Pembimbing :
dr. Carla, SpKJ
dr.Imelda, SPKJ
Disusun Oleh :
Claudia Christina
11.2015.
Letitia Bellavesta
11.2015.
Vani Levina
11.2015.066
BAB I
PENDAHULUAN
Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada
penderita yang berkunjung ke praktek. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan
masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta
yang paling sering ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang
berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya,
menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi,
kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri
sendiri atau orang lain.1
Diperkirakan 50 hingga 70 juta orang di Amerika menderita gangguan tidur kronis
sehingga mempengaruhi kesehatan serta aktivitas keseharian. Akumulasi dari gangguan tidur
yang berkepanjangan sangat erat dengan timbulnya gangguan somatis seperti hipertensi,
diabetes, obesitas, depresi, serangan jantung, serta stroke. Dari sejumlah individu yang
mengalami gangguan tidur, 3-4 juta diantaranya mengalami obstructive sleep apnea, yakni
gangguan yang ditandai dengan kesulitan bernapas yang disebabkan oleh karena adanya
obstruksi jalan napan dengan konsekuensi yang fatal, hingga dapat mengakibatkan kematian.
Insomnia kronik menyerang lebih dari 10% penduduk Amerika Serikat.2
Menurut beberapa peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali lebih
sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada orang yang tidurnya cukup.
Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap tahun semakin lama semakin
meningkat sehingga menimbulkan maslah kesehatan. Di dalam praktek sehari-hari,
kecendrungan untuk mempergunakan obat hipnotik, tanpa menentukan lebih dahulu
penyebab yang mendasari penyakitnya, sehingga sering menimbulkan masalah yang baru
akibat penggunaan obat yang tidak adekuat. Melihat hal diatas, jelas bahwa gangguan tidur
merupakan masalah kesehatan yang akan dihadapkan pada tahun-tahun yang akan datang.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Neurofisiologis dan biokimia tidur
Tidur merupakan fungsi dasar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan suatu
keadaan fisiologis yang dialami oleh setiap makhluk hidup. Meskipun setiap spesies
berbeda dalam jumlah tidur, Namun secara umum perbedaan ini merupakan fungsi dari
umur. Rata-rata, orang dewasa tidur 8 jam sehari. 4 Durasi tidur yang lebih pendek atau
yang berlebihan, keduanya dikaitkan dengan angka mortalitas yang lebih besar, seperti
yang ditunjukkan pada grafik di bawah ini:
Grafik 1.1. Hubungan Durasi Tidur dengan Mortalitas
Catatan : hazard ratio adalah risiko relatif individu untuk mengalami kematian dibandingkan
dengan populasi umum, berdasarkan rata-rata jumlah jam tidur per malam.
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu
dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama
sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior hypothalamus.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia
ventrikulo retikularis medulo oblogata yang disebut sebagai pusat tidur.
stadium 2 : 45-55%;
stadium 3 : 3-8 %;
stadium 4 :10-15%
2. REM; 20-25 %.
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending
Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan
tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur.
Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
1. Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan.
Hasil serotogenik snagat dipnegaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah trypthopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari trypthopan
terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa
peniliti lokasi yang terbanyak sistem serotogonik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis
di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonin di nukleus raphe dorsalis
denga tidur REM.
2. Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus
cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi
penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan
aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM
dan peningkatan keadaan jaga.
3. Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat
mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan
aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik
sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga
terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang
menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada
fase awal dan penurunan REM.
4. Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
5. Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH,
GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar
pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi
pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur
mekanisme tidur dan bangun.2
B. Klasifikasi Gangguan Tidur
Klasifikasi gangguan tidur menurut Internasional Classification of Sleep Disorders:5,6
1.
2.
3.
4.
Dissomnia
Parasomnia
Gangguan tidur berhubungan dengan kesehatan/psikiatri
Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi
1. Dissomnia
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran menjadi jatuh tidur (failling
as sleep), mengalami gangguan selama tidur (difficulty in staying as sleep), bangun terlalu
dini atau kombinasi dintaranya.
1) Narkolepsi
Ditandai oleh serangan mendadak tidur yang tidak dapat dihindari pada siang
hari, biasanya hanya berlangsung 10-20 menit atau selalu kurang dari 1 jam, setelah
itu pasien akan segar kembali dan terulang kembali 2-3 jam berikutnya. Gambaran
tidurnya menunjukkan menurunan fase REM 30-70%. Pada serangan tidur dimulai
dengan fase REM.
Berbagai bentuk narkolepsi:
a) Narkolepsi kataplesia, adalah kehilangan tonus otot yang sementara baik
sebagian atau seluruh otot tubuh seperti jaw drop, head drop.
b) Hypnagogic halusinasi auditorik/visual adalah halusinasi pada saat jatuh
tidur sehingga pasien dalam keadaan jaga, kemudian ke kerangka pikiran normal.
c) Sleep paralis adalah otot volunter mengalami paralis pada saat masuk tidur
sehingga pasien sadar ia tidak mampu menggerakkan ototnya. Gangguan ini
merupakan kelainan heriditer, kelainannya terletak pada lokus kromoson 6 didapatkan
pada orang-orang Caucasian white dengan populasi lebih dari 90%, sedangkan pada
bangsa Jepang 20-25%, dan bangsa Israel 1:500.000. Tidak ada perbedaan antara jenis
kelamin laki dan wanita. Kelainan ini diduga terletak antara batang otak bagian atas
dan kronik pada malam harinya serta tidak rstorasi seperti terputusnya fase REM
2) Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodik (periodic limb movement
disorders)/mioklonus nortuknal
Ditandai adanya gerakan anggota gerak badan secara streotipik, berulang
selama tidur. Paling sering terjadi pada anggota gerak kaki baik satu atau kedua kaki.
Bentuknya berupa esktensi ibu jari kaki dan fleksi sebagian pada sendi lutut dan
tumit. Gerak itu berlangsung antara 0,5-5 detik, berulang dalam waktu 20-60 detik
atau mungkin berlangsung terus-menerus dalam beberapa menit atau jam. Bentuk
tonik lebih sering dari pada mioklonus. Sering timbul pada fase NREM atau saat onset
tidur sehingga menyebabkan gangguan tidur kronik yang terputus. Lesi pada pusat
kontrol pacemaker batang otak. Insidensi 5% dari orang normal antara usia 30-50
tahun dan 29% pada usia lebih dari 50 tahun. Berat ringan gangguan ini sangat
tergantung dari jumlah gerakan yang terjadi selama tidur, bila 5-25 gerakan/jam:
ringan, 25-50 gerakan/jam: sedang, danlebih dari 50 kali/jam : berat. Didapatkan pada
penyakit seperti mielopati kronik, neuropati, gangguan ginjal kronik, PPOK,
rhematoid arteritis, sleep apnea, ketergantungan obat, anemia.
3) Sindroma kaki gelisah (Restless legs syndrome)/Ekboms syndrome
Ditandai oleh rasa sensasi pada kaki/kaku, yang terjadi sebelum onset tidur.
Gangguan ini sangat berhubungan dengan mioklonus nokturnal. Pergerakan kaki
secara periodik disertai dengan rasa nyeri akibat kejang otot M. tibialis kiri dan kanan
sehingga penderita selalu mendorong-dorong kakinya. Ditemukan pada penyakit
gangguan ginjal stadium akut, parkinson, wanita hamil. Lokasi kelainan ini diduga
diantara lesi batang otak hipotalamus.
Berbagai macam gangguan tidur gangguan irama sirkadian adalah sebagai berikut:
1) Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type) yaitu ditandai oleh
waktu tidur dan terjaga lebih lambat yang diinginkan. Gangguan ini sering ditemukan
dewasa muda, anak sekolah atau pekerja sosial. Orang-orang tersebut sering tertidur
(kesulitan jatuh tidur) dan mengantuk pada siang hari (insomnia sekunder).
2) Tipe Jet lag ialah menangantuk dan terjaga pada waktu yang tidak tepat
menurut jam setempat, hal ini terjadi setelah berpergian melewati lebih dari satu zone
waktu. Gambaran tidur menunjukkan sleep latensnya panjang dengan tidur yang
terputus-putus.
3) Tipe pergeseran kerja (shift work type). Pergeseran kerja terjadi pada orang
yang secara teratur dan cepat mengubah jadwal kerja sehingga akan mempengaruhi
jadwal tidur. Gejala ini sering timbul bersama-sama dengan gangguan somatik seperti
ulkus peptikum. Gambarannya berupa pola irreguler atau mungkin pola tidur normal
dengan onset tidur fase REM.
4) Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase syndrome).
Tipe ini sangat jarang, lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut,dimana onset
tidur pada pukul 6-8 malam dan terbangun antara pukul 1-3 pagi. Walaupun pasien ini
merasa cukup ubtuk waktu tidurnya. Gambaran tidur tampak normal tetapi
penempatan jadwal irama tidur sirkadian yang tdk sesuai.
5) Tipe bangun tidur beraturan
6) Tipe tidak tidur-bangun dalam 24 jam .
c. Lesi susunan saraf pusat (neurologis)
Sangat jarang. Lesi batang otak atau bulber dapat mengganggu awal atau
memelihara selama tidur, ini merupakan gangguan tidur organik. Feldman dan wilkus et al
menemukan fase tidur pada lesi atau trauma daerah ventral pons, yang mana fase 1 dan 2
menetap tetapi fase REM berkurang atau tidak ada sama sekali. Penderita chroea ditandai
dengan gangguan tidur yang berat, yang diakibatkan kerusakan pada raphe batang otak.
Penyakit seperti Gilles de la Tourettes syndrome, parkinson, khorea, dystonia, gerakangerakan penyakit lebih sering timbul pada saat pasien tidur. Gerakan ini lebih sering
terjadi pada fase awal dan fase 1 dan jarang terjadi pada fase dalam. Pada demensia sinilis
gangguan tidur pada malam hari, mungkin akibat diorganisasi siklus sirkadian, terutama
perubahan suhu tubuh. Pada penderita stroke dapat mengalami gangguan tidur, bila terjadi
gangguan vaskuler didaerah batang otak epilepsi seringkali terjadi pada saat tidur terutama
pada fase NREM (stadium ) jarang terjadi pada fase REM.
d. Gangguan kesehatan, toksik
Seperti neuritis, carpal tunnel sindroma, distessia, miopati distropi, low back pain,
gangguan metabolik seperti hipo/hipertiroid, gangguan ginjal akut/kronik, asma, penyakit,
ulkus peptikus, gangguan saluran nafas obstruksi sering menyebabkan gangguan tidur
seperti yang ditunjukkan mioklonus nortuknal.
e. Obat-obatan
Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti penggunaan obat stimulan
yang kronik (amphetamine, kaffein, nikotine), antihipertensi, antidepresan, antiparkinson,
antihistamin, antikholinergik. Obat ini dapat menimbulkan terputus-putus fase tidur REM.
2. Parasomnia
Yaitu merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadian-kejadian episode
yang berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau pada waktu antara bangun dan
tidur. Kasus ini sering berhubungan dengan gangguan perubahan tingkah laku danaksi
motorik potensial, sehingga sangat potensial menimbulkan angka kesakitan dan kematian,
Insidensi ini sering ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami
perbaikan atau penurunan insidensi pada usia dewasa (3%).
Ada 3 faktor utama presipitasi terjadinya parasomnia yaitu:
a. Peminum alkohol
b. Kurang tidur (sleep deprivation)
c. Stress psikososial
Kelainan ini terletak pada aurosal yang sering terjadi pada stadium transmisi antara
bangun dan tidur. Gambaran berupa aktivitas otot skeletal dan perubahan system otonom.
Gejala khasnya berupa penurunan kesadaran (confuse), dan diikuti aurosal dan amnesia
episode tersebut. Seringkali terjadi pada stadium 3 dan 4.
d. Epilepsy
Epilepsi mengacu pada sekelompok dari berbagai gangguan yang ditandai
oleh aktivitas listrik abnormal di otak yang terwujud dalam individu sebagai kerugian
atau gangguan kesadaran dan gerakan abnormal dan perilaku. Tidur, kurang tidur, dan
aktivitas kejang erat terjalin. Diperkirakan bahwa epilepsi sleeprelated dapat
mempengaruhi sebanyak 10 persen atau lebih individu epilepsi. Enam puluh persen
individu yang menderita kompleks lokalisasi parsial terkait kejang (21,6 persen dari
populasi epilepsi umum) menunjukkan kejang hanya saat tidur.
Gangguan yang penyebabnya kejang dapat mempengaruhi siklus tidur
seseorang, yang menyebabkan kurang tidur. Demikian pula, tidur dan gangguan tidur
meningkatkan kejadian aktivitas kejang. Tidur yang berhubungan dengan epilepsi
biasanya menyajikan dengan setidaknya dua dari fitur berikut: arousals, tiba-tiba
terbangun dari tidur, umum tonik-klonik gerakan anggota badan, gerakan anggota
badan fokal, wajah berkedut, inkontinensia, apnea, lidah menggigit, dan kebingungan
postictal dan kelesuan. Fitur-fitur ini menyebabkan fragmentasi tidur dan kelelahan
siang hari.
Ada sejumlah sindrom epilepsi umum yang bermanifestasi hanya atau
didominasi pada malam hari, termasuk epilepsi lobus frontal malam hari, epilepsi
benign masa kecil dengan spike centrotemporal, awitan dini atau akhir-onset epilepsi
pada anak oksipital, epilepsi mioklonik remaja, dan berkesinambungan lonjakan
gelombang selama tidur non-REM. Nocturnal epilepsi lobus frontal ditandai dengan
gangguan tidur yang parah, luka yang disebabkan oleh gerakan tak terkendali, dan
kejang siang sesekali. Epilepsi mioklonik juvenil ditandai dengan sinkron kontraksi
otot tak sadar yang sering terjadi selama bangun. Kontinyu spike gelombang selama
non-REM epilepsi tidur yang umumnya terkait dengan gangguan neurokognitif dan
kadang-kadang dengan gangguan aktivitas otot dan kontrol.
e. Stroke
Stroke menyebabkan tiba-tiba kehilangan kesadaran, sensasi, dan gerakan
volunter yang disebabkan oleh gangguan aliran darah-dan karena suplai oksigen- ke
otak. Setelah stroke arsitektur tidur individu sering diubah, menyebabkan penurunan
waktu tidur total, tidur REM, dan SWS. Insomnia adalah komplikasi umum dari
stroke yang mungkin timbul dari obat-obatan, tidak aktif, stres, depresi, dan
kerusakan otak.
2) Penyakit Infeksi
Infeksi yang disebabkan oleh strain bakteri, virus, dan parasit dapat
mengakibatkan perubahan pada pola tidur. Meskipun diterima bahwa aktivitas sistem
kekebalan tubuh mempengaruhi siklus tidur-bangun individu, sangat sedikit yang
diketahui tentang bagaimana kedua sistem berinteraksi.
a) Infeksi Bacterial dan Tidur
Infeksi bakteri biasanya menyebabkan peningkatan total waktu yang
dihabiskan pada SWS dan durasi penurunan tidur REM. Perubahan pola tidur
dapat dipengaruhi oleh jenis infeksi bakteri. Sebagai contoh, bakteri gram
negatif menginduksi tidur yang disempurnakan lebih cepat daripada bakteri
gram positif. Perbedaan dalam proses dan perkembangan penyakit juga
mempengaruhi siklus sleepwake.
b) Infeksi Virus dan Tidur
Infeksi virus juga memiliki efek pada siklus tidur-bangun. Individu
yang diinokulasi dengan rhinovirus atau virus influenza melaporkan kurang
tidur selama masa inkubasi, sedangkan selama periode gejala mereka tidur
lebih lama. Namun, dibandingkan dengan orang yang sehat tidak ada
perbedaan yang dilaporkan dalam kualitas tidur dan jumlah terbangun.
Virus human immunodeficiency (HIV) juga telah terbukti dapat
mengubah pola tidur. Individu menghabiskan waktu peningkatan pada SWS
pada paruh kedua malam dan menderita arousals sering dan penurunan waktu
tidur REM. Seperti infeksi berkembang menjadi AIDS, individu
mengembangkan fragmentasi tidur meningkat, penurunan yang signifikan
pada SWS, dan gangguan terhadap arsitektur tidur secara keseluruhan.
c) Infeksi Jamur, Parasit dan Tidur
Infeksi jamur dan parasit juga dapat mengubah siklus tidur-bangun.
Sebagai contoh, penyakit tidur, atau trypanosomiasis Afrika, umumnya terjadi
pada individu yang telah terinfeksi dengan Trypanosoma brucei (Tb) parasit.
Hal ini ditandai dengan episode insomnia malam hari dan tidur siang hari,
tetapi tidak hipersomnia.
Penyakit tidur ditemukan terutama di sub-Sahara Afrika, di mana Tb
ditularkan ke manusia akibat gigitan dari lalat tsetse. Penyakit tidur dikaitkan
dengan arsitektur tidur berubah. Rekaman EEG individu dengan penyakit tidur
dari Gambia menunjukkan periode tidur REM yang terjadi sepanjang siklus
tidur-bangun secara keseluruhan, sering tanpa periode NREM menengah yang
normal. Fluktuasi hormon sirkadian-kortisol, prolaktin, dan hormon
pertumbuhan-juga diubah pada individu dengan penyakit tidur. Oleh karena
itu, telah dihipotesiskan bahwa penyakit tidur mungkin merupakan penyakit
ritme sirkadian yang mempengaruhi jalur saraf yang menghubungkan waktusirkadian dan tidur-regulating pusat.
C. Penegakan diagnosis
1. Screening pasien gangguan tidur
Beberapa pertanyaan untuk melakukan screening gangguan tidur di masyarakat (clear lake
sleep center, 2009) :
1. Apa masalah utama tidur Anda?
2. Siapakah mulanya menduga merupakan masalah tidur?
3. Apakah saat ini Anda memiliki pasangan tidur / teman sekamar? Jika ya, silakan
mereka membantu Anda dengan kuesioner ini.
4. Apakah Anda pernah memeriksakan ke spesialis tidur sebelumnya?
5. Apakah Anda mengalami kesulitan di tempat kerja / sekolah karena masalah tidur
Anda?
6. Apakah Anda mengalami kesulitan mengemudi karena masalah tidur Anda?
7. Apakah shift kerja utama Anda?
8. Berapa banyak minuman berkafein yang Anda konsumsi setiap hari?
9. Jika Anda mendengkur, silakan menilai tingkat kebisingan:
4(terdengar dari luar kamar)-3 (membangunkan mitra tidur)-2 (mudah didengar)-1
(hampir takterdengar)
10. Apakah Anda tidur sebentar di siang hari? Ya/ tidak
29. Sebutkan obat yang sedang Anda mengambil: (Sertakan pil tidur atau Melatonin)
30. Apakah Anda sekarang atau di masa lalu mengalami masalah kesehatan dalam bidang
berikut?
Tekanan darah tinggi _____
Sesak napas _____
Septum deviasi _____
batuk kronis _____
Masalah sinus _____
Asma _____
Tonsilektomi _____
Emfisema _____
Penyakit Jantung Penyakit Tiroid _____ _____
Psychiatric _____
Diabetes _____
Mulas _____
Refluks _____
Sebutkan masalah medis lain yang Anda miliki atau memiliki:
l. Apakah kamu sekarang menggunakan berbagai jenis pengobatan atau preparat lain untuk
membantu tidur?
Apabila gejala gangguan tidur didapatkan pada skring awal, pertanyaan lebih lanjut
diperlukan untuk mendapatkan riwayat tidur.
a. Apakah kamu memiliki keinginan untuk menggerakkan kedua kaki atau memiliki
pengalaman sensasi yang tidak nyaman pada kaki selama istirahat atau pada malam
hari?
b. Apakah kamu sering terbangun untuk kencing pada malam hari?
c. Jika kamu tidur sebentar di siang hari, berapa sering dan berapa lama?
d. Berapa banyak aktivitas fisik atau latihan yang kamu lakukan setiap hari?
e. Apakah kamu terpapar cahaya luar natural setiap hari?
f. Pengobatan apa yang kamu pakai, dan berapa kali sehari dan malam?
g. Apakah kamu menderita ketidaknyamanan akibat efek samping pengobatan
tersebut?
h. Berapa banyak kafein (contohnya: kopi, the, kola) dan alcohol yang kamu
konsumsi tiap hari/ malam?
i. Apakah kamu sering merasa sedih atau cemas?
j. Apakah kamu sekarang ini menderita karena ditinggal seseorang?
3. Penegakan diagnosis gangguan tidur menurut PPDGJ III
F51.0 Insomnia Non-organik
Pedoman Diagnostik
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti :
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang
buruk;
b. Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan;
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari;
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam social dan pekerjaan.
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua ko-morbiditas harus dicantumkan karena
membutuhkan terapi tersendiri. Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak digunakan untuk
menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang
tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis di sini,
dapat dimasukkan dalam Reaksi Stres Akut (F43.0) atau Gangguan Penyesuaian (F43.2).
Insomnia diklasifikasikan sebagai primer atau komorbiditas. Insomnia primer menunjukkan
bahwa tidak ada penyebab lain dari gangguan tidur telah diidentifikasi. Insomnia
komorbiditas lebih umum dan yang paling sering dikaitkan dengan gangguan jiwa (misalnya,
depresi, kecemasan, atau gangguan penggunaan narkoba), gangguan medis (misalnya,
gangguan kardiopulmoner, gangguan neurologis, atau kronis keluhan somatik yang
mengakibatkan gangguan tidur), obat, dan gangguan tidur lainnya primer (misalnya, tidur
apnea obstruktif atau kaki gelisah) Insomnia komorbid tidak. tidak menyarankan bahwa
kondisi "penyebab" lain insomnia, melainkan bahwa insomnia dan kondisi lainnya co-terjadi,
dan mungkin setiap surat perintah perhatian klinis dan pengobatan.
Banyak orang dewasa secara teratur mengambil obat-obat. Obat-obatan digunakan
untuk mengobati berbagai yang mendasari kondisi medis dan psikiatris kronis juga
berkontribusi terhadap gangguan tidur, termasuk -blocker, bronkodilator, kortikosteroid,
dekongestan dan diuretik, serta lain kardiovaskular, neurol ogi, psikiatri, dan gastrointestinal
obat-obatan. Obat digunakan untuk mengobati depresi, seperti selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) dan serotonergik dan noradrenergik reuptake inhibitor (SNRIs) juga dapat
menyebabkan atau memperburuk insomnia. Selain obat resep, orang dewasa sering
mengambil di atas meja persiapan yang dapat menyebabkan atau memperburuk gangguan
tidur. Contohnya termasuk batuk dan "Dingin" obat-obatan, terutama yang mengandung
pseudoefedrin atau fenilpropanolamin, setiap obat yang mengandung kafein (misalnya
asetaminofen / aspirin / kafein kombinasi), dan obat mengandung nikotin (nikotin misalnya
permen karet atau transdermal (patch). Tentu saja, merokok dan kopi konsumsi sendiri dapat
mengganggu tidur juga.
Adanya gejala gangguan jiwa lain, seperti ansietas, depresi, hipomania, tidak menutup
kemungkinan diagnosis gangguan jadwal tidur-jaga non-organik, yang penting adanya
dominasai gambaran klinis gangguan ini pada penderita. Apabila gejala gangguan jiwa lain
cukup jelas dan menetap harus dibuat diagnosis gangguan jiwa yang spesifik secara terpisah.
F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)
Pedoman diagnostik:
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a. Gejala yang utama adalah 1 atau lebih episode bangun dari tempat tidur, biasanya pada
sepertiga awal tidur malam, dan terus berjalan-jalan; (kesadaran berubah)
b. Selama 1 episode, individu menunjukkan wajah bengong (blank, staring face), relative tak
memberi respon terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan atau untuk
berkomunikasi dengan penderita, dan hanya dapat disadarkan/ dibangunkan dari tidurnya
dengan susah payah.
c. Pada waktu sadar/ bangun (setelah satu episode/ besok paginya), individu tidak ingat apa
yang terjadi;
d. Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak ada
gangguan aktivitas mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi
dalam waktu singkat.
e. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organic.
Somnambulisme harus dibedakan dari serangan epilepsy psikomotor dan fugue disosiatif
(F44.1).
F51.4 Teror Tidur (Night Terrors)
Pedoman diagnostik:
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a. Gejala utama adalah 1 atau lebih episode bangun dari tidur, mulai dengan berteriak karena
panik, disertai ansietas yang hebat, seluruh tubuh bergetar, dan hiperaktifitas otonomik seperti
jantung berdebar-debar, nafas cepat, pupil melebar, dan berkeringat;
b. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 110 menit, dan biasanya
terjadi pada sepertiga awal tidur malam;
c. Secara relative tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk mempengaruhi
keadaan terror tidurnya, dan kemudian dalam beberapa menit setelah bangun biasanya terjadi
disorientasi dan gerakan-gerakan berulang;
d. Ingatan terhadap kejadian, kalaupun ada, sangat minimal (biasanya terbatas pada satu atau
dua bayangan-bayangan yang terpilah-pilah);
e. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik.
Terror tidur harus dibedakan dengan mimpi buruk (F51.5), yang biasanya terjadi setiap saat
dalam tidur, mudah dibangunkan, dan teringat dengan jelas kejadiannya. Terror tidur dan
somnambulisme sangat berhubungan erat, keduanya mempunyai karakteristik klinis dan
patofisiologis yang sama.
F51.5 Mimpi Buruk (Nightmares)
Pedoman diagnosis:
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis passti :
a.
Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mmimpi yang
menakutkan yang dapat diingat kembali dengan rincidan jelas (vivid), biasanya perihal
ancaman kelangsungan hidup, keamanan atau harga periode tidur, tetapi yang khas adalah
pada paruh kedua masa tidur.
b.
Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera sadar penuh dan
Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu, menyebabkan penderitaan
Sangat penting untuk membedakan mimpi buruk dari teror tidur, dengan
D. Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat memiliki potensi mengurangi morbiditas
terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan gangguan kualitas hidup.
8) Jangan menggunakan stimulansia (kopi, rokok, dll) dalam 4-6 jam sebelum tidur
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini terus
dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.
e. Sleep Restriction Therapy
Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu mengkonsolidasikan tidur . Terapi
ini bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya,
bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari delapan jam waktu yang
dihabiskannya di tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang
hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu sekitar 30 menit.
Bila efisiensi tidur pasien mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat
tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi pembatasan tidur, secara berangsur-angsur,
dapat mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam hari.
f. Terapi relaksasi dan biofeedback
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik. Menghipnotis diri sendiri,
relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif
untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan serius.
Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah
relaksasi. Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan
yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan terapi pengontrolon
tidur.
g. Terapi apnea tidur obstruktif
Apnea tidur obstruktif dapat diatasi dengan menghindari tidur telentang,
menggunakan perangkat gigi (dental appliance), menurunkan berat badan, menghindari
obat-obat yang menekan jalan nafas, menggunakan stimulansia pernafasan seperti
acetazolamide, nasal continuous positive airway pressure (NCPAP), upper airway surgery
(UAS). Nasal continuous positive airway pressure ditoleransi baik oleh sebagian besar
pasien. Metode ini dapat memperbaiki tidur pasien di malam hari, rasa mengantuk di siang
hari, dan keletihan serta perbaikan fungsi kognitif.
2. Pendekatan Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat
yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular
activating system (ARAS) di otak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang
menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti
depresan.
Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yangdipaksakan dari
proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari
berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula bila
pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan obat.
Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis gangguan
tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM) gangguan pendek,
bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam hari, adanya
perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primernya. Walaupun obat
hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik, tapi dapat
dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang mendasari. Dengan
pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk mengkoreksi dari problema
gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati
pada pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan menyebabkan
terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang
memuaskan.
Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi
penyebab yang mendasarinya atau obat hipnotik adalah sebagai pengobatan tambahan.
Pemilihan obat hipnotik sebaiknya diberikan jenis obat yang bereaksi cepat (short action)
dgn membatasi penggunaannya sependek mungkin yang dapat mengembalikan pola tidur
yang normal. Lamanya pengobatan harus dibatasi 1-3 hari untuk transient insomnia, dan
tidak lebih dari 2 minggu untuk short term insomnia. Untuk long term insomnia dapat
dilakukan evaluasi kembali untuk mencari latar belakang penyebab gangguan tidur yang
sebenarnya. Bila penggunaan jangka panjang sebaiknya obat tersebut dihentikan secara
berlahan-lahan untuk menghindarkan withdrawl terapi.
OBAT ANTI-INSOMNIA
Penggolongan obat anti-insomnia
1. Benzodiazepine, contoh : Nitrazepam, Triazolam, Estazolam
2. Non-Benzodiazepine, contoh : Chloral-hydrate, Phenobarbital
Indikasi penggunaan
Indikasi penggunaan obat anti-insomnia terutama pada kasus transient insomnia dan
short term insomnia, sangat berhati-hati pada kasus long term insomnia. Selalu diupayakan
mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan ditujukan pada penyebab dasar
tersebut.
Mekanisme Kerja
Obat golongan benzodiazepine tidak menyebabkan REM suppression and rebound.
Pada kasus depresi terjadi pengurangan delta sleep (gelombang delta < 20%), sehingga tidak
pulas tidurnya dan mudah terbangun. Pada awal depresi terjadi defisit REM sleep (0-10%,
dimana pada orang normal sekitar 20%) yang menyebabkan tidur sering terbangun akibat
mimpi buruk (REM sleep bertambah untuk mengatasi defisit), sehingga siklus tidur menjadi
tidak teratur (disorganized).
Obat anti-depresi (trisiklik dan tetrasiklik) menekan dan menghilangkan REM sleep
dan meningkatkan delta sleep, sehingga pasien tidur nyaman tidak diganggu mimpi buruk.
Bila obat mendadak dihentikan terjadi REM rebound dimana pasien akan mengalami mimpimimpi buruk lagi.
Efek Samping
Obat-obatan ini dapat menimbulkan supresi susunan saraf pusat (SSP) pada saat tidur.
Hati-hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan , uremia, dan gangguan fungsi hati, oleh
karena keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP dan dapat memudahkan timbulnya
koma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi oversedation sehingga risiko jatuh dan trauma
menjadi besar, yang sering terjadi adalah hip fracture.
Pemilihan Obat
Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal dengan :
1. Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan dalah
bersifat sleep inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting).
Misalnya pada gangguan anxietas.
2. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat prolong latent phase
anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik).
Misalnya pada gangguan depresi.
3. Broken insomnia : siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (long acting). Misalnya pada gangguan stress psikososial.
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum pergi tidur. Dosis awal dapat
dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian
secepatnya tappering off untuk mencegah timbunya rebound dan toleransi obat. Pada usia
lanjut dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari
oversedation dan intoksikasi.
Lama Pemberian
Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar risiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh karena psychological dependence (habituasi)
sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Perhatian Khusus
Obat anti-insomnia kontraindikasi pada sleep apnoe syndrome, congestive heart
failure, dan chronic respiratory disease. Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil
mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (misalnya cleft plate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Benzodiazepine juga diekskresi melalui ASI, berefek pada
bayi, yaitu penekanan fungsi SSP .
Di antara obat anti-insomnia tersebut, benzodiazepin paling sering digunakan dan
tetap merupakan pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder.
Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin,
prekursor protein seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat
digunakan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi
insomnia jangka pendek. Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat.
Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih
dari tiga kali. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat
menutupi penyakit yang mendasari.
Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi. Benzodiazepin dapat mengganggu
ventilasi pada apnea tidur. Efek samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat
gangguan koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin
pada lansia harus hati-hati dan dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan obat
pilihan untuk membantu orang-orang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu
paruhnya panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk penderita yang
mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki
anxietas di siang hari dan insomnia di malam hari.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu,
pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH,
eritromisin, dan fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari.
Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD ringan-sedang yang
mengalami insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder
terhadap delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti lorazepam
digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur.
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan
dengan benzodiazepin pada awal malam. Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk
gangguan gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic and specific
serotonin antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang,
dan meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur, kontinuitas tidur, serta
efisiensi tidur meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita
depresi dengan insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin oksidase
inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu
kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung menekan pernafasan.
Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus
hati-hati karena dapat menginduksi delirium.
E. Komplikasi
Gangguan tidur atau ketidakmampuan tidur memperngaruhi performa, keamanan, dan
kualitas hidup dari seorang individu. Hampir 20% kecelakaan lalu lintas berhubungan dengan
pengemudi yang mengantuk atau mabuk minuman beralkhohol.
Penelitian terkini mengemukakan bahwa gangguan memiliki neurobehavioral effect, mulai
dari yang paling ringan yakni attensi dan reaksi, dan yang lebih kompleks yakni kesalahan
dalam melakukan penilaian terhadap suatu hal, atau membuat keputusan. Orang yang
memiliki gangguan tidur akan memiliki masalah dalam ingatan jangka pendeknya. Dan
walaupun individu dengan gangguan tiduk mampu melakukan pekerjaan dengan baik, akan
tetapi membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih lama.
Meskipun data yang ada sangat terbatas, efek dari gangguan tidur, kehilangan tidur
kronis, dan tidur yang kurang akan mempengaruhi perekonomian Amerika secara signifikan.
Apabila gangguan tidur tidak diobati dengan baik, maka akan menimbulkan kerugian yang
jauh lebih besar daripada biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobati gangguan tidur itu
sendiri .
Lebih dari 10 tahun yang lalu, terdapat suatu paradigm yang menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan kesehatan. Akan tetapi, penelitian terkini
menyatakan bahwa sleep loss (kurang dari 7 jam per malam) memiliki efek pada ssystem
kardiovaskuler, endokrin, imun, dan system saraf, yakni :
1. Obesitas pada dewasa maupun anak-anak
Pada suatu studi kohort yang dilakukan selama hampir 13 tahun pada 500
individu dewasa muda, didapatkan hasil bahwa pada usia 27 tahun, individu dengan
durasi tidur yang lebih pendek (<6 jam), 7,5 kali lebih berisiko memiliki BMI tinggi.
Penelitian tersebut sudah melalui kontroling terhadap faktor riwayat keluarga, tingkat
aktivitas fisik, serta faktor demografik. Penelitian tersebut juga mencoba menganalisa,
adakah relasi antara insufisiensi tidur terhadap hormone-hormon yang berperan dalam
peningkatan nafsu makan. Hasilnya, insufisiensi tidur diketahui dapat menurunkan
leptin, yakni hormone yang diproduksi oleh jaringan adipose dan dapat menghambat
nafsu makan. Selain itu, insufisiensi tidur meningkatkan pengeluaran ghrelin, peptide
yang mampu menstimulus nafsu makan.
Grafik 1.2. Hubungan antara Durasi Tidur dengan BMI (body mass index)
BAB III
Kesimpulan
Pada pola tidur manusa tidur dapat klasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu Tipe Rapid Eye
Movement (REM) dan Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM).Fase awal tidur didahului
oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur
normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam.
Bayi baru lahir total tidur 16- 20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun
9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa .
Gangguan siklus dalam fase-fase tersebut akan menyebabkan gangguan tidur seperti
dissomnia ataupun parasomnia.
Komplikasi gangguan tidur mencakup tiga aspek yakni bio-psiko-sosial. Aspek
biologis seperti peningkatan BMI, diabetes dan gangguan toleransi glukosa, heart attack, dll.
Aspek psikologis seperti gangguan cemas dan depresi. Aspek social terutama aspek ekonomi
dan peningkatan kejadian medical error, performa kerja penderita gangguan tidur juga
mengalami penurunan. Penatalaksanaan yang dapat diberikan meliputi terapi nonmedikamentosa dan medikamentosa.
Referensi