Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Embriologi Telinga Dalam


Telinga pada manusia terdiri atas tiga daerah yaitu telinga luar, telinga tengah dan

telinga dalam. Telinga luar pada dasarnya merupakan corong pengumpul suara yang terdiri
atas pinna dan saluran pendengaran luar. Telinga tengah adalah bagian yang menyalurkan
suara dari telinga luar ke telinga dalam dan telinga dalam yang mengubah suara menjadi
rangsangan saraf.

(Drake et all, 2004)

Telinga dalam adalah organ pertama dari tubuh yang dalam perkembangannya telah
terbentuk secara sempurna baik dalam ukuran maupun konfigurasinya yaitu pada kehamilan
trimester kedua. Perkembangan telinga dalam dimulai pada awal minggu ketiga yaitu
perkembangan intrauterin yang ditandai dengan tampaknya plakode ektoderm pada
setingkat miensefalon. Plakode auditori berinvaginasi membentuk lubang (pit) auditori
sepanjang minggu ke-4 yang kemudian menjadi vesikula auditori.
Pada tahap perkembangan selanjutnya vesikula otik (vesikula auditori) bagian
ventral membentuk sakulus dan koklearis sedangkan bagian dorsal membentuk utrikulus,
kanalis semisirkularis dan duktus endolimfatikus. Pembentukan saluran-saluran tersebut
disebabkan adanya bagian-bagian tertentu dari daerah tersebut yang berdegenerasi. Duktus
koklearis yang sedang tumbuh menembus mesenkim di sekitarnya dan berpilin seperti
membentuk spiral. Selanjutnya duktus koklearis tetap berhubungan dengan sakulus melalui
duktus reunien.
Duktus semisirkularis, duktus utrikulus, duktus sakulus dan duktus koklearis
kemudian diisi dengan cairan endolimfe sehingga semua struktur membran dari saluran
tersebut dinamakan membran labirin. Dinding sel membran labirin sangat tipis dan terdiri
atas sel-sel epitel tunggal yang ditutupi oleh lapisan serabut jaringan ikat yang dibentuk dari
mesenkim di sekitarnya. Beberapa dari sel epitel tersebut dimodifikasi menjadi sel-sel
rambut (sel neuroepitel dan beberapa sel pendukung).
Dasar dari sel-sel neuroepitel dikelilingi oleh ujung serabut saraf yang datang dari
ganglion spinal dan ganglion vestibular. Ganglion-ganglion tersebut berhubungan dengan
otak melalui serabut saraf yang dibentuk oleh tulang yang disebut tulang labirin. Ruang

Universitas Sumatera Utara

diantara membran labirin dan tulang labirin tersebut berisi cairan perilimfe.(Drake et all,
2004)

2.2.

Anatomi Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari serangkaian rongga tulang yang disebut labirin tulang serta

duktus dan sakulus membran yang disebut labirin membran (Drake R. L., Vogl W. and
Mitchell A. W. M., 2004).
Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Rongga
tulang ini dibatasi dengan peritoneum dan mengandung cairan jernih disebut cairan
perilimfe. Berbatasan dengan perilimfe tetapi tidak mengisi seluruh ruangan labirin tulang
terdapat labirin membranosa yang terdiri dari duktus semisirkularis, duktus koklearis,
utrikulus dan sakulus. Ruang labirin membranosa ini diisi dengan cairan endolimfe.
Struktur dari telinga dalam membantu penyampaian informasi ke otak tentang
keseimbangan dan pendengaran yaitu :
a. duktus koklear sebagai organ pendengaran.
b. duktus semisirkularis, utrikulus dan sakulus sebagai organ keseimbangan.

Gambar 2.2. Membran Labirin


Dikutip dari teks Grays Anatomy

Universitas Sumatera Utara

2.2.1. Vestibulum
Vestibulum yang mengandung jendela oval pada dinding lateralnya adalah bagian
pusat dari labirin tulang. Vestibulum berhubungan dengan koklea di bagian anterior dan
dengan kanalis semisirkularis di bagian posterosuperior.
Pada dinding lateral vestibulum terdapat foramen oval yang ditutupi foot plate stapes
beserta ligamentum anulare. Dinding medial vestibulum menghadap ke meatus akustikus
internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial ini terdapat dua cekungan yaitu
cekungan sferis untuk sakulus dan cekungan elips untuk utrikulus.
Pada dinding posterior vestibulum terdapat lima lubang kanalis semisirkularis dan di
dinding anterior vestibulum terdapat dua lubang yang berbentuk elips ke skala vestibularis
koklea (Drake 2004).

2.2.2. Kanalis Semisikularis


Terdapat tiga buah kanalis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral
yang terletak di atas dan belakang vestibulum. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada
utrikulus. Bentuk kanalis seperti 2/3 lingkaran dengan panjangnya hampir sama yaitu 0,8
mm.
Pada salah satu ujung masing-masing kanalis ini melebar disebut ampula dan
mengandung sel-sel rambut krista yang berisi epitel sensori vestibular dan terbuka ke
vestibulum. Struktur reseptor ini disebut krista ampularis

terletak memanjang di ujung

ampula pada tiap kanal membranosa. Setiap krista terdiri dari sel rambut dan sel pendukung
(sustenakular) yang dikelilingi oleh bagian gelatinosa (kupula) yang menutupi ampula.
Prosesus dari sel rambut melekat pada kupula dan basis sel rambut berhubungan dekat
dengan serabut aferen dari bagian vestibular dari kranial ke nervus VII. (Barrett K. E. et al,
2010 ).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Koklea
Koklea terletak di depan vestibulum dan berbentuk seperti rumah siput yang
mengarah ke dasar dari kanalis auditorius interna dan sumbunya yang panjang mengarah
keluar dengan membentuk sudut 300 dengan bidang horizontal. Di sepanjang koklea,
membran basilar dan membran Reissner membagi koklea menjadi tiga ruang atau skala. Di
atas terdapat skala vestibuli dan di bawah skala vestibuli dan di bawah terdapat skala
timpani yang mengandung cairan perilimfe dan berhubungan satu sama lain di puncak
koklea melalui sebuah lubang terbuka yang disebut helikotrema.
Di dasar koklea, skala vestibuli berakhir pada jendela oval yang ditutupi oleh kaki
tulang pendengaran (stapes). Skala timpani berakhir pada jendela oval, sebuah foramen di
dinding medial dari telinga dalam yang ditutupi oleh membran timpani yang fleksibel. Skala
media, ruang tengah koklea, berlanjut ke labirin membraniosa dan tidak berhubungan
dengan kedua skala lainnya (Barret.K.C et all, 2010).

Gambar 2.3. Potongan Melintang Koklea


Dikutip dari Buku Atlas of Hearing and Balance Organs

Universitas Sumatera Utara

2.2.4. Sakulus dan Utrikulus


Utrikulus terletak di bagian belakang lekukan dinding atas vestibulum, sakulus
bentuknya jauh lebih kecil tetapi strukturnya sama dan terletak di dalam lekukan bagian
bawah dan di depan utrikulus. Sakulus menyokong suatu struktur makula pada dinding
medialnya dalam suatu bidang vertikal yang meluas ke dinding anterior. Sakulus
berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus yang sempit yang juga merupakan
saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang tegak lurus
terhadap macula sakulus, utrikulus dan sakulus seluruhnya dikelilingi oleh perilimfe kecuali
pada tempat masuknya saraf di daerah makula (Drake R.L. et all, 2004).
Di dalam setiap labirin membranosa, di lantai utrikulus terdapat organ otolit (makula).
Makula yang lain terletak pada dinding sakulus di posisi semivertikal. Makula mengandung
sel pendukung dan sel rambut dikelilingi oleh sebuah membran otolit dimana melekat pada
kristal kalsium karbonat yang disebut otolit. Otolit yang disebut juga otokonia atau debu
telinga berukuran 3-19 m pada manusia dan lebih padat dari cairan endolimfe. Prosesus
dari sel rambut melekat pada membran. Serabut saraf dari sel rambut bergabung dengan
krista dari bagian vestibular saraf kranial ke VII.
2.2.5. Duktus Semisirkularis
Bagian ini terbuka ke bagian posterior dari utrikulus melalui lima lubang yang
terpisah dan letaknya tegak, ini merupakan tiga daratan pada ruang telinga dalam. Masingmasing duktus pada semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya yang membentuk
ampula dan terletak pada saluran tulang yang melebar. Panjang sumbu dari masing-masing
ampula kira-kira 2 mm.

2.2.6. Duktus Koklearis


Duktus koklearis disebut juga skala media dan merupakan bagian labirin membran
koklea sedangkan bagian labirin tulang koklea disebut skala vestibuli dan skala timpani.
Bentuk duktus koklearis ini mengikuti bentuk labirin tulang koklea berupa dua setengah
sampai dua tiga perempat putaran spiral. Duktus koklearis meluas mulai dari basis koklea
sampai ke apek koklea kemudian akan berakhir sebagai saluran buntu pada apeks yang
disebut caecum cupulare. Skala vestibuli dan skala timpani pada apeks koklea berhubungan
satu sama lain terdapat helikotrema (Barret K.C et all, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.2.7. Organ Corti


Pada membran basilaris terdapat organ corti dimana struktur tersebut mengandung
sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran. Organ ini memanjang dari apeks ke
dasar koklea dan mempunyai bentuk spiral. Prosesus sel rambut melubangi lamina retikular,
membran yang disokong oleh sel pilar atau rods of corti. Sel rambut disusun menjadi empat
baris, tiga baris dari sel rambut luar lateral terhadap terowongan dibentuk oleh rods of corti
dan satu baris dari sel rambut medial ke terowongan.
Menutupi barisan sel rambut adalah membran tektorial yang tipis, kental, dan elastik
dimana sel rambut luar melekat. Badan sel neuron sensoris yang terdapat di sekeliling dari
dasar sel rambut terletak di ganglion spiral di dalam modiolus yang merupakan inti tulang
dimana koklea terdapat.

2.3.

Vaskularisasi Telinga Dalam


Telinga dalam mendapat vaskularisasi dari arteri labirin cabang dari arteri serebralis

anterior-inferior tetapi dapat juga sebagai cabang langsung dari arteri basilaris. Arteri ini
masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi arteri vestibularis anterior dan
arteri koklearis komunis yang bercabang pula menjadi arteri koklearis dan arteri
vestibulokoklearis.

Arteri

vestibularis

anterior

memperdarahi

vestibularis

anterior

memperdarahi vestibularis, utrikulus dan sebagian duktus semisirkularis.


Arteri vestibulokoklearis sampai di modiolus di daerah putaran basal koklea terpisah
menjadi cabang terminal vestibular dan cabang koklear. Cabang vestibular memperdarahi
sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal koklea. Cabang koklear
memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. Arteri
koklearis berjalan mengitari nervus akustikus di kanalis akustikus di kanalis akustikus
internus dan di dalam koklea mengitari modiolus.
Vena dialirkan ke vena labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus
sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan koklearis ke sinus
petrosus superior dan inferior (Wright, 1997).

Universitas Sumatera Utara

2.4.

Persarafan Telinga Dalam


Nervus vestibulokoklearis (nervus akustikus) yang dibentuk oleh bagian koklear dan

vestibular di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar nervus fasialis
dan masuk ke batang otak antara pons dan medulla oblongata. Sel sel sensoris vestibularis
dipersarafi nervus koklearis dengan ganglion vestibularis (Scarpa) terletak di dasar meatus
akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi nervus koklearis dengan
ganglion spiralis Corti terletak di modiolus, pada dasar meatus akustikus internus terletak
ganglion vestibulare (Donaldson, 1991).

2.5.

Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong cairan endolimfe sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai
ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Brake, K.C et all, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Transmisi Suara


Dikutip dari Buku Grays Anatomy

2.6.

Perkembangan Merespon Suara

2.6.1. Respon pada Bayi di bawah 4 bulan


Pada masa ini bayi mulai menunjukkan perhatian lebih pada suara ibu daripada
suara orang lain. Bayi akan terkejut jika ada bunyi keras dan mulai menyadari suara yang
lembut. Bayi mulai bermain dengan mainan yang mengeluarkan bunyi dan berhenti
menangis untuk mendengar suara. Bayi juga terbangun ketika ada suara keras dan
mengedipkan atau melebarkan matanya sebagai reflex terhadap suara (Northen J. dan
Downs H., 1991).

2.6.2. Respon pada Bayi Usia 5-7 bulan


Bayi mulai mencari sumber bunyi dan dapat menggeser kepalanya ke arah lateral
ketika mendengar bunyi. Bayi memberikan tanggapan yang berbeda terhadap bunyi yang
berbeda dan menangis jika mendengar suara yang tidak diinginkannya. Bayi mulai
menyukai nyanyian dan siulan serta suara dari alat musik (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.3. Respon pada Bayi Usia 6-10 bulan


Pada masa ini respon bayi tehadap suara meningkat dengan kepala berputar cepat.
Bayi mulai dapat memberikan respon terhadap namanya, suara telepon dan suara lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Bayi juga sudah dapat mengeluarkan suara dengan nada tinggi dan rendah (Northen J. dan
Downs H., 1991).

2.6.4.

Respon pada Bayi Usia 9-13 bulan


Perkembangan

bayi

mulai

meningkat

ditandai

dengan

bayi

sudah

dapat

mengeluarkan beberapa suku kata seperti ma-ma. Bayi dapat mengeluarkan nada-nada
nyanyian dan mengingat apa yang didengarnya. Bayi juga dapat menghubungkan bunyi
tertentu dengan kejadian tertentu (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.5. Respon pada Bayi Usia 13-15 bulan


Pada masa ini bayi sudah dapat mengikuti perintah sederhana dan dapat
mengeluarkan 3-5 kata serta dapat menirukan bunyi-bunyi tertentu (Northen J. and Downs
H., 1991).

2.6.6. Respon pada Bayi Usia 18-24 bulan


Bayi dapat mengenal bagian dari tubuh dan dapat mengeluarkan 20-50 kata. Bayi
juga dapat mendengar namanya dipanggil dari ruangan lain (Northen J. dan Downs H.,
1991).

2.6.7. Respon pada Bayi Usia di atas 24 bulan


Pada tahap ini bayi sudah dapat mengatakan 4-5 kalimat dan dapat dimengerti oleh
orang yang mendengarkannya (Northen J. dan Downs H., 1991)..

Faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus


1. Riwayat keluarga ditemukan ketulian
2. Infeksi intrauterin
3. Abnormalitas pada kraniofasial
4. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar
5. Penggunaan obat ototoksik aminoglikosida lebih dari 5 hari atau
penggunaan

Universitas Sumatera Utara

antibiotik tersebut dengan obat golongan loop diuretic


6. Meningitis bakteri
7. Apgar skor < 4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau
apgar skor < 6 pada menit kelima.
8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.
9. Berat lahir < 1500 gram
10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian.
Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi
untuk dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan
pendengaran, akan tetapi dilapangan ditemukan bahwa 50% neonatus dengan
gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor risiko. Oleh karena itu
direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada seluruh
neonatus setelah lahir atau setidaknya usia tiga bulan.
2.7. Faktor penyebab ketulian pada neonatus
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat berasal
dari genetik maupun didapat:
2.7.1 Faktor genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa gangguan
pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungin bersifat statis maupun
progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X
(contoh: Hunters syndrome, Alport syndrome, Norries disease) kelainan mitokondria
(contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau
beberapa organ telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal serind
dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).
2.7.2 Faktor didapat (aquired)
Dapat disebabkan oleh :
1. Infeksi
Rubela kongenital, Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, virus herpes simpleks (tabel 1),
meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta, mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis.
Toksoplasma, Rubela, Cytomgalovirus, menyebabkan gangguan pendengaran pada 18%
dari seluruh kasus gangguan pendengaran dimana gangguan pendengaran sejak lahir

Universitas Sumatera Utara

akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela kongenital 50%, dan
Toksoplasma kongenital 10%-15%, sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%.
Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat tuli sensorineural. Penelitian oleh Rivera
menunjukan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi sitomegalovirus konegenital
mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa neonatus. Pada
meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa studi klinis menunjukan
adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran, sayangnya proses patologis yang
terjadi sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum dapat dipastikan.

2. Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan
antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin (pada
pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin, golongan diuretika:
furosemide.
Kadar bilirubin indirek ditentukan juga oleh beberapa faktor seperti: kecepatan produksi
bilirubin, kadar albumin, dan obat-obatan (sulfonamid, diuretikum, salisilat). (Huang et all,
2004)

3. Trauma
Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi osikular,
trauma suara.

4. Neoplasma
Tumor yang sering terjadi seperti

1. Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromato),


2. Cerebellopontine

tumor,

tumor

pada

telinga

tengah

(contoh:

rhabdomyosarcoma, glomus tumor. (Mishra MJ et all 2009)

Universitas Sumatera Utara

5. Hiperbilirubinemia
Definisi :
Neonatal hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana kadar bilirubin total > 5mg/dl
(86mol/L). Hiperbilirubinemia tampak secara klinis sebagai ikterus. Ikterus
neonatorum adalah keadaan klinis ada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus
pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Secara klinis ikterus mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dl, bila kurang dari itu maka tidak akan tampak secara klinis. Neonatus aterm
rata-rata memiliki konsentrasi bilirubin serum puncak 5-6 mg/dl (86-103 mol/L)
pada hari ketiga dan keempat. Ikterus fisiologis yang memberat terjadi pada kadar
bilirubin diatas ambang ini (7-17 mg/dl).
Konsentrasi bilirubin serum 17 mg/dl pada bayi aterm tidak lagi dianggap fisiologis
dan biasanya dapat kita temukan penyebab ikterus patologis pada bayi-bayi ini.
Penyebab terbanyak ikterus neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin indirek.
Bilirubin indirek inilah yang bersifat neurotoksik bagi bayi.(Marthin CR,Cloherty J,P,
2004)

Etiologi

Hiperbilirubinemia (indirek) dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.


Etiologi terjadinya hiperbilirubinemia:
1. Etiologi yang sering:
a. Hiperbilirubinemia fisiologis
b. Inkompatibilitas galongan darah ABO dan Rhesus
c. Breast milk jaundice
d. Infeksi
e. Hematom subdural/sefalhematoma, ekimosis,hemangioma
f. Bayi dari ibu diabetes mellitus
g. Polisitemia/hiperviskositas
2. Etiologi yang lebih jarang:
a. Defisiensi G6PD
b. Defisiensi piruvat kinase
c. Sferositosis kongenital
d. Lucey-Driscoll syndrome

Universitas Sumatera Utara

e. Crigler-Najjar disease
f. Hipotiroidisme
g. Hemoglobinopati

Pengaruh hiperbilirubinemia terhadap gangguan pendengaran


Kekhawatiran utama akibat hiperbilirubinemia yang berlebihan adalah potensi efek
neurotoksiknya, walaupun dapat juga terjadi jejas pada sel-sel lainnya. Hal ini masih
merupakan masalah yang signifikan meskipun telah ada kemajuan-kemajuan dalam
perawatan neonatus ikterik (hiperbilirubinemia).
Kepustakaan lain menjelaskan bahwa hiperbilirubinemia berat dan tidak ditangani
pada masa neonatal akan menyebabkan kadar bilirubin yang tinggi dan bersifat toksik pada
perkembangan bayi. Pada bayi aterm, gejala hiperbilirubinemia adalah anak lemah dan
malas minum yang akan berlanjut menjadi choreoathetoid cerebral palsy, retardasi mental,
tuli sensorineural dan gaze paresis.
Terdapat bukti-bukti bahwa peningkatan kadar bilirubin yang moderat sekalipun tetap
akan membuat bayi lebih memiliki risiko memiliki kelainan-kelainan kognitif, persepsi,
motorik dan auditorik. Penelitian-penelitian prospektif terkontrol telah mengungkapkan
adanya gangguan neurologis dan kognitif pada anak-anak yang mengalami peningkatan
kadar bilirubin indirek pada masa bayinya. Penelitian-penelitian statistik yang luas pada
bayi-bayi aterm sehat, seperti yang dilaporkan the National Collaborative Perinatal Project,
telah mendeteksi adanya hubungan antara hiperbilirubinemia dalam kadar rendah yang
biasanya tidak diterapi dengan sequele neurologis dan motorik ringan. Penelitan-penelitian
klinis dan patologis yang lebih baru lagi telah membuktikan bahwa kadar biliribun yang
dahulu dianggap aman ternyata membahayakan. Hiperbilirubinema derajat sedang pada
neonatus aterm yang sehat mungkin tidak aman untuk otaknya.
Bilirubin masuk ke otak bila ia tidak terikat dengan albumin atau tidak terkonjugasi atau
bebas (Bf) atau bila ada kerusakan pada sawar darah otak. Bilirubin dibentuk dari
hemoglobin (gambar 2), sekitar 75%-nya dari hemolisis dan 25% dari eritropoiesis yag tidak
efektif. Hemoglobin pertama-tama diubah menjadi biliverdin melalui sebuah reaksi yang
tergantung pada adenosin trifosfatase yang dikatalisis oleh heme oksigenase, menghasilkan
sebuah molekul karbon dioksida untuk setiap molekul biliverdin dan pada akhirnya akan
terbentuk bilirubin.

Universitas Sumatera Utara

Bilirubin non-toksik dikatalisis oleh biliverdin reduktase menjadi bilirubin tidak


terkonjugasi, sebuah antioksidan alami pada kadar rendah, namun menjadi neurotoksik
pada kadar tinggi. Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat nonpolar, tidak larut dalam air dan
terikat pada albumin serum, maka hanya ada sedikit bilirubin tidak terkonjugasi dalam
bentuk tidak terikat atau bilirubin tidak terkonjugasi bebas (Bf), namun justru Bf inilah yang
bebas

masuk

dalam

otak,

cairan

serebrospinal,dan

bertanggungjawab

pada

neurotoksisitasnya. Bf mudah melewati sawar darah otak, namun bilirubin yang terikat pada
albumin tidak dapat memasuki otak kecuali bila ada gangguan sawar darah otak, kemudian
akan dihasilkan pewarnaan kuning yang luas. Pada kondisi toksik, bilirubin tidak
terkonjugasi yang tidak terikat atau B-lah (bilirubin indirek) yang ada dalam otak, bukan
bilirubin yang terikat pada albumin.
Bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh sel-sel hepar, dikonjugasi dengan glukoronida
oleh UDPGT (UDP-glucoronosyltransferase) menjadi bilirubin terkonjugasi yang nontoksik,
larut dalam air dan diekskresikan dalam empedu. Meskipun bilirubin terkonjugasi tidak
neurotoksik, tetapi terikat pada albumin dan berkompetisi dengan bilirubin tak terkonjugasi
untuk lokasi ikatan dengan albumin. Bilirubin terkonjugasi dieliminasi dalam feses namun
juga dipecah dalam usus oleh bakteri menjadi bilirubin tak terkonjugasi, yang kemudian
diserap kembali dalam aliran darah, inilah yang kita sebut sebagai sirkulasi enterohepatik.
Bilirubin mempengaruhi fungsi mitokondria dengan menghambat kerja enzim-enzim
mitokondrial, menggangu sintesis DNA, menginduksi pemecahan DNA, menghambat sintesi
protein, memecah fosforilasi oksidatif dan menghambat uptake tyrosine (suatu marker
untuk transmisi sinaptik). Bilirubin memiliki afinitas terhadap fosfolipid membentuk presipitat
yang melekat pada membran sel otak. Mekanisme toksisitas bilirubin telah disimpulkan dari
penelitian-penelitian dengan menggunakan konsentrasi bilirubin yang relevan secara
patofisiologis, yaitu kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang diperkirakan akan dijumpai pada
sistem saraf pusat bayi-bayi dengan hiperbilirubinemia.
Beberapa penilitian yang telah dilaporkan membuktikan bahwa model toksisitas
neuronal selektif terjadi menyerupai kejadian iskemia otak. Homeostasis ion calsium (Ca+)
adalah mekanisme dasar utama yang menyebabkan kematian sel neuron dan peningkatan
eksitabilitas neuron. Banyak neuron menggunakan protein-protein sebagai buffer ion
kalsium untuk mempertahankan kadar kalsium intrasel yang rendah. Percobaan-percobaan
terhadap tikus-tikus Gunn ikterik, menunjukkan keterlambatan aktivitas ion kalsum dan
Calmodulin dependent protein kinase II (CaM kinase II), suatu bahan yang dibutuhkan oleh
protein kinase sel dalam proses fosforilasi. Secara invitro didapatkan bahwa bilirubin
menghambat aktivitas CaM kinase II, yang dianggap berhubungan dengan berbagai fungsi

Universitas Sumatera Utara

neuron penting, seperti: pelepasan neurotransmitter, perubahan konduktansi ion yang diatur
oleh kalsium serta dinamika neuroskeletal.
Dalam otak kerentanan terhadap efek neurotoksik bilirubin bervariasi menurut tipe sel,
kematangan otak dan metabolisme otak. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi sawar darah
otak seperti: infeksi/sepsis, asidosis, hipoksia, hipoglikemia, trauma kepala dan prematuritas
dapat mempengaruhi masuknya bilirubin kedalam otak.
Bilirubin tak terkonjugasi yang masuk dalam otak terutama dalam bentuk bebas atau
bilirubin anion, berikatan dengan fosfolipid dan gangliosida pada permukaan membran
plasma neuron. Ikatan antara bilirubin anion-fosfolipid kompleks merupakan ikatan yang
tidak stabil. Bilirubin anion mengambil ion hidrogen dan membentuk asam bilirubin yang
menempel kuat pada membran. Asam bilirubin tersebut akan menyebabkan kerusakan pada
membran plasma sehingga dapat menyebabkan bilirubin anion masuk kedalam sel neuron.
Bilirubin anion yang masuk kedalam sel akan berikatan dengan fosfolipid pada membran
organel subseluler seperti mitokondria, retikulum endoplasma dan nukleus. Ikatan ini akan
menyebabkan terbentuknya asam bilirubin dan kerusakan membran tingkat subseluler.
Kerusakan tersebut memberikan dampak terhadap multisistem enzim dan menyebabkan
kerusakan sel neuron di seluruh tubuh (Saricci,SU,Serdar MA,Korkmar et all, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Hiperbilirubinemia dalam darah

Bilirubin
ekstraseluler

Ikatan antara bilirubin anion dengan


fosolipid (dan gangliosida) pada
membran plasma neuron

Bilirubin anion masuk kedalam sel

ikatan antara bilirubin anion


Pembentukan asam
bilirubin

Agregasi dan presipitasi

dengan fosfolipid pada membran


mitokondria, reticulum endoplasma
dan nukleus

asam bilirubin

Kerusakan membran plasma


Pembentukan asam bilirubin

Kematian sel neuron

Gambar 2.4 Jalur bilirubin dalam darah


(Santoso 2010)
Patofisiologi
Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan
umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (Inkompatibilitas golongan
darah dan Rh, defek sel darah merah pada defisiensi G 6 PD atau sferositosis, polisitemia,
sekuester darah, infeksi).

Universitas Sumatera Utara

Penurunan konjugasi Bilirubin: prematuritas, ASI , defek kongenital yang jarang.


Peningkatan Reabsorpsi Bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang
terlambat, obstruksi saluran cerna.
Kegagalan ekskresi cairan empedu : infeksi intrauterin, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik,
atresia biliaris, fibrosis kistik.

Neonatal jaundice fisiologis dapat terjadi dari hasil simultan dari

2 fenomena

berikut:
1. Bilirubin produksi meningkat karena kerusakan peningkatan eritrosit janin. Ini adalah
hasil dari jangka hidup singkat dari eritrosit janin dan massa eritrosit lebih tinggi pada
neonatus.
2. Hati kapasitas ekskretoris rendah baik karena konsentrasi rendah dari ligandin protein
mengikat dalam hepatosit dan karena rendahnya aktivitas transferase glucuronyl, enzim
bertanggung jawab untuk bilirubin mengikat asam glukuronat, sehingga membuat air
bilirubin larut (konjugasi).
Bilirubin diproduksi di sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme hem
dan terbentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi. Sekitar 75% bilirubin berasal dari hemoglobin,
tapi degradasi mioglobin, sitokrom, katalase dan juga berkontribusi. Pada langkah oksidasi
pertama, biliverdin terbentuk dari heme melalui aksi heme oxygenase, tingkat membatasi
langkah dalam proses, melepaskan besi dan karbon monoksida. Sedangkan karbon
monoksida diekskresikan melalui paru-paru dan dapat diukur dalam napas pasien untuk
mengukur produksi bilirubin.
Selanjutnya, larut dalam air biliverdin direduksi menjadi bilirubin, yang, karena ikatan
hidrogen intramolekul, hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomer yang paling umum
nya (bilirubin IX Z, Z). Karena sifat hidrofobik nya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam
plasma terikat erat pada albumin. Mengikat protein lain dan eritrosit juga terjadi, tetapi peran
fisiologis mungkin terbatas. Mengikat bilirubin peningkatan albumin postnatal dengan usia
dan berkurang pada bayi yang sakit.
Kehadiran pesaing mengikat endogen dan eksogen, seperti obat-obatan tertentu, juga
mengurangi afinitas pengikatan albumin untuk bilirubin. Sebuah fraksi bilirubin tak
terkonjugasi menit dalam serum tidak terikat pada albumin. Bilirubin bebas mampu melintasi
lipid yang mengandung membran, termasuk penghalang darah-otak, yang menyebabkan
neurotoksisitas. Dalam kehidupan janin, bilirubin bebas dapat melewati plasenta, tampaknya
dengan difusi pasif, dan ekskresi bilirubin dari janin terjadi terutama melalui organisme ibu.

Universitas Sumatera Utara

Saat mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam sel hati, di mana bisa mengikat
ligandin. Serapan bilirubin ke dalam hepatosit meningkat dengan konsentrasi ligandin
meningkat. Konsentrasi Ligandin rendah saat lahir tetapi meningkat pesat selama beberapa
minggu pertama kehidupan. Konsentrasi Ligandin dapat ditingkatkan dengan pemberian
agen farmakologis seperti fenobarbital.
Bilirubin terikat dengan asam glukuronat (terkonjugasi) dalam retikulum endoplasma
hepatosit dalam reaksi dikatalisis oleh uridin diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT).
Monoconjugates terbentuk pertama dan mendominasi pada bayi baru lahir. Diconjugates
tampaknya terbentuk pada membran sel dan mungkin memerlukan kehadiran tetramer
UDPGT.
Konjugasi bilirubin secara biologis penting karena mengubah molekul air yang tidak
larut bilirubin menjadi molekul yang larut dalam air. Air kelarutan bilirubin terkonjugasi
memungkinkan untuk dibuang ke dalam empedu. Aktivitas UDPGT rendah saat lahir tetapi
meningkat dengan nilai-nilai orang dewasa dengan usia 4-8 minggu. Selain itu, obat-obatan
tertentu (fenobarbital, deksametason, clofibrate) dapat diberikan untuk meningkatkan
aktivitas UDPGT.
Bayi yang memiliki sindrom Gilbert atau senyawa yang heterozigot untuk promotor
Gilbert dan mutasi struktural daerah pengkode UDPGT1A1 berada pada peningkatan risiko
hiperbilirubinemia signifikan. Interaksi antara genotipe Gilbert dan anemia hemolitik seperti
glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan, sferositosis herediter, atau
penyakit hemolitik ABO juga tampaknya meningkatkan risiko penyakit kuning neonatal
parah.(Hansen TW,Nietsch L,Norman E et all 2009)
Selanjutnya, pengamatan penyakit kuning pada beberapa bayi dengan stenosis
pilorus hipertropi juga mungkin terkait dengan varian Gilbert-jenis. Genetik polimorfisme
untuk protein transporter anion organik OATP-2 berkorelasi dengan risiko 3 kali lipat untuk
mengembangkan ikterus neonatal ditandai. Kombinasi polimorfisme OATP-2 gen dengan
gen UDPGT1A1 varian selanjutnya akan meningkatkan risiko ini menjadi 22 kali lipat. Studi
juga menunjukkan bahwa polimorfisme pada gen untuk glutathione-S-transferase (ligandin)
dapat menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari bilirubin total serum.
Genetik. faktor genetik yang terlibat dalam patogenesis hiperbilirubinemia neonatal. Dalam
studi kasus kontrol nested, kami menentukan 1) frekuensi timin-adenin (TA) n polimorfisme
promotor dan mutasi Gly71Arg di uridin diphosphoglucuronate-glucuronosyltransferase 1A1
(UGT1A1) gen pada neonatus> atau = 35-minggu usia kehamilan yang mengalami tingkat
bilirubin> 18 mg / dL dan kontrol, 2) interaksi antara (TA) n polimorfisme promotor, glukosa-

Universitas Sumatera Utara

6-fosfat dehidrogenase (G6PD) mutasi gen, dan puncak bilirubin. Terdapat kaitan genetis
antara difosfat uridin-glucuronosyltransferase1A1 (UGT1A1) Gly71Arg, UGT1A1 promotor
TATA-box dan mutasi gen glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dalam pengembangan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi neonatal.
Dengan demikian, beberapa variasi antarindividu dalam kegiatan dan tingkat
keparahan penyakit kuning neonatal dapat dijelaskan secara genetik. Sebagai dampak dari
varian genetik lebih sepenuhnya dipahami, pengembangan panel tes genetik untuk risiko
penyakit kuning neonatal berat atau berkepanjangan dapat menjadi wajar.
Setelah diekskresikan ke dalam empedu dan ditransfer ke usus, bilirubin ini akhirnya
dikurangi menjadi tidak berwarna tetrapyrroles oleh mikroba dalam usus besar. Namun,
beberapa deconjugation terjadi di usus kecil proksimal melalui aksi B-glucuronidases
terletak di perbatasan kuas. Ini bilirubin tak terkonjugasi dapat diserap kembali ke dalam
sirkulasi, meningkatkan kolam plasma bilirubin total. Siklus penyerapan, konjugasi, ekskresi,
deconjugation, dan reabsorpsi disebut enterohepatik sirkulasi. Proses ini mungkin meluas
pada masa neonatus, sebagian karena asupan gizi terbatas pada hari-hari pertama
kehidupan, memperpanjang waktu transit di usus.(Keren R,et all,. A 2009)
Pada ibu yang sedang mengalami kesulitan dengan pembentukan ASI, cairan dan
asupan gizi yang tidak memadai sering menyebabkan penurunan berat badan yang
signifikan setelah melahirkan pada bayi. Bayi tersebut memiliki peningkatan risiko penyakit
kuning berkembang melalui sirkulasi enterohepatik meningkat, seperti dijelaskan di atas.
Fenomena ini sering disebut sebagai penyakit kuning dan menyusui ini berbeda dengan
penyakit kuning ASI dijelaskan di bawah.
Faktor-faktor tertentu hadir dalam ASI dari beberapa ibu juga dapat menyebabkan
sirkulasi enterohepatik bilirubin meningkat (ASI jaundice). -glukuronidase mungkin
memainkan peran dengan uncoupling bilirubin dari ikatannya dengan asam glukuronat,
sehingga membuatnya tersedia untuk reabsorpsi. Data menunjukkan bahwa risiko penyakit
kuning ASI secara signifikan meningkat pada bayi yang memiliki polimorfisme genetik pada
urutan coding dari UDPGT1A1 atau OATP2 gen. Meskipun mekanisme yang menyebabkan
fenomena ini belum disepakati, bukti menunjukkan bahwa suplementasi dengan pengganti
ASI tertentu dapat mengurangi tingkat penyakit kuning ASI (Maisels M.J et all 2009).
Ikterus neonatal, meskipun fenomena transisi normal di sebagian besar bayi, kadangkadang dapat menjadi lebih jelas. Golongan darah yang tidak kompatibel (misalnya, Rh,
ABO) dapat meningkatkan produksi bilirubin melalui hemolisis meningkat. Secara historis,
isoimunisasi

Rh

adalah

penyebab

penting

penyakit

kuning

yang

parah,

sering

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan perkembangan kernikterus. Meskipun kondisi ini telah menjadi relatif jarang
terjadi di negara-negara industri setelah penggunaan profilaksis Rh di Rh-negatif,
isoimunisasi Rh tetap umum di negara berkembang.
Gangguan hemolitik nonimmune (sferositosis, G-6-PD kekurangan) juga dapat
menyebabkan penyakit kuning meningkat, dan peningkatan hemolisis tampaknya telah hadir
di beberapa bayi dilaporkan telah dikembangkan kernikterus di Jepang pada 10-15 tahun
terakhir. Interaksi yang mungkin antara kondisi tersebut dan varian genetik dari Gilbert dan
UDPGT1A1 gen, serta varian genetik dari beberapa protein lain dan enzim yang terlibat
dalam metabolisme bilirubin, penemuan ini juga menyoroti tantangan yang terlibat dalam
penggunaan umum dari penyakit kuning segi fisiologis dan ikterus patologis. Meskipun
penyakit kuning fisiologis merupakan konsep membantu dari perspektif didaktis,
menerapkannya pada sebuah neonatus dengan penyakit kuning yang sebenarnya lebih
sulit.( Yamamoto A 2009)
Perhatikan metafora berikut: Pikirkan bilirubin serum total ikterus neonatal sebagai
gunung tertutup oleh gletser. Jika pengukuran ketinggian gunung tersebut diambil ketika
berdiri di puncak, jumlah batu dan jumlah es yang terdiri dari pengukuran ini tidak jelas. Hal
yang sama berlaku bagi banyak bilirubin total nilai serum yang diperoleh dalam ikterus
neonatal. Sebuah fondasi proses fisiologis dan proses patologis (misalnya, ketidakcocokan
rhesus) dengan jelas dapat berkontribusi untuk pengukuran. Namun, berapa banyak dari
total nilai terukur berasal dari masing-masing komponen tidak jelas. Juga, karena varian
genetik dalam metabolisme bilirubin hanya sangat dikejar dalam diagnostik kerja-up bayi
dengan penyakit kuning, mungkin kontribusi mereka terhadap bilirubin serum total yang
diukur biasanya tidak diketahui.
Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa infeksi saluran kencing (ISK)
ditemukan pada 7,5% asimtomatik, afebris, pada bayi kuning usia kurang 8 minggu. Selain
itu, bayi dengan timbulnya ikterus setelah 8 hari usia atau pasien dengan fraksi bilirubin
terkonjugasi tinggi lebih mungkin untuk memiliki sebuah ISK. Oleh karena itu, disarankan
pengujian untuk ISK dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi dalam asimtomatik, bayi
kuning yang datang ke gawat darurat.(Omar C,Hamza s bassem AM, Mariam R 2011)

c. Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir
mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 umol / L (1,8 mg / dL)
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena
banyak

peneliti

berbeda

yang

tidak

menggunakan

definisi

yang

sama

untuk

Universitas Sumatera Utara

hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang
akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia layanan
kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada
karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan. Penelitian epidemiologi memberikan suatu
kerangka acuan untuk kejadian diperkirakan. Pada tahun 1986, Maisels dan Gifford
dilaporkan 6,1% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 220 umol / L (12,9 mg / dL).
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki total
serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994
American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam rentang di
mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.
Sebuah studi dari Turki melaporkan penyakit kuning yang signifikan dalam 10,5% bayi
yang panjang dan dalam 25,3% dari jangka dekat bayi. Penyakit kuning yang signifikan
didefinisikan menurut umur kehamilan dan pasca kelahiran dan mendatar pada 14 mg / dL
(240 umol / L) pada 4 hari pada bayi prematur dan 17 mg / dL (290 umol / L) pada bayi
panjang.
Studi ini tampaknya menunjukkan bahwa beberapa variabilitas etnis dalam kejadian
dan tingkat keparahan penyakit kuning neonatal mungkin berhubungan dengan perbedaan
dalam distribusi varian genetik dalam metabolisme bilirubin. (Riskin A, Tamir A,kuglelman A
, 2009)
.
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus dapat
terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis. Dalam
sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki
G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan
kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD yang normal
skrining hasil tes.
Kemungkinan dampak polimorfisme genetik pada variasi etnis dalam insiden dan keparahan
harus diakui. Dengan demikian, dalam studi bayi Taiwan, Huang dkk melaporkan bahwa
neonatus yang membawa 211 dan 388 varian dalam UGT1A1 dan OATP2 gen dan yang
disusui beresiko sangat tinggi untuk hiperbilirubinemia parah. (Sun LL et all 2012)
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi lakilaki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang ada di

Universitas Sumatera Utara

bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan usia
kehamilan. (Sun G ,wu M, cao J,Du L, 2007)

d. Penyebab
Ikterus fisiologis disebabkan oleh kombinasi produksi bilirubin meningkat sekunder
terhadap kerusakan percepatan eritrosit, penurunan kapasitas ekskretoris sekunder
rendahnya tingkat ligandin dalam hepatosit, dan aktivitas rendah dari uridin enzim bilirubin
konjugasi diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT).
Ikterus neonatus patologis terjadi bila faktor tambahan menemani mekanisme dasar
yang dijelaskan di atas. Contohnya termasuk anemia hemolitik imun atau nonimmune,
polisitemia, dan adanya ekstravasasi memar atau darah.
Penurunan bilirubin mungkin memainkan peran dalam penyakit kuning menyusui,
penyakit kuning ASI, dan dalam beberapa metabolik dan gangguan endokrin.

e. Faktor risiko meliputi:


1. Ras: Insiden lebih tinggi di Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah di Afrika
Amerika.
2. Geografi: Insiden lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Yunani yang
hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada mereka yang tinggal di luar
Yunani.
3. Genetika dan keluarga: Insiden lebih tinggi pada bayi dengan saudara kandung yang
menderita sakit kuning neonatal signifikan dan terutama pada bayi yang lebih tua
saudara dirawat karena penyakit kuning neonatal. Insiden juga lebih tinggi pada bayi
dengan mutasi / polimorfisme pada gen yang kode untuk enzim dan protein yang terlibat
dalam metabolisme bilirubin, dan pada bayi dengan homozigot atau heterozigot glukosa6-fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan dan anemia hemolitik herediter .
Kombinasi varian genetik seperti tampaknya memperburuk penyakit kuning neonatal
4. Gizi: Insiden lebih tinggi pada bayi yang mendapat ASI atau yang menerima nutrisi yang
tidak memadai. Mekanisme untuk fenomena ini mungkin tidak sepenuhnya dipahami.
Namun, ketika volume makan yang tidak memadai yang terlibat, peningkatan sirkulasi
enterohepatik bilirubin mungkin memberikan kontribusi untuk penyakit kuning yang
berkepanjangan. Data terbaru menunjukkan bahwa payudara sakit kuning susu
berkorelasi dengan kadar faktor pertumbuhan epidermal, baik dalam ASI dan dalam
serum bayi. Menunjukkan bahwa perbedaan antara ASI dan susu formula bayi mungkin
kurang jelas dengan beberapa rumus yang modern . Namun, formula yang mengandung
hidrolisat protein telah terbukti meningkatkan ekskresi bilirubin.

Universitas Sumatera Utara

5. Faktor ibu: Bayi dari ibu dengan diabetes memiliki insiden yang lebih tinggi.
Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan kejadian, sedangkan yang lain
menurunkan kejadian.
6. Usia kehamilan dan berat lahir: Insiden lebih tinggi pada bayi prematur dan pada bayi
dengan berat lahir rendah.(Maisels et al,2009)

i . Manifestasi Klinis

Kulit, mukosa dan konjungtiva kuning.

Biasanya,

presentasi

adalah

pada

hari

kedua

atau

ketiga

kehidupan.

Penyakit kuning yang terlihat selama 24 jam pertama kehidupan mungkin akan
nonphysiologic; evaluasi lebih lanjut disarankan.

Bayi dengan penyakit kuning setelah 3-4 hari hidup juga mungkin memerlukan
pengawasan yang lebih ketat dan pemantauan.

Pada bayi dengan penyakit kuning yang parah atau penyakit kuning yang terus di luar 12 minggu pertama kehidupan, hasil dari layar metabolik baru lahir harus diperiksa untuk
hipotiroidisme galaktosemia dan kongenital, riwayat keluarga harus dieksplorasi lebih
lanjut, sejalan dengan berat badan bayi yang dievaluasi, tayangan ibu sejauh kecukupan
ASI harus diperoleh, dan warna tinja harus dinilai.

Riwayat keluarga

Sebelumnya saudara kandung dengan penyakit kuning pada periode neonatal,


pengobatan terutama jika penyakit kuning diperlukan

Anggota keluarga dengan penyakit kuning atau sejarah keluarga yang dikenal sindrom
Gilbert

Anemia, splenektomi, atau batu empedu pada anggota keluarga atau faktor keturunan
dikenal untuk gangguan hemolitik

Penyakit hati

Riwayat kehamilan dan persalinan:

penyakit sugestif dari infeksi virus atau lainnya

asupan obat ibu

tertundanya pengikatan plasenta

lahir trauma dengan memar

Universitas Sumatera Utara

Riwayat Postnatal

Kehilangan warna tinja

Gangguan imaturitas saluran cerna

Menyusui

Penurunan berat badan kurang rata-rata

Gejala atau tanda-tanda hipotiroidisme

Gejala atau tanda-tanda penyakit metabolik (misalnya, galaktosemia)

Paparan gizi orangtua (HutahaenB, 2007)

Pemeriksaan Fisik
Ikterus neonatal pertama akan terlihat dalam wajah dan dahi. Identifikasi dibantu oleh
tekanan pada kulit, karena blansing mengungkapkan warna yang mendasarinya.
Penyakit kuning kemudian secara bertahap menjadi terlihat pada badan dan
ekstremitas. Perkembangan kuning secara cephalocaudal harus dengan baik dijelaskan.
Penyakit kuning menghilang ke arah yang berlawanan. Penjelasan untuk fenomena ini tidak
dipahami dengan baik, namun kedua perubahan bilirubin-albumin mengikat berkaitan
dengan pH dan perbedaan suhu kulit dan aliran darah telah diusulkan.
Fenomena ini secara klinis berguna karena, independen dari faktor lainnya, penyakit
kuning terlihat di ekstremitas bawah sangat menunjukkan kebutuhan untuk memeriksa
tingkat bilirubin, baik dalam serum atau noninvasively melalui bilirubinometry transkutan.
Pada sebagian besar bayi, warna kuning ditemukan hanya pada pemeriksaan fisik.
Penyakit kuning lebih intens mungkin berhubungan dengan kantuk. Batang otak
pendengaran ang membangkitkan potensi dilakukan saat ini dapat mengungkapkan
perpanjangan latency, penurunan amplitudo, atau keduanya.(Stevenson DK, Wong
RJ,Vreman HJ, et all, 2004)
Temuan neurologis, seperti perubahan dalam otot, kejang, atau menangis karakteristik
berubah, pada bayi secara signifikan kuning adalah tanda-tanda bahaya dan membutuhkan
perhatian segera untuk mencegah kernikterus. Dengan adanya gejala atau tanda-tanda,
fototerapi yang efektif harus dimulai segera tanpa menunggu hasil uji laboratorium
(Hutahaen B 2007).
Kebutuhan potensial untuk transfusi tukar tidak harus menghalangi inisiasi langsung dari
fototerapi.

Universitas Sumatera Utara

Hepatosplenomegali, petechiae, mikrosefali mungkin berhubungan dengan anemia


hemolitik, sepsis, dan infeksi bawaan dan harus memicu evaluasi diagnostik diarahkan
diagnosa ini. Ikterus neonatal dapat diperburuk dalam situasi ini.

Diagnosis

Anamnesis : riwayat ikterus pada anak sebelumnya, riwayat keluarga anemi dan
pembesaran hati dan limpa, riwayat penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat infeksi
maternal, riwayat trauma persalinan, asfiksia.

Pemeriksaan fisik :

1. Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)


2. Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan
pada pencahayaan yang memadai.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Kramer dibagi :

Perkiraan
Derajat ikterus

Daerah ikterus

bilirubin

Kepala dan leher

5,0 mg%

kadar

Sampai badan atas (di atas


II

III

umbilikus)
Sampai

badan

bawah

umbilikus)

bawah

(di

hingga

tungkai atas (di atas lutut)


Sampai

IV

9,0 mg%

lengan,

11,4 mg/dl

tungkai

bawah lutut

12,4 mg/dl

Sampai telapak tangan dan


V

kaki

16,0 mg/dl

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium: kadar bilirubin, golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan
anak, darah rutin, hapusan darah, Coomb tes, kadar enzim G 6 PD (pada riwayat keluarga
dengan defisiensi enzim G 6 PD).
Pengukuran Bilirubin termasuk yang berikut:
1. Bilirubinometry transkutan dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat genggam
yang menggabungkan algoritma optik canggih. Penggunaan perangkat tersebut telah
terbukti mengurangi kebutuhan untuk pengambilan sampel darah pada bayi dengan
ikterus. Namun, tidak dapat digunakan untuk memantau kemajuan fototerapi.
2. Bilirubinometry transkutan lebih baik dari penilaian visual. Yang terakhir ini bukanlah
teknik yang dapat diandalkan untuk memperkirakan tingkat bilirubin, tetapi tidak adanya
penyakit kuning sebagaimana dinilai oleh mata dalam kondisi pencahayaan yang baik
memiliki keakuratan yang cukup tinggi sejauh yang memprediksi bayi mana yang
berkembang menjadi nilai kadar serum bilirubin yang tinggi

Universitas Sumatera Utara

3. Pada bayi dengan ikterus ringan, bilirubinometri transkutan mungkin diperlukan untuk
memastikan bahwa tingkat bilirubin total dengan aman di bawah yang membutuhkan
intervensi.
4. Pada bayi dengan ikterus moderat, bilirubinometry transkutan mungkin berguna dalam
memilih pasien yang memerlukan proses mengeluarkan darah atau pengambilan sampel
darah kapiler untuk pengukuran bilirubin serum.
5. Pada bayi dengan penyakit kuning yang ekstrim, bilirubinometry transkutan dapat
menjadi alat yang berguna untuk jalur cepat seperti bayi terhadap terapi yang cepat dan
agresif.
6. Biasanya, tes serum total kadar bilirubin adalah satu-satunya diperlukan pada bayi
dengan penyakit kuning moderat yang menyajikan pada hari kedua atau ketiga khas
hidup tanpa sejarah dan temuan fisik sugestif dari proses patologis. Pengukuran fraksi
bilirubin (terkonjugasi vs tak terkonjugasi) dalam serum biasanya tidak diperlukan pada
bayi yang hadir seperti dijelaskan di atas. Namun, pada bayi yang memiliki
hepatosplenomegali, petekia, trombositopenia, atau temuan lainnya sugestif penyakit
hepatobiliari, gangguan metabolisme, atau infeksi bawaan, pengukuran awal fraksi
bilirubin disarankan. Hal yang sama berlaku untuk bayi yang tetap kuning di luar 7-10
hari

pertama

kehidupan,

dan

untuk

bayi

dengan

total

bilirubin

serum

pengobatan.(Slusher TM et all, 2009)

Pemeriksaan tambahan dapat diindikasikan dalam situasi berikut:

Bayi dengan penyakit kuning pada hari pertama atau setelah hari ketiga kehidupan

Bayi yang mengalami anemia saat kelahiran

Bayi sakit

Tingkat bilirubin serum yang meningkat cukup untuk memicu pengobatan

Kuning yang signifikan tetap ada setelah 2 minggu pertama kehidupan

Riwayat keluarga, ibu, kehamilan, menunjukkan kemungkinan proses patologis

Pemeriksaan fisik mengungkapkan temuan bukan faktor hiperbilirubinemia fisiologis


sederhana

q . Selain jumlah kadar bilirubin serum, pemeriksaan lain yang


dianjurkan bila curiga kuning non patologis:

Golongan darah dan tekad Rh pada ibu dan bayi

Universitas Sumatera Utara

Direct antiglobulin test (DAT) pada bayi (Coombs test)

Hemoglobin dan hematokrit

Tingkat albumin serum: menjadi tambahan yang berguna dalam mengevaluasi risiko
tingkat toksisitas karena albumin mengikat bilirubin dalam perbandingan 1:1 di lokasi
tinggi afinitas utama mengikat.

Nomogram for hour-specific bilirubin values: alat yang berguna untuk memprediksi, baik
sebelum atau saat keluar rumah sakit, bayi yang berpotensi nilai bilirubin tinggi. Bayi
diidentifikasi dengan cara ini memerlukan pemantauan ketat tindak lanjut dan diulang
bilirubin pengukuran. Kemampuan prediksi telah terbukti baik untuk nilai bilirubin diukur
dalam serum dan untuk nilai-nilai diukur transcutaneously. Nomogram ini juga telah
terbukti bekerja dengan baik untuk DAT-positif bayi dengan ketidakcocokan AB0. Hasil
DAT tes positif tidak menambahkan nilai apapun kepada manajemen klinis bayi ini di
luar yang sudah diperoleh nilai bilirubin jam khusus diplot ke nomogram.

Pengukuran end-tidal carbon monoxide dalam napas: End-tidal carbon monoxide in


breath (ETCO) dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin. Pengukuran ETCO
dapat membantu dalam mengidentifikasi individu dengan produksi bilirubin meningkat
dan dengan demikian, pada peningkatan risiko mengembangkan tingkat tinggi bilirubin.
Aparat telah dikembangkan untuk mengukur ETCO simple (CO-Stat End Tidal Breath
Analyzer; Natus Medical Inc).

Darah tepi untuk morfologi eritrosit

Jumlah Retikulosit

Nilai Konjugasi bilirubin : Mengukur fraksi bilirubin dapat diindikasikan dalam keadaan
dijelaskan di atas. Perhatikan bahwa pengukuran bilirubin langsung sering tidak akurat,
tunduk pada variasi antar laboratorium dan intralaboratory signifikan, dan umumnya
bukan

alat

sensitif

untuk

mendiagnosis

kolestasis

kecuali

pengukuran

ulang

mengkonfirmasi adanya bilirubin terkonjugasi tinggi.

Tes fungsi hati: Aspartate aminotransferase (ASAT atau SGOT) dan alanin
aminotransferase

(ALAT

atau

SGPT)

tingkat

yang

meningkat

pada

penyakit

hepatoselular. Fosfatase alkalin dan -glutamyltransferase (GGT) tingkat sering


meningkat pada penyakit kolestasis. Sebuah rasio -GT/ALAT lebih dari 1 adalah sangat
sugestif dari obstruksi bilier. Namun, tidak membedakan antara kolestasis intrahepatik
dan ekstrahepatik.

Tes untuk mencari infeksi virus atau parasit: diindikasikan pada bayi dengan
hepatosplenomegali,

petechiae,

trombositopenia,

atau

bukti

lain

dari

penyakit

hepatoseluler.

Reducing substance urin: tes skrining yang berguna untuk galaktosemia, asalkan bayi
telah menerima jumlah yang cukup susu.

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran gas darah: Risiko toksisitas SSP bilirubin meningkat pada asidosis, asidosis
terutama pernapasan.

Bilirubin-binding test: Meski merupakan alat penelitian yang menarik, tetapi tes ini belum
digunakan secara luas dalam praktek klinis. Meskipun peningkatan kadar terikat
(gratis) bilirubin berhubungan dengan peningkatan risiko ensefalopati bilirubin, bilirubin
terikat hanyalah salah satu dari beberapa faktor yang menengahi / memodulasi
toksisitas bilirubin.(Fransisco J, Gracia,Alan L nager, 2008)

Fungsi tiroid (T3, danT4, f T3 dan f T4)

r. Pemeriksaan Klinis :

Radiologis : foto polos abdomen

Ultrasonografi : Ultrasonografi dari saluran-saluran hati dan empedu diperlukan pada


bayi dengan laboratorium atau tanda-tanda klinis penyakit kolestasis.

Radionuklida

scanning

: Scan

hati

radionuklida

untuk

penyerapan

asam

hepatoiminodiacetic (HIDA) diindikasikan jika atresia bilier ekstrahepatik diduga. Di


institusi penulis, pasien pra-perawatan dengan fenobarbital 5 d mg / kg / hari selama 3-4
hari sebelum melakukan scan.

Tes histologis
Organ tubuh, termasuk otak, berwarna kuning dengan penyakit kuning yang signifikan,
namun, warna kuning tidak selalu menunjukkan toksisitas SSP. Perbedaan ini tidak
selalu dipahami dengan jelas dalam deskripsi low-bilirubin kernicterus.Saat ini, telah
membuat kebingungan dan ketidakpastian mengenai pedoman terapi dan tingkat
intervensi.

s. Diagnosis Banding

Biliary Atresia

Breast Milk Jaundice

Cholestasis

Cytomegalovirus Infection

Dubin-Johnson Syndrome

Duodenal Atresia

Galactose-1-Phosphate Uridyltransferase Deficiency (Galactosemia)

Hemolytic Disease of Newborn

Hepatitis B

Hypothyroidism

Universitas Sumatera Utara

t. Komplikasi
Ensefalopati hiperbilirubinemia (bisa terjadi kejang, malas minum, letargi dan dapat
berakibat pada gangguan pendengaran, palsi serebralis)

karena adanya

peningkatan

kadar bilirubin indirek serum (BIS). Secara umum seorang bayi dianggap bermasalah bila
kadar BIS10 mg/dL, umumnya dapat ditemukan penyebab ikterus patologis pada bayi
baru lahir. Bilirubin merupakan masalah pada bayi karena bersifat neurotoksik (toksisitas
bilirubin), selanjutnya dapat berkembang menjadi ensefalopati bilirubin(Alfhors.CE, Parker
AE 2008)

Kernicterus
Sebuah penelitian terhadap kasus-kasus kern-icterus klasik di Amerika Serikat dan
beberapa negara lainnya, serta laporan-laporan terbaru tentang neuropati auditorik akibat
hiperbilirubinemia tanpa tanda-tanda kern-icterus klasik yang lain, menggaris bawahi
perlunya model-model untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
ikterus terjadi pada 60% bayi baru lahir dan menyebabkan kerusakan otak permanen. Hal ini
penting karena dengan pemahaman yang lebih baik kita akan dapat mencegah kerusakan
tersebut.
Pada dasarnya ensefalopati bilirubin merupakan suatu diagnosis secara patologi
anatomi, dimana ditemukan pengendapan bilirubin pada otak

dan sering berakibat

kerusakan neuron yang permanen. Bayi dengan keadaan ini mempunyai risiko mengalami
kematian, atau jika dapat bertahan hidup akan mengalami GPN dikemudian hari BIS telah
dibuktikan secara invitro dan invivo dalam konsentrasi yang tinggi secara difusi dapat
melewati sawar darah otak (SDO 6,9,12 Vohr dalam penelitiannya mendapatkan bahwa bayi
dengan kadar BTS puncak ratarata 14,32,8 mg/dL mempunyai hubungan yang signifikan dengan skor BNBAS (Brazelton
Neonatal Behavioral Assesment Scale) yang rendah. Semakin tinggi kadar BTS, semakin
rendah skor BNBAS.14 Wolf dalam penelitiannya melaporkan pada pemeriksaan Infant
Motor Screening (IMS) bayi berusia 4 bulan dengan riwayat hiperbilirubinemia neonatal
aterm, didapatkan hasil normal pada kadar BTS rata-rata 27,35,3 mg/dL, suspek pada
kadar BTS rata-rata 284 mg/dL, dan abnormal pada kadar BTS rata-rata 33,710,3 mg/dL.
Sedangkan pada penelitian berikutnya didapatkan 23% anak usia 1 tahun dengan riwayat
hiperbilirubinemia neonatal, dengan kadar BTS rata-rata 33,4 mg/dL didapatkan skor BSID
(Bayleys Scales of Infant Development) abnormal. Sedangkan dengan kadar BTS rata-rata
26,5 mg/dL didapatkan skor BSID masih dalam batas normal. (Susanto 2008) dari 23 bayi

Universitas Sumatera Utara

menyimpulkan mengalami yang hiperbilirubinemia neonatal mempunyai risiko mengalami


gangguan perkembangan neurologis.
Kehilangan pendengaran bawaan menunjukkan bahwa gangguan pendengaran hadir
saat lahir. Gangguan pendengaran dapat berupa disebabkan oleh faktor genetik dan
mungkin turun-temurun dialam (baik sindromik atau nonsyndromic) atau karena faktor lain
hadir baik dalam masa kehamilan atau pada saat kelahiran. Diperkirakan bahwa 80-90%
anak dengan

gangguan

pendengaran

permanen signifikan

telah memiliki

kerusakan sejak periode neonatal.

2.8. Penilaian dengan Emisi Otoakustik (OAE)


Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu spontaneus dan evoked OAE. Spontaneus
OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia memiliki
spontaneus OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE yang
terjadi paska pemberian stimulus, dibedakan menjadi ;

(1)

Transient Evoked OAE (TEOAE)

(2)

Distortion Product OAE (DPOAE).


Uji emisi

Probe ringan dimasukkan

otoacoustik
ke

mengukur

dalam saluran

integritas

telinga bagian dalam.

telinga dan

menghasilkan pita

lebar "klik". Energi akustik yang dihasilkan oleh getaran sel-sel rambut luar koklea di dalam
menanggapi klik tersebut, terdeteksi oleh mikrofon kecil di dalam probe. Hasil yang
ditampilkan hasil

Pass atau Refer.

Dalam beberapa kasus dapat memberikan

persentase numerik, dalam praktekya, total waktu rata-rata untuk pengujian. (Suwento
2008).

Pada waktu melakukan pengujian dan merekam hasil, mungkin memakan

waktu antara 1-20 menit. Pemeriksaan emisi otoakustik merupakan respon koklea yang
dihasilkan oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik
(Suwento,et all 2007).
Pemeriksaan emisi otoakustik dilakukan dengan cara memasukkan sumbat telinga
(probe) ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras
suara. Mikrofon berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian
stimulus. Sumbat telinga dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul
dari koklea. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang sunyi atau kedap suara,
untuk mengurangi bising lingkungan (Suwentoet all, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.8.1.Transient Evoked Otoacoustic Emissions


Transient Evoked Otoacoustic Emissions merupakan emisi suara yang dihasilkan oleh
rangsangan bunyi dengan menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click,
tetapi dapat juga tone burst. Transient Evoked Otoacoustic Emissions merupakan emisi
otoakustik yang pertama kali digunakan dalam klinik. Stimulus yang diberikan sekitar 60-80
dB SPL. Transient Evoked Otoacoustic Emissions menunjukkan kondisi beberapa bagian
koklea dan sekaligus menilai status fungsi koklea pada tingkatan mendekati ambang
stimulus.

2.8.2. Distortion Product Otoacoustic Emissions


Distortion Product Otoacoustic Emissions merupakan emisi sebagian respon dari
dua rangsangan yang berbeda frekuensi. Stimulus terdiri dari dua bunyi murni pada dua
frekuensi (f1, f2; f2>f1) dan dua level intensitas (L1, L2). Suatu rasio f1/f2 menghasilkan
Distortion Product Otoacoustic Emissions terbesar pada 1,2 untuk frekuensi tinggi dan
rendah pada 1,3 untuk frekuensi sedang. Untuk menghasilkan respon optimal, atur
intensitasnya sehingga L1 menyamai atau melebihi L2. Penyesuaian 65/66 dB SPL L1-L2
adalah yang sering digunakan. Distortion Product Otoacoustic Emissions dapat memperoleh
frekuensi yang spesifik dan dapat digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi dari
Transient Evoked Otoacoustic Emissions. Distortion Product Otoacoustic Emissions dapat
digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat obat-obat ototoksik dan akibat
pajanan suara bising.

2.8.3. Anatomi dan Fisiologi Dasar Emisi Otoakustik


Ketika bunyi dihasilkan sebagai suatu emisi, bunyi tersebut ditransmisikan melalui
telinga luar dimana rangsangan suara diubah dari suatu sinyal akustik menjadi sinyal
mekanis pada membran timpani dan ditransmisikan melalui tulang pendengaran telinga
tengah, kemudian kaki tulang stapes bergerak pada jendela oval menyebabkan gelombang
bergerak di dalam koklea berisi cairan. Gelombang yang bergerak di koklea menggerakkan
membran basilar, setiap bagian membran basilar sensitif hanya pada jangkauan tertentu
saja.
Penyusunan ini berdasarkan gradien tonotopik, bagian yang terdekat ke jendela oval
lebih sensitif terhadap stimulus frekuensi tinggi. Bagian yang lebih jauh lebih sensitif

Universitas Sumatera Utara

terhadap stimulus frekuensi rendah. Oleh karena itu, respon pertama yang dikembalikan dan
direkam oleh mikrofon adalah bagian koklea frekuensi tertinggi karena jarak tempuhnya
lebih pendek. Respon dari bagian frekuensi lebih rendah yang dekat apeks koklea sampai
setelahnya.
Ketika membran basilar bergerak, sel-sel rambut ikut bergerak dan sebuah respon
elektromekanik dihasilkan ketika sebuah sinyal aferen ditransmisikan dan sebuah sinyal
eferen dikeluarkan. Sinyal eferen ditransmisikan kembali melalui jalur pendengaran dan
sinyal tersebut diukur di kanal telinga luar (Campbell K. C. M., 2010).

Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE)


Dikutip dari Buku Ajar THT-KL UI
2.8.4

Tujuan Pemeriksaan Emisi Otoakustik


Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai keadaan koklea

terutama sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk antara lain:
a. Skrining pendengaran awal khususnya pada neonatus infan atau individu dengan
gangguan perkembangan
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu
c. Membedakan gangguan sensori dan neural; pada gangguan pendengaran
sensorineural
d. Dapat memeriksa gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura) dan juga dapat
dilakukan pada pasien yang sedang tidur bahkan pada keadaan koma.

2.8.5.Syarat untuk Menghasilkan Emisi Otoakustik

Universitas Sumatera Utara

Beberapa syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil emisi


otoakustik yang tepat adalah sebagai berikut :
a. Liang telinga luar tidak obstruksi
b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe
c. Posisi yang optimal dari probe
d. Tidak ada penyakit telinga tengah
e. Sel rambut luar masih berfungsi
f.

Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang

Emisi otoakustik pada bayi baru lahir


Dikutip dari The Hearing Solution Goup
2.8.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja OAE

2.8.6.1. Nonpatologi
a. Kesalahan dalam memasang probe
b. Serumen yang menghalangi probe
c. Debris atau benda asing dalam telinga
d. Vernix caseosa pada neonatus
e. Pasien yang tidak kooperatif

Universitas Sumatera Utara

2.8.6.2. Patologi
a. Telinga luar seperti:
- stenosis
- otitis eksterna
- kista
b. Membran timpani seperti : adanya perforasi
c. Telinga tengah seperti :
- Tekanan telinga tengah yang abnormal
- Otosklerosis
- Disartikulasi telinga tengah
- Kista
- Otitis media
d. Koklea
- Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan suara bising.

2.8.6.7. Hasil OAE


Hasil pemeriksaan dalam bentuk tabel yang diinterpresentasikan oleh beberapa frekuensi
yang ditampilkan dalam hasil pass atau refer ( lihat tabel)

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari Suwento 2007 UI

2.9. Penilaian BERA terhadap gangguan pendengaran


Bayi terlalu kecil bukan sebagai halangan untuk melakukan penilaian definitif gangguan
pendengaran pada anak terhadap status fungsi telinga tengah dan sensitifitas koklea serta
jalur suara. Kecurigaan terhadap adanya gangguan pendengaran pada anak harus
dilakukan secara tepat. Jenis-jenis pemeriksaan pendengaran yang direkomendasikan oleh
American of Pediatrics (AAP) adalah pemeriksaan yang disesuaikan dengan umur bayi, dan
harus merasa nyaman terhadap situasi pemeriksaan, pemeriksaan harus dilakukan pada
tempat yang cukup sunyi dengan gangguan visual dan audio yang minimal.
Pada pemeriksaan dengan BERA, secara fisiologik mekanisme jalur auditorius mulai
dari saraf auditorius saai ke korteks auditorius sangat kompleks. Terdapat lima gelombang
yang mencerminkan daerah yang diperiksa, antara lain:

1. Gelombang I timbul dari bagian distal nervus VIII.


2. Gelombang II dari bagian proksimal nervus VIII dengan kemungkinan
bagian distal nervus VIII masih ikut berperan.
3. Gelombang III dari kompleks olivari superior.
4. Gelombang IV berasal dari neuron ketiga di nukleus olivarius superior
kompleks, nukleus koklearis dan lemniskus lateralis.
5. Gelombang V berasal dari kolikulus inferior.

Universitas Sumatera Utara

Brainstem auditory-evoked potentials harus dilakukan evaluasi setelah terjadi


ikterus neonatus berat untuk menyingkirkan gangguan pendengaran sensorineural.
Pada

ikterus

fisiologis,

Potensial

pada

BERA

normal

dengan

resolusi

hiperbilirubinemia. Namun, pada pasien dengan ikterus neonatal yang signifikan


atau kernikterus, the auditory-evoked potential dan fungsi pendengaran mungkin
abnormal.
Salah satu bentuk neurotoksisitas bilirubin adalah abnormalitas sistem auditori pada
hiperbilirubinemia. Berdasarkan bukti tes audiometrik didapatkan gangguan pendengaran
dominan bilateral pada frekwensi tinggi dan simetris dengan fungsi perkembangan suara
yang abnormal. Hal tersebut berhubungan dengan lesi patologis pada nukleus koklear.
Bilirubin yang terdapat pada otak dapat merusak nuclei audiotori sentral dan jalur vestibular,
nuclei serebellar dan ganglia basalis yang dihubungkan dengan hipereaktivitas vestibuler.
Menurut Shapiro (2001), terdapat manifestasi auditori sentral yang patologis, melibatkan
struktur auditori batang otak termasuk nuclei lemniskus lateralis, kolikuli inferior tanpa
keterlibatan thalamus maupun cortical auditory pathways.

Bila ditemukan keadaan tuli konduktif, kurva serial latensi / intensitas


mempunyai kemiringan yang sama seperti orang normal tetapi mengalami
pergeseran keintensitas pendengaran yang lebih tinggi, maka akan ditemukan
semua gelombang (I-V) akan bergeser kekanan (memanjang), sedangkan interwave
latency interval (IWI) dalam batas normal. Lesi tipe sensorineural mempunyai latensi
puncak yang sebanding dengan orang normal pada intensitas stimulasi tinggi, tetapi
pada intensitas yang lebih rendah, latensi tersebut memanjang secara signifikan.
Untuk membentuk interpretasi BERA dalam membedakan gangguan konduktif dan
lesi retokoklear diperlukan tes audiometrik khusus yang cermat dan teliti seperti OAE
dan timpanometri. Saraf auditori dan visually evoked potentials yang terpengaruh
selama penyakit kuning yang sedang berlangsung, namun ada kriteria telah
ditetapkan yang memungkinkan ekstrapolasi dari temuan potensial ditimbulkan dari
resiko kernikterus. Data menunjukkan bahwa kemungkinan mengenai respon batang
otak pendengaran otomatis (AABR) dengan konsentrasi bilirubin terikat. Karena
terikat

bilirubin

konsentrasi

dapat

lebih

erat

berkorelasi

dengan

bilirubin

neurotoksisitas, mungkin menunjukkan peningkatan risiko neurotoksisitas bilirubin.


Hasil AABR yang diperoleh tak lama setelah bayi didiagnosis kuning untuk
perawatan segera dan agresif. (Harvey Coates, Kim Gifkins ,2004)

Universitas Sumatera Utara

KERANGKA TEORI & KERANGKA KONSEP


2.10. Kerangka Teori

Masalah
Perinatal
Status infeksi:
- Cytomegalovirus
- Rubela
- Toksoplasma
- Herpes simpleks

Penimbunan bilirubin
pada jaringan otak

Hiperbilirubinemia
Hipoksia
(tekanan parsial
oksigen)

KERUSAKAN SEL NEURON


(J

Prematuritas

l h

k)

Pola kerusakan:
- Nukleus koklear
- Olivari superior
- Lemniskus lateralis
- Kolikuli inferior

Obat ototoksik (dosis dan


lama pemberian)
- Gentamisin
- Furosemid
Faktor genetik
- Abnormalitas kromoson X
- Abnormalitas mitokondrial

Malformasi
t li

GANGGUAN
PENDENGARAN

Infeksi telinga
luar dan
tengah
Trauma
(d

j t
TULI
KONDUKTIF

TULI SENSORINEURAL

Universitas Sumatera Utara

2.11. Kerangka Kerja

HIPERBILIRUBINEMIA

Umur
Jenis Kelamin
Berat badan lahir
Kadar biliribin direk dan total
selama perawatan

GANGGUAN
PENDENGARAN

TULI SENSORINEURAL

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai