Anda di halaman 1dari 26

Presentasi Kasus

ILMU KESEHATAN MATA


ASTIGMATISMA HIPERMETROPI SIMPLEK
DENGAN PRESBIOPIA

Oleh:
Rizky Saraswati Indraputri
Rizky Masah
Muhammad Alfian
Muhammad Faizal
Sanda Puspa Rini
Daniel Satyo Nurcahyo
Hanni Wardhani
Dien Adiparadana

G99141129
G99141130
G99141131
G99142129
G99142130
G99142131
G99142132
G99142133

Pembimbing :
dr. Kurnia Rosyida, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan refraksi mata atau refraksi anomali adalah keadaan dimana
bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang
bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi
dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Kelainan refraksi
lain yang diakibatkan oleh faktor degeneratif adalah presbiop (Ilyas, 2012).
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada
penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Jumlah pasien yang menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% dari populasi atau sekitar 55 juta jiwa (Handayani et al, 2011).
World Health Organization (WHO), 2009 menyatakan terdapat 45 juta
orang yang mengalami buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision.
Setiap tahun tidak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan, setiap 5 menit
sekali ada satu penduduk bumi menjadi buta dan setiap 12 menit sekali terdapat
satu anak mengalami kebutaan. Sekitar 90 % penderita kebutaan dan gangguan
penglihatan ini hidup di negara-negara miskin dan terbelakang. Prevalensi
kebutaan tersebut disebabkan salah satunya adalah kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi, di dunia pada tahun 2007 diperkirakan bahwa sekitar 2,3 juta orang di
dunia mengalami kelainan refraksi (Ali dkk, 2007).
Presbiopia merupakan kondisi mata dimana lensa kristalin kehilangan
fleksibilitasnya sehingga membuatnya tidak dapat fokus pada benda yang dekat.
Presbiopi adalah suatu bentuk gangguan refraksi, dimana makin berkurangnya
kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin meningkatnya umur.
Hipermetropia atau far-sightedness adalah suatu kelainan refraksi dimana
sinar-sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibiaskan
di

belakang

retina.

Untuk

mengoreksinya

dipakai

lensa

positif

atau

konveks/konvergen.
Astigmatisma adalah suatu keadaan kelainan refraksi dimana sinar yang
sejajar tidak dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang

pembiasan sehingga fokus pada retina tidak pada satu titik. Ada dua jenis
astigmatisma, yaitu astigmatisma regular dan astigmatisma irregular. Berdasarkan
letak fokusnya terhadap retina, astigmatisma regular dapat di klasifikasikan
sebagai berikut : (1) Simple astigmatism, (2) Compound astigmatism, (3) Mixed
astigmatism. Astigmatisma hipermetrop simplek merupakan suatu bentuk
astigmatisme reguler dimana titik fokus dari daya bias terkuat berada tepat pada
retina, sedangkan titik fokus dari daya bias terlemah berada di belakang retina.
(Ilyas, 2012).

BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama / No. RM

: Ny.Sujiyem / 01-31-94-039

Umur

: 42 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Suku

: Jawa

Kewarganegaraan : Indonesia
Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pedagang

Alamat

: Sendangrejo, Klego, Boyolali

Tgl pemeriksaan

: 5 November 2015

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama

Pandangan kabur
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan pandangan kabur saat melihat.
Pandangan kabur didapatkan pada saat melihat jauh maupun dekat. Pasien
juga sering mengeluhkan merasa sering lelah pada mata dan sakit kepala
terutama di bagian dahi. Keluhan dirasakan sejak 1 tahun yang lalu dan
dirasakan semakin memberat dan semakin sering hingga sekarang. Pasien
tidak mengeluhkan adanya mata merah, pandangan ganda, silau, keluar air
mata, gatal, cekot-cekot, blobok dan nyeri pada mata.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
-

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat trauma mata

: disangkal

Riwayat operasi mata

: disangkal

Riwayat alergi obat dan makanan

: disangkal

Riwayat pemakaian kacamata

: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat pemakaian kacamata

: + (ibu)

E. Kesimpulan Anamnesis

Proses
Lokalisasi
Sebab
Perjalanan
Komplikasi

OD
Pandangan kabur
Media refrakta
Kelainan refraksi
Kronis
Belum ada

OS
Pandangan kabur
Media refrakta
Kelainan refraksi
Kronis
Belum ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Kesan umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup
B. Pemeriksaan Subyektif
OD

OS

6/9

6/7

perbaikan

perbaikan

6/7

6/7

Dilakukan

Dilakukan

1. Konfrontasi test

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

2. Proyeksi sinar

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

3. Persepsi warna

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh
a. pinhole
b. dengan kacamata
2. Visus sentralis dekat
B. Visus Perifer

C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
a. tanda radang

OD
Tidak ada

OS
Tidak ada

b. luka
c. parut
d. kelainan warna
e. kelainan bentuk
2. Supercilia
a. warna
b. tumbuhnya
c. kulit
d. gerakan
3. Pasangan bola mata
a. heteroforia
b. strabismus
c. pseudostrabismus
d. exophtalmus
e. enophtalmus
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus
b. makroftalmus
c. ptisis bulbi
d. atrofi bulbi
5. Gerakan bola mata
a. temporal
b. temporal superior
c. temporal inferior
d. nasal
e. nasal superior
f. nasal inferior
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema
2.) hiperemi
3.) blefaroptosis
4.) blefarospasme
b. gerakannya
1.) membuka
2.) menutup
c. rima
1.) lebar
2.) ankiloblefaron
3.) blefarofimosis
d. kulit
1.) tanda radang
2.) warna
3.) epiblepharon
5

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Hitam
Normal
Sawo matang
Dalam batas

Hitam
Normal
Sawo matang
Dalam batas

normal

normal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat

Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat

OD
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OS
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak tertinggal
Tidak tertinggal

Tidak tertinggal
Tidak tertinggal

10 mm
Tidak ada
Tidak ada

10 mm
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Sawo matang
Tidak ada

Tidak ada
Sawo matang
Tidak ada

4.) blepharochalasis
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion
2.) ekteropion
3.) koloboma
4.) bulu mata
7. sekitar glandula lakrimalis
a. tanda radang
b. benjolan
c. tulang margo tarsalis
8. Sekitar saccus lacrimalis
a. tanda radang
b. benjolan
9. Tekanan intraokular
a. palpasi
b. tonometri schiotz
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra superior
1.) edema
2.) hiperemi
3.) sekret
4.) sikatrik
b. konjungtiva palpebra inferior
1.) edema
2.) hiperemi
3.) sekret
4.) sikatrik
c. konjungtiva fornix
1.) edema
2.) hiperemi

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas

normal

normal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada kelainan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada kelainan

Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada

Kesan normal
Tidak dilakukan

Kesan normal
Tidak dilakukan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
OD
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
OS
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Putih

Putih

3.) sekret
4.) benjolan
d. konjungtiva bulbi
1.) edema
2.) hiperemis
3.) sekret
4.) injeksi konjungtiva
5.) injeksi siliar
e. caruncula dan plika semilunaris
1.) edema
2.) hiperemis
3.) sikatrik
11. Sclera
a. warna
6

b. tanda radang
Tidak ada
c. penonjolan
Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran
12 mm
b. limbus
Jernih
c. permukaan
Licin, regular
d. sensibilitas
Tidak dilakukan
e. keratoskop ( placido )
Dilakukan
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan
Jernih
b. kedalaman
Dalam
14. Iris
a. warna
Hitam
b. bentuk
Tampak lempengan
c. sinekia anterior
Tidak tampak
d. sinekia posterior
Tidak tampak
15. Pupil
a. ukuran/bentuk
3 mm/bulat
b. letak
Sentral
c. reaksi cahaya langsung
Positif
d. tepi pupil
Tidak ada kelainan
16. Lensa
a. ada/tidak
Ada
b. kejernihan
Jernih
c. letak
Sentral
e. shadow test
Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
a.
Kejernihan
Tidak dilakukan
b.
Reflek fundus
Tidak dilakukan
IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
OD
6/9

A.
B.

Visus sentralis jauh


Visus perifer
1. Konfrontasi tes
Tidak dilakukan
2. Proyeksi sinar
Tidak dilakukan
3. Persepsi warna
Baik
C.
Sekitar mata
Dalam batas normal
D.
Supercilium
Dalam batas normal
E.
Pasangan bola mata dalam Dalam batas normal
F.
G.
H.
I.
J.

orbita
Ukuran bola mata
Gerakan bola mata
Kelopak mata
Sekitar saccuslacrimalis
Sekitar glandula lakrimalis

Dalam batas normal


Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
7

Tidak ada
Tidak ada
12 mm
Jernih
Licin, regular
Tidak dilakukan
Dilakukan
Jernih
Dalam
Hitam
Tampak lempengan
Tidak tampak
Tidak tampak
3 mm/bulat
Sentral
Positif
Tidak ada kelainan
Ada
Jernih
Sentral
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
OS
6/7
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Baik
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal

K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S.
T.
U.

Tekanan intra okular


Konjungtiva palpebra
Konjungtiva bulbi
Konjungtiva fornix
Sklera
Kornea
Camera okuli anterior
Iris
Pupil

Dalam batas normal


Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Kesan normal
Bulat, warna hitam
3 mm, bulat,

Dalam batas normal


Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Kesan normal
Bulat, warna hitam
3 mm, bulat,

sentral
Kesan normal
Tidak dilakukan

sentral
Kesan normal
Tidak dilakukan

Lensa
Corpus vitreum

V. GAMBARAN KLINIS

Gambar I.C.1. Foto mata pasien

VI. DIAGNOSIS BANDING


ODS Hipermetropi
ODS Astigmatisma
ODS Miopi
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Koreksi visus dengan trial lens
2. Fogging test dan astigmat dial

VIII. DIAGNOSIS
OS astigmat hipermetropicus simplek
OD hipermetropi
ODS presbiopi
IX. TERAPI
Non Medikamentosa
Koreksi lensa
KANAN

KIRI

Vitrum Vitrim Axis Prisma Vitrum Vitrim Axis Prisma Distand


spheris

cylind

basis

spheris

cylind
o

basis

vitror

jauh

+0,50

+0.50

59

dekat

+1,75

+1,25

57

- Edukasi :
o Kaca mata harus selalu dipakai
o Hindari membaca di ruangan yang kurang terang
o Saat membaca buku diselingi istirahat sekitar 5 menit
o Membaca dalam posisi kepala tegak jangan membungkuk
X.PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanam
Ad fungsionam
Ad kosmetikum

OD
Bonam
Malam
Bonam
Bonam

10

OS
Bonam
Malam
Bonam
Bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Media Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca)
dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh
media penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga
bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah
makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak
melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2012).
B. Fisiologi Refraksi
Berkas-berkas cahaya mencapai mata harus dibelokkan ke arah dalam untuk difokuskan
kembali ke sebuah titik peka cahaya di retina agar dihasilkan suatu bayangan yang
akurat mengenai sumber cahaya. Pembelokan suatu berkas cahaya(refraksi) terjadi
ketika berkas berpindah dari satu medium dengankepadatan(densitas) tertentu ke
medium dengan kepadatan yang berbeda (Vaughan, 2004).

Gambar III.B. Fisiologi Refraksi

Cahaya

bergerak

lebih

cepat

melalui

udara

daripada

melalui

media

transparanlainnya misalnya : kaca dan air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke

11

mediumdengan densitas yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya


juga berlaku). Berkas cahaya mengubah arah perjalanannya jika mengenai medium baru
pada tiap sudut selain tegak lurus (Sidarta I, 2003).
Dua faktor penting dalam refraksi: densitas komparatif antara 2 media
(semakin besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut
jatuhnya berkas cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan).
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah
korneadan lensa. Permukaan kornea, struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu
masuk mata, yang melengkung berperan besar dalam refraktif total karena perbedaan
densitas

pertemuan

udara

atau

kornea

jauh

lebih

besar

dari

pada

perbedaandensitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Kemampuan


refraksikornea seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak
pernah berubah. Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan
mengubah kelengkungannya sesuai keperluan untuk melihat dekat atau jauh (Wijana N, 1993).
Struktur-struktur refraksi pada mata harus membawa bayangan cahaya terfokusdi
retina agar penglihatan jelas. Apabila bayangan sudah terfokus sebelum bayangan
mencapai retina atau belum terfokus sebelum mencapai retina,bayangan tersebut
tampak kabur. Berkas-berkas cahaya yang berasal dari bendadekat lebih divergen
sewaktu mencapai mata daripada berkas-berkas dari sumber jauh. Berkas dari
sumber cahaya yang terletak lebih dari 6 meter (20 kaki) dianggap sejajar saat
mencapai mata (Wijana N, 1993).
Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya dekat memerlukan
jarak yang lebih besar di belakang lensa agar dapat memfokuskan daripada
sumber cahaya jauh, karena berkas dari sumber cahaya dekat masih berdivergensi
sewaktumencapai mata. Untuk mata tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu
sama. Untuk membawa sumber cahaya jauhdan dekat terfokus di retina (dalam
jarak yang sama), harus dipergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat.
Kekuatan lensa dapat disesuaikan melalui proses akomodasi (Wijana N, 1993).
C. Kelainan Refaksi

12

Terdapat 3 bentuk kelainan refaksi atau refraksi anomali yang dapat


mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:
1.
2.
3.

Miopia
Hipermetropia
Astigmatisma

Astigmatisma
a. Definisi Astigmatisma
Astigmatisma atau sering disebut juga mata cylindris yaitu suatu kondisi
dengan kurvatura yang berlainan sepanjang meridian yang berbeda-beda pada
satu atau lebih permukaan refraktif mata ( kornea, permukaan anterior atau
posterior dari lensa mata ), akibatnya pantulan cahaya dari suatu sumber atau
titik cahaya tidak terfokus pada satu titik di retina (Ilyas, 2012).

Gambar III.C.1. Astigmatisma


b. Etiologi Astigmatisma
Etiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut :
1) Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak
teratur.Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling
besar adalah

kornea,

astigmatismus,sedangkan

yaitu
media

mencapai
lainnya

80%
adalah

s/d

90%

lensa

dari

kristalin.

Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan


lengkung kornea dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter
anterior posterior bola mata. Perubahan lengkung permukaan kornea ini
terjadi karena kelainankongenital, kecelakaan, luka atau parut di
kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan kornea.

13

2) Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa.


Semakin bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa
kristalin juga semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin
akan mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus.
3) Intoleransi lensa atau lensa kontak pada post keratoplasty.
4) Trauma pada kornea.
5) Tumor.
(Vaughan, 2004).
c. Klasifikasi Astigmatisma
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina maka astigmatisma dibedakan
atas beberapa jenis diantaranya :
1) Astigmatisma Regular
Astigmatisma regular merupakan astigmatisma yang memperlihatkan
kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang berlahan-lahan secara
teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi
pada astigmatisma regular dengan bentuk teratur dapat berbentuk garis,
lonjong atau lingkaran (Ilyas, 2012)
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisma
regular inidibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a) Horizonto-vertikal astigmatisma
Dibagi dalam 2 bentuk :
(1) Astigmatisma with the rule (Astigmatisma lazim)
Astigmatisma with the rule merupakan kelengkungan kornea pada
bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih
pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang
horizontal. Pada astigmatisma ini meridian vertikal lebih curam
dari horizontal.
Pada astigmatisma lazim ini diperlukan lensa silinder negatif
dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi
(2)

yang terjadi (Ilyas, 2012).


Astigmatisma against the rule (Astigmatisma tidak lazim)
Astigmatisma against the rule adalah suatu keadaan kelainan
refraksi astigmatisma yang disebabkan oleh kelengkungan kornea
pada meridian horizontal lebih kuat atau curam dibandingkan
dengan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan
pada usia lanjut.
14

Pada Astigmatisma tidak lazim ini diperlukan lensa silinder


negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau
dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat) (Ilyas,
2012).
b) Astigmatisma oblique
Suatu bentuk astigmatisma regular dimana garis meridian utamanya
tidak tegak lurus tapi miring dengan axis 450 dan 1350 (Wijana N,
1993).
2) Astigmatisma iregular
Astigmatisma irregular merupakan astigmatisma yang terjadi tidak
mempunyai dua meridian saling tegak lurus. Astigmatisma ini dapat terjadi
akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga
bayangan menjadi irregular. Dan astigmatisma irregular terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada
meridian lensa yang berbeda. (Ilyas, 2012).
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina,
astigmatisme terdiri dari:
a) Astigmatisma Miopia Simpleks
Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik
B berada tepat pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya
biasterkuat sedangkan titik B adalah titik fokus dari daya bias
terlemah) (Sidarta I, 2003).

Gambar III.C.2. Astigmatisma Miopia Simpleks


b) Astigmatisma Hiperopia Simpleks
Astigmatisma jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik
B berada di belakang retina. (Wijana N, 2001).

15

Gambar III.C.3. Astigmatisma Hiperopia Simpleks


c) Astigmatisma Miopia Kompositus
Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik
B berada di antara titik A dan retina (Wijana N, 1993).

Gambar III. C. 4. Astigmatisma Miopia Kompositus


d) Astigmatisma Hiperopia Kompositus
Astigmatisma jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan
titik A berada di antara titik B dan retina. (Sidarta I, 2003).

Gambar III.C.5. Astigmatisma Hiperopia Kompositus


e) Astigmatisma Mixtus
Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik
B berada di belakang retina (Wijana N, 1993).

16

Gambar III.C.6. Astigmatisma Mixtus

Berdasarkan tingkat kekuatan dioptri astigmatisma dibedakan menjadi :


a) Astigmatismus Rendah
Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya
astigmatimusrendah tidak perlu menggunakan koreksi kacamata. Akan
tetapi jika timbulkeluhan pada penderita maka koreksi kacamata sangat perlu
diberikan.
b) Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75
Dioptri.Pada

astigmatismus

ini

pasien sangat mutlak

diberikan

kacamata koreksi.
c) Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini
sangatmutlak diberikan kacamata koreksi (Morlet N, 2001).
d.

Gejala dan Tanda


Seseorang dengan astigmatisma akan memberikan keluhan :
1) Melihat jauh kabur sedang melihat dekat lebih baik
2) Melihat ganda dengan satu atau kedua mata
3) Penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat
4) Bentuk benda yang dilihat berubah (distorsi)
5) Mengecilkan celah kelopak jika ingin melihat
6) Sakit kepala terutama pada bagian frontal
7) Mata tegang dan pegal
8) Mata dan fisik lelah
9) Astigmatisma tinggi (4-8 D) yang selalu melihat kabur sering
mengakibatkan ambliopia (Hardten D, 2009).

e.

Diagnosis
17

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pasien


akan datang dengan gejala klinis seperti yang tersebut di atas. Pada
pemeriksaan

fisik,

terlebih

dahulu

dilakukan

pemeriksaan

dengan

menggunakkan kartu snellen. Periksa kelainan refraksi myopia atau


hipermetropia yang ada, tentukan tajam penglihatan. (Morlet N, 2001).
Dengan menggunakan juring atau kipas astigmat, garis berwarna hitam
yang disusun radial dengan bentuk semisirkular dengan dasar yang putih
merupakan pemeriksaan subyektif untuk menilai ada dan besarnya derajat
astigmat. (Ilyas, 2012).

Gambar III. C. 7. Kipas Astigmat


Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan
mempergunakan keratometer, derajat astigmatisma dapat diketahui sehingga
pada saat dikoreksi untuk mendapatkan tajam penglihatan terbaik hanya
dibutuhkan lensa sferis saja (Morlet N, 2001).
Keadaan dari astigmatisma irregular pada kornea dapat dengan mudah di
temukan dengan melakukan observasi adanya distorsi bayangan pada kornea.
Cara in dapat dilakukan dengan menggunakan Placidos Discdi depan mata.
Bayangan yang terlihat melalui lubang di tengah piringan akan tampak
mengalami perubahan bentuk (Hardten D, 2009).

18

Gambar III. C.8. Kornea Normal dan Kornea Astigmatisma dengan


Tes Plasido
f.

Penatalaksanaan
Astigmatisma ringan, yang tidak mengalami gangguan ketajaman

penglihatan (0,5 D atau kurang) tidak perlu dilakukan koreksi. Pada


astigmatisma yang berat dipergunakan kacamata silinder, lensa kontak atau
pembedahan.
1) Koreksi lensa
Astigmatismusdapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder.
Karena dengan koreksi lensa cylinder penderita astigmatismusakan dapat
membiaskan sinar sejajar tepat diretina, sehingga penglihatan akan
bertambah jelas (Hardten D, 2009).
2) Orthokeratology
Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak,
lebih dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar
dan menurunkan myopia. Kekakuan lensa kontak yang digunakan sesuai
dengan standar. Pada astigmatismus irregular dimana terjadi pemantulan
dan pembiasan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan
kornea maka dapat dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan
memakai lensa kontak maka permukaan depan kornea tertutup rata dan
terisi oleh film air mata (Hardten D, 2009).
3) Bedah refraksi
Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:
a) Radial keratotomy (RK)

19

Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah di insisi di


parasentral.Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea
dibuat rata. Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik,
angka dan kedalaman dari insisi.
b) Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser
pada pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa
terjadi setelah photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan
akan kembali jernih (Hardten D, 2009).
Hipermetropia
a. Definisi Hipermetropia
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya
terletak di belakang makula lutea (Sidarta, 2009). Hipermetropia adalah suatu
kondisi ketika kemampuan refraktif mata terlalu lemah yang menyebabkan
sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di
belakang

retina.

Hipermetropia

adalah

keadaan

mata

yang

tidak

berakomodasi memfokuskan bayangan di belakang retina.


Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara bola mata dan
kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar
terletak di belakang retina.
b. Klasifikasi Hipermetropia
Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti:
1) Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi
dengan

kacamata

positif

maksimal

yang

memberikan

tajam

penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia


absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Hipermetropia
manifes didapatkan tanpa siklopegik dan hipermetropia yang dapat
dilihat dengan koreksi kacamata maksimal.
20

2) Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat


diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien
yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal
tanpa kacamata. Bila diberikan kacamata positif yang memberikan
penglihatan normal, maka otot akomodasinya akan mendapatkan
istirahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga
akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
3) Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi
dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat
jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir dengan
hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang tidak memakai
tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropi absolut.
4) Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia
(otot yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan
akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan
siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten
seseorang. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten
seseorang.
5) Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan
sesudah diberikan siklopegia (Sidarta, 2009).
c.

Etiologi Hipermetropia
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih

pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan
di belakang retina. Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas :
1) Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat
bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2) Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa
kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3) Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang
kurang pada sistem optik mata (Sidarta, 2009).
d. Patofisiologi
Akibat dari bola mata yang terlalu pendek, yang menyebabkan bayangan
terfokus di belakang retina.
21

e.

Gejala Klinik Hipermetropia


Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling

atau melihat ganda, mata lelah, penglihatan kabur melihat dekat (Sidarta,
2009). Sering mengantuk, mata berair, pupil agak miosis, dan bilik mata depan
lebih dangkal.
f.

Pengobatan
Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk

mematahkan sinar lebih kaut kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah di


berikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan
normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata lensa positif terbesar
yang masih memberi tajam penglihatan maksimal (Sidarta, 2009).
Presbiopia
a. Definisi Presbiopia
Presbyopia berasal dari bahasa Yunani Presbys yang berarti orang tua
dan Opia artinya mata. Presbiopi merupakan kondisi mata dimana lensa
kehilangan fleksibilitasnya sehingga membuatnya tidak dapat fokus pada benda
yang dekat. Presbiopi adalah suatu bentuk gangguan refraksi, dimana makin
berkurangnya

kemampuan

akomodasi

mata

sesuai

dengan

makin

meningkatnya umur. Makin bertambahnya umur maka setiap lensa akan


menglami kemunduran kemampuan untuk mencembung. Berkurangnya
kemampuan mencembung ini akan memberikan kesukaran melihat dekat,
sedang untuk melihat jauh tetap normal.
b. Etiologi
1) Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut.
2) Kelemahan otot-otot akomodasi.

22

3) Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elastisitasnya akibat


kekakuan (sklerosis) lensa.
c.

Patofisiologi
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi

mata karena adanya perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa


dan kapsul sehingga lensa menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur
maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis) dan kehilangan elastisitasnya untuk
menjadi cembung. Dengan demikian kemampuan melihat dekat makin
berkurang.

d. Klasifikasi
1) Presbiopi

Insipientahap

awal

perkembangan

presbiopi,

dari

anamnesa didapati pasien memerlukan kacamata untuk membaca


dekat, tapi tidak tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien
biasanya akan menolakpreskripsi kaca mata baca.
2) Presbiopi FungsionalAmplitud akomodasi yang semakin menurun
dan akan didapatkan kelainan ketikadiperiksa.
3) Presbiopi AbsolutPeningkatan

derajat

presbiopi

dari presbiopi

fungsional, dimana proses akomodasi sudahtidak terjadi sama sekali.


4) Presbiopi PrematurPresbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40
tahun dan biasanya berhungan denganlingkungan, nutrisi, penyakit,
atau obat-obatan.
5) Presbiopi

NokturnalKesulitan

untuk

membaca

jarak

dekat

pada kondisi gelap disebabkan oleh peningkatandiameter pupil

e.

Gejala Klinis
1) Kesulitan membaca tulisan dengan cetakan huruf yang halus / kecil.

23

2) Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa


pedih. Bisa juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika
membaca terlalu lama.
3) Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca atau menegakkan
punggungnya karena tulisan tampak kabur pada jarak baca yang biasa
(titik dekat mata makin menjauh).
4) Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di
malam hari.
5) Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca.
6) Terganggu secara emosional dan fisik.

f.

Pengobatan
Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca

dekat yang berkekuatan sesuai dengan pedoman usia:


+ 1.00 D untuk usia 40 tahun
+1.50 D untuk usia 45 tahun
+2.00 D untuk usia 50 tahun
+2.50 D untuk usia 55 tahun
+3.00 D untuk usia 60 tahun
Lensa sferis (+) yang ditambahkandapat diberikan dalam berbagai cara :
1) Kacamata baca untuk melihat dekat saja
2) Kacamata bifocal untuk melihat jauh dan dekat
Jika koreksi jauhnya tidak dapat mencapai 6/6 maka penambahan lensa
sferis (+) tidak terikat pada pedoman umur, tetapi boleh diberikan seberapapun
sampai dapat membaca cukup memuaskan.

24

DAFTAR PUSTAKA
Abrams D. Duke (1993) Elders Practice of Refraction 10th Edition. Churchil
Livingstone. Edinburg. P.65 71.
Ali, dkk. (2007). Prevalence of Undetected Refractive Errors Among School
Children.
Biomedica
Volume
23
Juli-Dec
2007/Bio-21.,
http://www.thebiomedicapk. com/articles/118.pdf
Dorland,W.A.N.(1998)Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta. EGC.
Gunawan W. (2006) Astigmatisma Miop Simplek yang Mengalami Ambliopia
pada Anak Sekolah Dasar di Yogyakarta. Yogyakarta. Berita Kedokteran
Masyarakat.
Hardten D.(2009) Lasik Astigamtsm (on line). Medscape. Diakses 11 November
2015.
Handayani-Ariestanti, T., SupradnyaAnom, I G.N, Pemayun-Dewayani, C. I.
(2012). Characteristic of patients with refractive disorder at eye clinic of
sanglah general hospital Denpasar, Bali-Indonesia Bali Medical Journal
(BMJ). 1(3) pg:101-107)
Ilyas S.(2012) Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Jakarta. FKUI.
James B, Chew C and Bron A.(2003) Lecture Notes Oftalmologi Edisi
Kesembilan. Jakarta. Erlangga.
Morlet N, et al.(2001) Astigmatism and the analysis of its surgical correction. Br J
Ophthalmol. Diakses 25 Desember 2011.
Sidarta I, dkk.(2003) Sari Ilmu Penyakit Mata Cetakan III. Jakarta. FKUI.
Snell, Richard. S.(2006) Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Edisi 6. Jakarta. EGC.
Vaughan, et al.(2004) Kesalahan Refraksi dalam Oftalmologi Umum Edisi 14.
Jakarta. Widya Medika.
Wijana N.(1993) Ilmu Penyakit Mata : Refraksi, Astigmatisma. Jakarta.

25

Anda mungkin juga menyukai