Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan karena masuknya
bibit penyakit kedalam tubuh seseorang. Penyakit infeksi masih menempati
urutan teratas penyebab kesakitan dan kematian di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Bagi penderita, selain menyebabkan penderitaan fisik,
infeksi juga menyebabkan penurunan kinerja dan produktifitas, yang pada
gilirannya akan mengakibatkan kerugian materil yang berlipat-lipat. Bagi
Negara, tingginya kejadian infeksi di masyarakat akan menyebabkan
penurunan produktifitas nasional secara umum, sedangkan dilain pihak juga
menyebabkan peningkatan pengeluaran yang berhubungan dengan upaya
pengobatannya.
Sebagaimana diketahui, infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
maupun jamur, dan dapat terjadi di masyarakat (community acquired)
maupun di rumah sakit (hospital acquired). Pasien yang sedang dalam
perawatan di rumah sakit memiliki resiko tertular infeksi lebih besar dari
pada di luar rumah sakit. Lingkaran infeksi dapat terjadi antara pasien,
lingkungan/vektor, dan mikroba.
Sebagaimana uraian diatas, maka dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai salah satu masalah yang diakibatkan oleh terjadinya
inveksi terhadap jaringan otak oleh virus, bakteri, cacing, protozoa, jamur,
atau ricketsia, yang biasa disebut dengan ensefalitis.
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus. Ada banyak tipe-tipe
dari ensefalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi yang
disebabkan oleh virus-virus. Ensefalitis dapat juga disebabkan oleh
penyakit-penyakit yang menyebabkan peradangan dari otak.

Dengan gejala-gejala seperti panas badan meningkat, sakit kepala,


muntah-muntah lethargi, kaku kuduk, gelisah, serta gangguan pada
penglihatan, pendengaran, bicara dan kejang. Virus atau bakteri memasuki
tubuh melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna, setelah masuk ke dalam
tubuh, virus dan bakteri akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa
cara. Salah satunya adalah pada jaringan otak yang nantinya akan
menyebabkan ensefalitis.
B. Sekenario
Seorang laki-laki umur 17 tahun dating ke puskesmas diantarkan oleh
keluarganya, dalam keadaan tidak sadarkan diri sejak 1 jam yang lalu
keluarga pasien mengaku anaknya pernah berprilaku aneh sejak 1 hari yang
lalu, riwayat demam (+), riwayat kejang (+), riwayat gangguan jiwa
sebelumnya disangkal, 2 minggu yang lalu pasien pernah menderita demam
yang tidak pernah di obati.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/80mmHg, suhu
38,00C, pernapasan 24x/m, nadi 90x/m, pemeriksaan kaku kuduk (-).
C. Permesalahan
1. Jelaskan Anatomi sistem saraf pusat
2. Definisi kejang
3. Klasifikasi kejang
4. Penyebab kejang
5. Mekanisme kejang
6. Mekanisme Demam
7. Klasifikasi Penurunan kesadaran
8. Interpretasi sekenario
a. Hubungan demam dan kejang
b. Mekanisme penurunan kesadaran
c. Klasifikasi penurunan kesadaran
d. Interpretasi pemeriksaan fisik dlam sekenario.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi Susunan Saraf Pusat
Susunan saraf terdiri dari: Susunan Saraf Pusat (SSP) dan Susunan Saraf
Tepi (Nn. Craniales + Nn. Spinales). Susunan Saraf Pusat terdiri Encephalon

dan Medulla Spinalis. Otak, atau ensefalon secara konvensional dibagi dalam
5 bagian utama : telensefalon atau otak besar, diensefalon atau otak antara,
mesensefalon atau otak tengah, metensefalon atau otak belakang, dan
mielensefalon atau medulla oblongata (sambungan sumsum tulang).
Telensefalon dan diensefalon membentuk prosensefalon atau otak depan.
Metensefalon dan mielensefalon membentuk rombensefalon atau otak belah
ketupat. Metttensefalon terdiri dari pons danserebelum. Serebrum mencakup
telensefalon, diensefalon dan otak tengah bagian atas.
Serebrum sebagiannya terbagi dalam dua belahan hemisfer oleh suatu
fisura longitudinal vertical yang dalam. Sebuah hemisfer serebrum adalah
setengah bagian otak depan. Hemisfer serebrum meliputi struktur telensefalon
seperti korteks serebrum, zat putih yang dalam terhadap korteks, ganglia
basal, dan korpus kalosum. Sistem ventrikulus ialah rongga-rongga di dalam
otak yang berisi cairan serebrospinal. Sistem itu dibagi sebagai berikut :
ventrikel lateral ialah rongga di dalam hemisfer serebrum, ventrikel ketiga
ialah rongga di dalam diensefalon, akuaduktus serebrum (akuaduktus sylvii)
ialah rongga di dalam mesensefalon dan ventrikel keempat ialah rongga
rombensefalon. Serebelum (otak kecil) ialah bagiandorsal metensefalon yang
mengembang.
Batang otak ialah istilah kolektif untuk diensefalon, mesensefalon dan
rombensefalon

tanpa

serebelum.

(Diensefalon

kadang-kadang

tidak

dimasukkan ke dalam batang otak). Batang otak dibagi menurut hubungan


topografiknya

dengan

tentorium

dalam

bagian

supratentorium

dan

infratentorium.
Diensefalon ialah bagian bagian supratentorium dan otak tengah, pons dan
sambungan sumsum tulang belakang merupakan bagian infratentorium.
Semua saraf otak kecuali saraf penghidu dan saraf optik, muncul dari batang
otak bagian infratentorium.
FISIOLOGI SUSUNAN SARAF PUSAT
Sistem saraf terdiri dari:
1. Reseptor sensoris reaksi segera memori pada otak
2. Informasi ( medulla spinalis, substansia retikularis)

3. Efektor ke otot & kelenjar


Fungsi sistem saraf adalah:
1. Menghantarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain
2.

Mengelola informasi sehingga dapat digunakan atau dapat menjadi jelas

Tingkatan sistem saraf :


1. Tingkat medulla spinalis, sinyal sensoris dihantarkan melalui saraf-saraf
spinal menuju ke setiap segment Medulla Spinalis dan menyebabkan
respons motorik lokal.
2. Tingkat Otak Bagian.Bawah (Medulla Oblongata, pons, mesensephalon,
hipotalamus, talamus, serebellum, dan ganglia basalis) mengatur aktivitas
tubuh yang terjadi di bawah kesadaran.
3. Tingkat otak bagian atas atau tingkat kortikal, daerah tempat penyimpanan
informasi dan proses berpikir.
Patokan anatomis yag digunakan dlm pemetaan korteks serebri terdiri dari
4 lobus yaitu :
1.

Lobus oksipitalis, untuk pengelolaan awal masukan penglihatan

2. Lobus Temporalis, untuk sensasi suara (Pendengaran).


3. Lobus parietalis, untuk menerima & mengolah masukan sensorik
seperti sentuhan, panas, tekanan, dingin dan nyeri dari permukaan
tubuh.
4. Lobus Frontalis, berfungsi :
a. aktifitas motorik volunter
b. Kemampuan berbicara
c. Elaborasi pikiran.

B. Definisi kejang

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari suatu
populasi neuron yang sangat mudah terpacu (fokus kejang) sehingga
menggangu fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan
otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan
keseimbangan asam- basa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila
berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi kejang dapat
merupakan menifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan,
misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putusobat,intoksikasi obat,atau ensefalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi
neuron-neuron focus kejang ini,kejang dapat bemanipestasi sebagai
kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik,
atau autonom.
Istilah kejang bersifat generik, dan dapat digunakan penjelasanpenjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang diamati. Kejang dapat
terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, sepontan, dan tidak
disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertaun-taun disebut
epilepsy. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya
kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering di sebut kejang.
Kejang konvulasi biasanya menimbulkan kontaksi otot rangka yang hebat
dan ivolunter yang mungkin meluas dari suatu bagian tubuh ke seluruh tubuh
atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh.
Status epileptikus adalah suatu kejang berkepanjanagan atau serangkaian
kejang relative tanpa pemulihan kesadaran antarikus.
C. Klasifikasi kejang
1. Kejang Parsial
a. Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih
hal berikut ini:

1) Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau


salah satu sisi tubuh : umumnya gerakan kejang yang
sama.
2) Tanda atau gejala otonomikmuntah

berkeringan, muka

merah, dilatasi pupil.


3) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar
musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
4) Gejala psikikdejavu, rasa takut, sisi panoramic.
b. Kejang parsial komplesk
1)

Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya


sebagai kejang parsial simpleks.

2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromatic


mengecapkan

bibir, mengunyah, gerakan mencongkel

yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan


lainnya.
3) Dapat tanpa otomatismetatapan terpaku.
2. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)
a. Kejang Absens
1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
2. Ditandai

dengan

tatapan

terpaku

yang

umumnya

berlangsung kurang dari 15 detik.


3. Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada
dan berkonsentrasi penuh.

4.

Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan


sering sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

b. Kejang Mioklonik
Kedutaan-kedutaan

involunter

pada

otot

atau

sekelompok otot yang terjadi mendadak


c. Kejang MioklonikLanjutan
1. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila
patologik, berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher,
bahu, lengan atas dan kaki.
2. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi
didalam kelompok.
3. Kehilangan kesadaran hanya sesaat
d. Kejang Tonik-Klonik
1. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku
umum pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah,
yang langsung kurang dari 1 menit.
2. Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih
dan usus.
3. Tidak adan respirasi dan sianosis
4. Saat

tonik

diikuti

dengan

gerakan

klonik

ekstremitas atas dan bawah.


5. letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical
e. Kejang Atonik

pada

1. Hilangnya

tonus

secara

mendadak

sehingga

dapat

menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk


atau jatuh ketanah.
2. Singkat, dan terjadi tampa peringatan.

D. Etiologi kejang
Kejang dapat terjadi pada setiap individu yang mengalami hipoksemia
berat (penurunan oksigen dalam darah), hipoglikemia (penurunan glukosa
dalam darah), asidemia (peningkatan asam dalam darah), alkalemia
(penurunan asam dalam darah), dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi.
Putus obat, penyalahgunaan obat, dan toksemia pada kehamilan juga dapat
menyebabkan kejang. Beberapa individu tampak mengalami ambang kejang
yang rendah sehingga lebih rentan terhadap kejang dibandingkan orang lain,
yang menunjukan kecenderungan genetik pada kejang. Kejang yang
disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus
pencetusnya dihilangkan. Sinkope (pingsan) sering kali salah di diagnosis
sebagai kejang karena beberapa gerakan otot mungkin sama. Keadaan tidak
sadar dan kedutan otot yang berhubungan dengan pingsan jarang
berlangsung lebih dari 5 sampai 10 detik, dan pingsan tidak berkaitan
dengan gejala postical sperti keletihan.
E. Mekanisme Kejang
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang tergangu akibat suatu
keadaan patologik, aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan kotreks
sereblum kemungkinan besar bersifat epilogenetik, sedangkan lesi di
serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Ditingkat mermbran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut:

Instabilitas mermbran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami

pengaktifan.
Neuron-neuron
muatan

hipersensitif

dengan

ambang

untuk

melepaskan

menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan

secara berlebihan.
Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebihan hipopolarisasi atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetikolin atau

defisiensi asam gama aminobutirat ( GABA).


Ketidakseimbngan ion yang mengubah keseimbngan asam- basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan

pada

depolarisasi

neuron.

Gangguan

keseimbangan

ini

menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau


deplesi neurototransmitter inhibiotorik.
F. Mekanisme demam
Ketika tubuh bereaksi adanya pirogen atau patogen. Pirogen akan
diopsonisasi (harfiah=siap dimakan) komplemen dan difagosit leukosit
darah, limfosit, makrofag (sel kupffer di hati). Proses ini melepaskan sitokin,
diantaranya pirogen endogen interleukin-1 (IL-1), IL-1, 6, 8, dan 11,
interferon 2 dan , Tumor nekrosis factor TNF (kahektin) dan TNF
(limfotoksin),macrophage inflammatory protein MIP1. Sitokin ini diduga
mencapai organ sirkumventrikularotak yang tidak memiliki sawar darah otak.
Sehingga terjadi demam pada organ ini atau yang berdekatan dengan area
preoptik dan organ

vaskulosa

lamina

terminalis (OVLT)

(daerah

hipotalamus) melalui pembentukan prostaglandin PGE.


Ketika demam meningkat (karena nilai sebenarnya menyimpang dari set
level yang tiba-tiba neningkat), pengeluaran panas akan dikurangi melalui
kulit sehingga kulit menjadi dingin (perasaan dingin), produksi panas juga
meningkat karena menggigil (termor). Keadaan ini berlangsung terus sampai
nilai sebenarnya mendekati set level normal (suhu normal). Bila demam
turun, aliran darah ke kulit meningkat sehingga orang tersebut akan merasa
kepanasan dan mengeluarkan keringat yang banyak.
Pada mekanisme tubuh alamiah, demam bermanfaat sebagai proses imun.
Pada proses ini, terjadi pelepasan IL-1 yang akan mengaktifkan sel T. Suhu

tinggi (demam) juga berfungsi meningkatkan keaktifan sel T dan B terhadap


organisme patogen. Konsentrasi logam dasar di plasma (seng, tembaga, besi)
yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri dikurangi. Selanjutnya, sel yang
rusak karena virus, juga dimusnahkan sehinga replikasi virus dihambat.
Namun

konsekuensi

demam

secara

umum

timbul

segera

setelah

pembangkitan demam (peningkatan suhu). Perubahan anatomis kulit dan


metabolisme menimbulkan konsekuensi berupa gangguan keseimbangan
cairan tubuh, peningkatan metabolisme, juga peningkatan kadar sisa
metabolism, peningkatan frekuensi denyut jantung (8-12 menit/C) dan
metabolisme energi. Hal ini menimbulkan rasa lemah, nyeri sendi dan sakit
kepala, peningkatan gelombang tidur yang lambat (berperan dalam perbaikan
fungsi otak), pada keadaan tertentu demam menimbulkan gangguan
kesadaran dan persepsi (delirium karena demam) serta kejang.
G. Mekanisme Penurunan kesadara

Stimulus dari seluruh tubuh


Batang otak (Mid brain talamus medialis)

Terima impuls sensorik = formatio retikularis


ARAS
Serabut non spesifik

Talamus

Serabut Sp

G y r u s P o s t s e n t r a l i s & G y r u s P r i m e r L a i n n Korteks
ya
sere

H. Klasifikasi Penurunan kesadaran


Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.Komponen yang dapat dinilai dari

suatu keadaan sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi
kesadaran menggambarkan keseluruhan dari fungsi cortex serebri, termasuk
fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu rangsangan.2Pasien dengan
gangguan isi kesadaran biasanya tampak sadar penuh, namun tidak dapat
merespon dengan baik beberapa rangsangan-rangsangan, seperti membedakan
warna, raut wajah, mengenali bahasa atau simbol, sehingga sering kali
dikatakan bahwa penderita tampak bingung. Penurunan kesadaran atau koma
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak

dan sebagai final

common pathway dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan
sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila
terjadi penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi dan disfungsi otak
dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam beberapa
kasus, kesadaran tidak hanya mengalami penurunan, namun dapat terganggu
baik secara akut maupun secara kronik/progresif.
Terganggunya kesadaran secara akut, antara lain:
1) Clouding of consciousness (somnolen) keadaaan dimana terjadi

a.

penurunan tingkat kesadaran yang minimal sehingga pasien tampak


mengantuk yang dapat disertai dengan mood yang irritabledan respon
yang berlebih terhadap lingkungan sekitar. Biasanya

keadaan

mengantuk akan lebih tampak pada pagi dan siang hari, sedangkan pada
malam harinya pasien akan terlihat gelisah.
2) Delirium merupakan keadaaan terganggunya kesadaran yang lebih
dikarenakan abnormalitas dari mental seseorang dimana pasien salah
menginterpretasikan

stimulan

sensorik

dan

terkadang

terdapat

halusinasi pada pasien. Berdasarkan DSM-IV, delirium adalah


gangguan kesadaran yang disertai ketidakmampuan untuk fokus atau
mudah terganggunya perhatian. Pada delirium, gangguan hanya terjadi
sementara dalam waktu yang singkat (biasanya dalam hitungan jam
atau hari) dan dapat timbul fluaktif dalam 1 hari. Pasien dengan
delirium biasanya mengalami disorientasi, pertama adalah waktu,
tempat, lalu lingkungan sekitar.

3) Obtundation (apatis) kebanyakan pasien yang dalam keadaan apatis


memiliki penurunan kesadaran yang ringan sampai sedang diikuti
dengan penurunan minat terhadap lingkungan sekitar. Pasien biasanya
merespon lambat terhadap stimulan yang diberikan.
4) Stupor kondisi dimana pasien mengalami tidur yang dalam atau tidak
merespon, respon hanya timbul pada stimulan yang kuat dan terus
menerus. Dalam keadaan ini dapat ditemukan gangguan kognitif.
5) Koma keadaan dimana pasien tidak merespon sama sekali terhadap
stimulan, meskipun telah diberikan stimulan yang kuat dan terus
menerus. Pasien mungkin dapat tampak meringis atau gerakan tidak
jelas pada kaki dan tangan akibat rangsangan yang kuat, namun pasien
tidak dapat melokalisir atau menangkis daerah nyeri. Semakin dalam
koma yang dialami pasien, respon yang diberikan terhadap rangsangan
yang kuat sekalipun akan menurun.
6) Locked-in syndrome keadaan dimana pasien tidak dapat meneruskan
impuls eferen sehingga tampak kelumpuhan pada keempat ektremitas
dan saraf cranial perifer. Dalam keadaan ini pasien bisa tampak sadar,
b.

namun tidak dapat merespon rangsangan yang diberikan.


Terganggunya kesadaran secara progresif/kronik, antara lain:
1) Dementia penurunan mental secara progeresif yang dikarenakan
kelainan organic, namun tidak selalu diikuti penurunan kesadaran.
Penurunan mental yang tersering adalah penurunan fungsi kognitif
terutama dalam hal memori/ingatan, namun dapat juga disertai
gangguan

dalam

berbahasa

dan

kendala

dalam

melakukan/menyelesaikan/menyusun suatu masalah.


2) Hypersomnia keadaan dimana pasien tampak tidur secara normal
namun saat terbangun, kesadaran tampak menurun/tidak sadar penuh.
3) Abulia keadaan dimana pasien tampak acuh terhadap lingkungan
sekitar (lack of will) dan merespon secara lambat terhadap rangsangan
verbal. Sering kali respon tidak sesuai dengan percakapan atau gerakan
yang diperintahkan, namun tidak ada gangguan fungsi kognitif pada
pasien.

4) Akinetic mutism merupakan keadaan dimana pasien lebih banyak


diam dan tidak awas terhadap diri sendiri (alert-appearing immobility).
5) The minimally conscious state (MCS) keadaan dimana terdapat
penurunan kesadaran yang drastis/berat tetapi pasien dapat mengenali
diri sendiri dan keadaaan sekitar. Keadaan ini biasanya timbul pada
pasien yang mengalami perbaikan dari keadaan koma atau perburukan
dari kelainan neurologis yang progresif.
6) Vegetative state (VS) bukan merupakan tanda perbaikan dari pasien
yang mengalami penurunan kesadaran,meskipun tampak mata pasien
terbuka, namun pasien tetap dalam keadaan koma. Pada keadaan ini
regulasi pada batang otak dipertahankan oleh fungsi kardiopulmoner
dan saraf otonom, tidak seperti pada pasien koma dimana hemisfer
cerebri dan batang otak mengalami kegagalan fungsi. Keadaan ini dapat
mengalami perbaikan namun dapat juga menetap (persistent vegetative
state). Dikatakan persisten vegetative state jika keadaan vegetative
menetap selama lebih dari 30 hari.
7) Brain death merupakan keadaan irreversible dimana semua fungsi
otak

mengalami

kegagalan,

sehingga

tubuh

tidak

mampu

mempertahankan fungsi jantung dan paru yang menyuplai oksigen dan


nutrisi ke organ-organ tubuh. Kematian otak tidak hanya terjadi pada
hemisfer otak, namun juga dapat terjadi pada batang otak.
Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang
digunakan di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor,
soporokoma dan koma.Terminologi tersebut bersifat kualitatif.Sementara itu,
penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan
menggunakan

skala

koma

Glasgow.

Penilaian

kesadaran

biasanya

berdasarkan respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan oleh


pemeriksa.
I. Permasalahan permasalah sekenario
1. Hubungan demam dan kejang
Demam yang tidak di obati gangguan metabolisme otak perubahan
keseimbangan difusi kanal natriumkenaikan suhu di seluru tubuh

pontensial aksi merangsang ion dari luar kedalam tidak terkendali


kejang.
2. Interpretasi pemeriksaan fisik dlam sekenario
a. Td 130/80 Terjadi peningkat tekanan normal
b. Suhu 38,0oC Terjadi peningkat suhu tubuh
c. Pernapasan 24x/m Terjadi peningkat pernafasan
d. Nadi 90x/m
e. Pemeriksaan kaku kuduk (-)
J. Diagnosis Kerja
1. Ensapalitis
a) Definisi
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh virus dan dikenal sebagai ensefalitis virus.
b) Etiologi
Beberapa virus yang berbeda bisa menginfeksi otak dan medula
spinalis, termasuk virus penyebab herpes dan gondongan (mumps).
Beberapa dari infeksi ini merupakan wabah, dan yang lainnya
ditularkan melalui serangga.
Beberapa virus tidak secara khusus menginfeksi otak dan medula
spinalis, tetapi mereka menyebabkan reaksi kekebalan yang secara
tidak langsung menyebabkan peradangan di daerah tersebut.
Ensefalitis semacam ini (ensefalitis parainfeksiosa atau ensefalitis
post-infeksiosa) bisa terjadi setelah campak, cacar air atau campak
Jerman. Peradangan biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah penyakit
karena virus dan bisa menyebabkan kerusakan yang serius pada sistem
saraf.
Perandangan otak kadang bisa terjadi beberapa minggu, bulan
atau tahun setelah infeksi virus.
Contohnya adalah panensefalitis

sklerotik

subakut,

yang

merupakan peradangan otak yang kadang terjadi setelah campak dan


biasanya menyerang anak-anak.
Biasanya disebabkan oleh :
-

Riketsia

Parasit

Cacing

Jamur

Virus,

berbagai

jenis

virus

dapat

menimbulkan

ensefalitis.
c) Patofisiologi
Virus masuk kesusunan saraf pusat(SSP) melalui dua jalur, yaitu
penyebaran secara hematogen (melalui darah) dan penyebaran secara
neurogen (melalui saraf). Penyebaran secara hematogen merupakan
cara yang paling sering ditemukan.
Rabies masuk kedalam tubuh melalui gigitan hewan yang sakit.
Virus mula-mula berkembang di dalam otot, kemudian masuk melalui
saraf perifer ke dalam otak dalam waktu beberapa bulan. Virus
tumbuh dan berkembang di dalam sel-sel saraf. Timbul gejala seperti
hidrofobia yaitu mengejangnya otot-otot esophagus dan pernapasan
bila air atau makanan dimasukkan ke dalam mulut, hingga timbul rasa
nyeri dan dispnea.
Virus Jepang B biasanya menimbulkan kerusakan pada batang
otak. Virus Dengue sering menimbulkan lesi pada traktus piramidalis,
mungkin timbul deserebrasi atau dekortikasi.
Virus pielomielitis tersering menyerang kornu motorik medulla
spinalis dengan akibat timbulnya kelumpuhan flaksdia pada otot-otot
proksimal

ekstremitas.

Virus

Coxsackie

biasanya

menyerang

serebelum dan meninges, mungkin medula spinalis. Echo virus


menimbulkan radang terutama pada batang otak dan serebelum yang
biasanya sembuh sendiri. Herpes simpleks menimbulkan radang pada
otak di daerah temporal dan orbito temporal. Sitomegalovirus adalah
penyebab ensefalitis pada fetus dalam kandungan dengan akibat
terganggunya perkembangan otak.
AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) disebabkan oleh
retrovirus HIV (Human Imune Deficiency Virus) yang menyerang
limfosit T penolong, monosit, endotel, neuron, dan sel glia. Pada
stadium I timbul limfadenopati umum, mungkin terjadi pula
hepatosplenomegali. Dapat timbul kompleks gejala yang terdiri atas
rasa lelah kronik, berkeringat di waktu malam, diare, herpes simpleks,
kandidiasis mulut. Pada stadium lanjut terjadi demensia, disorientasi,

gangguan

penglihatn

dan

perubahan

kepribadian.

Karena

merendahnya daya tahan dapat timbul penyakit-penyakit infeksi oleh


virus lain, bakteri, fungus, protozoa.
d) Gejela klinik
Demam disertai sakit kepala, muntah, kelemahan dan kaku kuduk
Terjadi gangguan fungsi otak yang normal yang menyebabkan
perubahan kepribadian, kejang, kelemahan pada satu atau lebih bagian
tubuh, linglung, rasa mengantuk yang bisa berkembang menjadi
koma, dan gejala meningitis lainnya.
e) Diagnosis
1) Anamnesis :
Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering
mengeluh nyeri kepala, ensefalopati, kejang dan kesadaran

menurun
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status
konvulsius. Dapat ditemukan sejak awal ataupun kemudian

dalam perjalanan penyakitnya.


2) Pemeriksaan fisis :
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun
sampai koma dan kejang. Kejang dapat berupa status

konvulsius
Ditemukan gejala peningkatan intracranial
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti
kelumpuhan tipe upper motor neuron ( spastic, hiperrefleks,
reflex patologis dan klonus).1

3) Pemeriksaan Penunjang :
1

Pencitraan/ radiologi :

Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum


melakukan LP (lumbal punksi) atau ditemukan tanda neurologis
fokal. Pencitraan mungkin berguna untuk memeriksa adanya abses,
efusi subdural, atau hidrosefalus.

Pada CT-scan dapat ditemukan edema otak dan hemoragik setelah


satu minggu. Pada virus Herpes didapatkan lesi berdensitas rendah
pada lobus temporal, namun gambaran tidak tampak tiga hingga
empat hari setelah onset.CT-scan tidak membantu dalam
membedakan berbagai ensefalitis virus.
MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan
gadolinium merupakan pencitraan yang baik pada kecurigaan
ensefalitis. Temuan khas yaitu peningkatan sinyal T2-weighted
pada substansia grisea dan alba. Pada daerah yang terinfeksi dan
meninges biasanya meningkat dengan gadolinium.Pada infeksi
herpes virus memperlihatkan lesi lobus temporal dimana terjadi
hemoragik pada unilateral dan bilateral.11
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus
(aktivitas

lambat

bilateral).Pada

Japanese

encephalitis

dihubungkan dengan tiga tanda EEG: 1)gelombang delta aktif yang


terus-menerus ;2)gelombang delta yang disertai spike (gelombang
paku) ;3)pola koma alpha.Pada St Louis ensefalitis karakteristik
EEG ditandai adanya gelombang delta yang difus dan gelombang
paku tidak menyolok pada fase akut.Dengan asumsi bahwa biopsi
otak tidak meningkatkan morbiditas dan mortalitas, apabila didapat
lesi fokal pada pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah
tersebut dapat dilakukan biopsi tetapi apabila pada CT-scan dan
EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan
melihat tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak
didapatkan maka biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus
temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes
simpleks.
2

Laboratorium

Biakan dari darah ,viremia berlangsung hanya sebentar saja


sehingga sukar mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour
srebrospinalis atau jaringan otak ; dari feces untuk jenis
enterovirus,sering didapatkan hasil positif.
Analisis CSS (cairan serebrospinal) menunjukkan pleositosis (yang
didominasi oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm3 pada
95% pasien. Pada 48 jam pertama infeksi, pleositosis cenderung
didominasi oleh sel polimorfonuklear, kemudian berubah menjadi
limfosit pada hari berikutnya. Kadar glukosa CSS biasanya dalam
batas normal dan jumlah ptotein meningkat. PCR (polymerase
chain reaction) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
ensefalitis.
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) pada cairan
serebrospinal biasanya positif lebih awal dibandingkan titer
antibody. Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas 75% dan
spesifisitas 100% dan ada yang melaporkan hasil postif pada 98%
kasus yang telah terbukti dengan biposi otak.Tes PCR untuk
mendeteksi West Nile virus telah dikembangkan di California.PCR
digunakan untuk mendeteksi virus-virus DNA.Herpes virus dan
Japenese B encephalitis dapat terdeteksi dengan PCR.
f) Penatalaksanaan
Terapi suportif :
Tujuannya

untuk

mempertahankan

fungsi

organ,

dengan

mengusahakan jalan nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas,


pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti nafas, intubasi,
trakeostomi) , pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa
darah.

Untuk pasien dengan gangguan menelan, akumulasi lendir pada


tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang
periodic.
Medikamentosa :
Tatalaksana tidak ada yang spesifik. Terapi berupa tata laksana
hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan
tekanan intracranial, serta tatalaksana kejang. Pasien sebaiknya di
rawat di ruang rawat intensif.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena,
obat anti epilepsy, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah
kejang berulang dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai
standard terapi. Peningkatan tekanan intracranial dapat diatasi
dengan pemberian diuretic osmotic manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau
furosemid 1mg/kg/kali.
Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan
acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan
kortikosteroid selama 2 minggu. Diberikan dosis tinggi metalprednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam selama 3-5 hari dan
dilanjutkan prednisone oral 1-2 mg/kg/ hari selama 7-10 hari.
Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi
dengan department rehabilitasi medic untuk mobilisasi bertahap,
mengurangi spastisitas serta mencegah kontraktur.
Pada pasien herpes ensefalitis (EHS) dapat diberikan Adenosine
Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada
beberapa penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose
untuk herpes ensefalitis dapat menurunkan angka kematian dari 70%
menjadi 28%. Saat ini Acyclovir IV telah terbukti lebih baik

dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan pertama. Dosis


Acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.
Pemantauan pasca rawat :
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan pengelihatan,
palsi serebral, epilepsy, retardasi mental maupun gangguan perilaku.
Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh kembang,
jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait
sesuai indikasi.
K. Diagnosis banding
1. Meningitis
a) Definisi
Meningitis adalah suatu infeksi/peradangan dari meninges,lapisan
yang tipis/encer yang mengepung otak dan jaringan saraf dalam tulang
punggung, disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa,
yang dapat terjadi secara akut dan kronis
b) Etiologi
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas : Penumococcus,
Meningococcus, Hemophilus influenza, Staphylococcus, E.coli,
Salmonella. Penyebab meningitis terbagi atas beberapa golongan
umur :
a) Neonatus : Eserichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria
monositogenes
b) Anak di bawah 4 tahun : Hemofilus influenza, meningococcus,
Pneumococcus.
c) Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa : Meningococcus,
Pneumococcus.
c) Patofisiologi
Patofisiologi meningitis bakterial merupakan proses yang
kompleks, komponen komponen bakteri dan mediator inflamasi
berperan dalam menimbulkan respon radang pada selaput otak
( meningen ) yang kemudian menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan aliran darah otak yang dapat menimbulkan

gejala sisa. Umumnya otak dilindungi oleh sistem imun dan sawar
darah otak pada selaput darah otak yaitu antara aliran darah dengan
otak. Jika bakteri dapat lolos masuk ke dalam cairan otak maka
bakteri akan memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena
kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan
otak. Bakteri yang telah berkembang biak akan tersebar ke seluruh
ruang subaraknoid secara pasif karena aliran cairan serebrospinal.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati akan
melepaskan dinding sel atau komponen komponen membran sel
( endotoksin, teichoic acid ) yang menyebabkan kerusakan jaringan
otak serta menimbulkan peradangan diselaput otak. Bakteri Gram
negatif

pada

waktu

lisis

akan

melepaskan

lipopolisakarida/

endotoksin, dan bakteri Gram positif akan melepaskan asam teikoat.


Adanya komponen bakteri yang dilepaskan oleh bakteri akan
menstimulasi sel Endotel dan sel makrofag sistem saraf pusat untuk
melepaskan mediator mediator inflamasi seperti Interleukin-1 ( IL-1
) dan tumor necrosis factor ( TNF ). Mediator mediator ini
kemudian

menginduksi

peningkatan

Prostaglandin

permeabilitas

sawar

E2

darah

yang
otak.

menyebabkan
Meningkatnya

permeabilitas kapiler ini menyebabkan cairan intravaskular akan


merembes keluar ke dalam ruang ekstraselular ( edema vasogenik ).
Permeabilitas kapiler selaput otak mempermudah migrasi neutrofil,
sel fagosit, polimorfonuklear sehingga terjadi pleositosis pada cairan
serebrospinalis yang menyebabkan gangguan permeabilitas membran
sel sehingga terjadi pengumpulan cairan di dalam neuron, glia, dan sel
endotel yang menyebabkan pembengkakkan sel tersebut ( edema
sitotoksik

).

Terjadinya

proses

fagositosis

bakteri

oleh

sel

polimorfonuklear di ruang subaraknoid menyebabkan terbentuknya


debris sel dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang dapat
menyumbat saluran cairan serebrospinalis. Keadaan ini dapat
menyebabkan tekanan hidrostatatik ruang subaraknoid meningkat

sehingga terjadi pemindahan cairan dari sistem ventrikel ke jaringan


otak ( edema interstisial ). Ketiga macam edema serebri ini dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. IL-1 dan TNF juga
menyebabkan interaksi antara endotel dengan leukosit dengan akibat
terjadinya

kerusakan

endotel

dan

kemudian

meningkatkan

permeabilitas sawar darah otak. Mediator diatas juga menginduksi


produksi platelet-activating factor ( PAF ) yang dapat menimbulkan
trombosis yang dapat mengganggu aliran darah ke otak. Tekanan
intrakranial yang meningkat juga menyebabkan penurunan aliran
darah ke otak sehingga otak kekurangan O2 untuk metabolisme
sehingga terjadi gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan
ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan serebrospinal dan asidosis jaringan yang
disebabkan metabolisme anaerobik.
d) Gejela klinik
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia si
penderita serta virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling
umum adalah demam yang tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah,
kejang. Setelah itu biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa
pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta penglihatan menjadi kurang
jelas. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi
sangat rewel, muncul bercak pada kulit, tangisan lebih keras dan
nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi
gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak
beraturan.
2. Epilepsi
a) Definisi
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan
berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan
dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu
kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena
adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada

kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan


pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex
dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik,
tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.
b) Etiologi
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya
adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan
penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor
resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan
penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa
insidensi epilepsi pada anak laki laki lebih tinggi daripada anak
perempuan.
c) Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron
otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas
muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan

listrik.

Di antara

neurotransmitter-neurotransmitter

eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin


sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik
tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat
merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga
membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke
intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan

terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron


secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat
khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh
neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan
lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah
kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk
fungsi otak.

d) Meninfestasi klinis
1) Manifestasi klinik

dapat

berupa

kejang-kejang,

gangguan

kesadaran atau gangguan penginderaan


2) Kelainan gambaran EEG
3) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus
epileptoge
4) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
5) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat.
7) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar,
bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan
normal
8) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik,
dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah
episode epileptikus tersebut lewat

9) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat


berbicara secara tiba- tiba
10) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
11) Gigi geliginya terkancing
12) Hitam bola matanya berputar- putar
13) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang
air kecil.
3. Meningoensefalitis
a) Definisi
Meningoencephalitis tuberculosis

adalah suatu reksi peradangan

akibat infeksi sekunder bakteri tuberculosis yang mengenai parenkim


otak, satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak
dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus
atau serosa
b) Patofisiologi
Kolonisasi di mukosa
a. Patofisiologi meningoencephalitis tuberculosis
Lokal invasi

Bakterimia

Inflamasi pembuluh darah otak

Kaku kuduk

Invasi Meninges

Peningkatan permeabilitas BBB

Edem vasogenik

Inflamasi Subarachnoid

Peningkatan resistensi aliran LCS

Demam
Serebral vaskulitis

Edem Sitotoksik

Hidrosefalus
Edema intertisial
Sefalgia
Herniasi

Peningkatan TIK
Muntah
Penurunan aliran darah otak
Epilepsi
Iskemia jaringan otak

b. Pathogenesis meningoencephalitis tuberculosis


Pada meningoencephalitis kasus ini terjadi infeksi meningitis
terlebih dahulu oleh Mycobacterium tuberculosis yang kemudian
berlanjut menyebabkan inflamasi pada parenkim otak. Patogenesis
menigoencephalitis yang disebakan oleh bakteri Tuberculosis
mycobacterium ini terjadi dalam dua langkah. Langkah pertama
adalah ketika bakteri masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi droplet,
dan langkah kedua adalah ketika fokus bakteri rupture dan menyebar
melalui spatium subarachnoidea.
c) Menifestasi klinis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis

menunjukkan

gejala

meningitis seperti demam, sakit kepala, kekakuan pada leher,


vomiting, diikuti oleh penurunan kesadaran, konvulsi, dan kadangkadang

tanda-tanda

neurologik,

tanda

peningkatan

tekanan

intrakranial atau gejala-gejala psikiatri. Mungkin juga gejala-gejala


yang muncul berhubungan dengan infeksi di bagian tubuh lain. Gejala
gejala ensephalitis yang muncul berupa gejala peningkatan tekanan
intrakranial seperti sakit kepala, vertigo, nause, konvulsi dan
perubahan mental. Gejala lain yang mungkin timbul termasuk
photophobia, perubahan sensorik, dan kekakuan leher. Penegakan
diagnosis dilakukan dengan prosedur seperti yang dilakukan pada
meningitis

dan

eksefalitis

diantaranya

pemeriksaan

cairan

serebrospinal; pemeriksaan darah termasuk didalamnya kultur;


pemeriksaan

imaging,

elektroencephalogram.

diantaranya

CT

scan,

MRI

dan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hasil dari SGD kami dapat di simpulkan bahwa kasus di atas
berkemungkinan terkena ensefalitis dimna Ensefalitis adalah suatu
peradangan pada otak, yang biasanya disebabkan oleh virus dan dikenal
sebagai ensefalitis virus. Yang Biasanya disebabkan oleh : Riketsia, Parasit,
Cacing, Jamur, Virus, berbagai jenis virus dapat menimbulkan ensefalitis.

Daftar Pustaka

1. Noback, C.R., Otak : Anatomi gros, Aliran darah dan Selaput Otak dalam
Anatomi Susunan Saraf Manusia. Edis 2. EGC. Jakarta. 1995. Hal. 2-6.
2. Guyton, A.C. Serebelum, Ganglia Basalis,dan Seluruh Pengatur Motorik.
Dalam Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC. Jakarta. 1997. Hal. 887-926.
3. Antonius H, Badriul H, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta : IDAI, 2009 :67-70
4. Markam,S.Ensefalitis dalam Kapita Selekta Neurologi Ed ke 2,Editor
:Harsono.,Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.2000;hal 155-6.
5. Arvin A.M Penyakit Infeksi dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Edtor:Wahab
SA.EGC Jakarta.2000;hal 1141-5

Anda mungkin juga menyukai