Disusun oleh :
Golongan B-2 Kelompok 4
Reva Medina
(I1C015104)
Nurul Annisa
(I1C015106)
Daina Yulianda
(I1C015108)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
PERCOBAAN 2 DAN 3
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT & EFEK SEDATIF
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran organ dalam tubuh seseorang merupakan hal terpenting dalam proses
ekresi obat. Obat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami absorsi, distribusi,
metabolisme dan yang terakhir eskresi. Dalam proses tersebut dibutuhkan organ yang
sehat dan kuat jika tidak obat dapat menjadi racun dalam tubuh kita.
Farmakologi mempelajari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk
menentukan toksisitasnya. Rute pemberian obat (Routes of Administration)
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat
dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda, enzimenzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda.
Jalur
pemakaian
obat
lainnya
yang
harus
meliputi
secara
ditentukan
dan
oral,
rektal,
ditetapkan
C. Dasar Teori
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Gunawan, 2009).
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah
kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda;
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal
ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu
tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzung, B.G, 1989).
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk kedalam
tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek
yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008).
1.
Jalur Enternal
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti
pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral
merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah,
dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat,
tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan
obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan kepraktisan dan tidak
menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan
untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
2.
Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah transdermal
(topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea menggunakan endotrakeal
tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau
lokal. (Priyanto, 2008)
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta
kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi. Sifat ini paling ringan pada flurazepam
dan zat-zat benzodiazepin lainnya, demikian pula pada kloralhidrat dan paraldehida
tekanan darah menurun, terutama oleh barbiturate
sembelit pada penggunaan lama, terutama barbiturate
"hang over, yaitu efek sisa pada keesokan harinya berupa mual, perasaan ringan di
kepala dan termangu.
Hal ini disebabkan karena banyak hipnotika bekerja panjang (plasma-t-nya panjang),
termasuk juga zat-zat benzodiazepin dan barbiturat yang disebut short-acting. Kebanyakan
obat tidur bersifat lipofil, mudah melarut dan berkumulasi di jaringan lemak (Tjay, 2002).
Pada penilaian kualitatif dari obat tidur, perlu diperhatikan faktor-faktor kinetik
berikut:
anksiolitis, sedatif hipnotis, antikonvulsif dan daya relaksasi otot. Keuntungan obat ini
dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hampir tidak
merintangi tidur. Dulu, obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa
efek hipnotisnya semakin berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya
menidurkan, serta memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay, 2002).
Efek utama barbiturat adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai
dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesia, koma sampai dengan kematian. Efek
hipnotiknya dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya
menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Fase tidur REM
dipersingkat. Barbiturat sedikit menyebabkan sikap masa bodoh terhadap rangsangan luar
(Ganiswarna dkk, 1995).
Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Pemberian obat barbiturat yang hampir menyebabkan tidur, dapat meningkatkan 20% ambang
nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (raba, vibrasi dan sebagainya) tidak dipengaruhi. Pada
beberapa individu dan dalam keadaan tertentu, misalnya adanya rasa nyeri, barbiturat tidak
menyebabkan sedasi melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal
ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan (Ganiswarna dkk, 1995).
II. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
Pada percobaan menggunakan alat : spuit injeksi (0,1-2 ml), jarum sonde/ujung
tumpul/membulat, labu ukur 10 ml, stop watch, timbangan tikus, neraca analitik, alat-alat
gelas, rotarod (batang berputar).
B. Bahan
Pada percobaan menggunakan bahan : aquabidest, diazepam, fenobarbital, hewan
coba (tikus), kapas dan alkohol.
III.
CARA KERJA
Hewan Uji
-
Ditimbang bobot
badannya
Dihitung konversi
dosis
Dihitung konsentrasi
larutan stok obat
Dihitung jumlah obat
yang diambil
Dihitung volume
diazepam yang akan
diberikan dengan
Obat diberikan ke
hewan
Peror
subkuta
Intra
Intra
Intra
Hewa
-
badan
Dihitung onset dan durasi waktu tidur
Phenobarbit
diazepa
al
m
- Diberi bahan obat
- Diberi bahan obat
secara intra
secara intra
muskular
peritoneal
Hewa
n - Dilakukan percobaan pada menit
ke 15, 30, 45 dan 60 dengan
meletakkan tikus di atas rotarod
-
selama 2 menit
Diamati berapa kali terjatuh dari
rotarod
Diamati refleks balik badan dan
kornea
Diamati perubahan diameter pupil
Hasil
IV.
= 10 . 5,4 mg/ml
V1 = 0,54 ml di add 10 ml
Volume pemberian
150
= 200 x 0.1 ml = 0,075 ml
= 10 . 0,036 mg/ml
V1 = 0,072 ml di add 10 ml
Volume pemberian
140
= 200 x 5 ml = 3,5 ml
B. Hasil percobaan
MENIT
KE
Kelompok
Kelompok
Kelompok
Kelompok
15
IV
6
PO
1
IM
8
IV
3
PO
2
SC
0
IP
4
IM
3
SC
5
IP
4
30
45
60
KELOMPOK
Cara
Pemberia
1
2
3
4
5
V. PEMBAHASAN
badan
n
IV
Onset
Durasi
Menit ke-9
45 menit
PO
Menit ke-12
55 menit
IM
Menit ke-5
50 menit
IV
Menit ke-12
16 menit
PO
Menit ke-9
51 menit
SC
Menit ke-15
44 menit
IP
Menit ke-12
45 menit
IM
Menit ke-9
15 menit
SC
IP
Menit ke-2
Menit ke-9
50 menit
47 menit
Pada praktikum kali ini yaitu tentang pengaruh cara pemberian terhadap absorbsi obat
dan pengujian efek sedative pada tikus dengan menggunakan obat diazepam dan fenobarbital.
Dari percobaan kali ini diharapkan dapat diketahui pengaruh cara pemberian obat terhadap
daya absorbsi yang selanjutnya akan berpengaruh pada efek farmakologi obat. Salah satu cara
untuk mengetahui pengaruh antara kedua variable tersebut, dengan membandingkan waktu
durasi dan onsetnya. Onset adalah waktu dari obat untuk menimbulkan efek terapi. Sangat
tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak,setelah tubuh menyerap semakin
banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat,namun konsentrasi
puncak puncak respon. Durasi kerja adalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi dalam
tubuh (Gunawan, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi suatu zat atau obat antara lain :
digunakannya tikus sebagai hewan uji percobaan ini yaitu tikus memiliki sistem fisiologis
yang mirip dengan manusia, Pengamatan tikus lebih mudah, lebih ekonomis (Tjay,T.H dan
Rahardja,K, 2002).
Sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu menyiapkan alat-alat dan bahan yang
akan di gunakan. Obat yang digunakan adalah diazepam dan fenobarbital. Dimana diazepam
ini termasuk golongan benzodiazepine dan fenobarbital termasuk golongan barbiturate.
( Ganiswarna, 2008 ).
Ada beberapa cara pemberian obat yaitu sublingual, peroral, per rectal, pemakaian
pada permukaan epitel( kulit, kornea, vagina, mukosahidung ),inhalasi, dansuntikan
( subkutan, intramuskuler, danintratekal ) (Depkes RI,1995). Namun dalam percobaan kali ini,
kami hanya menggunakan rute pemberian intravena ,peroral, intramuscular, subkutan, dan
intraperitonial.
Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan menimbang
bobot tikus . Penimbangan bobot tikus yaitu menetapkan kadar yang sesuai bagi tikus agar
tidak over dosis. Langkah tersebut dilakukan karena setiap cara pemberian obat memiliki
volume maksimum masing-masing dan berbeda satu sama lain.
Langkah kedua yang dilakukan adalah memberi tanda yang berbeda ke tikus untuk
memudahkan dalam pengamatan. Berat tikus untuk diazepam sebesar 140 gr dan berat tikus
untuk fenobarbital sebesar 150 gr. Lalu, kami membuat larutan sesuai perhitungan yang sudah
di hitung. Larutan tersebut dibuat dengan cara mengencerkan volume yang sudah didapat
sebanyak 0,072 ml untuk diazepam dan 0,54 ml untuk fenobarbital, kemudian ditambahkan
HCL hingga 10 ml pada labu ukur. Setelah itu diambil 3,5 ml untuk diazepam dan 0,075 ml
untuk fenobarbital dengan menggunakan jarum suntik.
Langkah ketiga yang dilakukan adalah diazepam diinjeksikan ke dalam rongga perut
tikus dan fenobarbital diinjeksikan ke otot daerah paha. Setelah diinjeksikan, diamati pada
menit berapa tikus terlihat lemas dan dicatat waktu tersebut sebagai onset. Pengamatan
dilakukan pada menit ke-15, 30, 45 dan 60. Diamati pula ketika tikus terlihat segar kembali,
waktu tersebut adalah durasi.
Pengamatan pertama pada menit ke-15,tikus dibalikkan badannya untuk mengamati
reflex balik badannya lalu diletakkan di rotarod selama dua menit sambil dihitung berapa kali
tikus jatuh. Perlakuan tersebut diulang pada menit ke-30, 45 dan 60.
Berdasarkan pengamatan, onset yang paling cepat ialah intramuscular dan subcutan.
Hal ini tidak sesuai dengan literature,dijelaskan bahwa rute intramuscular mengandung
lapisan lemak kecil sehingga obat akan terhalang oleh lemak sebelum terabsorbsi dan rute
subkutan mengandung lemak yang cukup banyak (Katzung, 1986).
Pada literatur, onset yang paling cepat adalah pada rute pemberian obat intravena dan
paling lambat pada pemberian obat per oral. Pada rute intravena, obat tidak melalui proses
absorbsi melainkan langsung masuk ke pembuluh darah. Karena pemberian obat melalui rute
intravena tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat, tepat, dan dapat
disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif. Namun, cara pemberian
intravena biasanya menyebabkan efek toksik mudah terjadi dan tidak dapat ditarik jika terjadi
kesalahan perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak tidak boleh
diberikan karena mengendapkan konstituen darah (Priyanto, 2008).
Rute intraperitonial memiliki waktu onset paling cepat kedua karena rongga perut
mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh
darah (Anief, 1990). Rute per oral memiliki waktu onset paling lama karena obat akan
mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena melalui saluran cerna yang
memiliki banyak factor penghambat (Gunawan, 2009). Meskipun pemberian obat secara oral
merupakan cara pemberian obat yang umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah.
Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya
sehingga waktu onset yang didapat cukup lama.
Sedangkan menurut pengamatan durasi yang paling cepat ialah intravena. Hal ini tidak
sesuai dengan literatur yang mengatakan pada per oral didapatkan durasi terpendek,
disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti perombakan dihati menjadi aktif dan
tidak aktif. Semakin banyak fase yang dilalui maka kadar obat akan turun sehingga obat yang
berikatan dengan reseptor akan turun dan durasinya pendek. Sedangkan pada pemberian
secara intraperitonial, obat dengan kadar tinggi akan berikatan dengan reseptor sehingga akan
langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat
yang berikatan lagi dengan reseptor. Pada sub cutan memiliki durasi yang lama, hal ini
disebabkan karena obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit sehingga
secara perlahan - lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama. Pada rute
intramuskular terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan
lebih tahan lama (Anief, 1990).
Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana hubungannya
dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan absorbsi obat di sini
berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan absorbsi obat berpengaruh terhadap
durasinya misalnya lengkap atau tidaknya obat yang berikatan dengan reseptor dan apakah
ada faktor penghambatnya. Cara pemberian obat yang ideal adalah obat dengan onset cepat
dan durasi panjang. (Ansel, 1986).
Adanya ketidaksesuaian dengan literatur disebabkan oleh ketidaktelitian praktikan
dalam mengamati gejala yang ditimbulkan oleh tikus dan praktikan belum memahami dengan
jelas refleks balik badan yang benar pada tikus.
VI.
KESIMPULAN
Cara pemberian obat yang berbeda-beda dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat
sehingga berpengaruh pada onset dan durasi. Rute pemberian yang dilakukan pada
praktikum kali ini meliputi per oral, subkutan, intramuskular, intraperitoneal dan
intravena. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil rute pemberian
paling cepat menurut onsetnya yaitu intramuskular dan subkutan, sedangkan menurut
durasinya yang paling cepat ialah intravena. Obat yang ideal adalah obat yang memiliki
onset cepat dan durasi yang lama.
VII.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan.Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Hal 1.
Ansel, Howard.C., 1986, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Universitas
Indonesia Press.
Depkes RI., 1995, Farmakope indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Djamhuri, A., 1995, Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di klinik dan
Perawatan. Jakarta: Hipokrates. Hal. 95.
Ganiswarna, S., et al,1995, Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia.
Ganiswara, Sulistia G (Ed)., 2008, Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi V. Jakarta : Balai
Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia
Gunawan.,2009, Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : Falkultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Katzung, Bertram. G., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika
Priyanto., 2008, Farmakologi Dasar Edisi II. Depok : Leskonfi
Tjay, T. H. dan Rahardja K., 2002, Obat Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Elex
Media Komputindo
Ketua Kelompok,
Ketua Kelompok,
Ketua Kelompok,