Embriologi Telinga
Embriologi Telinga
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
telinga dalam. Telinga luar pada dasarnya merupakan corong pengumpul suara yang terdiri
atas pinna dan saluran pendengaran luar. Telinga tengah adalah bagian yang menyalurkan
suara dari telinga luar ke telinga dalam dan telinga dalam yang mengubah suara menjadi
rangsangan saraf.
Telinga dalam adalah organ pertama dari tubuh yang dalam perkembangannya telah
terbentuk secara sempurna baik dalam ukuran maupun konfigurasinya yaitu pada kehamilan
trimester kedua. Perkembangan telinga dalam dimulai pada awal minggu ketiga yaitu
perkembangan intrauterin yang ditandai dengan tampaknya plakode ektoderm pada
setingkat miensefalon. Plakode auditori berinvaginasi membentuk lubang (pit) auditori
sepanjang minggu ke-4 yang kemudian menjadi vesikula auditori.
Pada tahap perkembangan selanjutnya vesikula otik (vesikula auditori) bagian
ventral membentuk sakulus dan koklearis sedangkan bagian dorsal membentuk utrikulus,
kanalis semisirkularis dan duktus endolimfatikus. Pembentukan saluran-saluran tersebut
disebabkan adanya bagian-bagian tertentu dari daerah tersebut yang berdegenerasi. Duktus
koklearis yang sedang tumbuh menembus mesenkim di sekitarnya dan berpilin seperti
membentuk spiral. Selanjutnya duktus koklearis tetap berhubungan dengan sakulus melalui
duktus reunien.
Duktus semisirkularis, duktus utrikulus, duktus sakulus dan duktus koklearis
kemudian diisi dengan cairan endolimfe sehingga semua struktur membran dari saluran
tersebut dinamakan membran labirin. Dinding sel membran labirin sangat tipis dan terdiri
atas sel-sel epitel tunggal yang ditutupi oleh lapisan serabut jaringan ikat yang dibentuk dari
mesenkim di sekitarnya. Beberapa dari sel epitel tersebut dimodifikasi menjadi sel-sel
rambut (sel neuroepitel dan beberapa sel pendukung).
Dasar dari sel-sel neuroepitel dikelilingi oleh ujung serabut saraf yang datang dari
ganglion spinal dan ganglion vestibular. Ganglion-ganglion tersebut berhubungan dengan
otak melalui serabut saraf yang dibentuk oleh tulang yang disebut tulang labirin. Ruang
diantara membran labirin dan tulang labirin tersebut berisi cairan perilimfe.(Drake et all,
2004)
2.2.
duktus dan sakulus membran yang disebut labirin membran (Drake R. L., Vogl W. and
Mitchell A. W. M., 2004).
Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Rongga
tulang ini dibatasi dengan peritoneum dan mengandung cairan jernih disebut cairan
perilimfe. Berbatasan dengan perilimfe tetapi tidak mengisi seluruh ruangan labirin tulang
terdapat labirin membranosa yang terdiri dari duktus semisirkularis, duktus koklearis,
utrikulus dan sakulus. Ruang labirin membranosa ini diisi dengan cairan endolimfe.
Struktur dari telinga dalam membantu penyampaian informasi ke otak tentang
keseimbangan dan pendengaran yaitu :
a. duktus koklear sebagai organ pendengaran.
b. duktus semisirkularis, utrikulus dan sakulus sebagai organ keseimbangan.
2.2.1. Vestibulum
Vestibulum yang mengandung jendela oval pada dinding lateralnya adalah bagian
pusat dari labirin tulang. Vestibulum berhubungan dengan koklea di bagian anterior dan
dengan kanalis semisirkularis di bagian posterosuperior.
Pada dinding lateral vestibulum terdapat foramen oval yang ditutupi foot plate stapes
beserta ligamentum anulare. Dinding medial vestibulum menghadap ke meatus akustikus
internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial ini terdapat dua cekungan yaitu
cekungan sferis untuk sakulus dan cekungan elips untuk utrikulus.
Pada dinding posterior vestibulum terdapat lima lubang kanalis semisirkularis dan di
dinding anterior vestibulum terdapat dua lubang yang berbentuk elips ke skala vestibularis
koklea (Drake 2004).
ampula pada tiap kanal membranosa. Setiap krista terdiri dari sel rambut dan sel pendukung
(sustenakular) yang dikelilingi oleh bagian gelatinosa (kupula) yang menutupi ampula.
Prosesus dari sel rambut melekat pada kupula dan basis sel rambut berhubungan dekat
dengan serabut aferen dari bagian vestibular dari kranial ke nervus VII. (Barrett K. E. et al,
2010 ).
2.2.3. Koklea
Koklea terletak di depan vestibulum dan berbentuk seperti rumah siput yang
mengarah ke dasar dari kanalis auditorius interna dan sumbunya yang panjang mengarah
keluar dengan membentuk sudut 300 dengan bidang horizontal. Di sepanjang koklea,
membran basilar dan membran Reissner membagi koklea menjadi tiga ruang atau skala. Di
atas terdapat skala vestibuli dan di bawah skala vestibuli dan di bawah terdapat skala
timpani yang mengandung cairan perilimfe dan berhubungan satu sama lain di puncak
koklea melalui sebuah lubang terbuka yang disebut helikotrema.
Di dasar koklea, skala vestibuli berakhir pada jendela oval yang ditutupi oleh kaki
tulang pendengaran (stapes). Skala timpani berakhir pada jendela oval, sebuah foramen di
dinding medial dari telinga dalam yang ditutupi oleh membran timpani yang fleksibel. Skala
media, ruang tengah koklea, berlanjut ke labirin membraniosa dan tidak berhubungan
dengan kedua skala lainnya (Barret.K.C et all, 2010).
2.3.
anterior-inferior tetapi dapat juga sebagai cabang langsung dari arteri basilaris. Arteri ini
masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi arteri vestibularis anterior dan
arteri koklearis komunis yang bercabang pula menjadi arteri koklearis dan arteri
vestibulokoklearis.
Arteri
vestibularis
anterior
memperdarahi
vestibularis
anterior
2.4.
vestibular di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar nervus fasialis
dan masuk ke batang otak antara pons dan medulla oblongata. Sel sel sensoris vestibularis
dipersarafi nervus koklearis dengan ganglion vestibularis (Scarpa) terletak di dasar meatus
akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi nervus koklearis dengan
ganglion spiralis Corti terletak di modiolus, pada dasar meatus akustikus internus terletak
ganglion vestibulare (Donaldson, 1991).
2.5.
Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong cairan endolimfe sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai
ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Brake, K.C et all, 2004).
2.6.
Bayi juga sudah dapat mengeluarkan suara dengan nada tinggi dan rendah (Northen J. dan
Downs H., 1991).
2.6.4.
bayi
mulai
meningkat
ditandai
dengan
bayi
sudah
dapat
mengeluarkan beberapa suku kata seperti ma-ma. Bayi dapat mengeluarkan nada-nada
nyanyian dan mengingat apa yang didengarnya. Bayi juga dapat menghubungkan bunyi
tertentu dengan kejadian tertentu (Northen J. dan Downs H., 1991).
akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela kongenital 50%, dan
Toksoplasma kongenital 10%-15%, sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%.
Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat tuli sensorineural. Penelitian oleh Rivera
menunjukan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi sitomegalovirus konegenital
mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa neonatus. Pada
meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa studi klinis menunjukan
adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran, sayangnya proses patologis yang
terjadi sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum dapat dipastikan.
2. Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan
antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin (pada
pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin, golongan diuretika:
furosemide.
Kadar bilirubin indirek ditentukan juga oleh beberapa faktor seperti: kecepatan produksi
bilirubin, kadar albumin, dan obat-obatan (sulfonamid, diuretikum, salisilat). (Huang et all,
2004)
3. Trauma
Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi osikular,
trauma suara.
4. Neoplasma
Tumor yang sering terjadi seperti
tumor,
tumor
pada
telinga
tengah
(contoh:
5. Hiperbilirubinemia
Definisi :
Neonatal hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana kadar bilirubin total > 5mg/dl
(86mol/L). Hiperbilirubinemia tampak secara klinis sebagai ikterus. Ikterus
neonatorum adalah keadaan klinis ada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus
pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Secara klinis ikterus mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dl, bila kurang dari itu maka tidak akan tampak secara klinis. Neonatus aterm
rata-rata memiliki konsentrasi bilirubin serum puncak 5-6 mg/dl (86-103 mol/L)
pada hari ketiga dan keempat. Ikterus fisiologis yang memberat terjadi pada kadar
bilirubin diatas ambang ini (7-17 mg/dl).
Konsentrasi bilirubin serum 17 mg/dl pada bayi aterm tidak lagi dianggap fisiologis
dan biasanya dapat kita temukan penyebab ikterus patologis pada bayi-bayi ini.
Penyebab terbanyak ikterus neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin indirek.
Bilirubin indirek inilah yang bersifat neurotoksik bagi bayi.(Marthin CR,Cloherty J,P,
2004)
Etiologi
e. Crigler-Najjar disease
f. Hipotiroidisme
g. Hemoglobinopati
masuk
dalam
otak,
cairan
serebrospinal,dan
bertanggungjawab
pada
neurotoksisitasnya. Bf mudah melewati sawar darah otak, namun bilirubin yang terikat pada
albumin tidak dapat memasuki otak kecuali bila ada gangguan sawar darah otak, kemudian
akan dihasilkan pewarnaan kuning yang luas. Pada kondisi toksik, bilirubin tidak
terkonjugasi yang tidak terikat atau B-lah (bilirubin indirek) yang ada dalam otak, bukan
bilirubin yang terikat pada albumin.
Bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh sel-sel hepar, dikonjugasi dengan glukoronida
oleh UDPGT (UDP-glucoronosyltransferase) menjadi bilirubin terkonjugasi yang nontoksik,
larut dalam air dan diekskresikan dalam empedu. Meskipun bilirubin terkonjugasi tidak
neurotoksik, tetapi terikat pada albumin dan berkompetisi dengan bilirubin tak terkonjugasi
untuk lokasi ikatan dengan albumin. Bilirubin terkonjugasi dieliminasi dalam feses namun
juga dipecah dalam usus oleh bakteri menjadi bilirubin tak terkonjugasi, yang kemudian
diserap kembali dalam aliran darah, inilah yang kita sebut sebagai sirkulasi enterohepatik.
Bilirubin mempengaruhi fungsi mitokondria dengan menghambat kerja enzim-enzim
mitokondrial, menggangu sintesis DNA, menginduksi pemecahan DNA, menghambat sintesi
protein, memecah fosforilasi oksidatif dan menghambat uptake tyrosine (suatu marker
untuk transmisi sinaptik). Bilirubin memiliki afinitas terhadap fosfolipid membentuk presipitat
yang melekat pada membran sel otak. Mekanisme toksisitas bilirubin telah disimpulkan dari
penelitian-penelitian dengan menggunakan konsentrasi bilirubin yang relevan secara
patofisiologis, yaitu kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang diperkirakan akan dijumpai pada
sistem saraf pusat bayi-bayi dengan hiperbilirubinemia.
Beberapa penilitian yang telah dilaporkan membuktikan bahwa model toksisitas
neuronal selektif terjadi menyerupai kejadian iskemia otak. Homeostasis ion calsium (Ca+)
adalah mekanisme dasar utama yang menyebabkan kematian sel neuron dan peningkatan
eksitabilitas neuron. Banyak neuron menggunakan protein-protein sebagai buffer ion
kalsium untuk mempertahankan kadar kalsium intrasel yang rendah. Percobaan-percobaan
terhadap tikus-tikus Gunn ikterik, menunjukkan keterlambatan aktivitas ion kalsum dan
Calmodulin dependent protein kinase II (CaM kinase II), suatu bahan yang dibutuhkan oleh
protein kinase sel dalam proses fosforilasi. Secara invitro didapatkan bahwa bilirubin
menghambat aktivitas CaM kinase II, yang dianggap berhubungan dengan berbagai fungsi
neuron penting, seperti: pelepasan neurotransmitter, perubahan konduktansi ion yang diatur
oleh kalsium serta dinamika neuroskeletal.
Dalam otak kerentanan terhadap efek neurotoksik bilirubin bervariasi menurut tipe sel,
kematangan otak dan metabolisme otak. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi sawar darah
otak seperti: infeksi/sepsis, asidosis, hipoksia, hipoglikemia, trauma kepala dan prematuritas
dapat mempengaruhi masuknya bilirubin kedalam otak.
Bilirubin tak terkonjugasi yang masuk dalam otak terutama dalam bentuk bebas atau
bilirubin anion, berikatan dengan fosfolipid dan gangliosida pada permukaan membran
plasma neuron. Ikatan antara bilirubin anion-fosfolipid kompleks merupakan ikatan yang
tidak stabil. Bilirubin anion mengambil ion hidrogen dan membentuk asam bilirubin yang
menempel kuat pada membran. Asam bilirubin tersebut akan menyebabkan kerusakan pada
membran plasma sehingga dapat menyebabkan bilirubin anion masuk kedalam sel neuron.
Bilirubin anion yang masuk kedalam sel akan berikatan dengan fosfolipid pada membran
organel subseluler seperti mitokondria, retikulum endoplasma dan nukleus. Ikatan ini akan
menyebabkan terbentuknya asam bilirubin dan kerusakan membran tingkat subseluler.
Kerusakan tersebut memberikan dampak terhadap multisistem enzim dan menyebabkan
kerusakan sel neuron di seluruh tubuh (Saricci,SU,Serdar MA,Korkmar et all, 2004)
Bilirubin
ekstraseluler
asam bilirubin
2 fenomena
berikut:
1. Bilirubin produksi meningkat karena kerusakan peningkatan eritrosit janin. Ini adalah
hasil dari jangka hidup singkat dari eritrosit janin dan massa eritrosit lebih tinggi pada
neonatus.
2. Hati kapasitas ekskretoris rendah baik karena konsentrasi rendah dari ligandin protein
mengikat dalam hepatosit dan karena rendahnya aktivitas transferase glucuronyl, enzim
bertanggung jawab untuk bilirubin mengikat asam glukuronat, sehingga membuat air
bilirubin larut (konjugasi).
Bilirubin diproduksi di sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme hem
dan terbentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi. Sekitar 75% bilirubin berasal dari hemoglobin,
tapi degradasi mioglobin, sitokrom, katalase dan juga berkontribusi. Pada langkah oksidasi
pertama, biliverdin terbentuk dari heme melalui aksi heme oxygenase, tingkat membatasi
langkah dalam proses, melepaskan besi dan karbon monoksida. Sedangkan karbon
monoksida diekskresikan melalui paru-paru dan dapat diukur dalam napas pasien untuk
mengukur produksi bilirubin.
Selanjutnya, larut dalam air biliverdin direduksi menjadi bilirubin, yang, karena ikatan
hidrogen intramolekul, hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomer yang paling umum
nya (bilirubin IX Z, Z). Karena sifat hidrofobik nya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam
plasma terikat erat pada albumin. Mengikat protein lain dan eritrosit juga terjadi, tetapi peran
fisiologis mungkin terbatas. Mengikat bilirubin peningkatan albumin postnatal dengan usia
dan berkurang pada bayi yang sakit.
Kehadiran pesaing mengikat endogen dan eksogen, seperti obat-obatan tertentu, juga
mengurangi afinitas pengikatan albumin untuk bilirubin. Sebuah fraksi bilirubin tak
terkonjugasi menit dalam serum tidak terikat pada albumin. Bilirubin bebas mampu melintasi
lipid yang mengandung membran, termasuk penghalang darah-otak, yang menyebabkan
neurotoksisitas. Dalam kehidupan janin, bilirubin bebas dapat melewati plasenta, tampaknya
dengan difusi pasif, dan ekskresi bilirubin dari janin terjadi terutama melalui organisme ibu.
Saat mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam sel hati, di mana bisa mengikat
ligandin. Serapan bilirubin ke dalam hepatosit meningkat dengan konsentrasi ligandin
meningkat. Konsentrasi Ligandin rendah saat lahir tetapi meningkat pesat selama beberapa
minggu pertama kehidupan. Konsentrasi Ligandin dapat ditingkatkan dengan pemberian
agen farmakologis seperti fenobarbital.
Bilirubin terikat dengan asam glukuronat (terkonjugasi) dalam retikulum endoplasma
hepatosit dalam reaksi dikatalisis oleh uridin diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT).
Monoconjugates terbentuk pertama dan mendominasi pada bayi baru lahir. Diconjugates
tampaknya terbentuk pada membran sel dan mungkin memerlukan kehadiran tetramer
UDPGT.
Konjugasi bilirubin secara biologis penting karena mengubah molekul air yang tidak
larut bilirubin menjadi molekul yang larut dalam air. Air kelarutan bilirubin terkonjugasi
memungkinkan untuk dibuang ke dalam empedu. Aktivitas UDPGT rendah saat lahir tetapi
meningkat dengan nilai-nilai orang dewasa dengan usia 4-8 minggu. Selain itu, obat-obatan
tertentu (fenobarbital, deksametason, clofibrate) dapat diberikan untuk meningkatkan
aktivitas UDPGT.
Bayi yang memiliki sindrom Gilbert atau senyawa yang heterozigot untuk promotor
Gilbert dan mutasi struktural daerah pengkode UDPGT1A1 berada pada peningkatan risiko
hiperbilirubinemia signifikan. Interaksi antara genotipe Gilbert dan anemia hemolitik seperti
glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan, sferositosis herediter, atau
penyakit hemolitik ABO juga tampaknya meningkatkan risiko penyakit kuning neonatal
parah.(Hansen TW,Nietsch L,Norman E et all 2009)
Selanjutnya, pengamatan penyakit kuning pada beberapa bayi dengan stenosis
pilorus hipertropi juga mungkin terkait dengan varian Gilbert-jenis. Genetik polimorfisme
untuk protein transporter anion organik OATP-2 berkorelasi dengan risiko 3 kali lipat untuk
mengembangkan ikterus neonatal ditandai. Kombinasi polimorfisme OATP-2 gen dengan
gen UDPGT1A1 varian selanjutnya akan meningkatkan risiko ini menjadi 22 kali lipat. Studi
juga menunjukkan bahwa polimorfisme pada gen untuk glutathione-S-transferase (ligandin)
dapat menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari bilirubin total serum.
Genetik. faktor genetik yang terlibat dalam patogenesis hiperbilirubinemia neonatal. Dalam
studi kasus kontrol nested, kami menentukan 1) frekuensi timin-adenin (TA) n polimorfisme
promotor dan mutasi Gly71Arg di uridin diphosphoglucuronate-glucuronosyltransferase 1A1
(UGT1A1) gen pada neonatus> atau = 35-minggu usia kehamilan yang mengalami tingkat
bilirubin> 18 mg / dL dan kontrol, 2) interaksi antara (TA) n polimorfisme promotor, glukosa-
6-fosfat dehidrogenase (G6PD) mutasi gen, dan puncak bilirubin. Terdapat kaitan genetis
antara difosfat uridin-glucuronosyltransferase1A1 (UGT1A1) Gly71Arg, UGT1A1 promotor
TATA-box dan mutasi gen glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dalam pengembangan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi neonatal.
Dengan demikian, beberapa variasi antarindividu dalam kegiatan dan tingkat
keparahan penyakit kuning neonatal dapat dijelaskan secara genetik. Sebagai dampak dari
varian genetik lebih sepenuhnya dipahami, pengembangan panel tes genetik untuk risiko
penyakit kuning neonatal berat atau berkepanjangan dapat menjadi wajar.
Setelah diekskresikan ke dalam empedu dan ditransfer ke usus, bilirubin ini akhirnya
dikurangi menjadi tidak berwarna tetrapyrroles oleh mikroba dalam usus besar. Namun,
beberapa deconjugation terjadi di usus kecil proksimal melalui aksi B-glucuronidases
terletak di perbatasan kuas. Ini bilirubin tak terkonjugasi dapat diserap kembali ke dalam
sirkulasi, meningkatkan kolam plasma bilirubin total. Siklus penyerapan, konjugasi, ekskresi,
deconjugation, dan reabsorpsi disebut enterohepatik sirkulasi. Proses ini mungkin meluas
pada masa neonatus, sebagian karena asupan gizi terbatas pada hari-hari pertama
kehidupan, memperpanjang waktu transit di usus.(Keren R,et all,. A 2009)
Pada ibu yang sedang mengalami kesulitan dengan pembentukan ASI, cairan dan
asupan gizi yang tidak memadai sering menyebabkan penurunan berat badan yang
signifikan setelah melahirkan pada bayi. Bayi tersebut memiliki peningkatan risiko penyakit
kuning berkembang melalui sirkulasi enterohepatik meningkat, seperti dijelaskan di atas.
Fenomena ini sering disebut sebagai penyakit kuning dan menyusui ini berbeda dengan
penyakit kuning ASI dijelaskan di bawah.
Faktor-faktor tertentu hadir dalam ASI dari beberapa ibu juga dapat menyebabkan
sirkulasi enterohepatik bilirubin meningkat (ASI jaundice). -glukuronidase mungkin
memainkan peran dengan uncoupling bilirubin dari ikatannya dengan asam glukuronat,
sehingga membuatnya tersedia untuk reabsorpsi. Data menunjukkan bahwa risiko penyakit
kuning ASI secara signifikan meningkat pada bayi yang memiliki polimorfisme genetik pada
urutan coding dari UDPGT1A1 atau OATP2 gen. Meskipun mekanisme yang menyebabkan
fenomena ini belum disepakati, bukti menunjukkan bahwa suplementasi dengan pengganti
ASI tertentu dapat mengurangi tingkat penyakit kuning ASI (Maisels M.J et all 2009).
Ikterus neonatal, meskipun fenomena transisi normal di sebagian besar bayi, kadangkadang dapat menjadi lebih jelas. Golongan darah yang tidak kompatibel (misalnya, Rh,
ABO) dapat meningkatkan produksi bilirubin melalui hemolisis meningkat. Secara historis,
isoimunisasi
Rh
adalah
penyebab
penting
penyakit
kuning
yang
parah,
sering
mengakibatkan perkembangan kernikterus. Meskipun kondisi ini telah menjadi relatif jarang
terjadi di negara-negara industri setelah penggunaan profilaksis Rh di Rh-negatif,
isoimunisasi Rh tetap umum di negara berkembang.
Gangguan hemolitik nonimmune (sferositosis, G-6-PD kekurangan) juga dapat
menyebabkan penyakit kuning meningkat, dan peningkatan hemolisis tampaknya telah hadir
di beberapa bayi dilaporkan telah dikembangkan kernikterus di Jepang pada 10-15 tahun
terakhir. Interaksi yang mungkin antara kondisi tersebut dan varian genetik dari Gilbert dan
UDPGT1A1 gen, serta varian genetik dari beberapa protein lain dan enzim yang terlibat
dalam metabolisme bilirubin, penemuan ini juga menyoroti tantangan yang terlibat dalam
penggunaan umum dari penyakit kuning segi fisiologis dan ikterus patologis. Meskipun
penyakit kuning fisiologis merupakan konsep membantu dari perspektif didaktis,
menerapkannya pada sebuah neonatus dengan penyakit kuning yang sebenarnya lebih
sulit.( Yamamoto A 2009)
Perhatikan metafora berikut: Pikirkan bilirubin serum total ikterus neonatal sebagai
gunung tertutup oleh gletser. Jika pengukuran ketinggian gunung tersebut diambil ketika
berdiri di puncak, jumlah batu dan jumlah es yang terdiri dari pengukuran ini tidak jelas. Hal
yang sama berlaku bagi banyak bilirubin total nilai serum yang diperoleh dalam ikterus
neonatal. Sebuah fondasi proses fisiologis dan proses patologis (misalnya, ketidakcocokan
rhesus) dengan jelas dapat berkontribusi untuk pengukuran. Namun, berapa banyak dari
total nilai terukur berasal dari masing-masing komponen tidak jelas. Juga, karena varian
genetik dalam metabolisme bilirubin hanya sangat dikejar dalam diagnostik kerja-up bayi
dengan penyakit kuning, mungkin kontribusi mereka terhadap bilirubin serum total yang
diukur biasanya tidak diketahui.
Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa infeksi saluran kencing (ISK)
ditemukan pada 7,5% asimtomatik, afebris, pada bayi kuning usia kurang 8 minggu. Selain
itu, bayi dengan timbulnya ikterus setelah 8 hari usia atau pasien dengan fraksi bilirubin
terkonjugasi tinggi lebih mungkin untuk memiliki sebuah ISK. Oleh karena itu, disarankan
pengujian untuk ISK dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi dalam asimtomatik, bayi
kuning yang datang ke gawat darurat.(Omar C,Hamza s bassem AM, Mariam R 2011)
c. Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir
mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 umol / L (1,8 mg / dL)
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena
banyak
peneliti
berbeda
yang
tidak
menggunakan
definisi
yang
sama
untuk
hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang
akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia layanan
kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada
karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan. Penelitian epidemiologi memberikan suatu
kerangka acuan untuk kejadian diperkirakan. Pada tahun 1986, Maisels dan Gifford
dilaporkan 6,1% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 220 umol / L (12,9 mg / dL).
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki total
serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994
American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam rentang di
mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.
Sebuah studi dari Turki melaporkan penyakit kuning yang signifikan dalam 10,5% bayi
yang panjang dan dalam 25,3% dari jangka dekat bayi. Penyakit kuning yang signifikan
didefinisikan menurut umur kehamilan dan pasca kelahiran dan mendatar pada 14 mg / dL
(240 umol / L) pada 4 hari pada bayi prematur dan 17 mg / dL (290 umol / L) pada bayi
panjang.
Studi ini tampaknya menunjukkan bahwa beberapa variabilitas etnis dalam kejadian
dan tingkat keparahan penyakit kuning neonatal mungkin berhubungan dengan perbedaan
dalam distribusi varian genetik dalam metabolisme bilirubin. (Riskin A, Tamir A,kuglelman A
, 2009)
.
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus dapat
terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis. Dalam
sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki
G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan
kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD yang normal
skrining hasil tes.
Kemungkinan dampak polimorfisme genetik pada variasi etnis dalam insiden dan keparahan
harus diakui. Dengan demikian, dalam studi bayi Taiwan, Huang dkk melaporkan bahwa
neonatus yang membawa 211 dan 388 varian dalam UGT1A1 dan OATP2 gen dan yang
disusui beresiko sangat tinggi untuk hiperbilirubinemia parah. (Sun LL et all 2012)
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi lakilaki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang ada di
bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan usia
kehamilan. (Sun G ,wu M, cao J,Du L, 2007)
d. Penyebab
Ikterus fisiologis disebabkan oleh kombinasi produksi bilirubin meningkat sekunder
terhadap kerusakan percepatan eritrosit, penurunan kapasitas ekskretoris sekunder
rendahnya tingkat ligandin dalam hepatosit, dan aktivitas rendah dari uridin enzim bilirubin
konjugasi diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT).
Ikterus neonatus patologis terjadi bila faktor tambahan menemani mekanisme dasar
yang dijelaskan di atas. Contohnya termasuk anemia hemolitik imun atau nonimmune,
polisitemia, dan adanya ekstravasasi memar atau darah.
Penurunan bilirubin mungkin memainkan peran dalam penyakit kuning menyusui,
penyakit kuning ASI, dan dalam beberapa metabolik dan gangguan endokrin.
5. Faktor ibu: Bayi dari ibu dengan diabetes memiliki insiden yang lebih tinggi.
Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan kejadian, sedangkan yang lain
menurunkan kejadian.
6. Usia kehamilan dan berat lahir: Insiden lebih tinggi pada bayi prematur dan pada bayi
dengan berat lahir rendah.(Maisels et al,2009)
i . Manifestasi Klinis
Biasanya,
presentasi
adalah
pada
hari
kedua
atau
ketiga
kehidupan.
Penyakit kuning yang terlihat selama 24 jam pertama kehidupan mungkin akan
nonphysiologic; evaluasi lebih lanjut disarankan.
Bayi dengan penyakit kuning setelah 3-4 hari hidup juga mungkin memerlukan
pengawasan yang lebih ketat dan pemantauan.
Pada bayi dengan penyakit kuning yang parah atau penyakit kuning yang terus di luar 12 minggu pertama kehidupan, hasil dari layar metabolik baru lahir harus diperiksa untuk
hipotiroidisme galaktosemia dan kongenital, riwayat keluarga harus dieksplorasi lebih
lanjut, sejalan dengan berat badan bayi yang dievaluasi, tayangan ibu sejauh kecukupan
ASI harus diperoleh, dan warna tinja harus dinilai.
Riwayat keluarga
Anggota keluarga dengan penyakit kuning atau sejarah keluarga yang dikenal sindrom
Gilbert
Anemia, splenektomi, atau batu empedu pada anggota keluarga atau faktor keturunan
dikenal untuk gangguan hemolitik
Penyakit hati
Riwayat Postnatal
Menyusui
Pemeriksaan Fisik
Ikterus neonatal pertama akan terlihat dalam wajah dan dahi. Identifikasi dibantu oleh
tekanan pada kulit, karena blansing mengungkapkan warna yang mendasarinya.
Penyakit kuning kemudian secara bertahap menjadi terlihat pada badan dan
ekstremitas. Perkembangan kuning secara cephalocaudal harus dengan baik dijelaskan.
Penyakit kuning menghilang ke arah yang berlawanan. Penjelasan untuk fenomena ini tidak
dipahami dengan baik, namun kedua perubahan bilirubin-albumin mengikat berkaitan
dengan pH dan perbedaan suhu kulit dan aliran darah telah diusulkan.
Fenomena ini secara klinis berguna karena, independen dari faktor lainnya, penyakit
kuning terlihat di ekstremitas bawah sangat menunjukkan kebutuhan untuk memeriksa
tingkat bilirubin, baik dalam serum atau noninvasively melalui bilirubinometry transkutan.
Pada sebagian besar bayi, warna kuning ditemukan hanya pada pemeriksaan fisik.
Penyakit kuning lebih intens mungkin berhubungan dengan kantuk. Batang otak
pendengaran ang membangkitkan potensi dilakukan saat ini dapat mengungkapkan
perpanjangan latency, penurunan amplitudo, atau keduanya.(Stevenson DK, Wong
RJ,Vreman HJ, et all, 2004)
Temuan neurologis, seperti perubahan dalam otot, kejang, atau menangis karakteristik
berubah, pada bayi secara signifikan kuning adalah tanda-tanda bahaya dan membutuhkan
perhatian segera untuk mencegah kernikterus. Dengan adanya gejala atau tanda-tanda,
fototerapi yang efektif harus dimulai segera tanpa menunggu hasil uji laboratorium
(Hutahaen B 2007).
Kebutuhan potensial untuk transfusi tukar tidak harus menghalangi inisiasi langsung dari
fototerapi.
Diagnosis
Anamnesis : riwayat ikterus pada anak sebelumnya, riwayat keluarga anemi dan
pembesaran hati dan limpa, riwayat penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat infeksi
maternal, riwayat trauma persalinan, asfiksia.
Pemeriksaan fisik :
Perkiraan
Derajat ikterus
Daerah ikterus
bilirubin
5,0 mg%
kadar
III
umbilikus)
Sampai
badan
bawah
umbilikus)
bawah
(di
hingga
IV
9,0 mg%
lengan,
11,4 mg/dl
tungkai
bawah lutut
12,4 mg/dl
kaki
16,0 mg/dl
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium: kadar bilirubin, golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan
anak, darah rutin, hapusan darah, Coomb tes, kadar enzim G 6 PD (pada riwayat keluarga
dengan defisiensi enzim G 6 PD).
Pengukuran Bilirubin termasuk yang berikut:
1. Bilirubinometry transkutan dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat genggam
yang menggabungkan algoritma optik canggih. Penggunaan perangkat tersebut telah
terbukti mengurangi kebutuhan untuk pengambilan sampel darah pada bayi dengan
ikterus. Namun, tidak dapat digunakan untuk memantau kemajuan fototerapi.
2. Bilirubinometry transkutan lebih baik dari penilaian visual. Yang terakhir ini bukanlah
teknik yang dapat diandalkan untuk memperkirakan tingkat bilirubin, tetapi tidak adanya
penyakit kuning sebagaimana dinilai oleh mata dalam kondisi pencahayaan yang baik
memiliki keakuratan yang cukup tinggi sejauh yang memprediksi bayi mana yang
berkembang menjadi nilai kadar serum bilirubin yang tinggi
3. Pada bayi dengan ikterus ringan, bilirubinometri transkutan mungkin diperlukan untuk
memastikan bahwa tingkat bilirubin total dengan aman di bawah yang membutuhkan
intervensi.
4. Pada bayi dengan ikterus moderat, bilirubinometry transkutan mungkin berguna dalam
memilih pasien yang memerlukan proses mengeluarkan darah atau pengambilan sampel
darah kapiler untuk pengukuran bilirubin serum.
5. Pada bayi dengan penyakit kuning yang ekstrim, bilirubinometry transkutan dapat
menjadi alat yang berguna untuk jalur cepat seperti bayi terhadap terapi yang cepat dan
agresif.
6. Biasanya, tes serum total kadar bilirubin adalah satu-satunya diperlukan pada bayi
dengan penyakit kuning moderat yang menyajikan pada hari kedua atau ketiga khas
hidup tanpa sejarah dan temuan fisik sugestif dari proses patologis. Pengukuran fraksi
bilirubin (terkonjugasi vs tak terkonjugasi) dalam serum biasanya tidak diperlukan pada
bayi yang hadir seperti dijelaskan di atas. Namun, pada bayi yang memiliki
hepatosplenomegali, petekia, trombositopenia, atau temuan lainnya sugestif penyakit
hepatobiliari, gangguan metabolisme, atau infeksi bawaan, pengukuran awal fraksi
bilirubin disarankan. Hal yang sama berlaku untuk bayi yang tetap kuning di luar 7-10
hari
pertama
kehidupan,
dan
untuk
bayi
dengan
total
bilirubin
serum
Bayi dengan penyakit kuning pada hari pertama atau setelah hari ketiga kehidupan
Bayi sakit
Tingkat albumin serum: menjadi tambahan yang berguna dalam mengevaluasi risiko
tingkat toksisitas karena albumin mengikat bilirubin dalam perbandingan 1:1 di lokasi
tinggi afinitas utama mengikat.
Nomogram for hour-specific bilirubin values: alat yang berguna untuk memprediksi, baik
sebelum atau saat keluar rumah sakit, bayi yang berpotensi nilai bilirubin tinggi. Bayi
diidentifikasi dengan cara ini memerlukan pemantauan ketat tindak lanjut dan diulang
bilirubin pengukuran. Kemampuan prediksi telah terbukti baik untuk nilai bilirubin diukur
dalam serum dan untuk nilai-nilai diukur transcutaneously. Nomogram ini juga telah
terbukti bekerja dengan baik untuk DAT-positif bayi dengan ketidakcocokan AB0. Hasil
DAT tes positif tidak menambahkan nilai apapun kepada manajemen klinis bayi ini di
luar yang sudah diperoleh nilai bilirubin jam khusus diplot ke nomogram.
Jumlah Retikulosit
Nilai Konjugasi bilirubin : Mengukur fraksi bilirubin dapat diindikasikan dalam keadaan
dijelaskan di atas. Perhatikan bahwa pengukuran bilirubin langsung sering tidak akurat,
tunduk pada variasi antar laboratorium dan intralaboratory signifikan, dan umumnya
bukan
alat
sensitif
untuk
mendiagnosis
kolestasis
kecuali
pengukuran
ulang
Tes fungsi hati: Aspartate aminotransferase (ASAT atau SGOT) dan alanin
aminotransferase
(ALAT
atau
SGPT)
tingkat
yang
meningkat
pada
penyakit
Tes untuk mencari infeksi virus atau parasit: diindikasikan pada bayi dengan
hepatosplenomegali,
petechiae,
trombositopenia,
atau
bukti
lain
dari
penyakit
hepatoseluler.
Reducing substance urin: tes skrining yang berguna untuk galaktosemia, asalkan bayi
telah menerima jumlah yang cukup susu.
Pengukuran gas darah: Risiko toksisitas SSP bilirubin meningkat pada asidosis, asidosis
terutama pernapasan.
Bilirubin-binding test: Meski merupakan alat penelitian yang menarik, tetapi tes ini belum
digunakan secara luas dalam praktek klinis. Meskipun peningkatan kadar terikat
(gratis) bilirubin berhubungan dengan peningkatan risiko ensefalopati bilirubin, bilirubin
terikat hanyalah salah satu dari beberapa faktor yang menengahi / memodulasi
toksisitas bilirubin.(Fransisco J, Gracia,Alan L nager, 2008)
r. Pemeriksaan Klinis :
Radionuklida
scanning
: Scan
hati
radionuklida
untuk
penyerapan
asam
Tes histologis
Organ tubuh, termasuk otak, berwarna kuning dengan penyakit kuning yang signifikan,
namun, warna kuning tidak selalu menunjukkan toksisitas SSP. Perbedaan ini tidak
selalu dipahami dengan jelas dalam deskripsi low-bilirubin kernicterus.Saat ini, telah
membuat kebingungan dan ketidakpastian mengenai pedoman terapi dan tingkat
intervensi.
s. Diagnosis Banding
Biliary Atresia
Cholestasis
Cytomegalovirus Infection
Dubin-Johnson Syndrome
Duodenal Atresia
Hepatitis B
Hypothyroidism
t. Komplikasi
Ensefalopati hiperbilirubinemia (bisa terjadi kejang, malas minum, letargi dan dapat
berakibat pada gangguan pendengaran, palsi serebralis)
karena adanya
peningkatan
kadar bilirubin indirek serum (BIS). Secara umum seorang bayi dianggap bermasalah bila
kadar BIS10 mg/dL, umumnya dapat ditemukan penyebab ikterus patologis pada bayi
baru lahir. Bilirubin merupakan masalah pada bayi karena bersifat neurotoksik (toksisitas
bilirubin), selanjutnya dapat berkembang menjadi ensefalopati bilirubin(Alfhors.CE, Parker
AE 2008)
Kernicterus
Sebuah penelitian terhadap kasus-kasus kern-icterus klasik di Amerika Serikat dan
beberapa negara lainnya, serta laporan-laporan terbaru tentang neuropati auditorik akibat
hiperbilirubinemia tanpa tanda-tanda kern-icterus klasik yang lain, menggaris bawahi
perlunya model-model untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
ikterus terjadi pada 60% bayi baru lahir dan menyebabkan kerusakan otak permanen. Hal ini
penting karena dengan pemahaman yang lebih baik kita akan dapat mencegah kerusakan
tersebut.
Pada dasarnya ensefalopati bilirubin merupakan suatu diagnosis secara patologi
anatomi, dimana ditemukan pengendapan bilirubin pada otak
kerusakan neuron yang permanen. Bayi dengan keadaan ini mempunyai risiko mengalami
kematian, atau jika dapat bertahan hidup akan mengalami GPN dikemudian hari BIS telah
dibuktikan secara invitro dan invivo dalam konsentrasi yang tinggi secara difusi dapat
melewati sawar darah otak (SDO 6,9,12 Vohr dalam penelitiannya mendapatkan bahwa bayi
dengan kadar BTS puncak ratarata 14,32,8 mg/dL mempunyai hubungan yang signifikan dengan skor BNBAS (Brazelton
Neonatal Behavioral Assesment Scale) yang rendah. Semakin tinggi kadar BTS, semakin
rendah skor BNBAS.14 Wolf dalam penelitiannya melaporkan pada pemeriksaan Infant
Motor Screening (IMS) bayi berusia 4 bulan dengan riwayat hiperbilirubinemia neonatal
aterm, didapatkan hasil normal pada kadar BTS rata-rata 27,35,3 mg/dL, suspek pada
kadar BTS rata-rata 284 mg/dL, dan abnormal pada kadar BTS rata-rata 33,710,3 mg/dL.
Sedangkan pada penelitian berikutnya didapatkan 23% anak usia 1 tahun dengan riwayat
hiperbilirubinemia neonatal, dengan kadar BTS rata-rata 33,4 mg/dL didapatkan skor BSID
(Bayleys Scales of Infant Development) abnormal. Sedangkan dengan kadar BTS rata-rata
26,5 mg/dL didapatkan skor BSID masih dalam batas normal. (Susanto 2008) dari 23 bayi
gangguan
pendengaran
permanen signifikan
telah memiliki
(1)
(2)
otoacoustik
ke
mengukur
dalam saluran
integritas
telinga dan
menghasilkan pita
lebar "klik". Energi akustik yang dihasilkan oleh getaran sel-sel rambut luar koklea di dalam
menanggapi klik tersebut, terdeteksi oleh mikrofon kecil di dalam probe. Hasil yang
ditampilkan hasil
persentase numerik, dalam praktekya, total waktu rata-rata untuk pengujian. (Suwento
2008).
waktu antara 1-20 menit. Pemeriksaan emisi otoakustik merupakan respon koklea yang
dihasilkan oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik
(Suwento,et all 2007).
Pemeriksaan emisi otoakustik dilakukan dengan cara memasukkan sumbat telinga
(probe) ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras
suara. Mikrofon berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian
stimulus. Sumbat telinga dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul
dari koklea. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang sunyi atau kedap suara,
untuk mengurangi bising lingkungan (Suwentoet all, 2007).
terhadap stimulus frekuensi rendah. Oleh karena itu, respon pertama yang dikembalikan dan
direkam oleh mikrofon adalah bagian koklea frekuensi tertinggi karena jarak tempuhnya
lebih pendek. Respon dari bagian frekuensi lebih rendah yang dekat apeks koklea sampai
setelahnya.
Ketika membran basilar bergerak, sel-sel rambut ikut bergerak dan sebuah respon
elektromekanik dihasilkan ketika sebuah sinyal aferen ditransmisikan dan sebuah sinyal
eferen dikeluarkan. Sinyal eferen ditransmisikan kembali melalui jalur pendengaran dan
sinyal tersebut diukur di kanal telinga luar (Campbell K. C. M., 2010).
terutama sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk antara lain:
a. Skrining pendengaran awal khususnya pada neonatus infan atau individu dengan
gangguan perkembangan
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu
c. Membedakan gangguan sensori dan neural; pada gangguan pendengaran
sensorineural
d. Dapat memeriksa gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura) dan juga dapat
dilakukan pada pasien yang sedang tidur bahkan pada keadaan koma.
Pasien kooperatif
2.8.6.1. Nonpatologi
a. Kesalahan dalam memasang probe
b. Serumen yang menghalangi probe
c. Debris atau benda asing dalam telinga
d. Vernix caseosa pada neonatus
e. Pasien yang tidak kooperatif
2.8.6.2. Patologi
a. Telinga luar seperti:
- stenosis
- otitis eksterna
- kista
b. Membran timpani seperti : adanya perforasi
c. Telinga tengah seperti :
- Tekanan telinga tengah yang abnormal
- Otosklerosis
- Disartikulasi telinga tengah
- Kista
- Otitis media
d. Koklea
- Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan suara bising.
ikterus
fisiologis,
Potensial
pada
BERA
normal
dengan
resolusi
bilirubin
konsentrasi
dapat
lebih
erat
berkorelasi
dengan
bilirubin
Masalah
Perinatal
Status infeksi:
- Cytomegalovirus
- Rubela
- Toksoplasma
- Herpes simpleks
Penimbunan bilirubin
pada jaringan otak
Hiperbilirubinemia
Hipoksia
(tekanan parsial
oksigen)
Prematuritas
l h
k)
Pola kerusakan:
- Nukleus koklear
- Olivari superior
- Lemniskus lateralis
- Kolikuli inferior
Malformasi
t li
GANGGUAN
PENDENGARAN
Infeksi telinga
luar dan
tengah
Trauma
(d
j t
TULI
KONDUKTIF
TULI SENSORINEURAL
HIPERBILIRUBINEMIA
Umur
Jenis Kelamin
Berat badan lahir
Kadar biliribin direk dan total
selama perawatan
GANGGUAN
PENDENGARAN
TULI SENSORINEURAL