Anda di halaman 1dari 3

Wibowo Chandra Pawito / 1306402620

Review SEKONS 2015 (Seminar Ekologi dan Konservasi 2015)


Menguak eksotika dan upaya konservasi primata nokturnal Indonesia
Acara ini diselanggarakan oleh mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, khususnya
Kelompok Studi Primata Macaca Jurusan Biologi Universitas Negeri Jakarta pada Hari
Sabtu, 5 Desember 2015 di Auditorium Maftuchah Yusuf Gedung Raden Dewi Sartika lantai
2, Kampus A Universitas Negeri Jakarta. Pembicara yang dihadirkan adalah:
1. Ir. Wirdateti, M.Si (Pusat penelitian Biologi, LIPI)
2. Dr. Suroso Mukti Leksono, M.Si (Peneliti Tarsius, UNTIRTA)
3. YIARI (Yayasan Internasional Animal Rescue Indonesia)
Dengan moderator Ibu Ratna Komala, M.Si
dimulai dengan pembukaan dari MC, kemudian sambutan dari ketua panitia dan juga ketua
kelompok studi macaca dilanjutkan dengan menghadirkan moderator dan juga pembicara 1.
Pembicara 1 menjelaskan hewan noctunal Indonesia yang hampir punah, yaitu
Kukang. Kukang merupakan hewan lucu, unik dimana memiliki mata yang besar, arboral
yaitu hidup dari pohon ke pohon yang berarti hewan tersebut jarang turun ke tanah, soliter,
dan yang pasti adalah nocturnal (hewan yang beraktivitas pada malam hari). Kukang
dilindungi oleh UU binatang liar tahun 1931, Kemenpan tahun 1973, dan PP no. 7 tahun
1999. Populasi dari kukang sendiri ternyata sangat memprihatinkan, setiap tahunnya selalu
menurun, ini dimungkinkan karena hilangnya habitat akibat pembakaran hutan dan
perubahan lahan hutan menjadi ladang pertanian, perkebunan dan rumah penduduk.
Perburuan illegal juga banyak dilakukan, biasanya untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan
atau sebagai obat untuk dikonsumsi, ditambah tingkat reproduktif dari kukang yang rendah.
Padahal, sebenarnya kukang dapat dimanfaatkan sebagai fungsi ekologis, dimana kukang
sebagai penyebar biji (pemakan buah), penyerbuk (suka memakan cairan yang manis seperti
madu), dan juga pembasmi serangga (pemakan serangga).
Populasi kukang di dunia hanya terdapat di kawasan Asia Tenggara, yaitu di Pulau
Kalimantan, Sumatera, Bangka Belitung, dan Jawa. Namun, di Pulau Jawa populasinya sudah
mendekati punah. Perbedaan kukang antar pulau ini terdapat di bagian kepala, yaitu di spot
antara matanya, ciri-ciri umumnya yang lain yaitu memiliki tapetum, memiliki jari prehensite
dan ibu jari oposit guna berpegangan kuat pada ranting atau dahan pohon. Yang terakhir,

Tugas Mengikuti Seminar di Luar Universitas Indonesia Kapita Selekta 2015

Wibowo Chandra Pawito / 1306402620


pembicara 1 menjelaskan serta menekankan bahwa Kukang adalah primata yang sangat
langka, dia berjalan lambat namun dapat berjalan cukup jauh, serta dapat berdiam diri atau
mematung dalam waktu yang lama.
Selanjutnya pembicara 2, menjelaskan tentang Tarsius. Tarsius merupakan hewan
primata, bentuknya seperti monyet, namun kecil, ukurannya hanya sebesar jari manusia
sehingga Tarsius merupakan hewan primata terkecil (kawasan Asia), selain itu kepalanya
dapat memutar 180o. Kemudian, Tarsius memiliki daerah kawasannya sendiri yang ditandai
dengan urinnya, hewan monogami, pemakan serangga, dan hanya terdapat di Filipina,
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera bagian selatan dan juga Bangka.
Beliau bercerita tentang penelitiannya di Pulau Sulawesi bersama Tarsius. Warga
disana mempercayai bahwa hewan ini seperti hama dan pembawa kesialan sehingga sangat
dibenci, dengan alasan hewannya berbentuk seperti monyet namun ukurannya kecil,
kemudian sering keluar pada malam hari dikarenakan hewan ini nokturnal. Bahkan warga
disana tidak segan untuk membunuh hewan tersebut ketika mereka menemukannya di ladang
atau di sekitar perumahan penduduk.
Usaha strategi konservasi yang diusulkan dari pembicara 2 agar Tarsius dapat
bertahan dan tidak punah adalah, hewan Tarsius dapat dijadikan sebagai ikon, baik dalam
acara ke-olahraga-an ataupun yang lainnya. Kebanyakan masyarakat yang memelihara hewan
ini memberi makan pisang karena bentuknya yang seperti monyet, padahal tarsius adalah
hewan pemakan serangga layaknya kukang. Sehingga tarsius tidak dapat bertahan hidup dan
akhirnya mati, sehingga berpotensi punah.
Yang terakhir dari pembicara 3, dari YIARI (Yayasan International Animal Rescue
Indonesia), yaitu Drh. Wendy Prameswary dan Robi Tutal Hud. Mereka berdua menjelaskan
bahwa kegiatan YIARI saat ini bekerja sama dengan tim setempat di daerah yang dipilih
kemudian merehabilitasi 130 ekor kukang, namun jumlah yang dapat di release hanya sekitar
30 ekor saja. YIARI dalam kegiatannya menerapkan prinsip 3R, yaitu Resque, Rehabilitasi,
Realease. Rehabilitasi sendiri artinya karantina yang melingkupi medis, perilaku, dan
makanan. Dimana kandang disesuaikan menyerupai tempat release, pakan atau makanan
yang mencukupi nutrisinya seperti getah ara bika, sayuran, telur dan buah. Masalah yang
umum pada kukang terjadi pada gigi, yaitu ompong, tidak tumbuh lagi sehingga menjadi
tidak liar seperti awalnya. Kemudian ada masalah metallic bone disease pada kukang, yang

Tugas Mengikuti Seminar di Luar Universitas Indonesia Kapita Selekta 2015

Wibowo Chandra Pawito / 1306402620


mana salah pemberian nutrisi sehingga menyebabkan tulang mengalami kebengkokan atau
osteoporosis.
Release merupakan kegiatan pelepasan hewan kukang dari tempat rehabilitasi,
dikembalikan ke alam seperti awalnya agar menjadi liar, tidak hanya itu saja, namun juga
diawasi selama 1 tahun dengan pengambilan data tentang perilakunya melalui radiocoolar.
Sebelumnya ada yang namanya pree release, yaitu perilaku sebelum release. Pembicara
menjelaskan bahwa proses pelepasan kukang sangatlah sulit dimana aspek sosial masyarakat
menolak keberadaan kukang karena dianggap sebagai hama dan pembawa sial.

Tugas Mengikuti Seminar di Luar Universitas Indonesia Kapita Selekta 2015

Anda mungkin juga menyukai