PENDAHULUAN
Manusiamemerlukanoksigenuntukhidup.Respirasisebagaisalahsatusistemberfungsi
memasokoksigenkedalamsirkulasidarah.Terhentinyapasokandanedaranoksigenke
jaringan/seluntukbeberapasaatakanmenimbulkanperubahanperangaimetabolismeyang
padagilirannyaakanmenimbulkankerusakansel. Kerusakan otak yang permanen dapat
terjadi jika aliran darah terhenti lebih 4-6 menit. Pemutusan aliran oksigen ke otak dan
seluruh
organ
dapat
menjadi
penyebab
ataupun
sebagai
konsekuensi
henti
kardiosirkulasi.1,2
Sumbatan jalan nafas, henti nafas dan syok bahkan henti jantung cepat sekali
menimbulkan kematian bila tidak mendapat pertolongan dengan segera. Penguasaan jalan
nafas yang cepat dan tepat merupakan hal terpenting untuk berhasilnya penanganan pasien
gawat darurat. Pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan yang tepat,
cermat dan cepat untuk mencegah kematian atau kecacatan. Kedaruratan medis yang dapat
mengancam nyawa dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja
Doktrin dasar yang digunakan ialah time saving is life saving dimana waktu adalah
nyawa. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu itu jadi lebih pendek.
Bantuan hidup dasar yang dilakukan dengan cara yang benar akan menghasilkan cardiac
output 30 % dari cardiac output normal.1
Indikasi penggunaan pipa endotrakeal pada pasien sadar adalah untuk menjaga
impatensi jalan nafas, sedangkan pada pasien tidak sadar adalah untuk melakukan teknik
anastesi perioperatif maupun postoperatif. Pembahasan kali ini akan lebih bayak mengulas
mengenai penggunaan perioperatif, yang sering kali digunakan.
BAB II
JALAN NAFAS
2.1.
Anatomi Laring
Jalan nafas dan dunia luar dihubungkan melalui dua jalur yaitu hidung yang menuju
nasofaring dan mulut yang menuju orofaring. Hidung dan mulut di bagian depan
dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan di bagian belakang bersatu di
hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea.3
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago yang
berpasangan ataupun tidak. Di sebelah superior terdapat os hioideum, struktur yang
berbentuk U dan dapat di palpasi di leher depan dan lewat mulut pada dinding faring
lateral. Meluas dari masing-masing sisi bagian tengah os atau korpus hioideum adalah
suatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke posterior dan suatu prosesus pendek
yang mengarah ke superior. Kartilgo krikoidea yang juga mudah teraba di bawah kulit,
melekat pada kartilago tiroidea lewat ligamentum krikotiroideum. Kartilago krikoidea
berbentuk lingkaran penuh dan tidak mampu mengembang. Permukaan posterior atau
lamina krikoidea cukup lebar, sehingga kartilago ini tampak seperti signet ring. Intubasi
yang lama sering kali merusak lapisan mukosa cincin yang dapat menyebabkan stenosis
subglotis.4
Pada permukan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoidea, yang
masing-masing berbentuk seperti piramid bersisi tiga. Sedangkan kartilago epiglotika
merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti bat pingpong. Laring juga
disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah superior, pada kedua sisi laring terdapat
membrana kuardrangularis yang meluas ke belakang dari tepi lateral epoiglotis higga tepi
lateral kartilago aritenoidea.4
2.2.
Fisiologi Laring
Walaupun biasanya laring dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata
mempunyai tiga fungsi utamaproteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi. Kenyataannya
secarafilogenetik,laringmulamulaberkembangsebagaisuatusfingteryangmelindungi
TandadanGejalaObstruksi
Untuk bertahan hidup manusia memerlukan oksigen. Obstruksi jalan nafas merupakan
salah satu penyebab dari gagal nafas akut.1 Terhentinyapasokandanedaranoksigenke
jaringanakanmenimbulkanperubahanperangaimetabolismeyangpadagilirannyaakan
menimbulkankerusakansel.5 Sebab-sebab obstruksi jalan nafas yang paling sering antara
lain jatuhnya lidah ke hipofaring pada pasien yang tidak sadar serta adanya benda asing,
seperti muntahan, lendir atau darah di jalan nafas atas yang tidak dapat ditelan atau
dibatukkan keluar oleh pasien, atau gigi palsu yang terlepas dan mengakibatkan sumbatan
pada jalan nafas.1,2,3 Spasme laring pada saat anesthesia ringan juga dapat mengakibatkan
obstruksi. Disamping itu sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan oleh
bronkospasme, sekresi bronkus, sembab mukosa, inhalasi isi lambung atau benda asing.2
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi secara parsial atau total. 1,2 Pada sumbatan parsial
jalan nafas, masih terdapat usaha nafas, suara nafas masih terdengar dan desiran udara
ekspirasi dari mulut atau hidung pasien masih terasa, yang dapat diketahui dengan
merasakan desiran udara melalui pemeriksaan dengan punggung tangan atau telinga dekat
mulut atau hidung pasien. Disamping itu gejala lain yang diberikan berupa adanya :
-
Retraksi otot dada kedalam daerah supraklavikular, suprasternal, sela iga dan
epigastrium selama inspirasi.
Nafas paradoksal (pada watu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar bukannya
mengembang/membesar).
Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas tambahan meningkat).
Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstrusi jalan nafas yang lebih berat.
Obstruksi total serupa dengan obstruksi parsial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan
stridor justru menghilang. Suara nafas sama sekali tidak terdengar, tidak terasa desiran
udara dari mulut atau hidung pasien.
-
Bila keadaan ini tidak segera ditangani dapat menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah
hiperkarbia) henti nafas dan henti jantung karena hipoksia berat (jika tidak dikoreksi)
dalam waktu 5 sampai 10 menit. Sumbatan parsial berisik dan harus pula dikoreksi segera,
karena dapat menyebabkan kerusakan otak hipoksik, sembab otak atau paru dan penyulit
lain serta dapat menyebabkan kepayahan, henti nafas dan henti jantung sekunder.1 Secara
klinis, salah satu tanda/gejala tersebut di atas sudah merupakan suatu peringatan untuk
segera mengatasinya, dan bila mungkin terlebih daulu dicari penyebab dari sumbatan jalan
nafas.1,3
2.4.
Terdapat beberapa prosedur untuk melapangkan jalan nafas secara maksimal. Manuver
tripel jalan nafas terdiri dari :
1. Eksetensi kepala
2. Mendorong mandibula ke depan
3. Membuka mulut.1,3,6,7
Gambar 2.
Ekstensi kepala dan mengangkat dagu5
Gambar 3.
Membuka mulut5
Manuver ini diindikasikan bagi penderita yang tidak sadar tanpa adanya patah tulang leher.
Ekstensi kepala, pendorongan mandibula ke depan atau keduanya, mencegah sumbatan
hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerak tersebut meregangkan jaringan antara laring dan
mandibula sehingga dasar lidah terangkat dari dinding posterior faring.4,6
Pada kira-kira 20% pasien tidak sadar, ekstensi kepala saja tidak cukup untuk
membuka jalan nafas. Pada keadaan demikian mandibula perlu didorong ke depan sebagai
tambahan untuk membuka jalan nafas. Bahkan bila kedua gerak inipun dilakukan bersama
masih mungkin terjadi sumbatan waktu ekspirasi di nasofaring pada kira-kira sepertiga
pasien tidak sadar jika mulut tertutup. Karena itu mulut hendaknya sedikit dibuka.
Sehubungan dengan ini perlu dicatat bahwa jika mulut terbuka lebar keregangan leher akan
berkurang, sehingga sumbatan total atau parsial di hipofaring kembali lagi. Akan tetapi
keregangan leher yang diperlukan dapat diperoleh kembali dengan mendorong mandibula
ke depan.1
Jika pasien bernafas spontan, tempatkanlah diri anda pada verteksnya. Peganglah
kedua ramus asenden mandibula di depan daun telinganya dengan mengguanakan jari 2-5
(atau 2-4) kedua tangan dan tarik dengan paksa ke atas (ke depan). Ini akan mendorong
mandibula sehingga gigi geligi bawah berada di depan gigi geligi atas. Retraksikan bibir
bawah dengan kedua ibu jari. Jangan memegang ramus horizontal mandibula kerena ini
dapat menutup mulut.
Tindakan ini menyebabkan nyeri. Kerena itu selain membuat jalan nafas paten ini
juga berguna menilai dalamnya ketidaksadaran. Pasien yang tidak memberikan tanggapan
yang bertujuan dapat dianggap berada dalam koma.
Untuk ventilasi mulut ke mulut langsung dengan ekstensi kepala ditambah
pendorongan mandibula, tempatkan diri anda pada posisi kepala pasien. Sesuaikan tangan
pada posisi nyaman (misal: kedua siku bertopang pada tanah), lingkarilah mulut pasien
seluasnya dengan kedua bibir dan tutup hidung pasien dengan pipi ketika meniup. Untuk
ventilasi mulut ke hidung lingkari seluruh hidung dengan bibir dan tutup mulut pasien
dengan pipi atau ibu jari. 6
Pada pasien dengan kecurigaan cedera leher ekstensi kepala maksimum dapat
memperberat cedera medulla spinalis (fleksi dan rotasi kepala merupakan indikasi kontra
mutlak), maka pendorongan mandibula ke depan dengan ekstensi kepala sedang
merupakan cara terbaik penguasaan jalan nafas selain daripada intubasi trakea. 1,6
Bila sumbatan tetap terjadi walaupun telah dilakukan ekstensi kepala, pembukaan
mulut dan pendorongan mandibula dan dicurigai adanya benda asing di jalan nafas atas,
maka mulut harus dibuka dengan paksa dan dibersihkan dari benda asing baik secara
manual dengan menggunakan jari serta memiringkan kepala atau dengan alat penghisap.
Pada anestesia umum, hal utama yang harus diperhatikan adalah menjaga agar jalan
nafas selalu bebas dan nafas dapat berjalan lancar dan teratur.2 Salah satu caranya adalah
dengan memasang pipa khusus atau pipa endotrakea ke dalam trakea. Pemasangan pipa ini
memerlukan ketrampilan dan tenaga anestesi yang terlatih. Sehingga di daerah-daerah
kadang-kadang anestesia umum dilakukan tanpa pemasangan pipa endotrakea.
Pada anestesia umum tanpa pemasangan pipa endotrakea ada kalanya terjadi
gangguan nafas yang disebabkan obstruksi di jalan nafas atas (JNA). Bila obstruksi ini
berat dan akut, dapat berakibat fatal. Karena itu harus dipahami gejala-gejalanya, cara
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas
lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi
jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang
memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan
jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.12
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea
yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis
tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada
penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa
endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai
pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa
tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara
inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis)
tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga
7
disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop
serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa
dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa
balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena
dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat
dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama
dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan
terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuff.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil
pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + umur (tahun).
Size
PLAIN
2.5 mm
3.0 mm
3.5 mm
4.0 mm
4.5 mm
Size
CUFFED
4.5 mm
5.0 mm
5.5 mm
6.0 mm
6.5 mm
7.0 mm
7.5 mm
8.0 mm
8.5 mm
9.0 mm
Intubasi trakea merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan. 2 Dapat
merupakan tindakan pertolongan darurat (penyelamatan hidup) dan sangat sering dilakukan
8
di unit terapi intesif untuk pasien yang refleks laringnya terganggu serta gagal nafas akut. 7,8
Intubasi endotrakea diindikasikan sebagai pilihan terakhir penguasaan jalan nafas darurat
pada pasien tidak sadar. Intubasi tersebut dapat dikerjakan dengan mengunakan pipa
orotrakeal, nasotrakeal atau trakeostomi.
Indikasi utama dilakukannya intubasi pada anestesia umum bertujuan untuk:
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2.
3.
4.
5.
6.
Anestesia umum dengan teknik endotrakea dilakukan pada operasi-operasi lama yang
memerlukan nafas kendali, operasi daerah leher-kepala, operasi dengan posisi miring,
tengkurap atau duduk dimana jalan nafas bebas sulit dipertahankan.2
Intubasi yang sulit dapat diperkirakan pada pasien dengan leher pendek berotot,
mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol, uvula tidak terlihat (malampati 3 atau
4), gerak sendi temporo-mandibular terbatas, gerak vertebra servikal terbatas, adanya
massa di faring atau laring.
3.3.
Teknik Intubasi
Alat-alat yang digunakan pada intubasi yaitu :
1.
Laringoskop: yaitu alat untuk melihat laring. Terdiri dari bagian pegangan atau
batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3-4 ukuran bilah (ukuran bayi, anak, dewasa
normal dan yang besar)
Jenis-jenis laringoskop :
1.1.
Tipe magil (bilah lurus), sering digunakan oleh ahli THT pada waktu laringoskopi,
trakeoskopi, bronkoskopi. Jarang dipakai intubasi karena trumatis.
1.2.
Tipe macintosh (bilah bengkok), paling sering dipakai untuk tindakan intubasi
karena kurang traumatis dan lapangan pandangan luas serta kemungkinan timbul
refleks vagal berkurang.
1.3.
Laringoskop serat optik digunakan untuk kasus intubasi yang sulit dilakukan
dengan laringoskop biasa.
9
2.
Dengan atau tanpa balon (cuff), berfungsi mencegah aspirasi isi faring ke dalam
trakea dan memastikan tidak ada kebocoran selama ventilasi bertekanan positif.
Tekanannya antara 20-30mm H2O diukur dengan manometer.10
2.2.
2.3.
Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau mengurangi
trauma pada waktu intubasi trakea adalah :
1.
2.
Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
3.
Prosedur persiapan :
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus
diperhatikan
untuk
memastikan
keamanan
proses
intubasi
yang
Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat
benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi
dari paru juga harus dihindari.
Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke
bagian belakang faring.
Tube. Pipa Endotrakea memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang
dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9
2.
Bila perlu sediakan oksigen dan diperiksa bahwa tabung oksigen masih berisi
dan dapat dipakai (manometer, flowmeter dan pipa oksigen).
10
3.
4.
5.
Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan tangan yang lain
mendorong kepala sehingga sedikit ekstensi, dan mulut pasien akan dengan
sendirinya membuka. Bila mulut tidak juga membuka, maka setelah melakukan
ekstensi kepala, mulut dibuka dengan tangan (jempol, telunjuk dan atau dengan
jari tengah). Salah satu tangan tetap memegang laringoskop.
6.
7.
8.
9.
10.
Bila nampak rima glotis, maka akan nampak pita suara berwarna putih tidak
bergerak karena henti nafas dan sekitarnya berwarna merah.
11.
Bila perlu berikan obat analgetik dengan semprotan (lidokain 10%) pada
laring dan trakea.
12.
13.
Pipa endotrakea dihubungkan dengan alat anestesia atau alat resusitasi dan
pernapasan tetap dikendalikan sampai kembali spontan dan adekuat.2
Bila sebelum melakukan tindakan intubasi kita sudah sangsi akan keberhasilan
intubasi, maka hendaknya tidak memberi obat-obatan yang membuat pasien tidur,
melainkan cukup diberi sedatif saja dengan lebih dulu memberi analgetik topikal
dalam mulut, faring, laring sebelum intubasi. Dapat juga pasien di buat tidur dengan
cukup dalam tetapi biarkan bernafas spontan (tanpa pelemas otot).2
11
Bila dengan cara tidak lihat (blind) dan laringoskop serat optik juga gagal baru
dipertimbangkan trakeostomi. Namun saat ini cara intubasi blind sebaiknya tidak
dilakukan lagi.4
Pada keadaan-keadaan tertentu dimana kesulitan intubasi tidak dapat diduga
sebelumnya maka pada waktu tindakan intubasi sedang berlangsung hendaknya
selalu diperhatikan nadi dan perifer/mukosa mulut. Bila timbul bradikardia dan atau
sianosis hendaknya tindakan dihentikan. Berikan kembali bantuan nafas dan oksigen.
Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk :
1.
Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara
inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai
stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus kanan
sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit,
lalu periksa kembali dengan stetoskop.
2.
Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).
3.
4.
Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak
bergerak (malposisi).2
Pada umumnya intubasi endotrakeal dibatasi, tidak lebih dari 2 minggu.
Tindakan trakeostomi sebaiknya dihindari, kecuali bila bantuan jalan nafas masih
diperlukan untuk jangka waktu tertentu. Keuntungan intubasi lama ialah bahwa
komplikasi trakeostomi dapat dihindari, walaupun diketahui bahwa intubasi sendiri
memiliki berbagai komplikasi, diantaranya komplikasi selama intubasi berupa trauma
gigi geligi; laserasi bibir, gusi, laring; merangsang saraf simpatis (hipertensitakikardi); intubasi bronkus; intubasi esofagus; aspirasi; spasme bronkus. Komplikasi
setelah ekstubasi berupa spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glotissubglotis, infeksi laring, infeksi faring dan infeksi trakea.3,7
12
pada keadaan memar otak, dapat menambah sembab otak dan perdarahan. Intubasi cepat
mungkin berbahaya jika ditangani tenaga yang tidak berpengalaman. Intubasi endotrakea
pasien sadar oleh beberapa orang dianggap diindikasikan sebelum anestesia umum pada
risiko aspirasi dan insufisiensi paru berat.6
3.4.
Ekstubasi Perioperatif
Setelah opersi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu pengembalian fungsi
respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat setelah obat bius
dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas
spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi komplikasi.
Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer.
Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya
pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan
adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi
hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien
mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan
nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar
diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien
menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau
nasofaring dan disertai pula dengan triple airway manufer standar.
14
BAB IV
LAPORAN KASUS
A.
Ni Kt Murni
Umur
38 tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Pekerjaan
Alamat
Status
Menikah
Agama
Hindu
Suku/Bangsa
Bali/Indonesia
Pendidikan
Tamat SLTA
Tanggal operasi
4 Juni 2007
Diagnosis Bedah
Tindakan
Total tiroidektomi
II. Anamnesis
II.1. Anamnesis Khusus
Keluhan benjolan pada kedua leher sejak 8 tahun yang lalu. Benjolan timbul
perlahan-lahan dan semakin lama semakin membesar. Benjolan dirasakan ikut
bergerak sewaktu menelan dan tidak dikeluhkan gangguan bicara maupun
menelan. Pasien tidak merasakan nyeri pada benjolan tersebut. Keluhan dada
berdebar-debar dan berkeringat malam disangkal. Pasien mengatakan nafsu
makannya meningkat, tetapi berat badannya dirasakan menurun. Keluhan
diare dan tremor tidak didapatkan.
Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan maupun pembedahan untuk
keluhannya saat ini. Keluhan bola mata menonjol tidak didapatkan.
II.2. Anamnesis Umum
15
Composmentis (E4V5M6)
Respirasi
20 kali/menit
Sirkulasi
Temperatur aksila
36,8 0 c
Berat badan
: 55 Kg
Tinggi
160 Cm
VAS
0 ( Tidak nyeri )
Normal
2. Respirasi
3. Sirkulasi
Normal
4. Hematologi
Normal
5. Urinari
Normal
6. Saluran cerna :
Normal
7. Hepatobilier
Normal
8. Metabolik
badan)
9. Otot Rangka :
Normal
Pemeriksaan Penunjang
16
WBC
HGB
HCT
38,9 % (36-48 %)
PLT
Bleeding time
1 00 (1-3)
Clothing time
7 00 (5-15)
AST
ALT
BUN
SC
Metabolik endokrin
BS
Alb
FT4
TsHs
Kardiovaskuler
Foto Thoraks :
EKG
Irama sinus
VI. Kesimpulan
ASA 1
B. Persiapan Pra-Anestesia
I. Persiapan di ruangan
17
(cincin,
gelang,
kalung),
penderita
mandi
bersih
kemudian
70 mg intramuskuler ).
RL 500 cc
4.1.
Pengelolaan Anestesia :
o Jenis Anestesia : General Anestesia- Oro-Tracheal Tube
o Teknik Anestesi :
Pasien tidur telentang, dipasang monitor. Preoksigenasi dengan oksigen 100 %
8L/mnt selama 3-5 menit. Prekurarisasi dengan atrakurium 2 mg iv induksi
dengan propofol 150 mg iv suksinilkholin 60 mg iv laringoskopi- intubasi
dengan PET 7, cuff (+) hubungkan dengan sirkuit nafas maintenance
dengan O2 1 Lt/menit, N2O 2 Lt/menit, Isofluran 1 vol %
Medikasi yang lain : petidin 175 mg + ketorolac 60 mg dalam D 5% 20 tts/mnt
o Respirasi : kendali
o Lama operasi : 2 jam 45 menit
o Lama Anestesi : 3 jam 5 menit
o Fase Pemulihan : Ekstubasi sadar, pasien sadar baik dan tanpa komplikasi.
o Keadaan akhir pembedahan :
Tekanan darah : 100/60 mmHg
18
Nadi
: 92 x/menit
o Rekapitulasi :
Cairan masuk : RL 1000 cc, Petidin 175 mg + ketorolac 60 mg dalam D5%.
19
BAB V
PEMBAHASAN
Perempuan 38tahun, keluhan benjolan pada kedua leher sejak 8tahun yang lalu dengan
semakin lama semakin membesar. Benjolan tersebut dirasakan ikut bergerak sewaktu
menelan, nyeri dan gangguan bicara maupun menelan disangkal. Di keluhkan penurunan
berat badan tanpa sebab yang jelas seiring dengan pembesaran kedua benjolan tersebut.
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada, riwayat penyakit sistemik tidak ada, riwayat
pemakaian obat tidak ada, riwayat alergi obat tidak ada. Pasien didiagnosa dengan soliter
nodul tiroid bilateral, dengan hasil histopatologi folokular neoplasia. Dari status present
dalam batas normal dan pemeriksaan fisik umum dan penunjang dalam batas normal.
Kesimpulan pada pasien ini adalah Status Fisik ASA 1.
Pasien ini dilakukan total tiroidektomi. Pada prosedur ini menggunakan tehnik
anestesi dengan general anestesi dengan pemasangan pipa endotrakea. Pemilihan teknik
anestesi tersebut dengan pertimbangan: lokasi lapangan operasi, posisi pasien pada kondisi
ini harus telentang dan durasi operasi yang cukup lama (2jam 45 menit). Sebelum operasi
dilakukan persiapan rutin di ruangan yang meliputi persiapan psikis dengan memberi
penjelasan kepada pasien dan keluarga perihal rencana anestesi dan pembedahan, dan
persiapan fisik.
Di ruang persiapan pasien diberikan premedikasi yaitu berupa Midazolam 5 mg
(dosis 0,05-0,1 mg/kg BB) dan petidin 50 g (dosis1 mg/kg BB) yang diberikan secara
intravena. Midazolam merupakan sedatif yang memberikan ketenangan pasien dan petidin
pada dosis tersebut diberikan sebagai analgetik untuk pembedahan.
Pemberian pelumpuh otot pada pasien ini digunakan untuk memudahkan intubasi.
Dipilih suksinilkholin karena obat ini mula kerjanya cepat dan masa kerja yang singkat,
untuk mengatasi efek fasikulasinya diberi prekurarisasi dengan atrakurium. Induksi
digunakan propofol karena disamping onset dan pemulihannya cepat, efek mual muntah
post operasi lebih jarang karena propofol memiliki efek antiemetik. Maintenance dengan
20
memberi Anestesi inhalasi (N2O, O2, dan isofluran) dengan pipa endotrakea. Pemberian
Anestesi inhalasi untuk memiliki beberapa keuntungan yaitu kedalaman Anestesi dapat
dikontrol dengan menyesuaikan vaporizer output, pola ventilasi, dan total flow rate,
oksigen dengan konsentrasi tinggi diberikan bersama dengan obat Anestesi inhalasi selama
pemeliharaan anestesi, hal ini akan menambah kandungan oksigen di darah. SSelain itu
penggunaan pipa endotrakea memberikan keuntungan berupa proteksi jalan nafas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G. Bantuan Hidup Dasar. dalam : Diktat Kuliah Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.
2. Mulyono I. Jalan Nafas Atas Pada Anestesia Umum. Dalam : Muhiman M., Thaib
MR., Sunatrio S., Dahlan R. Editors. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI, 1989.
3. Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi
kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 2002.
4. Boeis. Anatomi dan Fisiologi Laring. dalam : Buku Ajar Penyakit THT edisi ke-6.
EGC. Jakarta, 1997; 369-377.
5. Washington
J.
Airway
Management.
Available
http://www.continuingeducation.com/nursing/airway/airway.pdf.
at
Acccesed:
:
3rd
June 2007
6. Safar P. Cardiopulmonary Ressucitation. W.B. Saunders. Canada.1981
7. Muhardi., Mulyono I., Susilo. Intubasi Endotrakeal Dan Trakeostomi. Dalam :
Muhiman M. Editor. Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit, Edisi kedua.
Jakarta : Sagung Seto, 2001.
8. Hadiwakarta A., Rusmarjono., Soepardi E. Penanggulangan Sumbatan Laring.
Dalam : Soepardi EA., Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tengorok Kepala Leher, Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2003.
9. Prazeres
GA.
Orotracheal
Intubation.
Available
at
22