kelompok
(Sukandarrumidi, 1995), yaitu : batubara yang terbentuk secara in-situ atau
autochthonous dan yang terbentuk secara drift atau allochthonous.
Batubara jenis in-situ atau autochthonous yaitu batubara yang terjadi dari
sedimentasi gambut dimana rawa gambut tersebut berada. Jadi batubara benar-benar
berasal dari rawa gambut tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman rawa tersebut,
yang kemudian oleh proses-proses biokimia, geokimia dan geotektonik, batubara
terbentuk (Gambar 5).
Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1.
Hadirnya seat earths.
2. Ada struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3. Ada pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat itu.
4.
Batubaranya relatif bersih, kadar abunya relatif kecil, baik pada lapisan batubara
maupun lapisan antar seam.
5.
Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa dengan drainase buruk.
6.
Sebarannya luas dan merata di seluruh lapangan batubara.
7.
Ketebalannya seragam (kurang bervariasi) cenderung tipis dan berbentuk
lentikuler.
8.
Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
9.
Kontaknya tegas (tiba-tiba) antara batubara dengan lapisan sedimen di atasnya.
10. Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps, low-lying swamps, dan raised
swamps.
11. Maceral terawetkan secara baik dan hadir litotipe vitrain, clarain, durain, dan
fusain.
Batubara jenis drift atau allochthonous adalah lapisan batubara yang terbentuk
dari hasil pelapukan, erosi, transportasi dan akhirnya sedimentasi kembali dari lapisan
batubara yang sudah terbentuk sebelumnya. Bahan asal batubara (tumbuhan maupun
gambut) dapat terbawa, tererosi dan tertransportasi oleh aliran air. Sedimentasi kembali
bahan-bahan organik ini dalam linkungan dan kondisi yang cocok untuk terjadinya
proses pembatubaraan (coalification) dapat memungkinkan terbentuknya lapisan
batubara. (Gambar 5).
Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya seat earths.
2. Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau pokok pohon yang tegak terhadap
bidang perlapisan.
3.
Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
4.
Berasosiasi dengan endapan delta.
5.
Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan marin.
6.
Hadirnya coal balls pada batupasir lapisan penutup.
8

7.
Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa tempat.
8.
Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak pengotornya.
9.
Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites dan inertinites dengan
mineral matteryang melimpah.

A.

In-situ (autochthonous)

Rawa gambur

Sedimentasi bahan
organis (biokimiabiotektonik)

Proses-proses geotektonik
dan geokimia menghasilkan
batubara

Penurunan
dasar rawa
Coal

B. Drift (allochthonous)
Sedimentasi
dan Kompaksi

Transportasi
oleh aliran air
Akumulasi tumbuhan, atau
gambut yang tersingkap,
lapuk, pecah-pecah

Gambar 5. Pembentukan batubara tipe in-situ dan tipe drift

4. BENTUK LAPISAN (Seam) BATUBARA AKIBAT PROSES GEOLOGI DAN


SEDIMENTASI
Endapan batubara sering dijumpai berlapis-lapis atau berselang-seling dengan
batuan sedimen lain (clay stone, sand stone, limestone, dll.). Terkadang lapisan
batubara ini (biasa disebut seam) sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan terkadang
dijumpai pula sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batu pasir .
Pada dasarnya model atau pola (pattern) endapan dan perlapisan pada batubara
dapat digolongkan menjadi dua model, yaitu yang terjadi karena stratigrafinya
(stratigraphic pattern) dan karena pengaruh struktur geologi (structural pattern).
4.1 Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern)
Endapan batubara model ini terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur geologi
(patahan, lipatan, dll.) yang berarti, tetapi oleh proses sedimentasi normal atau adanya
erosi dan ketidakselarasan (unconformity). Model-model lapisannya berupa lapisan
yang normal mendatar atau sedikit miring (tebal atau tipis, atau berselangseling) dan
terkadang dijumpai sisipan-sisipan lempung atau batupasir.
4.1.1 Lapisan atau Seam Batubara yang Tebal
Lapisan (seam) batubara yang tebal diperkirakan terjadi karena pada saat pembentukan
lapisan gambut, dasar rawa mengalami penurunan yang signifikan dan terus-menerus.
Apabila kecepatan penurunan dasar rawa tempat pembentukan lapisan gambut tersebut
sebanding (seimbang) dengan kecepatan pembentukan materi asal batubara (gel atau
gambut), maka gambut yang terbentuk akan tebal, hingga memungkinkan terbentuk
seam batubara yang tebal.. Keseimbangan ini dikenal sebagai keseimbangan
biotektonik.
4.1.2 Lapisan atau Seam Batubara yang Tipis
Lapisan (seam) batubara yang tipis diperkirakan terjadi karena beberapa hal,
diantaranya adalah ketersediaan bahan-bahan pembentuk gambut (tetumbuhan) kurang
mencukupi. Kemungkinan lain adalah karena pada saat pembentukan lapisan gambut,
rawa terus mengalami pendangkalan karena tidak adanya penurunan dasar rawa, hingga
akhirnya ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem darat.
Perubahan ekosistem dan iklim yang ekstrim (perubahan iklim basah ke iklim kering)
diperkirakan juga menjadi penyebab terputusnya proses pembentukan dan sedimentasi
gambut, hingga menghasilkan lapisan gambut dan batubara yang tipis.
4.1.3 Lapisan atau Seam Batubara dengan Sisipan Sedimen Lain
Model lapisan batubara jenis ini diperkirakan terjadi erosi oleh sungai yang memotong
lapisan-lapisan gambut pada saat pembentukannya. Perpindahan letak sungai, seperti
yang sering dijumpai pada proses meander, pada daerah rawa tempat pembentukan
gambut tersebut diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan
lempung atau pasir pada suatu seam batubara.
Pembentukan lapisan gambut pada suatu rawa gambut (mire/moor), dapat tererosi dan
terpotong oleh aliran sungai, sehingga akan diendapkan sedimen asing di tempat
tersebut. Apabila kemudian sungai ini mati/atau berpindah (sering dijumpai pada
peristiwa meander sungai), sedimen yang terdapat di bekas sungai itu akan dapat
10

tertutup lagi oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentukbentuk perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau pasir
(Gambar 6).
Selama sedimentasi bahan gambut dan setelah batubara terbentuk, terjadi interaksi
dengan berbagai macam proses geologi yang dapat menyebabkan adanya variasi
distribusi lapisan batubara. Proses tersebut antara lain menyebabkan terjadinya
splitting, washouts dan floor rolls. Selain itu struktur geologi dapat menghasilkan
perubahan distribusi seam baik secara lateral maupun vertikal.
A

Lapisan gambut yang tererosi sungai (washout)


Erosi sungai

Gambut

Sedimentasi pasir dan lempung di


sungai yang mati

Sedimen pasir/lempung

Proses sedimentasi gambut menutup


sediment pasir dan lempung

Erosi sungai terjadi di bagian lain

Lensa-lensa pasir/lempung dalam suatu seam batubara

Gambar 6 . Tahapan pembentukan lensa-lensa batu pasir atau batu lempung pada suatu
seam batubara.

11

Splitting adalah fenomena dimana lapisan batubara terbagi menjadi 2 lapisan atau
lebih. Material (sedimen) bukan batubara yang memisahkan lapisan tersebut dikenal
sebagai parting atau band. Parting atau band merupakan hasil deposisi material klastik
yang menggantikan akumulasi material organik. Material tersebut dapat dihasilkan oleh
karena pembanjiran mire oleh air sungai atau air laut secara periodik.

Gambar 7. Beberapa bentuk splitting: (a) simple splitting, (b) multiple


splitting, (c) Z / S shape splitting (Thomas, 2002).
Washout terbentuk pada saat lapisan batubara tererosi oleh gelombang atau arus dan
kemudian terisi oleh sedimen. Washout merupakan masalah besar dalam operasi
penambang karena dapat mengurangi secara signifikan jumlah batubara yang
tertambang.

Gambar 8. Beberapa bentuk channeling (washout) pada lapisan


batubara. (a) channel yang terisi pasir membentuk atap
pada lapisan batubara, (b) channel yang terisi pasir
material rombakan lain mengerosi lapisan batubara, (c)
channel yang terisi mudstone mengerosi lapisan batubara,
(d) multiple channel sequence yang mengerosi lapisan
batubara (Thomas, 2002).
12

Floor rolls adalah kenampakan dimana material batuan menyodok/menembus lapisan


batubara ke atas dari bawah. Hal ini terjadi karena kompaksi gambut/batubara tidak
terjadi pada tingkat yang sama sehingga terdapat bagian lapisan yang lebih atau kurang
tertekan dibandingkan bagian lapisan yang lain.
4.1.4

Batubara Berlapis-Lapis atau Terkadang dengan Sedimen Asal Laut


Batugamping
Batubara yang berlapis-lapis, diperkirakan terjadi karena terputusnya proses
penggambutan akibat beberapa hal, seperti penurunan dasar rawa yang terlalu cepat,
sehingga dapat mengubah ekosistem rawa secara ekstrim.
Penurunan dasar rawa yang lebih cepat dari wilayah sekitarnya, mengakibatkan daerah
tersebut lebih rendah, sehingga air dan sedimen-sedimen asing cenderung masuk ke
daerah ini, membawa lempung dan pasir. Masuknya aliran air dan sedimen asing akan
mempengaruhi ekosistem dan biokimia rawa, menyebabkan mikroorganisme
pembentuk humin (gel dan gambut) mati.
Penurunan dasar rawa dekat pantai yang terlalu cepat dapat menyebabkan air laut
masuk ke rawa (transgression), menyebabkan ekosistem rawa berubah menjadi
ekosistem laut. Perubahan ekosistem ini dapat menghasilkan terbentuknya lapisanlapisan batu gamping diantara lapisan-lapisan batubara. Apabila ekosistem ini berubah
kembali ke ekosistem rawa karena terjadinya kemunduran laut (regression), proses
penggambutan dapat terjadi lagi, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan lapisan
batubara lagi, berselang-seling dengan lapisan batugamping dan sedimen lain.

13

4.2 Model atau Pola Akibat Struktur Geologi (Structural Pattern)


Model atau pola ini terjadi akibat struktur geologi yang berkembang selama
proses penggambutan maupun pembatubaraan. Struktur geologi yang berpengaruh
terhadap distribusi lapisan batubara dapat bersifat syndepositional (bersamaan dengan
akumulasi gambut) dan postdepositional (sesudah pembentukan lapisan
gambut/batubara). Struktur yang bersifat syndepositional terutama terjadi karena
kombinasi dari akumulasi sediment yang tebal dan penurunan cekungan yang cukup
cepat. Struktur yang mungkin terjadi umumnya berupa slumping dan loading. Struktur
yang sudah ada sebelumnya dan kemudian aktif kembali pada saat deposisi gambut,
dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan distribusi lapisan oleh karena deposisi
lapisan gambut akan mengikuti perubahan dasar pengendapan. Seperti sudah diketahui
struktur yang bersifat postdepositional seperti pensesaran dan perlipatan akan
menyebabkan distribusi lapisan yang bervariasi dan dapat berubah-ubah dari satu
tempat lain.
4.2.1 Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang
menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi. Tingkat
perlengkungan
sangat
ditentukan
oleh
besaran gaya kompresi.
Makin
kuat gaya kompresi yang berpengaruh, makin besar tingkat perlengkungannya. Ke arah
lateral lapisan batubara mungkin akan sama tebalnya atau menjadi tipis. Kenampakan
ini dapat terlihat langsung pada singkapan lapisan batubara yang tampak/dijumpai di
lapangan (dalam skala kecil), atau dapat diketahui dari hasil rekontruksi beberapa
lubang pemboran eksplorasi pada saat dilakukan coring secara sistematis.Akibat dari
perlengkungan ini lapisan batubara terlihat terpecah-pecah akibatnya batubara menjadi
kurang kompak.
Pengaruh air hujan, yang selanjutnya menjadi air tanah, akan mengakibatkan
sebagian dari butiran batuan sedimen yang terletak di atasnya, bersama air tanah akan
masuk di antara rekahan lapisan batubara. Kejadian ini akan megakibatkan apabila
batubara tersebut ditambang, batubara mengalami pengotoran (kontaminasi) dalam
bentuk butiran-butiran batuan sedimen sebagai kontaminan anorganik, sehingga
batubara menjadi tidak bersih. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan, apabila
batubara tersebut akan dipergunakan sebagai bahan bakar.

Gambar 9. Bentuk Horse Back


14

4.2.2 Bentuk Pinch


Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada
umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis
misalnya batulempung sedang di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh
batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur. Sangat dimungkinkan,
bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan tunggal, melainkan merupakan
penampakan yang berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi dari beberapa meter
sampai puluhan meter. Dalam proses penambangan batubara, batupasir yang mengisi
pada alur-alur tersebut tidak terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan fragmenfragmen batupasir tersebut juga dianggap sebagai pengotor anorganik. Keberadaan
pengotor ini tidak diinginkan apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan sebagai
bahan bakar.

Gambar 10. Bentuk Pinch


4.2.3 Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian lapisan batubara terdapat urat
lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan batubara
mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka
terisi oleh material lempung ataupun pasir. Apabila batubaranya ditambang,
bentukan Clay Vein ini dipastikan ikut tertambang dan merupakan pengotor anorganik
(mineral matter) yang tidak diharapkan. Pengotor ini harus dihilangkan apabila
batubara tersebut akan dikonsumsi sebagai bahan bakar.

Gambar 11. Bentuk Clay Vein


15

4.2.4 Bentuk Burried Hill


Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk suatu
kulminasi sehingga lapisan batubara seperti terintrusi. Sangat dimungkinkan lapisan
batubara pada bagian yang terintrusi menjadi menipis atau hampir hilang sama
sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa meter sampai puluhan meter.
Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi akan banyak membantu dalam
menentukan dimensi bentukan tersebut. Apabila bentukan intrusi tersebut merupakan
batuan beku, pada saat proses penambangan dapat dihindarkan, tetapi apabila bentukan
tersebut merupakan tubuh batupasir, dalam proses penambangan sangat dimungkinkan
ikut tergali. Oleh sebab itu ketelitian dalam perencanaan penambangan sangat
diperlukan, agar fragmen-fragmen intrusi tersebut dalam batubara yang dihasilkan dari
kegiatan penambangan dapat dikurangi sehingga keberadaan pengotor anorganik
tersebut jumlahnya dapat diperkecil.

Gambar 12. Bentuk Burried Hill


4.2.5 Bentuk Fault (Patahan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami
beberapa seri patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan
perhitungan cadangan batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi pergeseran perlapisan
batubara ke arah vertikal. Dalam melaksanakan eksplorasi batubara di daerah yang
memperlihatkan banyak gejala patahan, diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tidak
dibenarkan hanya berpedoman pada hasil pemetaan geologi permukaan saja. Oleh
sebab itu, di samping kegiatan pemboran inti, akan lebih baik bila ditunjang oleh data
hasil penelitian geofisika.
Dengan demikian rekonstruksi perjalanan lapisan batubara dapat diikuti dengan
bantuan hasil interpretasi dari data geofisika. Apabila patahan-patahan secara seri
didapatkan, keadaan batubara pada daerah patahan akan ikut hancur. Akibatnya
keberadaan kontaminan anorganik pada batubara tidak terhindarkan. Makin banyak
patahan yang terjadi pada satu seri sedimentasi endapan batubara, makin banyak
kontaminan anorganik yang terikut pada batubara pada saat ditambang.

16

Gambar 13. Bentuk Fault


4.2.6 Bentuk Fold (Perlipatan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara, mengalami proses
tektonik hingga terbentuk perlipatan. Perlipatan tersebut dimungkinkan masih dalam
bentuk sederhana, misalnya bentuk antiklin atau bentuk sinklin, atau sudah merupakan
kombinasi dari kedua bentuk tersebut. Lapisan batubara bentuk fold, memberi petunjuk
awal pada kita bahwa batubara yang terdapat di daerah tersebut telah mengalami proses
coalification relatif lebih sempurna, akibatnya batubara yang diperoleh kualitasnya
relatif lebih baik. Sering sekali terjadi, lapisan batubara bentuk fold berasosiasi dengan
lapisan batubara berbentuk fault. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang
banyak perlipatan dan patahan, kegiatan pemboran inti perlu mendapat prioritas utama
agar ahli geologi mampu membuat rekonstruksi struktur dalam usaha menghitung
jumlah cadangan batubara

Gambar 14. Bentuk Fold

4.2.1 Bentuk Lapisan (Seam) Melengkung atau Bercabang


Percabangan pada batubara dapat terjadi manakala pada saat proses penggambutan
(dimana pada tahap ini lapisan yang terbentuk masih dianggap plastis), terjadi
penurunan dasar rawa setempat-setempat (tidak merata secara luas). Akibatnya ada
sebagian lapisan gambut yang tertarik melengkung ke bawah (Gambar 15).
17

Perbedaan penurunan dasar rawa (lebih cepat daripada di tempat lain) ini
mengakibatkan daerah yang lebih rendah akan terisi oleh aliran air baru yang
membawa sedimen asing (pasir atau lempung), sehingga proses penggambutan di
cekungan ini terhenti. Apabila kedudukan dasar rawa yang terisi sedimen asing ini
sudah seimbang dengan dasar rawa di sekitarnya, ekosistem rawa dapat terbentuk lagi,
sehingga memungkinkan proses-proses penggambutan dapat terjadi lagi.
1.

Lapisan gambut terbentuk di rawa


yang luas

2..

Sebagian dasar rawa turun lebih cepat (a) mengakibatkan masuknya sedimen asing di
tempat tersebut
(a)

3.

Di bagian lain dari rawa juga mengalami hal yang sama (b), sementara itu ekosistem rawa dan
proses penggambutan terjadi lagi di daerah (a).

(b)

4.

Penurunan cekungan di (a) dan (b) normal, sehingga ekosistem rawa kembali
normal, proses penggambutan dapat terjadi lagi di daerah (a) dan (b).

(b)
(a)

(c)

5.

Penurunan dasar rawa yang cepat terjadi lagi di (c) dan (a). Kondisi ini memungkinkan air
laut masuk mengisi rawa yang dekat pantai. Sedimen asing di (c) terbentuk oleh adanya
transgresi (majunya laut terhadap daratan), mengakibatkan ekosistem rawa berubah
menjadi ekosistem laut, menghasilkan sedimen batugamping. Apabila proses-proses
geologi dan iklim memungkinkan, ekosistem raw adapat terbentuk lagi, sehingga proses
penggambutan terjadi lagi. Hasil akhir dari proses-proses ini dapat menghasilkan batubara
yang bercabang-cabang

Gambar 15. Tahapan terjadinya percabangan pada lapisan batubara

18

Patahan mendatar menghasilkan


perenggangan pada bidang patahan
yang diisi oleh lempung

Urat lempung
seperti vein

Lapisan
batubara

Gambar 16. Model clay vein pada lapisan batubara

Batugamping

Batu pasir

Batubara

Batu lempung

Gambar 17. Bentuk endapan batubara yang terjadi karena perlipatan

19

5. PERINGKAT BATUBARA
Berdasarkan urutan terbentuknya batubara, jenis dari batubara antara lain :

Gambar 18. Gambut


Gambut merupakan sedimen yang berasal dari bagian tanaman yang berkayu
yang diubah dan ditransmutasikan secara biokimia oleh jamur di dalam air. Tidak
seperti bagian-bagian berkayu yang terkubur dan dibentuk oleh panas dan tekanan bumi
untuk waktu yang lama, zat kayu dan selulosa membusuk (terurai) di permukaan tanah,
yang merupakan komponen utama pembentuk tumbuhan.

Gambar 19. Batubara muda


Batubara muda (lignit), batubara jenis bitumen, adalah batubara coklat kualitas
rendah dengan kandungan karbon rendah, secara teori disebut lignit coklat. Lignit
coklat merupakan batubara bitumen kering dengan kalori rendah sekitar 3000-4000
Kcal/kg, yang digunakan sebagai bahan bakar di beberapa tempat. Menyusut ketika
dikeringkan, bagian berkayu lignit (serat kayu terlihat seperti diawetkan) terkelupas
seperti piringan, dan batu bara lignit (bagian kecilnya terbuat dari batubara dan
mineral) berubah menjadi serbuk dengan cepat karena pecah dengan tidak beraturan.

20

Gambar 20. Batubara Bitumen


Batubara bitumen adalah jenis batubara yang bersinar/berkilau dengan warna
hitam atau gelap. Juga disebut batubara hitam, memiliki kilau atau resin yang bersinar.
Batubara ini membuat pembakaran yang lama, dan menghasilkan asap yang berbau
tidak mengenakkan ketika dibakar. Terdiri dari 80-90% karbon, 5-6% hidrogen.
Kandungan hidrogen berkurang dan kandungan karbon meningkat sebagai akibat
naiknya tingkat karbonisasi. Nilai kalori tinggi di atas 8100 Kcal/kg. Digunakan
sebagai kokas (batu arang) pada industri baja atau bahan bakar di perkotaan.
Belakangan ini, telah menjadi salah satu sumber daya paling penting dalam industri
kimia batubara berkat banyaknya studi tentang penambahan dan gasifikasi hidrogen.
Dinamakan batubara bitumen karena menghasilkan zat yang mirip dengan aspal
(bitumen).

Gambar 21. Antrasit


Antrasit adalah batu bara yang tidak menghasilkan asap apabila dibakar, karena
berkarbonisasi dengan sangat baik. Pembakaran berlangsung singkat dan tidak
menghasilkan asap saat dibakar, karena sangat sedikitnya unsur yang mudah menguap,
dengan 3-7% dari tingkat penguapan, dan kandungan karbon yang sangat tinggi,
dengan kandungan 85-95%. Meskipun tidak dibakar sampai titik pengapiannya 490 ,
antrasit memiliki daya pemanasan yang sangat kuat, dan menghasilkan panas yang
konstan selama dibakar. Hal ini sebagian besar dihasilkan pada zaman Paleozoikum,
sedangkan beberapa batubara dari zaman Kenozoikum berubah menjadi antrasit karena
metamorfosis yang dinamis atau panas disebabkan oleh perubahan bentuk (deformasi)
kerak bumi atau batuan vulkanik secara terus menerus.

21

Berdasarkan kualitas batubara, lebih lanjut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis


yaitu:
Lignite atau juga dikenal dengan sebutan batubara coklat, adalah jenis batubara
yang paling rendah kualitasnya. Banyak ditambang di Yunani, Jerman,
Polandia, Serbia, Rusia, Amerika Serikat, India, Australia, dan beberapa bagian
negara-negara Eropa. Batubara jenis ini banyak digunakan sebagai bahan bakar
pembangkit listrik tenaga uap. Namun karena jenis ini memiliki energi konten
rendah dan kandungan moisture yang tinggi, maka sangat tidak efisien untuk
ditransportasikan ke tempat yang jauh. Untuk itu pembangkit listrik yang
menggunakan batubara jenis ini dibangun di lokasi yang cukup dekat dengan
lokasi penambangannya.
Sub-bituminous adalah jenis batubara sedang di antara jenis lignite dan jenis
bituminous. Secara fisik memiliki ciri-ciri berwarna coklat gelap cenderung
hitam. Memiliki kandungan kelembaban yang lebih rendah dari jenis lignite dan
cocok digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap.
Bituminous, adalah jenis batubara yang lebih tinggi tingkatan kualitasnya.
Mayoritas berwarna hitam, namun kadang masih ada yang berwarna coklat tua.
Dinamakan bituminous dikarenakan adanya kandungan bitumen/aspal. Batubara
jenis ini memiliki kandungan karbon sebanyak 60-80%, dan sisanya berupa air,
udara, hidrogen, dan sulfur.
Anthracite adalah jenis batubara yang paling baik kualitasnya. Jenis ini
memiliki kandungan karbon sebesar 92,1% sampai dengan 98%, sehingga
berwarna hitam mengkilap. Penggunaan batubara anthracite pada pembangkit
listrik tenaga uap, masuk ke dalam jenis batubara High Grade dan Ultra High
Grade. Namun persediaannya masih sangat terbatas, yaitu sebanyak 1% dari
total penambangan batubara. Negara penghasil batubara ini antara lain adalah
Cina, Rusia, Ukraina, Korea Utara, Vietnam, Inggris, Australia, dan Amerika
Serikat.
5.1 KLASIFIKASI BATUBARA
a.
Klasifikasi menurut ASTM
Klasifikasi ini dikembangkan di Amerika oleh Bureau of Mines yang
akhirnya dikenal dengan Klasifikasi menurut ASTM (America Society for
Testing and Material). Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara itu atau
berdasarkan derajat metamorphism nya atau perubahan selama proses
coalifikasi (mulai dari lignit hingga antrasit). Untuk menentukan rank
batubara diperlukan data fixed carbon (dmmf), volatile matter (dmmf) dan
nilai kalor dalam Btu/lb dengan basis mmmf (moist, mmf).

Cara pengklasifikasian :
22

Untuk batubara dengan kandungan VM lebih kecil dari 31% maka


klasifikasi didasarkan atas FC nya, untuk ini dibagi menjadi 5 group,
yaitu :
FC lebih besar dari 98% disebut meta antrasit
FC antara 92-98% disebut antrasit
FC antara 86-92% disebut semiantrasit
FC antara 78-86% disebut low volatile
FC antara 69-78% disebut medium volatile
Untuk batubara dengan kandungan VM lebih besar dari 31%, maka
klasifikasi didasarkan atas nilai kalornya dengan basis mmmf.
3 group bituminous coal yang mempunyai moist nilai kalor antara
14.000 13.000 Btu/lb yaitu :
o High Volatile A Bituminuos coal (>14.000)
o High Volatile B Bituminuos coal (13.000-14.000)
o High Volatile C Bituminuos coal (<13.000)
3 group Sub-Bituminous coal yang mempunyai moist nilai kalor
antara 13.000 8.300 Btu/lb yaitu :
o Sub-Bituminuos A coal (11.000-13.000)
o Sub-Bituminuos B coal (9.000-11.000)
o Sub-Bituminuos C coal (8.300-9.500)
Untuk batubara jenis Lignit
2 group Lignit coal dengan moist nilai kalor di bawah 8.300 Btu/lb
yaitu :
o Lignit (8.300-6300)
o Brown Coal (<6.300)

Tabel 1. Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et


al., 1983)
23

Class

Group

I Anthracite*

1.Metaanthracite
2.Anthracite
3.SemianthraciteC

Volatile
Fixed Carbon ,
Calorific Value Limits BTU
Matter Limits,
% , dmmf
per pound (mmmf)
% , dmmf
Equal
Equal Equal
Agglomerat
or
Less Greater or
or
Less
ing
Greater Than Than Less Greater Than
Character
Than
Than Than
nonagglom
98
2
erating
92
98
2
8
86
92
8
14

1.Low
volatile
78
bituminous
coal
2.Medium
volatilebitum 69
inous coal
3.High
volatile Abitu
II Bituminous
minous coal
4.High
volatile Bbitu
minous coal
5.High
volatile Cbitu
minous coal

86

14

22

78

22

31

69

31

14000D

commonly

13000D 14000

agglomerati
ng**E

11500 13000
10500 11500

1.Subbitumin
ousA coal
III
2.Subbitumin
Subbituminous ousB coal
3.Subbitumin
ousC coal
1.Lignite A
IV. Lignite
1.Lignite B
b.

agglomerati
ng

10500 11500
9500

10500

8300

9500

6300

8300
6300

nonagglom
erating

Klasifikasi menurut National Coal Board


(NCB)

24

Klasifikasi ini dikembangkan di Eropa pada tahun 1946 oleh suatu


organisasi Fuel Research dari departemen of Scientific and Industrial
Research di Inggris. Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara, dengan
menggunakan parameter volatile matter (dry, mineral matter free) dan
cooking power yang ditentukan oleh pengujian Gray King. Dengan
menggunakan parameter VM saja NCB membagi batubara atas 4 macam :
Pembagian NCB menurut parameter VM
1. Volatile dibawah 9,1%, dmmmf dengan coal rank 100 yaitu Antrasit
2. Volatile diantara 9,1-19,5%,dmmmf dengan coal rank 200 yaitu Low
Volatile/Steam Coal
3. Volatile diantara 19,5-32%,dmmf dengan coal rank 300 yaitu Medium
Volatile
Coal
4. Volatile lebih dari 32 %, dmmmf dengan coal rank 400-900 yaitu Haigh
Volatile Coal
Masing masing pembagian di atas dibagi lagi menjadi beberapa sub
berdasarkan tipe coke Gray King atau pembagian kecil lagi dari kandungan
VM.
Untuk High Volatile Coal dibagi berdasarkan sifat caking nya :
1.
Very strongly caking dengan rank code 400
2.
Strongly caking dengan rank code 500
3.
Medium caking dengan rank code 600
4.
Weakly caking dengan rank code 700
5.
Very weakly caking dengan rank code 800
6.
Non caking dengan ring code 900
c. Klasifikasi menurut International
Klasifikasi ini dikembangkan oleh Economic Commision for Europe pada
tahun 1956.
Klasifikasi ini dibagi atas dua bagian yaitu :
- Hard Coal
Di definisikan untuk batubara dengan gross calorific value lebih besar
dari 10.260 Btu/lb atau 5.700 kcal/kg (moist, ash free).
International System dari hard coal dibagi atas 10 kelas menurut
kandungan VM (daf). Kelas 0 sampai 5 mempunyai kandungan VM
lebih kecil dari 33% dan kelas 6 sampai 9 dibedakan atyas nilai kalornya
(mmaf) dengan kandungan VM lebih dari 33%.
Masing-masing kelas dibagi atas4 group (0-3) menurut sifat cracking
nya dintentukan dari Free Swelling Index dan Roga Index. Masing
group ini dibagi lagi atas sub group berdasarkan tipe dari coke yang
diperoleh pengujian Gray King dan Audibert-Arnu dilatometer test. Jadi
pada International klasifikasi ini akan terdapat 3 angka, angka pertama
menunjukkan kelas, angka kedua menunjukkan group dan angka ketiga
25

menunjukkansub-group.
Sifat caking dan coking dari batubara dibedakan atas kelakuan serbuk
batubara bila dipanaskan. Bila laju kenaikan temperature relative lebih
cepat menunjukkan sifat caking. Sedangkan sifat coking ditunjukkan
apabila laju kenaikan temperature lambat.
- Brown Coal
International klasifikasi dari Brown coal dan lignit dibagi atas
parameternya yaitu total moisture dan low temperature Tar Yield (daf).
Pada klasifikasi ini batubara dibagi atas 6 kleas berdasarkan total
moisture (ash free) yaitu :
1. Nomor kelas 10 dengan total moisture lebih dari 20%, ash free
2. Nomor kelas 11 dengan total moisture 20-30%, ash free
3. Nomor kelas 12 dengan total moisture 30-40%, ash free
4. Nomor kelas 13 dengan total moisture 40-50%, ash free
5. Nomor kelas 14 dengan total moisture 50-60%, ash free
6. Nomor kelas 15 dengan total moisture 60-70%, ash free
Kelas ini dibagi lagi atas group dalam 4 group yaitu :
1. No group 00 tar yield lebih rendah dari 10% daf
2. No group 10 tar yield antara 10-15 % daf
3. No group 20 tar yield antara 15-20 % daf
4. No group 30 tar yield antara 20-25 % daf
5. No group 40 tar yield lebih dari 25% daf

6. KETERDAPATAN DAN TIPE MINERAL PADA BATUBARA


Batubara dapat tersusun atas bahan-bahan organik dan non organik, dengan
kandungan bahan organik pada batubara dapat mencapai lebih dari 75 %. Bahan
organik ini disebut maseral (maceral) yang berasal dari sisa tumbuhan dan telah
mengalami berbagai tingkat dekomposisi serta perubahan sifat fisik dan kimia baik
sebelum ataupun sesudah tertutup oleh lapisan di atasnya, sedangkan bahan anorganik
26

disebut mineral atau mineral matter. Kehadiran mineral dalam jumlah tertentu akan
mempengaruhi kualitas batubara terutama parameter abu, sulfur dan nilai panas
sehingga dapat membatasi penggunaan batubara. Keterdapatan mineral dalam batubara
bermanfaat dalam mempelajari genesa (Finkelman, 1993).
Mineral atau mineral matter pada batubara dapat diartikan sebagai mineralmineral dan material organik lainnya yang berasosiasi dengan batubara (Ward, 1986).
Secara keseluruhan mancakup tiga golongan material yaitu :
a. Mineral dalam bentuk partikel diskrit dan kristalin pada batubara.
b. Unsur atau senyawa dan biasanya tidak termasuk unsur nitrogen dan sulfur.
c. Senyawa anorganik yang larut dalam air pori batubara dan air permukaan
Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuhtumbuhan pembentuk batubara atau disebut inherent mineral serta mineral yang berasal
dari luar rawa atau endapan kemudian ditransport ke dalam cekungan pengendapan
batubara melalui air atau angin dan disebut extraneous atau adventitious mineral matter
(Falcon dan Snyman, 1986; Speight, 1994).
Berdasarkan episode pembentukannya (Mackowsky,1982) membagi mineral
matter menjadi dua kategori yaitu : syngenetic dan epigenetic. Syngenetic (primary)
mineral matter adalah mineral yang terbentuk sebagai detrital maupun authigenic.
Umumnya mineral-mineral ini mempunyai ukuran butir lebih kecil dari mineral
epigenetic dan tersebar secara merata pada batubara.
Berdasarkan atas kelimpahannya, maka mineral-mineral pada batubara dapat
dibedakan atas : mineral utama (major minerals), mineral tambahan (minor minerals)
dan mineral jejak (trace minerals). Ranton (1982) menggolongkan mineral utama jika
kadarnya > 10 % berat, mineral tambahan 1-10 % dan mineral jejak , 1 % berat.
Umumnya yang termasuk mineral utama adalah mineral lempung dan kuarsa
sedangkan mineral minor yang umum adalah karbonat, sulfida dan sulfat.
Klasifikasi mineral yang terdapat pada batubara ditinjau dari segi genetis selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
6.1 Mineral Lempung (Clay)
Mineral ini merupakan kelompok yang palaing dominan dijumpai pada
batubara, sekitar 60-80 % dari total mineral matter. Umumnya terdapat sebagai mineral
primer yang terbentuk akibat adanya aksi air atau angin yang membawa
material
detrital ke dalam cekungan pengendapan batubara. Distribusi mineral lempung dalam
batubara dikendalikan oleh kondisi kimia rawa (Bustin, 1989). Spesies mineral
lempung yang umum terdapat dalam batubara adalah kaolinite, illite dan
montmorilonit. Kaolinit umumnya terdapat dalam batubara secara syngenetic yang
terkonsentrasi pada bidang perlapisan, tersebar pada vitrinit sebagai pengisi rekahan
dan lainnya berbentuk speris. Sedangkan illite biasanya lebih banyak terdapat pada
batubara dengan lapisan penutup (roof) batuan sedimen marin.

27

Mineral lempung yang terbentuk pada fase ke dua (secondary), umumnya dihasilkan
oleh adanya transformasi dari lempung fase pertama. Bila kedalaman penimbunan
bertambah, maka proporsi kaolinit berkurang sedangkan illite bertambah. Asosiasi
mineral lempung pada lapisan batubara berupa inklusi halus yang tersebar dan sebagai
pita-pita lempung (tonstein).
6.2 Kuarsa
Kuarsa (SiO2) adalah salah satu mineral oksida yang paling penting terdapat
dalam batubara (Tylor et al, 1998). Ada dua tipe kuarsa yang dapat dibedakan
berdasarkan teksturnya yaitu : butiran kuarsa klastik berbentuk bulat jika terendapkan
melalui media air dan berbentukmenyudut jika melalui media angin. Sedangkan tipe
lainnya adalah kuarsa kristal halus yang terbentuk dari larutan setelah pengendapan
batubara. Kebanyakan merupakan silika yang terlarut dari hasil pelapukan felspar dan
mika. Kuarsa merupakan mineral syngenetic dan jarang ditemukan sebagai epigenetic
(Ranton, 1982).
Tabel 2. Klasifikasi mineral yang terdapat pada batubara ditinjau dari segi genetis
(Bustin et al, 1989)
Primary (syngenetic) Formation
Detrital

Clays

-Kaolinite
Al2Si2O5 (OH)4

Authigenic
Sericite,
smectite

-Illite
KAl2(AlSiO3)
O10 (OH)2
Mixed-layer
clays
Carbonates

Sulphides

-Siderite
FeCO3
-Dolomite
(CaMg)CO3
-Ankerite,
-Calcite
CaCO3
Pyrite FeS2,
Marcasite
FeS2
Melnikovite

Secondary (Epigenetic)
Formation
Deposited in
Tranformation
cleat fractures & of primary
cavities
minerals
Illite, chlorite
(from other
clays)

-Ankerite
(Mg,Fe,Mn)
CO3

Pyrite,
marcasite,
Sphalerite ZnS,
Galena PbS,
Chalcopyrite

Pyrite
(from siderite)

28

CuFeS2
Silicas

Quartz-SiO2

Quarzt SiO2
Chalcedony

Oxides &
Hydroxides

Rutile TiO2

Hematite
Fe2O3
Limonite
FeO(OH)2H2
O

Phosphates

Apatite
Ca5F(PO4)3

-Phosphorite
-Apatite

Silicates

Sulphates

Zircon ZrSiO4
Felspar
Tourmaline,
Micas
-Hydrated
iron
-Sulphate
-Gypsum
CaSO42H2O
(oxidation
products)

6.3 Karbonat
Terdapat 4 (empat) spesies mineral karbonat yang biasa ditemukan dalam
batubara yaitu : kalsit (CaCO3), siderit (FeCO3), dolomit (Ca, Mg) CO3 dan ankerit
(CaMgFe)CO3. Mineral-mineral ini dapat terbentuk baik pada fase syngenetic akhir
maupun epigenetic (Diessel, 1992). Karbonat syngenetic umumnya terdapat dalam
bentuk konkresi speroidal dan sebagai pengisi ronga-rongga fusinite dan semifusinite.

Siderit yang terbentuk dalam kondisi reduksi dapat dianggap sebagai karbonat primer,
sedangkan kalsit dapat terbentuk baik dalam lingkungan air tawar maupun laut
(Ranton, 1982). Hadirnya dolomit merupakan indikasi lingkungan pengendapan laut
(Stach, 1982).

6.4 Sulfida

29

Pirit dan markasit merupakan mineral sulfida yang paling umum terdapat pada
batubara. Ke dua spesies mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS 2)
hanyan berbeda dalam bentuk kristalnya. Pirit berbentuk kubik dan markasit berbentuk
ortorombik.
Mineral ini dapat terbentuk baik secara syngenetik maupun epigenetik dalam
berbagai bentuk (Diesel, 1992). Beberapa bentuk mineral pirit yang telah ditemukan
dalam batubara adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.

d.

e.

Kristal pirit berukuran kecil yang terdapat sebagai inklusi dalam vitrinit
dan semufusinit dan seringkali berasosiasi dengan pirit framboidal.
Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga beberapa centimeter
yang umumnya terdiri dari kristal-kristal membulat atau memanjang.
Bentuk Fe-Sulfida syngenetic yang paling umum adalah kristal pirit
dengan ukuran lebih kecil dari 2 mikron, terdapat dalam bentuk speroidal atau
framboidal dan berasosiasi dengan vitrinit.
Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk lensa-lensa pipih
atau pita-pita yang menunjukkan presipitasi pirit generasi ke dua yang terjadi
selama diagenesa akhir. Hal ini dianggap sebagai peralihan ke pirit epigenetic.
Pirit epigenetic yang terbentuk sebagai material pengisi rekahan, kekar
dan celah.

6.5 Sulfat
Mineral sulfat yang paling dominan terdapat pada batubara adalah bassanit dan
gypsum. Umumnya mineral ini terbentuk dari hasil oksidasi mineral sulfida (pirit) pada
batubara terutama bila berhubungan dengan udara luar dalam waktu lama.

30

Anda mungkin juga menyukai