Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Konsep Evaluasi Kebijakan


Pembahasan mengenai konsep evaluasi kebijakan merupakan bahasan

yang amat penting bagi setiap kalangan. Karena evaluasi kebijakan adalah
proses yang ruang lingkupnya sangat luas dan membutuhkan teknik yang tepat,
sehingga penilaian terhadap objek yang dievaluasi memberikan informasi terkait
dampak-dampak dari sebuah kegiatan.Namun dalam tulisan ini, terlebih dahulu
akan diberikan definisi kebijakan sebagai pengantar sebelum dilanjutkan pada
bahasan mengenai konsep dari evaluasi kebijakan itu sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebijakan adalah rangkaian
konsep dan asas yg menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan,
organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sbg garis
pedoman untuk manajemen dl usaha mencapai sasaran; garis haluan.
Sementara itu dalam bahasa inggris kata kebijakan berasal dari bahasa inggris
yaitu Policy. Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa inggris ini
adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung Tujuan Politik-yang
berbeda dengan makna administration (Wison dalam Parsons, 2001:15).
Parsons (2001:17), berpendapat mengenai istilah kebijakan yang menyatakan
bahwa:
istiliah kebijakan menjadi ekspresi rasionalitas politik. Mempunyai
kebijakan berarti memiliki gagasan atau argument yang mengandung klaim
bahwa pemilik kebijakan memahami persoalan beserta solusinya.
Pendapat Laswell (1991:5) yang dikutip oleh Parsons (2001:17)
mengatakan bahwa:

kata kebijakan (policy) umumnya dipakai untuk menunjukkan pilihan


terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat
kebijakan bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang
sering kali diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi.
Dari pendapat Laswell tersebut dapat disimpilkan bahwa sebuah kebijakan
tidaklah semestinya digunakan untuk alat politik. Karena pada dasarnya
kebijakan merupakan sebuah respon terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
Banyak sekali pendapat ahli yang berbeda-beda terhadap makna dari kata
kebijakan Islamy (Modul Kebijakan Publik, 2014), mengatakan bahwa:
memang menerjemahkan istilah itu (terutama dari bahasa asing) bukan
pekerjaan gampang, kebijakan adalah suatu kegiatan yang dipilih oleh seorang
atau kelompok orang dan dapat dilaksanakan serta berpengaruh terhadap
sejumlah besar orang dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Friedrich dalam (Islamy, 2014) mengatakan bahwa:
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan kesulitankesulitan dan kemungkinan-kemungkinan usulan kebijaksanaan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
Sementara itu Anderson (Islamy, 2014) membuat definisi kebijakan
sebagai berikut
sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti
dan dilaksanakan oleh seorang pelaku dan sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu.
Sementara Mac Rae dan Wilde (Islamy, 2014) mengartikan kebijakan
sebagai:
Serangkaian tindakan yang dipilih yang mempunyai arti penting dalam
mempengaruhi sejumlah besar orang.
Dalam pengertian ini jauh menekankan pengaruh kebijakan tersebut
terhadap sejumlah besar orang. Dengan kata lain kebijakan tersebut mempunyai
kekuatan yang besar untuk mempengaruhi banyak orang, dan kalau yang kena

pengaruh itu hanya satu atau sejumlah kecil orang maka haltersebut sulit
dikatakan sebagai suatu kebijakan.
Dari beberapa pengertian kebijakan diats dapat penulis simpulkan bahwa
kebijakan adalah sebuah tindakan yang merupakan respon terhadap masalah
yang dihadapi guna untuk mencapai tujuan tertentu yang mengandung nilai-nilai
dan dilaksanakan oeleh seseorang atau sekelompok orang. Islamy (2014)
dengan merangkum jenis-jenis kebijakan dari pendapat sarjana bahwa tipologi
jenis kebijakan publik antara lain.
1. Subtance and Procedural Policies
Subtance Policies adalah kebijakan-kebijakan tentang apa yan akan/ingin
dilakukan oleh pemerintah. Jadi, yang menjadi tekanan adalah isi atau masalah
(subject matter) dari kebijakan tersebut.
Procedural Policies adalah kebijakan tentang siapa atau pihak-pihak mana saja
yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan serta bagaimana kebijakan tersebut
akan dilaksanakan.
2. Distributive-Redistributive-Regulatory Self dan Regulatory Policies
Distributive

Policies

adalah

kebijakan-kebijakan

tentang

pendistribusi

pelayanan/jasa jasa dan keuntungan-keuntungan bagi sekelompok khusus


penduduk individu-individu, kelompok-kelompok dan komunitas-komuni tertentu.
Redistributive Policies adalah kebijakan yang sengaja dilakukan pemerintah
untuk memindahkan, pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan, atau
hak-haknya di antara kelas-kelas dan kelompok penduduk, misalnya antara
golongan kaya kepada golongan miskin.
Regulatory

Policies

adalah

kebijakan-kebijakan

tentang

penggunaan

pembatasan atau larangan-larangan perbuatan atau tindakan bagi orang-orang


atau kelompok-kelompok kebijakan ini bersifat mengurangi kebebasan

seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu


Self Regulatory Policies adalah kebijakan tentang pembatasan atau
pengawasan terhadap hal atau kelompok tertentu. Berbeda dengan
regulatory policies yang sering dihindari oleh banyak orang, Self Regulatory
Policies malah sering dibutuhkan atau dicari orang karena kebijakan itu
dapat dipakai sebagai alat untuk melindungi atau memperkuat kepentingankepentingannya.
3. Material dan Symbolic Policies
Material policies adalah kebijakan tentang penyediaan sumber material yang
nyata atau pelimpahan kekuasaan tertentu bagi penerimanya. Symbolic Policies
adalah kebijakan yang mungkin bisa menguntungkan atau merugikan tetapi
hanya memiliki dampak rid yang kecil terhadap masyarakat. Dengan
demikian ia tidak bersifat memaksa tetapi hanya merupakan himbauan.
4. Collective Goods dan Private Goods Policies
Collective goods adalah kebijakan tentang penyediaan barang-barang dan
pelayanan bagi keperluan orang banyak (kolektif), artinya bila barang dan
pelayanan/jasa tersedia bagi satu orang maka hal yang sama harus juga tersedia
bagi banyak orang. Private goods policies adalah kebijakan yang (menjadi
kebalikannya) dari Collective Goods Policies. Private Goods Polices yaitu
kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan tertentu kepentingan
perseorangan (privat) yang tersedia di pasaran bebas dan mereka yang
membutuhkan harus membayar biaya tertentu.
5.

Liberal dan Concervative Policies


Liberal policies adalah kebijakan pemerintah untuk melaku perubahan sosial

terutama diarahkan untuk memperbesar hak-hak persamaan. Kebijakan liberal

menghendaki agar pemerintah melakukan koreksi terhadap ketidakadilan dan


kelemahan-kelemahan yang ada aturan-aturan sosial, meningkatkan programprogram ekonomi dan kesejahteraan. Concervative policies adalah merupakan
aturan yang diangg sudah cukup baik, jadi tidak perlu diadakan perubahan sosial
(mempertahankan status quo) atau kalau perubahan perlu diperlambat dibiarkan
berjalan secara alamiah.
Selanjutnya adalah mengenai evaluasi kebijakan. Badjuri & Admin
(2003:132) mengatakan bahwa evaluasi kebijakan merupakan salah satu
tahapan penting kebijakan. Keban (2004:74), salah satu bidang penting lain
yang dipergunakan untuk mengawasi jalannya proses implementasi adalah
monitoring.

Evaluasi

diperolehdalam

suatu

digunakan

untuk

mempelajari

program

untuk

dikaitkan

tentang

dalam

hasil

yang

pelaksanaannya,

mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang bertanggung jawab terhadap


pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon dari orang-orang yang berada
diluar lingkungan politik. Evaluasi, tidak hanya berguna untuk menjastifikasi
kegunaan dari program yang sedang berjalan, tetapi juga untuk melihat
kegunaan program dan inisiatif baru, peningkatan efektivitas manajemen dan
administrasi program, dan mempertanggungjawabkan hasil kepada pihak yang
menspori program tersebut (Rossi & Freeman: 1993:4).
Dye (1987) yang dikutip oleh Parsons (2005:547) mengatakan bahwa
evaluasi kebijakan adalah
Pemerikasaan yang objektif, sitematis, dan empiris terhadap efek dari
kebijakan dan program public terhadap targetnya dari segi yang ingin dicapai.
Perkembangan studi evaluasi kebijakan hingga saat ini juga masih menjadi
perbincangan. Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa evaluasi
kebijakan merupakan salah satu fase dari siklus kebijakan yang bertujuan untuk

memberikan penilaian terhadap dampak dari sebuah kebijakan. Apakah


kebijakan yang telah dilaksanakan memberikan pengaruh positif terhadap
problem yang dihadapi, ataukah justru sebaliknya.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa fase evaluasi ini merupakan fase
yang tersulit. Hal ini dikarenakan untuk menjawab mengenai efek/dampak dari
kebijakan membutuhkan jawaban yang kompleks serta politis. Wilson dalam
Parsons (2011, 605) merumuskann dua hukum untuk menjeleskan variasi dalam
analisis efek kebijakan. Hukum pertama menyatakan bahwa jika riset dilakukan
oleh pihak yang mengimplementasikan kebijakan (atau kawan-kawannya) bahwa
riset itu memperlihatkan bahwa kebijakan sudah dijalankan dengan hasil yang
baik. Hukum kedua menyatakan jika riset dilakukan oleh analisis independen
maka riset itu akan mengunkapkan efek negatif.
Namun dibalik itu demi teratasinya sebuah masalah, evaluasi adalah fase
yang memang perlu untuk dikaji oleh berbagai kalangan agar kebermanfaatan
dari sebuah kebijakan secara aktual bisa dirasakan dan dengannya pula
kebijakan yang akan dilakukan dapat mengambil pelajaran dari kebijakan
sebelumnya.
Dalam siklus kebijakan dan siklus informasi dari Palumbo yang Parsons
(2011, 549) bahwa dalam melakukan evluasi terdapat jenis evaluasi, yaitu
1.

evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.


Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika suatu kebijakan masih
berlangsung. Terkait hal tersebut, Palumbo dala Parson (2011, 549),
mengatakan bahwa:
seberapa jauh program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa
meningkatkan keberhasilan implementasi
Oleh karena itu, fase implementasi memerlukan evaluasi formatif yang
memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan

umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.


Rossi dan Freeman (Parsons, 2011, 549) mendeskripsikan mode evaluasi
sebagai evaluasi dalam tiga persoalan antara lain:
a) Sejauhmana sebuah program mencapai target populasi yang tepat;
b) Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain

2.

program atau tidak;


c) Sumber daya apa yang digunakan dalam melaksanakan program.
Evaluasi Sumatif
Dalam siklus kebijakan Palumbo diatas terlihat bahwa evaluasi sumatif berada
setelah evaluasi formatif, dimana ia bekerja ketika akan dilakuakan analisis
terhadap dampak dari sebuah kebijakan. Parsons (2011, 552) dengan
mengutip pendapat Palumbo mengatakan bahwa evaluasi sumatiif adalah
Evaluasi yang berusaha mengukur bagaimana kebijakan/program secara
aktuaal berdampak pada problem yang ditanganinya.
Adapun unit evaluasi dalam evaluasi dampak antara lain (Samodra Wibawa):
a) Dampak individual: biologis (penyakit, cacat fisik dsb karena kebijakan
teknologi nuklir misalnya), psikologis (stress, depresi, emosi dsb),
lingkungan hidup (tergusur, pindah rumah dsb), ekonomis (naik turunnya
penghasilan, harga, keuntungan dsb), sosial serta personal
b) Dampak organisasional: langsung (terganggu atau terbantunya pencapaian
tujuan organisasi), tak langsung (peningkatan semangat kerja, disiplin)
c) Dampak pada masyarakat (meningkatnya kesejahteraan; dlsb)
d) Dampak pada lembaga dan sistem sosial (meningkatnya kesadaran kolektif
masyarakat; menguatnya solidaritas sosial, dlsb)
Selanjutnya Parsons (2011, 604) dengan mengutip pendapat dari Rossi dan
Freeman yang mengatakan bahwa penilaian atas dampak adalah:
Untuk memperkirakan apakah intervensi menghasilkan efek yang diharapkan
atau tidak. Perkiraan seperti ini tidak menhasilkan jawaban yang pasti tapi
hanya beberapa jawaban yang mungkin masuk akal ... tujuan dasar dari
penilaian dampak adalah untuk memperkirakan efek bersih dari sebuah
intervensi yakni perkiraan dampak intervensi yang tidak dicampuri oleh

pengaruh dari proses dan kejadian lain yang mungkin juga mempengaruhi
perilaku atau kondisi an menjadi sasaran suatu program yang sedang di
evaluasi itu.
Untuk melakukannya, Rossi Dan Freeman mengatakan bahwa metodenya
adalah:
a) Membandingkan problem/situasi/kondisi dengan apa yang terjadi sebelum
intervensi;
b) Melakukan eksperimen untuk menguji dampak suatu program terhadap
suatu area atau kelompok dengan membandingkannya dengan apa yang
terjadi diarea atau kelompok lain yang belum menjadi sasaran intervensi;
c) Membandingkan biaya dan manfaat yang dicapai sebagai hasil dari
intervensi;
d) Menggunakan model untuk memahami dan menjelaskan apa yang terjadi
sebagai akibat kebijakan masa lalu;
e) Pendekatan

kualitatif

dan

judgemental

untuk

mengevaluasi

keberhasilan/kegagalan kebijakan dan program;


f)

Membandingkan apa yang sudah terjadi dengan tujuan atau sasaran


tertentu dari sebuah program atau kebijakan;

g) Menggunakan pengukuran kinerja untuk menilai apakah tujuan atau


targetnya sudah terpenuhi.
B.
1.

Konsep Otonomi Daerah


Pengertian Otonomi Daerah
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:992), otonomi adalah

pola pemerintahan sendiri. Sementara itu secara etimologis Otonomi berasal dari
2 kata yaitu, auto berarti sendiri dan nomos berarti rumah tangga atau urusan
pemerintahan. Jadi, otonomi berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan
demikian Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu

daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan


urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku
(Nurcholis, 2007:30).
Menurut Widjaja, otonomi daerah adalah penyerahan urusan pemerintah
kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem
birokrasi pemerintah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan ini
adalah mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada Masyarakat.
Dalam memahami otonomi daerah menurut Rasyd (2005) otonomi daerah
adalah sebagai dampak dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 dimana
pemerintah pusat terbebas dari urusan domestik yang dapat dilaksanakan oleh
pemerintah

daerah.

Dilain

pihak

bahwa

dengan

adanya

desentralisasi

kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu sehingga


kapabilitas dalam menangani masalah domestic akan semakin kuat.karena iti
dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang
jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keleluasaan
berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah. Visi otonomi daerah dapat
dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama, yaitu:
a) Bidang Politik
Otonomi daerah

adalah

buah

dari

kebijakan

desentralisasi

dan

demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membukan


ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,
memungkinkan

berlangsungnya

penyelenggaraan

pemerintahan

yang

responsive terhadp kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu


mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban
publik.

Otonomi

daerah

juga

berarti

kesempatan

membangun

struktur

pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem pola

karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem


manajemen pemerintahan yang efektif.
b) Bidang Ekonomi
Di bidang ekonomi, otonomi disatu pihak harus menjamin lancarnya
kebijakan ekonomi nasional di daerah, di lain pihak terbukanya peluang bagi
pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk
mengoptimalkan pendayagunakan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam
konteks ini, otonomi daerah akan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah
untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan
membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di
daerahnya.
c) Bidang Sosial Budaya
Di bidang sosial budaya otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin untuk
menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama
memelihara nilai-nilai local yang di pandang bersifat kondusif terhadap
kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
2.

Dasar Kebijakan Pelaksanaan Otonomi Daerah


Seperti yang Kita ketahui bersama bahwa otonomi daerah adalah asas

dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia. Apabila Kita hendak


membahas mengenai dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah maka terlebih
dahulu yang kita sebutkan adalah mengenai Pasal 18 ayat (2) undang-undang
dasar 1945 yang mengatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerrah
kabupaten dan kota mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Lebih lanjut, undang-undang
mengenai pemerintahan daerah sebagai ranah pembahasan lebih luas mengenai

pelaksanaan otonomi daerah telah mengalami perubahan sebanyak 2 (dua) kali.


Dimulai dari UU No. 22 tahun 1990 UU No. 23 tahun 2014.
a) Undang-Undang No. 22 tahun 1990
Pada awal pemberlakuan sistem otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun
1999 ini terjadi penyerahan urusan secara drastis ke daerah khususnya ke
daerah kabupaten/kota.terjadi pergesekan kewenangan antara tingkatan dan
susunan

pemerintahan

terkait

dengan

kewenangan-kewenangan

yang

khususnya potensial menghasilkan penerimaan.


b) Undang-Undang No. 32 tahun 2004
Di tahun 2004 dilakukan amandemen terhadap UU No. 22 tahun 1999, hal iini
dikarenakan berbagai hal. Meskipun dalam amandemen UU pemeringtahan
daerah ini telah dilakukan pembagian urusan pemerintahan namun dalam
pengimplementasiannya belum dapat terlaksana secara maksimal. Dalam UU
No. 32 tahun 2014 ini juga berusaha untuk melakukan uapaya manajemen
pemerintahan yang lebih baik dari sebelumnya. Pilkada dilaksnakan secara
langsung namun, perlu dilakukan penyempurnaan
c) Undang-Undang No. 23 tahun 2014
Terdapat 4 tujuan utama dari diamandemennya undang-undang No. 32 tahun
2004 menjadi UU No. 23 tahun 2014 yaitu:
- Memperbaiki kelemahan UU No. 32 Tahun 2014 yaitu memperjelas
-

konsep desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Memperjelas pengeturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah
Memuat pengaturan baru sesuai dengan dinamika masyarakat dan

tuntutan pelaksanaan desentralisasi


Undang-undang dipecah menjadi 3 regulasi baru, yaitu UU Pemerintahan
Daerah, UU tentang Desa, UU Pemilihan Kepala Daerah.

3.

Asas-Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah


Dallam melaksanakan pemerintahan daerah di Indonesia, terdapat 3 (tiga)

asas yang dianut, yaitu:

a) Desentralisasi

Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah


pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
b) Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada
gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan
umum.
c) Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada
Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah provinsi
Dalam pelnyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah ini,
terdapat asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 58 UU
No. 23 2014 yaitu:
a) Kepastian Hukum, Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
b) Tertib Penyelenggara Negara, Tertib penyelenggara negaraadalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam
pengendalian penyelenggara negara.
c) Kepentingan Umum, Asas kepentingan

umum

adalah

asas

yang

mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,


dan selektif.
d) Keterbukaan, Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak

diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan


perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
e) Proporsionalitas, Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
f)

keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.


Profesionalitas, Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-

undangan.
g) Akuntabilitas, Asas akuntabilitas adalah asas yangn menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus
dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h) Efisiensi, Asas efisiensi adalah asas yang berorientasi pada minimalisasi
penggunaan sumber daya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai
i)

hasil kerja yang terbaik.


Efektivitas, Asas efektivitas adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang

j)

tepat guna dan berdaya guna.


Keadilan, Asas keadilan adalah

bahwa

setiap

tindakan

dalam

penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara proporsional


4.

bagi setiap warga negara.


Peluang Dan Tantangan Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaannya hingga saat ini otonomi daerah tentunya memiliki

peluang dan tantangan yang dihadapi. Menurut Dr. Sumarsono, MDM (Direktur
Jenderal Otonomi Daerah) peluang dari adanya otonomi daerah saat ini adalah:
a. Otonomi daerah akan berkontribusi dalam meningkatkan dan memperkuat
tingkat

perekonomian

masyarakat

di

Daerahyang

pada

gilirannya

mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,


pendidikan,

mendorong

penciptaan

lapangan

pekerjaan,

menjaga

kelestarian SDA dan Lingkungan Hidup, serta kerukunan antar suku dan
agama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Tingkat perekonomian di daerah dan nasional berkontribusi dalam


meminimalisir berbagai pengaruh-pengaruh dari dalam dan luar negeri
yang memunculkan tindakan radikalisme serta mengancam keamanan
dalam negeri termasuk mengacaukan keamanan dan perdamaian global.
c. Otonomi daerah melalui pemilihan kepala daerah langsung mendorong
munculnya pemimpin daerah yan kapabel dan akseptabel melalui
pemilihan

kepala

daerah

secara

langsung,

termasuk

juga

untuk

mendapatkan pemimpin daerah yang peduli serta merespon cepat.


Kemudian tantangan yang dihadapi oleh otonomi daerah menurutnya
adalah antara lain:
a. Otonomi daerah dituntut untuk semakin mempererat persatuan dan
kesatuan bangsa ditengah-tengah kemajemukan
regional, dan nasional.
b. Otonomi daerah dituntut

untuk

ditingkat

menumbuhkan

local,

kemandirian

penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang aspiratif, transparan,


dan akuntabel.
c. Otoda dituntut untuk mengharmoniskan pemanfaatan berbagai sumber
daya local dan kearifan daerah dengan tetap menjamin keseimbangan
dan kelestarian lingkungan.
d. Momentum regional dan global memberikan peluang bagi setiap daerah
untuk meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah menjadi
faktorpenguat bagi setiap daerah menghadapi kebijakan MEA dan
C.

tantangan bonus demografi pada 15-20 yang akan dating.


Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia

1.

Konsep Tenaga Kerja


Tenaga kerja merupakan pe nduduk yang berada dalam usia kerja.

Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa

tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menhasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja.
Sedangkan menurut Siamanjuntak dalam bukunya Pengantar Ekonomi
Sumber Daya Manusia (1985) tenaga kerja adalah penduduk yang sudah atau
sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan
kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Secara praktis
pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja hanya dibedakan oleh batas
umur.
2.

Klasifikasi Tenaga Kerja

a) Tenaga Kerja Berdasarkan Penduduknya


Berdasarkan penduduknya tenaga kerja dibagi atas:
- Tenaga kerja, seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja
dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut
Undang-Undang Tenaga Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai
tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai
-

dengan 64 tahun.
Bukan tenaga kerja, adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan
tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut
Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003, mereka adalah
penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di bawah 15 tahun
dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para

pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak.


b) Tenaga Kerja Berdasarkan Batas Kerja
Berdasarkan penduduknya tenaga kerja dibagi atas:

Angkatan kerja, adalah penduduk usia produktif yang berusia 15-64


tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak

bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan.


Bukan angkatan kerja, adalah mereka yang berumur 10 tahun ke
atas yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga
dan sebagainya. Contoh kelompok ini adalah: anak sekolah dan
mahasiswa, para ibu rumah tangga dan orang cacat, dan para

pengangguran sukarela.
c) Tenaga Kerja Berdasarkan Kualitasnya
Berdasarkan penduduknya tenaga kerja dibagi atas:
- Tenaga kerja terdidik, adalah tenaga kerja yang memiliki suatu
keahlian atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah
atau pendidikan formal dan nonformal. Contohnya: pengacara,
-

dokter, guru, dan lain-lain.


Tenaga kerja terlatih, adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian
dalam bidang tertentu dengan melalui pengalaman kerja. Tenaga
kerja terampil ini dibutuhkan latihan secara berulang-ulang sehingga
mampu menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya: apoteker, ahli

bedah, mekanik, dan lainnya.


Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih, adalah tenaga kerja
kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh

3.

angkut, pembantu rumah tangga, dan sebagainya


Masalah-masalah Tenaga Kerja
Berikut ini beberapa masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
a) Rendahnya kualitas tenaga kerja
Kualitas tenaga kerja dalam suatu negara dapat ditentukan dengan
melihat tingkat pendidikan negara tersebut. Sebagian besar tenaga kerja di
Indonesia, tingkat pendidikannya masih rendah. Hal ini menyebabkan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi rendah. Minimnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan rendahnya

produktivitas

tenaga

kerja,

sehingga

hal

ini

akan

berpengaruh

terhadaprendahnya kualitas hasil produksi barang dan jasa.


b) Jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja.
Meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi oleh
perluasan

lapangan

kerja

akan

membawa

beban

tersendiri

bagi

perekonomian. Angkatan kerja yang tidak tertampung dalam lapangan kerja


akan menyebabkan pengangguran. Padahal harapan pemerintah, semakin
banyaknya jumlah angkatan kerja bisa menjadi pendorong pembangunan
ekonomi.
c) Persebaran tenaga kerja yang tidak merata
Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berada di Pulau Jawa.
Sementara di daerah lain masih kekurangan tenaga kerja, terutama untuk
sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.Dengan demikian di Pulau
Jawa banyak terjadi pengangguran, sementara di daerah lain masih banyak
sumber daya alam yang belum dikelola secara maksimal.
d) Pengangguran
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia banyak mengakibatkan industri di
Indonesia mengalami gulung tikar. Akibatnya, banyak pula tenaga kerja yang
berhenti bekerja. Selain itu, banyaknya perusahaan yang gulung tikar
mengakibatkan semakin sempitnya lapangan kerja yang ada. Di sisi lain
jumlah angkatan kerja terus meningkat. Dengan demikian pengangguran
4.

akan semakin banyak


Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan

nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan
masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.

Pembangunan

ketenagakerjaan

mempunyai

banyak

dimensi

dan

keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja


selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan
kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup
pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan
penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial.
Dalam bidang ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, yang tentunya bertujuan untuk melaksanakan pembangunan
Sumber daya manusia agar terwujudnya kesejahteraan umum warga Negara
Republik Indonesia. Ketenagakerjaan dalam UU No. 13 tahun 2003 diartikan
sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Tujuan dari regulasi ini adalah:
a) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi;
b) Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja

yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;


c) Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan; dan
d) Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

5.

Peraturan Daerah Luwu Timur


Kebijakan atau regulasi yang digunakan untuk menangani masalah tenaga

kerja dikabupaten luwu timur, diatur dalam peraturan daerah no. 16 tahun 2006
tentang perizinan dan pengesahan tenaga kerja. Secara umum peraturan daerah
tersebut mengatur manajemen tenaga kerja yang ada yang bekerja pada

perusahaan-perusahaan yang beroperasi di luwu timur. Dalam pasal 2 dituliskan


bahwa Tujuan Pemberian Izin Ketenagakerjaan adalah:

a) Untuk Pengaturan, Pembinaan dan Pengendalian Pemanfaatan Sumber


Daya Manusia dalam rangka mewujudkan usaha dibidang produksi dan
jasa yang efisien dan berdaya saing tinggi.

b) Untuk Pemberian legalitas dan penetapan kewenangan bagi Badan


Usaha

atau

ketenagakerjaan

perorangan
dalam

untuk

rangka

berpartisipasi
peningkatan

dalam

kesempatan

bidang
kerja,

peningkatan pendapatan masyarakat dan perlindungan Tenaga Kerja


serta peningkatan pendapatan daerah dan Negara.
Sebagai regulasi yang memuat tentang perizinan pengesahan tenaga kerja,
peraturan daerah ini secara luas dapat berdampak pada kesejahteraan
masyarakat. Dimana masyarakat yang bekerja pada perusahaan-perusahaan di
back-up sehingga dengan berdirinya perusahaan tersebut dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk dijadikan tempat mencari pendapatan.
D.

Kerangka Fikir
Keraangka Pikir pada penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran

mengenai bagaimana penelitian ini dilaksanakan. Pada penelitian, peneliti akan


melakukan pengkajian terkait dampak dari kebijakan otonomi daerah di
Kabupaten Luwu Timur sekaitan dengan desentralisasi urusan pemerintahan
bidang tenaga kerja. Sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah pada pasal pasal 12 ayat (2) huruf a yang mengatakan
bahwa tenaga kerja merupakan salah satu urusan pemerintahan yang
diserahkan oleh pusat kepada daerah.
Evaluasi terhadap dampak tersebut akan dianalisis dengan menggunakan
metode analisis dari Miles Dan Huberman dengan menggunakan indikator
evaluasi dari Palumbo (2001:549) yang berpendapat bahwa evaluasi kebijakan

terbagi atas evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Adapun dalam penelitian ini
akan menggunakan evaluasi sumatif yang bertujuan untuk menganalisis dampak
dari didesentralisasikannya urusan ketenagakerjan d Kabupaten Luwu Timur.
Adapun indicator dampak yang dikaji dalam penelitian ini adalah unit-unit yang
terkena dampak kebijakan sesuai dengan pendapat dari Wibawa yang
mengungkapkan 4 unit yang terkena dampak kebijakan antara lain:
1. Dampak Individu
Dampak individu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
2. Dampak Organisasional
3. Dampak Kepada masyarakat
4. Dampak kepada Instansi dan Sistem Sosial.
Setelah dilakukan analisis terhadap dampak tersebut diatas selanjutnya akan
dikaitakan dengan tujuan dari otonomi daerah yaitu terciptanya kpeningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah
sekaitan

dengan

tenaga

kerja.

Serta

diketahuinya

faktor-faktor

yang

mempengaruhi kebijakan otonomi daerah bidang tenaga kerja di Kabupaten


Luwu Timur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui gambar kerangka pikir
dibawah ini.

Gambar 1: Kerangka Pikir

Anda mungkin juga menyukai