Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS UMUM

Undang-Undang kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 merupakan revisi dari Undang


-Undang nomor 23 tahun 2002 yang disahkan pada tanggal 13 Oktober tahun 2009. Dalam
undang-undang, banyak memberikan peluang bagi peningkatan pembangunan kesehatan, karena
pemerintah pusat wajib untuk mengalokasikan 5% APBN untuk pembiayaan kesehatan begitu
pula pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota wajib untuk menyediakan 10%
APBD untuk pembiayaan kesehatan. Dengan demikian maka pemerintah pusat dan daerah
minimal harus mengalokasikan anggaran 30% untuk pendidikan dan kesehatan, jika hal ini dapat
terpenuhi maka harus diimbangi dengan peningkatan status pendidikan dan kesehatan yang
optimal.
Selain itu, telah terjadi perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan yaitu
dari paradigma sakit yang begitu kental pada Undang-Undang Kesehatan sebelumnya (no 23
tahun 1992) bergeser menjadi paradigma sehat.
Undang-undang ini pula mengatur tentang rokok dan pemberian ASI Eksclusif yang
merupakan hal yang penting dalam kesehatan masyarakat. ASI eksclusif masih rendah
cakupannya di masyarakat. Padahal manfaatnya sangat luar biasa dalam membentuk generasi
yang sehat dan cerdas. Sedangkan jumlah perokok semakin meningkat. Padahal akibatnya
terhadap kesehatan sudah tidak terbantahkan lagi. Rokok tidak hanya merugikan dari aspek
kesehatan, namun juga dari aspek ekonomi. Uang yang dihabiskan oleh para perokok sekiranya
digunakan untuk keperluan yang lain, bisa meningkatkan kualitas hidup perokok maupun
keluarganya
Di sisi lain, Undang-Undang Kesehatan yang baru ini (no. 36 tahun 2009) tidak memuat
konsep yang jelas tentang kesehatan masyarakat Sebagaimana inti dari paradigma sehat,
yaitu pendekatan promotif dan preventif yang tentunya sasaran utamanya adalah masyarakat.
Karena masyarakat sendiri tidak dicantumkan dalam ketentuan umum dalam undangundang kesehatan terbaru ini, sehingga undang-undang kesehatan terlihat hanya di
peruntukkan untuk pemerintah pusat dan daerah termasuk petugas kesehatan sebagai
payung

hukum

untuk

menyelenggarakan

pembangunan

kesehatan. Tetapi

tidak

diperuntukkan untuk masyarakat sebagai pemilik kesehatan, pemilik partisipatif, pemilik


investasi kesehatan, pemilik hak asasi kesehatan dan sebagai subjek pembangunan

kesehatan. Kewajiban atau tanggung jawab masyarakat itu sendiri tidak ditemukan, yang
ada hanya peran serta masyarakat.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan melarang perawat memberi
obat daftar G seperti antibiotik dan obat bius kepada pasien. Namun, apabila aturan itu
diterapkan secara kaku, 654 perawat sekaligus kepala pusat kesehatan masyarakat pembantu di
daerah terpencil yang tidak terjangkau dokter di Kalimantan Timur terancam hukuman pidana
Salah satu aspek dari undang-undang ini yang menjadi perdebatan banyak kalangan
adalah tentang aborsi. Menurut penulis meski sekilas apa yang telah diatur dalam undang-undang
ini terlihat melindungi hak perempuan, tetapi bagaimanapun kehidupan adalah sesuatu yang
perlu dihormati. Penulis cenderung sepakat untuk tidak melegalkan aborsi untuk kepentingan
apapun, karena setiap cikal bakal kehidupan adalah karunia yang harus disyukuri dan dilindungi.
Selain itu, penulis mengkhawatirkan bahwa pasal tersebut akan disalahgunakan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.
Menurut hemat penulis, seharusnya Undang-undang kesehatan memperjelas tentang
konsep kesehatan masyarakat, bukan konsep kesehatan semata. Mencantumkan tentang
kewajiban dan tanggung jawab masyarakat sebagai pemilik kesehatan itu sendiri dan sebagai
objek dari kebijakan yang akan diberlakukan. Selama ini di Indonesia, perumusan kebijakan
selalu bersifat top-down, sehingga kebijakan yang diambil tidak membumi dalam masyarakat.
Ada baiknya sebelum mengambilan keputusan, para perumus kebijakan mendengarkan dan
mencari tahu apa yang diinginkan oleh masyarakat terhadap peraturan yang akan disusun. Dalam
pengambilan kebijakan, sebaiknya melihat semua aspek dan kondisi masyarakat, termasuk
kondisi khusus, sebagaimana kasus di kalimantan Timur. Semoga undang-undang ini tidak
dilaksanakan secara kaku. Tetapi bijak dan fleksibel dengan memperhatikan kondisi lokal yang
ada

ANALISIS KHUSUS
Bab XX TENTANG KETENTUAN PIDANA
Bab ini terdiri dari 15 pasal mulai dari pasal 190-205
Sanksi pidana adalah salah satu bentuk dari sanksi hukum, yakni akibat tertentu yang
dapat (seharusnya) dikenakan kepada seseorang karena perbuatannya yang memenuhi syarat
syarat yang ditetapkan dalam kaidah Hukum Pidana. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

tertentu itu pada dasarnya adalah perbuatan yang langsung menindas martabat manusia dan/atau
membahayakan eksistensi masyarakat manusia. Karena itu, sanksi pidana (biasa disebut
hukuman) adalah berupa pengenaan penderitaan atau hal yang dirasakan sebagai hal yang tidak
enak (merugikan) bagi yang dikenai. Pengenaan penderitaan kepada seseorang oleh Negara
menuntut pertanggungjawaban. Agar dapat dipertanggungjawabkan, maka pertama-tama sanksi
pidana itu harus merupakan pernyataan secara konkret tentang penilaian masyarakat terhadap
perbuatannya yang dilakukan oleh terpidana, bahwa perbuatan itu buruk, menindas martabat
sesamanya dan membahayakan eksistensi masyarakat manusia yang sehat. Kedua, sanksi pidana
harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat
pengenaan pidana itu (perbuatan yang dinilai buruk, dst.). Ketiga, pengenaan pidana itu harus
diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya
sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif. Syarat
rumusan pidana yaitu limitatif;jelas;tidak membuka kemungkinan interpretasi ganda/multiinterpretable; Feasible untuk diimplementasikan; mengacu pada ketentuan umum hukum
pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang Undangnya. Tujuan pemidaan yaitu mencegah
dilakukannya tindak pidana; memasyarakatkan terpidana; menyelesaikan konflik;memulihkan
keseimbangan;mendatangkan rasa damai pada rakyat; membebaskan rasa bersalah pada
Terpidana
Pada bab XX UU Kesehatan no 36 tahun 2009 ini terdapat 2 sanksi utama bagi pelaku
kriminalitas dalam kesehatan, yaitu pidana penjara dan denda. Penjara mulai dari yang paling
singkat selama 1 tahun (pasal 191 tentang praktik pelayanan kesehatan tradisional) dan yang
paling lama 15 tahun (pasal 197 tentang izin edar sediaan farmasi/alat kesehatan). Denda paling
banyak berkisar dari 50 juta rupiah (pasal 199 tentang rokok) sampai 1 miliar 500 juta rupiah
(pasal 197 tentang izin edar sediaan farmasi/alat kesehatan). Sedangkan bagi pelaku korporasi,
dikenakan sanksi denda dengan pemberatan tiga kali dan dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha; dan atau pencabutan status badan hukum
Dalam tinjauan hukum, terdapat beberapa bentuk hukuman. Tetapi yang sering
dilaksanakan dalam peradilan Indonesia adalah hukuman penjara dan denda. Padahal
pelaksanaan dari hukuman tersebut tidak maksimal memberikan efek jera bagi para pelaku
maupun calon pelaku. Belum lagi ditambah dengan pelaksanaan hukum yang masih jauh dari

harapan. Hukuman bisa diperjual-belikan dan dipermainkan sesuka hati oleh para mafia
peradilan. Di negara-negara maju, terdapat salah satu bentuk hukuman yaitu kerja sosial.
Menurut penulis, alternatif ini layak dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk hukuman yang
bernilai produktif. Dimana pelaku tindak kriminal harus melakukan pengabdian kepada
masyarakat sebagai balasan dari perbuatannya yang telah merugikan masyarakat
Sebagaimana peraturan-peraturan lainnya, hal yang paling penting digarisbawahi adalah
pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Yang seharusnya konsisten sesuai dengan apa yang
telah ditetapkan. Tanpa tawar-menawar ataupun permainan di kalangan penegak hukum. Karena
kesehatan adalah hal yang sangat vital bagi seorang manusia. Dengan kesehatan, seseorang dapat
memberikan karya terbaiknya bagi masyarakat. Sudah selayaknya, jika kesehatan seseorang
maupun masyarakat mendapat perlindungan hukum yang seharusnya
BAB XXI TENTANG KETENTUAN PERALIHAN DAN BAB XXII TENTANG
KETENTUAN PENUTUP
Kelemahan lain dari undang-undang ini adalah meski telah ditetapkan sejak tahun 2009
silam, namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya. Diperlukan upaya
sosialisasi

yang

lebih

gencar

untuk

membumikan

undang-undang

tersebut.

Karena

bagaimanapun sasaran utama dari undang-undang itu adalah masyarakat. Sehingga tujuan utama
dari penetapan undang-undang dapat tercapai. Dan masyarakat pun merasa teranyomi dan
dilindungi haknya untuk mendapat kesehatan

Anda mungkin juga menyukai