Anda di halaman 1dari 4

Konten 4

Propagasi merupakan tahap penyesuaian mikroba terhadap lingkungannya atau ,media


tumbuhnya sebelum benar-benar ditanam atau diinokulasikan ke media tumbuh yang
sebenarnya untuk memproduksi bioproduk, termasuk bioinsektisida. Pada proses propagasi
mikroba melakukan penyesuaian secara fisiologis dan morfologis. Propagasi sebenarnya
bertujuan untuk mendapatkan inokulum yang sehat dan aktif serta dalam jumlah yang
mencukupi. Terkadang dilakukan propagasi ulang untuk mendapatkan sel yang mencukupi
untuk inokulasi ke dalam media fermentasi. Jadi dalam proses propagasi mikroba mengalami
perubahan masaa dan jumlah sel, yaitu semakin banyak. Selain itu pada proses propagasi juga
memfasilitasi biomassa untuk mengaktifkan kembali fungsi fisiologis maupaun metaboliknya
untuk persiapan sebelum inokulasi ke kultur media fermentasi (Darwis 2009).
Perubahan lingkungan yang terjadi pada saat propagasi adalah berkurangnya
konsentrasi media propagasi, yaitu nutrient broth. Lingkungan propagasi tidak mengalami
perubahan kondisi yang signifikan karena biomassa sel yang ditanam pada media propagasi
hanya melakukan penggandaan sel dan aktivasi beberapa fungsi fisiologis dan metaboliknya.
Keasaman lingkungan juga tidak berubah secara signifikan.
Tahapan selanjutnya adalah inokulasi sel ke dalam media fermentasi. Media
fermentasi dijadikan dalam kondisi pH netral karena merupakan syarat optimum
pertumbuhan sel. pada proses ini sel mengalami perubahan yang signifikan baik dari massa
maupun jumlah. Biomassa mengonsumsi media fermentasi yang mengandung berbagai
macam senyawa sumber nutrisi, unsur kelumit dan unsur-unsur lain. Konsumsi urea dan
glukosa serta unsur kelumit (mineral) akan menyebabkan pertambahan jumlah biomassa atau
mempercepat pertumbuhan sel. Dengan banyaknya konsumsi media, konsentrasi substrat
dalam kultur akan terus menurun seiring bertambahnya waktu. Jadi konsentrasi sel
berbanding terbalik terhadap konsentrasi biomassa. Konsumsi substrat akan menhasilkan
berbagai asam organik yang menyebabkan pH lingkungan menurun.
Konsentrasi substrat yang semakin menipis menyebabkan mikroba Bacillus
thuringiensis aizawai memproduksi spora sebagai perlindungan. Pembentukan spora juga
dipicu oleh unsur CaCO3. Unsur ini akan menjadikan lingkungan fermentasi menjadi kurang
nyaman terhadap mikroba sehingga mkroba akan dipaksa untuk melakukan sporolasi.
Perlakuan lain yang dapat menyebabkan sporolasi adalah aerasi intermiten. Aerasi intermiten
merupakan aerasi yang dilakukan secara sklik (hidup-mati) dengan durasi tertentu dengan
tujuan menjadikan mikroba pada posisi yang kritis sehingga mikroba akan membentuk spora
secara terus menerus. Pembentukan spora diikiuti dengan pembentukan bioinsktisida. Jadi
jumlah bioinsektisida yang terbentuk dapat dinyatakan dengan banyaknya spora yang
terbentuk. Jadi perubahan yang terjadi pada saat fermentasi adalah pertambahan jumlah
biomassa sel dan penurunan konsentrasi substrat serta perubahan pH lingkungan yang
fluktuatif (Gumbira 1987).

Pembahasan data kultivasi cair


1. Jumlah koloni
Data yang didapatkan dalam praktikum ini untuk kultivasi cair adalah mengenai
jumlah koloni, biomassa dan pH kultur. Untuk pengujian jumlah koloni, pengenceran yang
dilakukan adalah 1 : 10000 sampai 1 : 10000000 dengan penurunan 10. Data yang didapat
5

10

untuk hari ke 0 adalah paling banyak tumbuh 2 koloni, yaitu pada pengenceran

dan

107 . Pada hari ke 0 mikroba belum melakukan aktivitas fisiologis dan metabolik secara
signifikan sehingga koloni yang tumbuh sangat sedikit karena spora yang terbentuk juga
sedikit. Pada hari ke 1 sudah mulai tumbuh dengan 3 koloni pada sampel pengenceran
5

10

dan

10

. Hal ini menunjukkan mikroba mulai melakukan aktivitas metabolik

dengan memproduksi berbagai asam atau produk lainnya sehingga spora yang terbentuk
mulai muncul meskipun masih belum signifikan. Namun hasil ini berbalik kondisi dengan
pengenceran yang dilakukan. Seharusnya semakin encer sampel yang dibuat semakin sedikit
jumlah koloni yang tumbuh. Pada hari ke 2, terjadi pertumbuhan koloni paling banyak yaitu
5
pada pengenceran 10
dengan total koloni 41. Pada hari ke 3 tidak ada data yang didapat.
5

Pada hari ke 4 didapatkan paling banyak 8 koloni, yaitu pada pengenceran 10

Peningkatan jumlah koloni secara drastis pada hari ke 2 disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang tidak sesuai seperti nilai ekstrim pH, suhu ekstrim dan kurangnya substrat
pada kultur (Sukmadi et al 1996). Jika melihat data pH yang didapat, pada hari ke 1 adalah
pengukuran pH yang paling tinggi dengan nilai 8 sehingga pada selang hari ke 1 sampai hari
ke 2 mikroba mengalami kondisi yang ekstrim dan melakukan produksi spora seecara besarbesaran. Penurunan jumlah koloni pada hari ke 4 dimungkinkan sebagai akibat dari stabilnya
atau menurunnya nilai pH sehingga produksi spora menurun.
Data jumlah koloni mengalami kerancuan jika ditinjau dari faktor pengenceran.
Seharusnya, semakin encer (semakin besar faktor pembagi) semakin sedikit jumlah koloni
yang terbentuk dan sebaliknya. Namun data yang didapat tidak demikian. Dari semua periode
(hari ke) menunjukkan bahwa jumlah koloni terbanyak adalah pada pengenceran
Seharusnya nilai terbanyak adalah pada pengenceran

104

105 .

karena paling pekat dan

konsentrasi sel paling tinggi. Kesalahan ini kemungkinan disebabkan oleh tidak
bercampurnya kultur secara merata saat melakukan pengenceran sehingga kultur yang
seharusnya encer menjadi pekat dan sebaliknya.
2. pH

Data selanjutnya adalah mengenai perubahan pH kultur terhadap lamanya proses


fermentasi dalam satuan hari. Pada hari ke 0 nilai pH yang terukur adalah 7. Nilai ini sesuai
dengan kondisi awal prosedur yaitu pH netral. Pada hari ke 1 nilai pH adalah yang paling
tinggi yaitu 8. Kenaikan ini disebabkan oleh reaksi pada urea. Mikroba Bacillus thuringiensis
memiliki enzim urease yang dapat mengubah urea menjadi ammonium bikarbonat dengan
reaksi kimia: (NH2)2CO +3H2O (NH4)2HCO3 + OH- . Reaksi ini menyebabkan urea terlarut
dalam air dan meningkatkan nilai pH (James, 1983).
Pada hari ke 2 nilai pH mengalami penurunan, yaitu 7 dan pada hari ke 3 tidak ada
data dan pada hari ke 4 nilainya tetap pada 7. Penurunan nilai pH ini disebabkan oleh
aktivitas metabolisme dari mikroba yang semakin meningkat. Proses yang terjadi adalah
konversi glukosa menjadi berbagai macam asam dan terakumulasi di dalam kultur.
Terakumulasinya asam di dalam kultur menyebabkan turunnya nilai pH (Darwis 2009). Jika
data hari ke 3 dapat terukur, dimungkinkan nilainya adalah kurang dari 7 akibat semakin
banyaknya akumulasi asam-asam organik tersebut. Namun setelah itu, beberapa asam (asam
asetat) akan digunakan kembali untuk memproduksi poli--hidroksibutirat (PHB) sehingga
nilai pH dalam kultur akan mengalami peningkatan kembali. Oleh karena itu nilai pH yang
didapatkan kembali ke angka 7 pada hari ke 4. Pembentukan PHB ini berfungsi sebagai
sumber energi untuk proses sporulasi. Selain itu, kenaikan pH juga disebabkan oleh
terakumulasinya bahan-bahan alkali hasil metabolisme urea (Darwis 2009).
3. Biomassa
Data terakhir yang diukur adalah perubahan biomassa dalam satuan gram terhadap
waktu fermentasi dalam satuan hari. Pada hari ke 0 didapatkan biomassa sebesar 31,645 g.
Data ini tidak valid karena seharusnya pada hari ke 0 mikroba belum melakukan aktivitas
metabolik untuk memperbanyak jumlah sel. Kesalahan ini dimungkinkan oleh zat-zat
pengotor yang ikut masuk ke dalam tabung ukur sehingga ketika sudah dikeringkan dan
ditimbang terhitung sebagai biomassa. Pada hari ke 1 didapatkan biomassa sebesar 0,693 g,
hari ke 2 sebesar 0,81 g, hari ke 3 tidak ada data, hari ke 4 sebesar 0.
Biomassa akan meningkat seiring banyaknya konsumsi substrat. hal ini ditunjukkan
oleh data hari ke 1 dan ke 2 dan kemungkinan akan mengalami peningkatan pada hari ke 3.
Penurunan nilai bobot biomassa kemungkinan diakibatkan oleh kematian sel akibat
rendahnya konsentrasi substrat.

Daftar Pustaka
Darwis, Abdul Aziz dkk. 2009. Kajian Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis
subsp israelensis Pada Media Tapioka (terhubung berkala) http://repository.ipb.ac.id
[4 Mei 2014]
Gumbira Said, E. 1987. Bioindustri. Penebar Swadaya, Jakarta.

James, D.W. 1993. Urea : A Low Cost Nitrogen Fertilizer with Special Management
Requirement. Utah State University, USA.
Sukmadi, B. Haryanto, B dan Ratna, S.H. 1997. Pengaruh Konsentrasi Dekstrosa Pada
Produksi Bahan Aktif Bionsektisida B.t subsp aizawai. Majalah BPPT No LXXII : 17
23.

Anda mungkin juga menyukai