Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Journal Reading
November 2015

Sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis: Sebuah tinjauan literatur


Keegan Tupchong, Alex Koyfman, Mark Foran

OLEH:
Syaza Naqibah Binti Mohamed Noor Rahim
C11111876
PEMBIMBING :
dr. Halim
SUPERVISOR :
dr. Muh. Faisal Muchtar, Sp.An-KIC

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU


ANESTESI, TERAPI INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama
Nim
Fakultas
Institusi
Judul jurnal

:
:
:
:
:

Syaza Naqibah Binti Mohamed Noor Rahim


C11111876
Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Sepsis,sepsis berat dan syok sepsis: Sebuah tinjauan literatur

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Anestesi, terapi
intensif, dan manajemen nyeri Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, November 2015


Mengetahui,

Supervisor,

(dr. Muh. Faisal Muchtar, Sp.An-KIC)

Pembimbing,

(dr. Halim)

Sepsis merupakan kontinum penyakit karena peradangan sistemik yang disebabkan oleh infeksi yang
membutuhkan pengenalan dan pengobatan yang tepat. Sementara sepsis adalah salah satu penyebab
kematian yang signifikan di seluruh dunia, angka kematian yang di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah (LMICs) dipercayai sangat tinggi. Sejak tahun 1992, definisi sepsis menjadi

standar, dan mulai tahun 2002, sebuah kolaborasi peringkat internasional telah menghasilkan
seperangkat pedoman konsensus mengenai pengelolaan yang optimal dari pasien sepsis. Berdasarkan
bukti baru, banyak pembaharuan telah dibuat sejak saat itu. Hal ini diketahui bahwa penerapan
gabungan beberapa pendekatan untuk perawatan pasien dengan penggunaan resusitasi tertentu dan
terapi panduan menunjukkan pengurangan yang signifikan dalam angka kematian disebabkan oleh
sepsis. Namun, ia juga mengakui bahwa pelaksanaan intervensi di LMICs sangat menantang. Oleh
karena itu, suatu literatur tentang pedoman yang praktis untuk sepsis di negara-negara berkembang
telah muncul. Artikel ini memberikan tinjauan bukti untuk praktek terbaik manajemen sepsis, dengan
rekomendasi untuk keadaan dengan sumber daya yang terbatas.
Relevansi Afrika

Sepsis memiliki angka kematian sangat tinggi di Afrika.


Pengenalan cepat sepsis dan manajemen yang berdasarkan pendekatan yang berprotokol

dapat menyelamatkan nyawa.


Rekomendasi disesuaikan dengan kondisi yang terbatas sumber dayanya dalam menawarkan
pendekatan yang praktis untuk perawatan sepsis
PENDAHULUAN
Pada tahun 1992, '' sepsis '' secara resmi didefinisikan sebagai keberadaan kedua kondisi
yaitu suspek infeksi dan dua dari empat kriteria sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS)
(Tabel 1 dan 2).1,2. Sejak itu, terminologi tambahan telah muncul sepsis yang diperparah oleh
organ disfungsi disebut sebagai '' sepsis berat, '' sementara sepsis diperparah oleh hipotensi
refrakter tanpa penyebab lain dengan volume resusitasi yang adekuat disebut syok sepsis. 1
Spektrum sepsis dari suatu penyakit tidak bisa diabaikan karena secara klinis ianya signifikan.
Dalam AS sendiri, kejadian sepsis berat adalah lebih dari 700.000 per tahun dengan perkiraan
kadar mortalitas 30%.3 Ini diperkirakan mewakili lebih dari 450.000 kunjungan ke unit gawat
darurat per tahun. 4 Sementara beberapa penelitian telah dikhususkan untuk mempelajari
sepsis di negara-negara berkembang, epidemiologi di negara-negara tersebut tetap tidak dapat
diperjelas.5,6 Meskipun demikian, morbiditas dan mortalitas sepsis di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs) diyakini amat tinggi, mengingat degradasi
lingkungan, gizi buruk tersebar luas, dan tingkat infeksi yang lebih tinggi dari bakteri, parasit,
dan HIV .6,7 Suatu kolaborasi yang dimulai pada tahun 2002 oleh European Society of
Intensive Care Medicine (ESICM), the International Sepsis Forum (ISF), dan Society of
Critical Care Medicine (SCCM) telah mewujudkan suatu kampanye, Surviving Sepsis
Campaign (SSC) sebagai suatu upaya untuk mengurangkan resiko kematian yang disebabkan
sepsis. Pada tahun 2004, SSC menghasilkan ''Surviving Sepsis Campaign pedoman untuk
manajemen pada sepsis berat dan syok septik, '' salah satu pernyataan konsensus yang diakui
mengenai pengobatan sepsis (paling baru diperbarui pada 2012). 8 Di banyak negara, itu

diangkat sebagai perawatan yang standar.7 Penerimaan pasien sebanyak 50% dari unit gawat
darurat memberikan peluang yang signifikan untuk memperbaiki prognosis pasien. 9 Ulasan
ini akan membahas epidemiologi, patofisiologi, dan diagnostik serta pendekatan terapeutik
untuk pasien dengan sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis di unit gawat darurat dan di
perawatan akut lainnya. Pedoman peringkat internasional difokus pada evaluasi dan
manajemen pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis (SS / SS) sebagai perbandingan
kepada sepsis tanpa bukti SS /SS, artikel ini terutama akan membahas SS / SS. Review ini
akan fokus pada memberikan perawatan dengan rekomendasi yang disesuaikan pada tempat
yang terbatas sumber dayanya. Dari catatan, ulasan ini berkaitan khusus untuk orang dewasa
dan bukan anak-anak. Lihat Tabel 1 dan 2 definisi.
Tabel 1

kriteria SIRS1

Ada dua atau lebih kriteria dari yang berikut ini


1. Suhu
2. Nadi
3. Pernafasan
4. Bilangan sel darah putih

>38oC (100.4oF) or
<36oC (96.8oF)
>90/menit
>20/min atau
PaCO2 <32 mmHg
>12,000/L or
<4000/L

Tabel 2 Kriteria diagnostik untuk sepsis.1 WBC, darah putih sel; SBP, tekanan darah sistolik;
MAP, berarti tekanan arteri.
Tabel diadaptasi dari Levy et al. (2003)1
Infeksi (didokumentasikan atau dicurigai) dan beberapa hal berikut.
Klasifikasi
Umum

Inflamasi

Variabel
Demam (>38.3OC)
Hipothermia (core temperature <36OC)
Nadi >90/min atau lebih dari 2 standar deviasi
diatas nilai normal menurut umur
Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan atau balance cairan positif
Hiperglikemia
Leukositosis
Leukopenia
Bilangan sel darah putih yang normal dengan
melebihi band 10%
Plasma C-reactive protein>2 SD diatas nilai
normal

Hemodinamik

Disfungsi organ

Perfusi jaringan

Plasma procalcitonin >2 SD diatas nilai normal


Hipotensi (SBP<90 mmHg,
MAP<70 mmHg, atau penurunan SBP> 40
mmHg pada orang dewasa atau< 2 SD
Dibawah batas normal menurut umur)
Peningkatan kreatinin
Koagulopati
Hipoksemia
Ileus
Oliguria
Thrombositopenia
Hyperbilirubinemia
Hyperlactatemia
Penurunan refill kapiler atau mottling

EPIDEMIOLOGI
Meskipun dampak sepsis didokumentasikan di negara-negara maju, literatur tentang insiden,
prevalensi, dan kematian di negara-negara berkembang tersebar dimana-mana. 10 Insidens kejadian
sepsis yang tertinggi masih pada negara-negara yang berpendapatan rendah dimana menjadi suatu
beban secara global. Sebagai pengganti penanda untuk sepsis, lebih dari 90% dari kematian di seluruh
dunia karena pneumonia, meningitis, dan infeksi lain terjadi di negara-negara yang kurang
berkembang.6,11 Dari sisi global, diperkirakan 70% dari 9 juta kematian neonatal dan bayi setiap tahun
disebabkan oleh sepsis, dan lebih dari setengahnya terjadi di Asia dan Sub Sahara Africa. 11,12

PATOFISIOLOGI
Pada suatu infeksi, mikroba yang menyerang masuk dan berinteraksi dengan system imun host dan
memicu terjadinya suatu proses inflamasi yang melibatkan sitokin dan mediator inflamasi lainnya,
dimana akhirnya terjadi suatu respon sistemik. Respon sistemik yang terjadi adalah vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, depresi miokardial, dan proses koagulasi terganggu
mengakibatkan permintaan dan suplai oksigen di sistemik tidak seimbang dan berada pada kondisi
prokoagulasi. Selama tahap akhir sepsis, imunosupresi mendominasi, menyebabkan disfungsi
multiorgan dan kondisi klinis yang memburuk.13

PENILAIAN KLINIS
Anamnesis yang dilakukan harus fokus pada mendeteksi factor resiko infeksi (seperti imunosupresi),
infeksi yang sedang terjadi, dan jika dicurigai terjadi infeksi, cari sumber infeksi yang paling

mungkin. Perhatian yang lebih diberikan pada pasien geriatri karena mereka tidak bisa memberitahu
mengenai gejala-gejala biasa seperti dysuria pada infeksi saluran kemih. Pemeriksaan fisik harus
dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan focus infeksi. Tindakan yang paling penting pada saat
ini adalah pengukuran, dokumentasi, dan evaluasi tanda-tanda vital, termasuk suhu, tekanan darah
(BP), denyut jantung (HR), laju pernapasan (RR) dan saturasi oksigen (jika di bawah 90% maka
tambahan oksigen harus segera diberikan). Rekaman setiap parameter ini akan digunakan untuk
mengukur perbaikan klinis atau jika terjadi perburukan bisa dilakukan intervensi (lihat di
bawah).Tanda-tanda vital harus dianalisa secara konsisten supaya jika sudah mulai ada kriteria dari
SIRS pada pasien sepsis, ini akan membantu dalam pengenalan untuk perawatan penyakit kritikal.
Harus diingat bahwa tanda vital memburuk mungkin tidak ada dari awal dan juga pada pasien
geriatric.14,15 Pada pemeriksaan fisik yang spesifik jika ada suatu alat yang dimasukkan kedalam tubuh
pasien, itu juga bisa menjadi sumber infeksi. Selain itu, terdengar ronki pada paru-paru pasien, sakit
pada abdomen dan bukti adanya infeksi susunan saraf pusat. 16,17 pada peringkat ini, penilaian pada
system kardiovaskular dan status volume termasuk auskultasi, membrane mukosa, warna dan turgor
kulit, nadi perifer, pengisian kapiler dan edema harus diperhatikan.

Dengan tidak adanya perangkat otomatis untuk melacak tanda-tanda vital, penting untuk menyimpan
log tertulis dan pengenalan dini untuk SIRS. Peralatan canggih dan invasif yang digunakan tidak ada
di negara-negara berpendapatan rendah untuk mengukur respon terhadap terapi (lihat di bawah),
perubahan BP, HR, RR dan saturasi oksigen harus digunakan sebagai indikator status klinis.

STUDI DIAGNOSTIK
Laboratorium awal dan pemeriksaan radiografi dilakukan untuk menemukan sumber infeksi dan
mengidentifikasi disfungsi organ. Pada kebijaksanaan pemeriksa, tes laboratory termasuk hitung
darah lengkap (bilangan sel darah putih termasuk subtype yang berbeda dan ukuran band, hemoglobin
dan hematokrit, trombosit), kimia (elektrolit, bikarbonat, kreatinin, glukosa), waktu protrombin (PT) /
internasional rasio normalisasi (INR), transaminase hati, bilirubin, dan analisa gas darah baik arteri
atau vena dengan diambil kira tingkat serum laktat. Hasil dari urinalisis lebih tinggi, terutama pada
pasien yang lebih tua dari 65.18 Foto roentgen thorax dilakukan untuk mengidentifikasi sumber infeksi
pulmo dan penyebab distress nafas. Yang penting, semua pasien dengan kemungkinan sepsis
seharusnya dilakukan kultur darah karena dapat membuat pilihan antibiotic yang lebih tepat dan
mengungkap alasan untuk pengobatan yang gagal.8 Volume darah yang lebih penting untuk hasil
kultur dari jumlah kultur darah, idealnya, 20 mL darah harus diambil. 19 Secara umum, kultur harus

diperoleh dari setiap kemungkinan sumber infeksi (misalnya, darah, urin, sputum, luka, kateter,
cerebrospinal cairan) yang bisa dianggap sebagai suatu kemungkinan dalam skenario klinis.
Jika tes laboratorium yang tersedia terbatas, preferensi harus diberikan kepada yang mungkin
menunjukkan sumber infeksi, seterusnya mengidentifikasi target untuk terapi. Kultur darah dilakukan
bila memungkinkan.

PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN


Pendekatan umum
Pengenalan langsung terhadap pasien septis sangat penting, dan lokalisasi awal pada spektrum sepsis
pada penyakit (sepsis, berat sepsis, syok septik) membantu untuk menentukan tujuan awal
manajemen. Pembedaan harus dibuat antara sepsis dan sepsis berat / syok septik (SS / SS), yang
terakhir adalah fokus dari pedoman Surviving Sepsis Campaign. Disarankan bahwa pasien dengan
SS / SS menjalani pendekatan yang berprotokol untuk pengobatan menggunakan resusitasi
kuantitatif.8 Pengakuan internasional dipicu oleh sebuah studi oleh Rivers pada tahun 2001, yang
menggunakan pendekatan goal-directed untuk terapi pada pasien SS / SS (goal-directed terapi yang
awal,EGDT) dan menunjukkan penurunan mortalitas absolut sebanyak 16% di di rumah sakit (angka
yang diperlukan untuk mengobati = 6,25).21 Pada tahun 2008 satu metaanalisis memberikan dukungan
lebih lanjut untuk implementasi awal dan resusitasi kuantitatif karena menunjukkan manfaat
kelangsungan hidup di populasi heterogen dengan sepsis. 22 Bagaimanapun, percobaan ProCESS, uji
coba baru-baru ini yang diacak lebih 1300 pasien menunjukkan tidak ada manfaat kematian dengan
penggunaan resusitasi berbasis protokol (seperti EGDT)berbanding perawatan '' biasa ''. 23 Hal ini
penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwa pasien di kelompok perawatan yang '' biasa '' yang
diresusitasi secara agresif (di 6 jam pertama dari kedatangan di unit gawat darurat: 4.4 L cairan
intravena, 58% memiliki kateter vena sentral, 44% diberikan vasopressor, 22% mengalami ventilasi
mekanis), dan bila perawatan biasa ini tidak ada, resusitasi berbasis protocol itu masih dapat
dilakukan.
Beberapa penanda resusitasi dan penggunaannya (misalnya, tekanan vena sentral, CVP; mean arterial
pressure, MAP; saturasi oksigen vena sentral, ScvO2, laktat serial) akan akan dibahas di bawah.
Pasien dengan hipotensi meskipun dengan resusitasi cairan dan yang terbukti mengalami disfungsi
organ akhir (SS / SS) memiliki kadar kematian tinggi dan resusitasi agresif atau kepatuhan terhadap
protocol adalah suatu terapi berorientasi pada tujuan untuk meningkatkan angka kematian.
Menggunakan banyak tehnik yang tersedia dapat mengubah perjalanan penyakit. Setelah

SS / SS, tim asuhan penyedia harus waspada dan bersedia.

Resusitasi awal
Evaluasi awal pasien dengan sepsis termasuk memasang lebih banyak akses ke intravena dengan
antisipasi untuk kebutuhan resusitasi cairan, antimikroba, dan obat-obatan seperti vasoaktif
(vasopressor). Pasien sering hipovolemik, sering menderita defisit cairan yang besar, pemberian
langsung dari 30 mL / kg (biasanya 2 L) kristaloid adalah baik. 8,24 Tujuannya adalah untuk
memulihkan perfusi jaringan, dan volume resusitasi menyebabkan kenaikan curah jantung (CO)dan
penghantaran oksigen sistemik.24 Pasien dengan hipotensi (MAP <65 mmHg) setelah bolus cairan,
hiperlaktatemia (> 4 mmol / L), tanda-tanda hipoperfusi atau gagal organ dianggap SS / SS. Dalam
hal demikian, transisi dari pendekatan goal-directed ke terapi yang direkomendasikan oleh consensus
pedoman dengan titik akhir terukur pada 3 dan 6-h marks. 8 Penting untuk dicatat bahwa pasien
memenuhi kriteria untuk sepsis tetapi tidak SS / SS dapat mengambil manfaat dari pendekatan yang
sama untuk terapi. Namun, pedoman konsensus menyokong tentang perawatan bundel khusus untuk
pasien SS / SS.8
Dalam keadaan yang terbatas sumber daya, diberikan cairan setidaknya 30 mL / kg (biasanya 2 L)
kristaloid pada diagnose sepsis, karena banyak pasien hipovolemik.
Ukuran volume intravascular
Langkah protocol pertama dalam perawatan pasien dengan SS / SS adalah resusitasi cairan dengan
tujuan memulihkan volume intravascular (dan dengan anggapan, preload). 8 Ada beberapa metode
untuk memperkirakan status volume, seperti penilaian menggunakan USG-guided untuk menilai dari
variasi respirophasic dari vena cava inferior (IVC), dan variasi tekanan nadi(PPV). 25 Namun,
keberhasilan dari tehnik monitoring tersebut dalam memperbaiki prognosis pasien masih harus
dilakukan penelitian lebih lanjut.8 Dengan demikian, pedoman konsensus terus merekomendasikan
pengukuran CVP sebagai pengganti untuk preload meskipun suatu review sistemik ada mengatakan
CVP dan respon terhadap cairan mempunyai hubungan yang kurang. 8,26 Akibatnya, endpoint pertama
pada resusitasi di SS / SS menurut peddoman Surviving Sepsis Campaign adalah target CVP 8-12
cmH2O. Nilai signifikan di bawah target ini mungkin hipovolemia dan berpotensi untuk resusitasi
cairan tambahan. Perlu ditekankan bahwa memanfaatkan CVP membutuhkan penempatan kateter
vena sentral di atas diafragma.
Dalam kondisi sumber daya yang terbatas, loading cairan pada pasien secara empiris harus agresif
cairan karena mereka mungkin membutuhkan kristaloid lebih dari 4-6 L dalam 6 jam pertama

perawatan.21 Intervensi ini telah terbukti mengurangi mortalitas. 27 Seperti ditunjukkan dalam
percobaan ProCESS, resusitasi cairan secara agresif (dengan rata-rata 4.4 L cairan dalam 6 jam
pertama di penelitian ini) harus menjadi suatu kebiasaan. 23 Dalam ketidakhadiran modalitas canggih
untuk memperkirakan respon cairan, cek distensi vena jugularis dan mendengarkan crackles sebagai
bukti overload cairan.28
Pemberian cairan terus-menerus
Sementara sangat bervariasi per kasus, pasien dalam percobaan ProCESS dalam perawatan biasa
menerima rata-rata 4,3 3,9 L cairan intravena dari 6-72 jam (setelah resusitasi awal). 23 Dalam
kondisi yang terbatas sumber dayanya, menggunakan petunjuk dari hipoperfusi seperti hipotensi,
clearance laktat, dan produksi urin (lihat bawah) untuk memandukadar kemasukan cairan setelah
resusitasi awal. Sebagai Variable ini mungkin berlebihan 8 L selama 72 jam berikut.
Pemilihan cairan
Hasil berbagai uji coba mendukung penggunaan kristaloid, menghindari pati hidroksietil (HES), dan
penggunaan albumin hanya setelah administrasi jumlah besar kristaloid. Kristaloid telah berulang kali
terbukti lebih murah, dan memiliki tidak ada perbedaan angka kematian atau mortalitas yang lebih
rendah dibandingkan HES, bersama dengan penurunan kebutuhan untuk terapi penggantian ginjal
(RRT) dan sangat dianjurkan. 8,29,30 Selain itu, penting untuk dicatat bahwa ada muncul data tentang
potensi manfaat menggunakan larutan kristaloid seimbang (misalnya Ringer Laktat) sebagai lawan
untuk cairan kaya klorida (misalnya, salin normal), pertimbangan utama di LMICs harus memastikan
volume resusitasi yang adekuat tanpa mengambil kira cairan jenis apapun itu. 31,32 harus ditekankan
bahwa ulasan ini berfokus pada pasien dewasa, sebagai studi lebih dari 3000 anak-anak mengalami
syok dengan penyakit demam yang diacak untuk bolus cairan vs tidak ada bolus menunjukkan
mortalitas meningkat dalam kelompok bolus cairan. 33 Penerapan hasil uji coba ini untuk pasien
dewasa belum dipastikan.
Dalam kondisi terbatas sumber daya, gunakan kristaloid bebas. Jenis cairan kristaloid tidak sepenting
volume diberikan.

Vasopressor
Endpoint resusitasi kedua di SS / SS adalah pembentukan dari MAP minimal 65 mmHg. Di SS / SS,
ada ketidakseimbangan antara vasodilatasi dan vasokonstriksi. Demikian, obat vasoaktif sering
diperlukan dalam pasien sepsis dengan hipotensi (MAP <65 mmHg). Tujuannya adalah untuk

mengembalikan tekanan arteri yang mencukupi dan aliran darah ke organ penting. MAPS dibawah
dari 60 mmHg,autoregulasi koroner, ginjal dan SSP hilang dan aliran darah organ memiliki hubungan
garis lurus dengan tekanan.34 Namun, perfusi jaringan dapat dipertahankan pada MAPS serendah 65
mmHg.35
Dengan demikian, ketika menggunakan vasopressor, menargetkan Mapp 65 mmHg adalah diterima
sebagai titik akhir klinis untuk sebagian pasien.8 Pengecualian jika MAPS lebih tinggi mungkin
diperlukan pada pasien dengan hipertensi kronis dan MAPS rendah dapat ditoleransi pada pasien
muda.8 Idealnya, resusitasi cairan (CVP P8 cmH2O) harus terjadi sebelum penggunaan vasopresor,
bagaimanapun, pasien syok mungkin memerlukan vasopressor lebih cepat. 8
Ada beberapa pilihan untuk pilihan agen vasopressor. Dalam studi Rivers, dopamine dan
norepinephrine yang digunakan.21 Baru-baru ini, percobaan multicenter membandingkan norepinefrin
dan dopamin, keduanya dianggap sama-sama memberi manfaat membalikkan hipotensi dan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam angka kematian, meskipun ada lebih aritmia di kelompok
dopamine.36 Para penulis menyimpulkan bahwa norepinefrin adalah lebih berkesan dalam pengaturan
sepsis.36
Pada pasien dengan hipotensi refrakter meskipun resusitasi cairan dan administrasi norepinefrin,
vasopressin mungkin ditambahkan pada dosis rendah 0,03 unit per menit dan telah terbukti memiliki
hemodinamik lebih baik dan efek fungsi ginjal.37 Epinefrin dan fenilefrin adalah tambahan alternatif
untuk norepinephrine.8
Pedoman konsensus terbaru merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopressor lini pertama,
sedangkan epinefrin dan vasopressin yang mungkin tambahan. Dopamin dianjurkan melawan
digunakan kecuali dalam keadaan yang sangat pilih, seperti sebagai bradycardia relatif. 8
Dalam kondisi yang terbatas sumber daya, vasopressor harus dimulai sekali pasien diyakini memadai
cairan resusitasi. Jika tersedia, norepinefrin lebih disukai, diikuti oleh epinefrin dan / atau vasopresin.
Dopamin dan fenilefrin dapat digunakan jika tidak ada agen lain yang tersedia.

Produk darah dan inotropic


Endpoint resusitasi ketiga untuk pengobatan SS / SS adalah SCVO2 minimal 70%, sebagai ukuran
keseimbangan antara pengiriman oksigen jaringan dan konsumsi. Ada beberapa penyebab saturasi

oksigen vena sentral rendah (SCVO2 <70%) pada pasien septik yang telah mencapai memadai resusitasi
cairan dan tekanan darah yang memadai. Ini mungkin karena jaringan yang aktif secara metabolik,
hipoksemia arteri, rendah kapasitas membawa oksigen, atau penurunan curah jantung (CO). Kadar
pengiriman oksigen dapat ditingkatkan dengan transfusi dari packed red cells (PRC).21
Sel darah merah harus ditransfusi ke hemoglobin sasaran konsentrasi 7-9 g / dL.8 ini berbeda dari
Rivers Penelitian, yang menggunakan hematokrit ambang 30% .21 Namun, sedangkan konsentrasi
hemoglobin yang optimal di sepsis tidak khusus diketahui, hasil dari Persyaratan Transfusi dalam
sidang Perawatan Kritis tidak menunjukkan peningkatan mortalitas bila menggunakan jumlah
hemoglobin 7-9 g / dL dibandingkan dengan 10-12 g / dL.38 administrasi rutin fresh frozen plasma
untuk memperbaiki koagulopati harus dihindari kecuali ada perdarahan aktif atau prosedur invasif
yang direncanakan. Trombosit harus ditransfusi bawah 5000 / mm3 bahkan dalam ketiadaan
perdarahan, dan dapat dianggap antara 5000 dan 30.000 / mm 3 jika ada risiko yang signifikan
pendarahan. Jika jumlah trombosit adalah 50.000 / mm3 atau di atas maka transfusi hanya harus
dilakukan dalam pengaturan operasi atau prosedur invasive yang direncanakan. 8
Jika ScvO2 kurang dari 70% meskipun hemoglobin yang tepat tingkat (atas), agen inotropik dapat
diberikan untuk menambah curah jantung. Dobutamin (2,5 mcg / kg / menit untuk maksimum 20
mcg / kg / min) adalah pilihan utama.21 Melebihi dosis ini belum terbukti efektif.
Dalam kondisi terbatas sumber daya, transfusi darah produk harus digunakan dengan hemat, seperti
ditunjukkan di atas. Terapi inotropic dapat dimulai untuk meningkatkan cardiac output jika bukti syok
berlanjut meskipun pemberian cairan liberal, inisiasi vasopressor, dan transfusi produk darah (jika ada
indikasi). Sebagai pengukuran SCVO2 memerlukan kateter vena sentral (CVC), langkah-langkah lain
untuk mengenalpasti syok seperti laktat dan produksi urin (lihat di bawah) dapat digunakan sebagai
indikator pengganti.
Laktat
Laktat merupakan penanda penting dari sepsis berat dan peningkatan laktat (4 mmol / L) terkait
dengan kadar kematian tinggi.39 Sebuah uji coba baru-baru ini multicenter acak oleh Jones
dibandingkan laktat clearance (10%) dengan SCVO2 (70%) sebagai endpoint resusitasi secara
kuantitatif dan hasilnya tidak menunjukkan banyak perbedaan. .40 Ini menunjukkan bahwa mengukur
kadar laktat di perifer sebagai gantinya SCVO2 (yang membutuhkan CVC) dapat memicu jalur
resusitasi non-invasif secara kuantitatif. Namun, kemungkinan ini belum dimasukkan dalam pedoman
konsensus, yang saat ini menyatakan sasarannya adalah untuk nilai laktat kembali normal. 8 SCVO2 dan
laktat tidak perlu digunakan untuk mengesampingkan satu sama lain, dan bila tersedia, dapat
digunakan secara bersamaan.

Dengan tidak adanya CVCs, memeriksa tingkat laktat secara serial dapat digunakan untuk terapi (di
atas).
Urine output
Apakah SCVO2 atau tingkat laktat digunakan untuk mengobservasi terapi, resusitasi dalam 6 jam
pertama meliputi pemeliharaan urin output lebih atau sama dengan 0,5 mL / kg / jam. Ini adalah
tambahan yang endpoint untuk penanda lain dari perfusi jaringan, dan tingkat rendah menyarankan
perlunya resusitasi yang lebih agresif.8
Dalam kondisi yang terbatas sumber dayanya, produksi urine harus ditakar untuk semua pasien.
Sebuah kateter kemih bisa digunakan, atau wadah pengumpulan urin. Waktu dan jumlah setiap
episode harus dicatat, mirip dengan tanda-tanda vital.
Antimicrobial
Dalam pengaturan SS / SS, telah menunjukkan bahwa tertunda administrasi antibiotik jelas terkait
dengan peningkatan kematian. Bahkan sebelum terjadinya hipotensi persisten atau berulang, ada
peningkatan 8% dalam kematian untuk setiap jam keterlambatanpemberian antimikroba. 41 Dalam
kohort lain dari pasien yang menjalani EGDT, mereka yang menerima antibiotic yang sesuai kurang
dari satu jam setelah triase memiliki 14% lebih rendah kematian dibandingkan dengan mereka yang
tidak.42 Waktu adalah penting, pilihan antibiotik juga sama penting. Menargetkan patogen memiliki
implikasi hasil juga. Dalam prospektif studi, pasien bakteremia Gram-negatif yang empiris yang
diterima sesuai (patogen rentan) antibiotik memiliki angka kematian secara signifikan lebih rendah
dibandingkan yang secara empiris menerima pantas (patogen tidak rentan) antibiotik (18% vs 34%).

43

Tidak mengherankan, pasien yang menerima terapi yang tidak memadai memiliki peningkatan
mortalitas 10% di rumah sakit.41Dengan demikian, direkomendasikan bahwa antibiotik spektrum luas
diberikan sesegera mungkin di sepsis, tapi selalu dalam satu jam pertama setelah didiagnosa SS / SS. 8
Sementara kemungkinan ini memerlukan studi lebih lanjut, dan perawatan belum mencapai standar
internasional, pentingnya administrasi antibiotik yang benar secepat mungkin tidak dapat disangkal. 39
Pilihan terapi antibakteri empiris bervariasi secara signifikan berdasarkan karakteristik pasien.
Pertimbangan penting termasuk (namun tidak terbatas pada): sumber infeksi yang paling
memungkinkan, antibiotik yang dikonsumsi baru-baru ini (3 bulan terakhir), paparan terhadap resiko
kesehatan (misalnya, rumah sakit), penyakit kronik, patogen lokal dan resistensi obat. 8 Pasien dengan
paparan antibiotik baru-baru ini memiliki insiden yang lebih tinggi dari infeksi berisiko tinggi seperti
resisten methicillin Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa, sedangkan mereka dengan
eksposur kesehatan baru-baru ini telah meningkatkan kemungkinan menjadi terpajan dengan bakteria
yang memproduksi ESBL.44 Pathogen paling umum di SS / SS pada pasien yang dirawat di rumah

sakit dalam urutan menurun adalah bakteri Gram-positif, bakteri Gram-negatif, dan campuran
microorganism bakteri.8 Dalam semua kasus, terapi antibakteri harus dipandu oleh sumber infeksi
yang paling mungkin dengan antibiogram lokal.
Selain bakteri, jamur telah muncul sebagai penyebab infeksi terbanyak di seluruh dunia, khususnya di
rumah sakit, dan Candida adalah agen yang paling umum keempat diidentifikasi dalam kultur darah
pasien sepsis. Meskipun demikian, diperkirakan bahwa jamur bertanggung jawab untuk hanya 5%
dari semua kasus SS / SS, dan karena itu, administrasi rutin antijamur adalah tidak direkomendasikan.
Sebaliknya, mereka harus disediakan untuk pasien yang sudah diketahui kolonisasi Candida di
beberapa tempat, gangguan hambatan fisiologis (perforasi gastrointestinal berulang atau kebocoran
anastomosis, pankreatitis akut necrotizing, kemoterapi-induksi mucositis, perangkat akses vaskular)
kondisi yang immunocompromised (pasien kanker neutropenia atau penerima transplantasi), atau
kegagalan untuk memperbaiki saat menerima agen antibiotics. 45 Obat first-line adalah azoles atau
echinocandins.46
Dalam rangkaian terbatas sumber daya, administrasi yang cepat dari yang tepat antibiotik merupakan
landasan untuk perawatan sepsis dan memiliki sebuah timesensitive efek terhadap mortalitas.
Antibiotik harus dimulai sesegera mungkin (idealnya dalam satu jam pertama dari pengakuan sepsis).
Karakteristik pasien penting termasuk penggunaan baru-baru ini antibiotik dan eksposur kesehatan.
Antibiotik lokal atau regional pedoman lebih disukai dan harus digunakan untuk memilih agen yang
paling tepat (s). Mempertimbangkan penambahan agen antivirus di pilih cases.28
Malaria
Dalam Sub-Sahara Afrika, co-infeksi malaria dengan sepsis adalah umum pada anak-anak. Dalam
sebuah studi dari lebih dari 3000 anak-anak di Uganda, Kenya dan Tanzania dengan penyakit demam,
57% ditemukan memiliki infeksi malaria.33 Dalam studi lain dari anak-anak malaria, 6% yang
terinfeksi bakteria invasif terkait peningkatan mortalitas. 47 Pada orang dewasa, tingkat koinfeksi
kurang jelas, dengan baru-baru ini studi dari orang dewasa yang mengalami sepsis di Uganda, daerah
endemis malaria, menunjukkan prevalensi malaria hanya 4%. 48 Karena ada banyak bentuk tes
diagnostik cepat (RDT) untuk antigen malaria (misalnya, kaya protein histidin 2, Plasmodium laktat
dehidrogenase) sekarang digunakan di daerah endemis, konfirmasi secara parasitologi telah
meningkat dari 20% menjadi 47% dari tahun 2005 hingga 2011.49 Meskipun demikian, RDT tidak
memiliki nilai prediktif negative yang cukup tinggi untuk mendukung penghentian pengobatan jika
mempunyai penyakit yang lebih parah, dan pengobatan antimalaria bila ada demam telah lama
direkomendasikan.50-54 Dalam rangkaian terbatas sumber daya, bila tidak cukup bukti untuk
merekomendasikan pengobatan antimalaria empiris di semua pasien dewasa dengan SS / SS, jika ada
kekhawatiran klinis untuk koinfeksi malaria, pengobatan empiris harus dimulai dan dipandu oleh pola
resistensi lokal.

Control sumber
Menyingkirkan sumber infeksi adalah penting dan diistilahkan '' kontrol sumber. '' Ini termasuk
intervensi seperti cairan drainase, debridement dari jaringan lunak, penghapusan perangkat, dan
langkah-langkah definitif lain untuk mengembalikan fungsi. Penghapusan locus infeksi secara fisik
harus diidentifikasi atau dikeluarkan sesegera mungkin karena dapat mengubah perjalanan sepsis. 8,55
Intervensi harus mulai dengan metode yang paling kurang invasif (misalnya, lewat perkutaneus
sebagai ganti bedah) bila memungkinkan. Ketika kateter pembuluh darah yang tetap didalam, kultur
darah harus diambil lewat kateter. Kateter urin harus diganti dan kultur urin harus diambil dari
catheter.17 Dalam rangkaian terbatas sumber daya, menghapus sumber infeksi bila memungkinkan,
terutama jika dapat dikeringkan atau debrided.11
Kortikosteroid
SS / SS mungkin terkait dengan kekurangan adrenal.56 Dengan demikian, beberapa studi telah
berusaha untuk menentukan apakah administrasi rutin kortikosteroid dapat membantu resolusi dari
shock dan mengurangkan angka kematian secara keseluruhan. Sebagai agen anti-inflamasi,
kortikosteroid dapat mengurangi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh sitokin dan neutrophils. 13
Awalnya, kortikosteroid tidak terbukti bermanfaat dalam SS / SS malah berpotensi memburuk
prognosis.57 Namun, kemudian penelitian oleh Annane dkk. menunjukkan bahwa pasien dengan syok
sepsis yang tidak berespon dengan vasopressor terjadi pembalikan dan pengurangan angka kematian
ketika diobati dengan dosis rendah hidrokortison dan fludrocortisone. 58 Suatu tindak lanjut, trial
multicenter besar (CORTICUS), yang berpartisipasi adalah pasien yok sepsis yang berespon dengan
vasopressor, bila menerima dosis rendah kortikosteroid tidak menunjukkan manfaat kelangsungan
hidup.59 Dengan demikian, pedoman konsensus merekomendasikan terhadap penggunaan
hidrokortison secara rutin jika cairan IV dan vasopressor dapat mengembalikan stabilitas
hemodinamik. Dalam hal syok yang tidak berespon terhadap vasopressor,disarankan hidrokortison
dengan dosis 200 mg IV harian.8 Dalam rangkaian terbatas sumber daya, steroid, bila tersedia, harus
dipersiapkan untuk syok sepsis persisten berikut yang memadai resusitasi cairan dan pemberian
vasopressor.
Glukosa
Sementara itu sebelumnya diyakini bahwa kontrol glikemik yang ketat (glukosa darah 80-110 mg /
dL) adalah menguntungkan, data dari percobaan NICE-SUGAR telah menunjukkan peningkatan
mortalitas dengan pendekatan ini dibandingkan dengan kontrol glukosa konvensional (darah glukosa
180 mg / dL).60 Sekarang dianjurkan bahwa pendekatan protocoled untuk dosis insulin dimulai
hanya setelah dua pengukuran glukosa darah > 180 mg / dL. 8 Dalam rangkaian terbatas sumber daya,
periksa kadar glukosa darah pada semua pasien. Dengan adanya hiperglikemia ringan, tanpa

pemantauan ketat, berhati-hati mengurangi kadar glukos karena hipoglikemia mungkin lebih
berbahaya.
Intubasi dan ventilasi mekanikal
Pada pasien sepsis, perkembangan kejutan di 24 jam pertama adalah prediktor terbaik dari kebutuhan
untuk ventilasi mekanik, dan setengah dari semua pasien dengan tingkat keparahan penyakit ini
memburuk menjadi sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). 61 Intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik dapat membantu dengan mengurangi kerja pernapasan dan meningkatkan penghantaran
oksigen.8,21 Bila diperlukan, keputusan harus dengan cepat. Ada beberapa pilihan untuk agen induksi
di rapid sequence intubation(RSI) dan ada perdebatan untuk yang paling sering dipakai. Etomidate
adalah agen induksi yang biasa digunakan di Amerika. Penggunaannya dalam sepsis telah menjadi
fokus diskusi, terutama dalam beberapa tahun terakhir sebagai studi menunjukkan CORTICUS bahwa
pasien yang menerima etomidate memiliki peningkatan tingkat 17% penekanan adrenal dan
meningkatkan risiko kematian pada 28 hari (40-45% vs 30-32%). 59 Namun, sejak saat itu, beberapa
calon dan studi retrospektif belum menunjukkan statistik peningkatan yang signifikan dalam angka
kematian dengan penggunaan etomidate.62-65 Dengan demikian, tidak ada data yang pasti saat ini
mencegah penggunaan etomidate di SS / SS. Namun demikian, keuntungan agen lain seperti ketamin,
yang telah menarik perhatian karena efek simpatomimetik pada denyut jantung, tekanan darah, dan
output jantung.66,67 Saat ini, pilihan induksi agen tergantung dokter.
Respon inflamasi pada sepsis dapat menyebabkan cedera paru dan ARDS. Dalam multicenter uji coba
secara acak dari pasien paru-luka, mereka yang menjalani ventilasi mekanis dengan ventilasi
pelindung-paru (volume tidal rendah 6 mL / kg berat badan prediksi dan tekanan dataran rendah 30
cm H2O) mengalami penurunan mutlak 9% pada mortalitas. 68 Dengan demikian, ini adalah strategi
ventilasi yang lebih sering digunakan. Setelah intubasi, fraksi oksigen inspirasi (FiO2) harus
dikurangi sesegera mungkin untuk mencegah toksisitas oksigen. Mempertahankan tingkat rendah
tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) dapat mencegah kolaps alveolar yang luas di akhir
ekspiras.8,41,61 Selain itu, kepala di tempat tidur harus ditinggikan 30-45O untuk mengurangi resiko
pneumonia disebabkan penggunaan ventilator. 69 Dalam rangkaian terbatas sumber daya, pulse
oksimetri secara rutin digunakan dan menjaga kadar oksigen di atas 90% dengan pemberian oksigen
tambahan.

Kesimpulan

Pedoman konsensus ada dengan rekomendasi khusus untuk pendekatan bundel untuk pengobatan
pasien sepsis, dan khususnya, pasien dengan SS / SS. Konsep kuantitatif resusitasi telah mendapatkan
dukungan dalam beberapa tahun terakhir dan telah membantu standarisasi pendekatan perawatan
sepsis. Apa yang termasuk di atas adalah termasuk dalam praktik ideal. Keypoint meliputi:

Tabel 3 Intervensi sepsis pada terbatas sumber daya settings 11 Tabel diadaptasi dari Dunser dkk.
(2012)11
Intervensi terbatas sumber daya
Kategori
Sirkulasi

Oksigenasi

Terapi antimicrobial

Diagnose

Control sumber

Intervensi
Perfusi jaringan yang adekuat dijadikan target
sebagai resusitasi primer. Usahakan untuk
tekanan darah >90 mmHg
Bila ada hipoperfusi, infus cairan kristalloid
dengan banyak dan teruskan 24-48 jam
seterusnya. Pasien mungkin memerlukan lebih
dari 4 liter cairan pada 24 jam pertama
Penggunaan norepinefrin lebih baik pada pasien
dengan hipoperfusi walaupun sudah di resusitasi
cairan. Tekanan darah dan nadi harus sering
dimonitor.
Oksigen diberikan dengan target saturasi oksigen
>90%. Berikan oksigen empiric pada pasien
SS/SS jika tiada pulse oxymeter.
Berikan antimikroba pada satu jam pertama
setelah didiagnosa sepsis
Pilih antimikroba yang lebih tinggi peluang untuk
melawan patogen
Lakukan pemeriksaan radiografi bila
memungkinkan
Lakukan kultur dari setiap sumber infeksi yang
memungkinkan dan lakukan uji sensitivitas
Lakukan debridement pada sumber infeksi bila
memungkinkan
Keluarkan alat yang mungkin menjadi sumber
infeksi

Skrining cepat menggunakan kriteria SIRS dan waspada terhadap spektrum sepsis pada

penyakit lain.
Terus mengulangi tanda-tanda vital.
Oksigen tambahan untuk tingkat saturasi oksigen <90%.
Akses intravena langsung di beberapa situs.
Resusitasi cairan menggunakan 30 mL / kg kristaloid diikuti oleh penilaian volume

intravaskular.
Pemeliharaan MAP 65 mmHg dan penggunaan vasopressor (norepinefrin baris pertama)

jika diperlukan.
Penggunaan produk darah (hemoglobin 7-9 g / dL) dan / atau dobutamin untuk menjaga

SCVO2 70% (bila tersedia).


Pengukuran dan normalisasi tingkat laktat.
Budaya yang diperoleh dari setiap diduga sumber infeksi.
Pemberian antibiotik spektrum luas secepat mungkin (idealnya dalam satu jam pertama).
Kontrol sumber awal.
Menghindari kortikosteroid kecuali dalam syok yang tidak berespon terhadap vasopressor.
Kontrol glukosa konvensional 180 mg / dL.
Ventilasi dengan volume tidal rendah (6 ml / kg).
Penilaian ulang terus status klinis dan revaluasi modalitas pengobatan.

Relevan pada orang afrika


Sementara pedoman Surviving Sepsis Campaign telah mendapatkan pengakuan internasional dan
memberikan hasil yang lebih baik untuk pasien SS / SS di negara maju, banyak rekomendasi tidak
dapat diimplementasikan dalam LMICs karena kurangnya sumber.7,70,71 Misalnya, dalam banyak
situasi, salah satu yang paling mendasar dari kebutuhan, kekurangan pegawai yang tepat untuk
pemantauan pasien, dan tidak ada akses ke perawatan yang lebih intensif. 7,72 Selanjutnya, ada
perdebatan tentang pengalihan beberapa studi yang dilakukan di negara berpenghasilan tinggi. 73
Terdapat bukti bahwa pendekatan secara bundel untuk perawatan sepsis dalamnegara berkembang,
terfokus pada cairan awal dan pemberian antibiotic memgurangkan angka kematian di Africa. 74 Tidak
ada pedoman diterima untuk manajemen SS / SS di LMICs. Namun, beberapa rekomendasi berbasis
bukti telah dihasilkan dalam ketidakhadiran mereka. Mereka menekankan kadar HIV dan kontribusi
penyakit menular yang tinggi (seperti malaria dan demam tifoid), variasi bakteriologi, dan
menekankan pentingnya pengenalan cepat sepsis dan kebutuhan untuk pelatihan tambahan dan
penelitian.6,11,75 Tabel 3 adalah ringkasan dari tinjauan sistematis untuk intervensi praktek terbaik yang
disesuaikan dengan pengaturan sumber daya terbatas.
Arah masa depan
Banyak diperlukan dalam cara penelitian yang berkaitan dengan perawatan pasien septik di LMICs.
Daerah tertentu fokus termasuk epidemiologi sepsis, ketersediaan sumber daya non-tersier pengaturan
perawatan, kemanjuran perawatan dibundel dan kemanjuran relative intervensi yang ditargetkan

khusus, pengetahuan petugas kesehatan dan program pelatihan, dan analisis biaya-manfaat dari
masing-masing komponen ini.

Referensi

1.Levy MM et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS international sepsis definitions conference.


Crit Care Med 2003;31(4):12506.
2. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference:
definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis, .
Crit Care Med 1992;20(6):86474.
3. Angus DC et al. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence,
outcome, and associated costs of care. Crit Care Med 2001;29(7):130310.
4. Nguyen HB, Smith D. Sepsis in the 21st century: recent definitions and therapeutic advances. Am J
Emerg Med 2007;25(5):56471.
5. Cheng AC, West TE, Peacock SJ. Surviving sepsis in developing countries. Crit Care Med
2008;36(8):2487, author reply 2487-8.
6. Cheng AC et al. Strategies to reduce mortality from bacterial sepsis in adults in developing
countries. PLoS Med 2008;5(8):e175.
7. Baelani I et al. Availability of critical care resources to treat patients with severe sepsis or septic
shock in Africa: a self-reported, continent-wide survey of anaesthesia providers. Crit Care
2011;15(1):R10.
8. Dellinger RP et al. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe
sepsis and septic shock:
2012. Crit Care Med 2013;41(2):580637.
9. Zambon M et al. Implementation of the surviving sepsis campaign guidelines for severe sepsis and
septic shock: we could go faster. J Crit Care 2008;23(4):45560.
10. Jawad I, Luksic I, Rafnsson SB. Assessing available information on the burden of sepsis: global
estimates of incidence, prevalence and mortality. J Global Health 2012;2(1):10404.
11. Dunser MW et al. Recommendations for sepsis management in resource-limited settings. Intensive
Care Med 2012;38(4):55774.
12. Black RE et al. Global, regional, and national causes of child mortality in 2008: a systematic
analysis. Lancet 2010;375(9730):196987.
13. Li J et al. Sepsis: the inflammatory foundation of pathophysiology and therapy.. Hosp Pract (1995)
2011;39(3):99112.
14. Dombrovskiy VY et al. Facing the challenge: decreasing case fatality rates in severe sepsis despite
increasing hospitalizations. Crit Care Med 2005;33(11):255562.
15. Cohen J et al. Diagnosis of infection in sepsis: an evidence-based review. Crit Care Med
2004;32(11 Suppl.):S46694.
16. Maki DG, Kluger DM, Crnich CJ. The risk of bloodstream infection in adults with different
intravascular devices: a systematic review of 200 published prospective studies. Mayo Clin Proc
2006;81(9):115971.

17. Marshall JC et al. Source control in the management of severe sepsis and septic shock: an
evidence-based review. Crit Care Med 2004;32(11 Suppl.):S51326.
18. Martin GS et al. The epidemiology of sepsis in the United States from 1979 through 2000. N Engl
J Med 2003;348(16):154654.
19. Lamy B et al. What is the relevance of obtaining multiple blood samples for culture? A
comprehensive model to optimize the strategy for diagnosing bacteremia. Clin Infect Dis
2002;35(7):84250.
20. Shoemaker WC et al. Prospective trial of supranormal values of survivors as therapeutic goals in
high-risk surgical patients. Chest
1988;94(6):117686.
21. Rivers E et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N
Engl J Med
2001;345(19):136877.
22. Jones AE et al. The effect of a quantitative resuscitation strategy on mortality in patients with
sepsis: a meta-analysis. Crit Care Med 2008;36(10):27349.
23. ProCESS Investigators Yealy DM, Kellum JA, Huang DT Barnato LA, Weissfeld LA, et al. A
randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med 2014;370(18):168393.
24. Vincent JL, Gerlach H. Fluid resuscitation in severe sepsis and septic shock: an evidence-based
review. Crit Care Med 2004;32(11):S4514.
25. Marik PE, Monnet X, Teboul JL. Hemodynamic parameters to guide fluid therapy. Ann Intensive
Care 2011;1(1):1.
26. Marik PE, Baram M, Vahid B. Does central venous pressure predict fluid responsiveness? A
systematic review of the literature and the tale of seven mares. Chest 2008;134(1):1728.
27. Nguyen HB et al. Outcome effectiveness of the severe sepsis resuscitation bundle with addition of
lactate clearance as a bundle item: a multi-national evaluation. Crit Care 2011;15(5):R229.
28. IMAI district clinician manual: hospital care for adolescents and adults. Guidelines for the
management of illnesses with limited resources, 2011. Geneva: World Health Organization; 2011.
29. Guidet B et al. Assessment of hemodynamic efficacy and safety of6% hydroxyethyl starch 130/0.4
vs. 0.9% NaCl fluid replacement in patients with severe sepsis: the CRYSTMAS study. Crit Care
2012;16(3):R94.
30. Perner A et al. Hydroxyethyl starch 130/0.42 versus Ringers acetate in severe sepsis. N Engl J
Med 2012;367(2):12434.
31. Yunos NM et al. Association between a chloride-liberal vs chloride-restrictive intravenous fluid
administration strategy and kidney injury in critically ill adults. JAMA 2012;308(15):156672.
32. Shaw AD et al. Major complications, mortality, and resource utilization after open abdominal
surgery: 0.9% saline compared to Plasma-Lyte. Ann Surg 2012;255(5):8219.

33. Maitland K et al. Mortality after fluid bolus in African children with severe infection. N Engl J
Med 2011;364(26):248395.
34. Hollenberg SM et al. Practice parameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients:
2004 update. Crit Care Med 2004;32(9):192848.
35. LeDoux D et al. Effects of perfusion pressure on tissue perfusion in septic shock. Crit Care Med
2000;28(8):272932.
36. De Backer D et al. Comparison of dopamine and norepinephrine in the treatment of shock. N Engl
J Med 2010;362(9):77989.
37. Tsuneyoshi I et al. Hemodynamic and metabolic effects of lowdose vasopressin infusions in
vasodilatory septic shock. Crit Care Med 2001;29(3):48793.
38. Hebert PC et al. A multicenter, randomized, controlled clinical trial of transfusion requirements in
critical care. Transfusion Requirements in Critical Care Investigators, Canadian Critical Care Trials
Group. N Engl J Med 1999;340(6):40917.
39. Levy MM et al. The surviving sepsis campaign: results of an international guideline-based
performance improvement program targeting severe sepsis. Crit Care Med 2010;38(2):36774.
40. Jones AE et al. Lactate clearance vs central venous oxygen saturation as goals of early sepsis
therapy: a randomized clinical trial. JAMA 2010;303(8):73946.
41. Kumar A et al. Duration of hypotension before initiation of effective antimicrobial therapy is the
critical determinant of survival in human septic shock. Crit Care Med
2006;34(6):158996.
42. Gaieski DF et al. Impact of time to antibiotics on survival in patients with severe sepsis or septic
shock in whom early goaldirected therapy was initiated in the emergency department. Crit
Care Med 2010;38(4):104553.
43. Leibovici L et al. Monotherapy versus beta-lactam-aminoglycoside combination treatment for
gram-negative bacteremia: a prospective, observational study. Antimicrob Agents Chemother
1997;41(5):112733.

44. Ulldemolins M et al. Appropriateness is critical. Crit Care Clin


2011;27(1):3551.
45. Bochud PY et al. Antimicrobial therapy for patients with severe
sepsis and septic shock: an evidence-based review. Crit Care Med
2004;32(11 Suppl.):S495512.
46. Pappas PG et al. Clinical practice guidelines for the management
of candidiasis: 2009 update by the Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis 2009;48(5):50335.
47. Berkley JA et al. HIV infection, malnutrition, and invasive

bacterial infection among children with severe malaria. Clin Infect


Dis 2009;49(3):33643.
48. Auma MA et al. Malaria is an uncommon cause of adult sepsis in
south-western Uganda. Malar J 2013;12:146.
49. WHO. World malaria report, 2011. Geneva: World Health Organization;
2012.
50. Hendriksen IC et al. Evaluation of a PfHRP2 and a pLDH-based
rapid diagnostic test for the diagnosis of severe malaria in 2
populations of African children. Clin Infect Dis 2011;52(9):11007.
51. Mtove G et al. Use of an HRP2-based rapid diagnostic test to
guide treatment of children admitted to hospital in a malariaendemic
area of north-east Tanzania. Trop Med Int Health
2011;16(5):54550.
52. Ndyomugyenyi R, Magnussen P, Clarke S. Diagnosis and
treatment of malaria in peripheral health facilities in Uganda:
findings from an area of low transmission in south-western
Uganda. Malar J 2007;6:39.
53. Ndyomugyenyi R, Magnussen P, Clarke S. Malaria treatmentseeking
behaviour and drug prescription practices in an area of low transmission in Uganda: implications for
prevention and
control. Trans R Soc Trop Med Hyg 2007;101(3):20915.
54. McCombie SC. Treatment seeking for malaria: a review of recent
research. Soc Sci Med 1996;43(6):93345.
55. Marshall JC, Al Naqbi A. Principles of source control in the
management of sepsis. Crit Care Nurs Clin North Am
2011;23(1):99114.
56. Rothwell PM, Udwadia ZF, Lawler PG. Cortisol response to
corticotropin and survival in septic shock. Lancet
1991;337(8741):5823.
57. Cronin L et al. Corticosteroid treatment for sepsis: a critical
appraisal and meta-analysis of the literature. Crit Care Med
1995;23(8):14309.
58. Annane D et al. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone
and fludrocortisone on mortality in patients with septic
shock. JAMA 2002;288(7):86271.
59. Sprung CL et al. Hydrocortisone therapy for patients with septic
shock. N Engl J Med 2008;358(2):11124.

60. Finfer S et al. Intensive versus conventional glucose control in


critically ill patients. N Engl J Med 2009;360(13):128397.
61. Sevransky JE, Levy MM, Marini JJ. Mechanical ventilation in
sepsis-induced acute lung injury/acute respiratory distress syndrome:
an evidence-based review. Crit Care Med 2004;32(11):S54853.
62. Dmello D et al. Outcomes of etomidate in severe sepsis and septic
shock. Chest 2010;138(6):132732.
63. Tekwani KL et al. A comparison of the effects of etomidate and
midazolam on hospital length of stay in patients with suspected
sepsis: a prospective, randomized study. Ann Emerg Med
2010;56(5):4819.
64. Jabre P et al. Etomidate versus ketamine for rapid sequence
intubation in acutely ill patients: a multicentre randomised
controlled trial. Lancet 2009;374(9686):293300.
65. Tekwani KL et al. A prospective observational study of the effect
of etomidate on septic patient mortality and length of stay. Acad
Emerg Med 2009;16(1):114.
66. Barbi E, Rizzello E, Taddio A. Use of ketamine continuous
infusion for pediatric sedation in septic shock. Pediatr Emerg Care
2010;26(9):68990.
67. Morris C et al. Anaesthesia in haemodynamically compromised
emergency patients: does ketamine represent the best choice of
induction agent? Anaesthesia 2009;64(5):5329.
68. Ventilation with lower tidal volumes as compared with traditional
tidal volumes for acute lung injury and the acute respiratory
distress syndrome. The Acute Respiratory Distress Syndrome
Network, . N Engl J Med 2000;342(18):13018.
69. Drakulovic MB et al. Supine body position as a risk factor for
nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients: a
randomised trial. Lancet 1999;354(9193):18518.
70. Bataar O et al. Nationwide survey on resource availability for
implementing current sepsis guidelines in Mongolia. Bull World
Health Organ 2010;88(11):83946.
71. Santhanam I et al. GAP between knowledge and skills for the
implementation of the ACCM/PALS septic shock guidelines in
India: is the bridge too far? Indian J Crit Care Med 2009;13(2):548.
72. Jacob ST, West TE, Banura P. Fitting a square peg into a round

hole: are the current Surviving Sepsis Campaign guidelines feasible


for Africa? Crit Care 2011;15(1):117.
73. Lee BW. Improving sepsis care in resource limited settings. Crit
Care Med 2012;40(7):22346.
74. Jacob ST et al. The impact of early monitored management on
survival in hospitalized adult Ugandan patients with severe sepsis:
a prospective intervention study. Crit Care Med 2012;40(7):20508.
75. Becker JU et al. Surviving sepsis in low-income and middleincome
countries: new directions for care and research. Lancet
Infect Dis 2009;9(9):57782.

Anda mungkin juga menyukai