Anda di halaman 1dari 25

INTERNATIONAL JOURNAL

Ethical Leadership: The Effect on Employees

JURNAL INTERNASIONAL
Kepemimpinan Etis : Efeknya Terhadap Karyawan

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Organisasi


Dosen Pengampu : Drs. Suhartono, MP.

Disusun oleh :
Annisa Mukti Dinimadarina

150910202058

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2016

Kepemimpinan Etis : Efeknya Terhadap Karyawan


Atiya Alshammari1, Naser N. Almutairi1 & Shebaib Fahad Thuwaini 1
1

Management Department, College of Business, Public Authority of Applied Education


and Training, Kuwait

Correspondence: Naser Almutairi, Management Department, College of Business, Public


Authority of Applied
Education and Training, Kuwait. Tel: 965-9666-6514. E-mail: kww666@yahoo.com
Received: December 22, 2014

Accepted: January 14, 2015

Online Published: February 27, 2015

doi:10.5539/ijbm.v10n3p108

URL: http://dx.doi.org/10.5539/ijbm.v10n3p108

ABSTRAK
Bukti empiris menunjukkan bahwa peningkatan jumlah keunggulan bisnis
dalam

lingkungan

bisnis

kontemporer

dikaitkan

dengan

kompetensi

kepemimpinan. Kerangka kepemimpinan yang etis mewujudkan kebutuhan untuk


melibatkan bait pemberdayaan psikologis yang berkaitan dengan mempengaruhi
kinerja organisasi dan indentitas moral karyawan. Penelitian ini bertujuan melihat
pengaruh perilaku kepemimpinan etis terhadap kinerja, efisiensi dan produktivitas
karyawan. Berdasarkan literatur yang ada dan praktik terbaik, penelitian ini akan
membahas keterkaitan antara kepemimpinan etis dengan kompetensi, tekad,
kepuasan kerja dan motivasi dalam menyikapi peran teori kepemimpinan etis
terhadap kinerja organisasi, implikasi praktis, dan rekomendasi penelitian di masa
depan.
Kata kunci : kepemimpinan etis, lingkungan bisnis, kinerja organisasi,
keunggulan bisnis, identitas moral
1. Pengantar
Situasi yang mendasari dalam lingkungan bisnis kontemporer telah
melihat banyak bisnis memeriksa ulang ketajaman strategi mereka dengan

mengembangkan petunjuk yang membantu memulai dasar kepemimpinan


etis untuk tujuan efisiensi dan profitabilitas bisnis. Dari sudut pandang ini,
jelaslah bahwa kepemimpinan etis mencerminkan dimensi kepemimpinan
organisasi, perilaku dan budaya dengan peran utama memimpin organisasi
dengan cara membuat keputusan etis untuk saling mempengaruhi sikap dan
interaksi karyawan. Makna kepemimpinan etis berkisar pada tingkat praktis
praktik bisnis yang menghubungkan aspek budaya dan etika praktik usaha.
Makalah penelitian ini meneliti pengaruh perilaku kepemimpinan etis
dengan kinerja, efisiensi dan produktivitas karyawan berdasarkan penelitian
sebelumnya, literatur yang ada, bukti empirisi dan teori. Berdasarkan
literatur yang ada dan praktik terbaik, makalah ini akan membahas
keterkaitan antara kepemimpinan etis dengan kompetensi, tekad, kepuasan
kerja dan motivasi dalam menyikapi peran teori kepemimpinan etis terhadap
kinerja organisasi, implikasi praktis, dan rekomendasi penelitian di masa
depan.
1.1 Definisi Kepemimpinan Etis
Prinsip-prinsip, keyakinan dan nilai-nilai dari yang benar dan salah
menggambarkan dasar dari perilaku organisasi sehingga merumuskan dasar
atas pemimpin mempengaruhi karyawan dalam mencapai tujuan organisasi
(Al-Sharafi & Rajiani, 2013). Bubble (2012) lebih lanjut mendefinisikan
kepemimpinan etis sebagai proses mempengaruhi karyawan melalui nilainilai, prinsip-prinsip dan keyakinan yang secara luas berbatasan dengan
norma-norma yang diterima dalam perilaku organisasi. Definisi ini
menjabarkan bagian penting dari kepemimpinan etis.
Studi tentang kepemimpinan etis telah meramalkan suatu peningkatan
hubungan untuk praktik orgaisasi (Hsin-Kuang, Chun-Hsiung & Dorjgotov,
2012). Neubert, Wu, & Roberts (2013) berpendapat bahwa runtuhnya
organisasi seperti Lehman Brothers dan Enron adalah sebuah petunjuk
singkat mengenai pentingnya perilaku etis. Hal ini karena kurangnya
perilaku etis dalam praktik organisasi kemungkinan membahayakan dalam
membangun semangat karyawan sehingga menimbulkan perlunya peraturan
dari pemerintah tentang dasar-dasar dari kepemimpinan etis. Menurut
Rehman (2011), jelaslah sudah bahwa sifat kompetitif bisnis di pasar global

telah membentuk lintasan dimana perluasan perilaku etis telah eksponensial.


Akibatnya ruang lingkup pelebaran kekhawatiran etika dalam bisnis
kontemporer adalah penunjuk yang terbesar untuk kebutuhan kepemimpinan
etis (Ung Hee, Hye Kyoung, & Young Hyung, 2013).
Sebuah studi oleh Caldwell, et al., (2011) menemukan bahwa masalah
signifikan yang menantang organisasi modern adalah berkurangnya
penerapan perilaku etis. Realisasi tersebut menginformasikan bahwa
prinsip-prinsip perilaku etis umumnya tidak ada sehingga menggambarkan
definisi

kepercayaan

itu

di

antara

kepemimpinan

mengakibatkan

peningkatan motivasi di antara karyawan dan ini menjadi tercermin dalam


produktivitas dan kinerja organisasi. Dalam pandangan ini, tanpa
kepemimpinan etis, sisi bayangan kepemimpinan menjadi menguat sehingga
meningkatkan kecenderungan untuk mempengaruhi secara negatif hak,
kekuasaaan, inkonsistensi, penipuan, kesetiaan salah tempat dan tidak
bertanggung jawab (Giessner & Quaquebeke, 2010). Akibatnya hal ini
diikuti para karyawan menjadi memaparkan pengaruh negatif dan umumnya
menjadi terpengaruh dengan kehilangan kepercayaan serta integritas dalam
pemimpin mereka.
Penelitian dalam studi etika kepemimpinan mengarah kepada definisi
yang konklusif menurut Kalshoven, Den Hartog, & De Hoogh (2011) bahwa
pemimpin etis mempromosikan kejujuran dan terlibat dalam tindakan yang
mencerminkan nilai-nilai dan kepercayaanya. Khususnya, perspektif ini
mewujudkan sebuah konstruk yang ambigu membuat etika kepemimpinan
bermasalah untuk mendefinisikan. Para eksekutif di organisasi memiliki
pandangan yang berbeda dari kepemimpinan etis. Pemahaman mereka
berbatasan dengan sudut dari hanya memiliki "karakter yang baik dan nilainilai yang benar" (Litschka, Suske, & Brandtweiner, 2011). Demikian
manajer mengakui bahwa dengan mematuhi hukum dan peraturan adalah
dasar dari kepemimpinan etis dan dengan demikian, ini menjadi penting
bahwa kepemimpinan etis berkisar pada tanggung jawab utama dalam
berhadapan dengan konflik di antara karyawan dan mempertunjukkan suatu
landasan membimbing untuk mengajari mereka hal yang benar untuk
dilakukan. Ini diwujudkan dalam tampilan luar dari transformasional dan

sikap karyawan. Para pemimpin etis dengan demikian mewujudkan ke


dalam kebajikan yang mengarahkan dia kepada pembuatan keputusan yang
etis untuk kepentingan organisasi yang lebih luas.
1.2 Pengembangan Kepemimpinan Etis
Kepemimpinan etis dikembangkan atas latar belakang tumpang tindih
dan tantangan menyeluruh yang mendorong dasar penelitian kepemimpinan.
Perumusan dari apa yang merupakan kepemimpinan dan munculnya
globalisasi membentuk munculnya kepemimpinan etis dari dasar model
tradisional kepemimpinan. Sebagai McCann dan Holt (2009) menjelaskan
pertanyaan normatif tentang apa yang seorang pemimpin yang baik
menegaskan efektifitas nilai yang didasarkan pemimpin akan bermain di
dunia kinerja organisasi kontemporer. Dalam pandangan ini, dimensi teori
yang kritis dari etika dan kepmimpinan menjadi prinsip-prinsip panduan
yang diatasnya berbagai organisasi, dan disiplin menekankan atas kebutuhan
karismatik, transformasional serta kepemimpinan visioner sebagai faktor
yang bergantung pada etika.
Perspektif ilmu sosial dari kepemimpinan etis mendapatkan momentum
di awal C-20 dengan meningkatnya persaingan dan hubungan kinerja
organisasi. Dinamika globalisasi, sebagaimana dibuktikan dalam model 4V
kepemimpinan etis, secara khas membentuk dasar bagi manajer menemukan
bahwa adalah stakeholder penting yang harus dihargai melalui arahan
strategis yang berbeda dalam upaya untuk meningkatkan produksi dan
kepuasan pribadi. Ditambah dengan kepercayaan bahwa pemimpin
mencerminkan gambaran dari organisasi, pertumbuhannya, popularitas
dengan pentingnya kepemimpinan etis dalam mengakui nilai inti organisasi
dan mengembangkan kerangka kerja sesuai yang sejalan komponen
kebajikan internal dalam kepemimpinan dengan tindakan eksternal
organisasi dan perilaku untuk satu-satunya peran mempromosikan
kepentingan umum organisasi.
Penelitian tentang kepemimpinan dan pengalaman pribadi berkisar
memperkenalkan nilai etika kelembagaan dari etika kepemimpinan.
Berkenaan dengan ini, Resick et al. (2011) mendalilkan bahwa tumbuhnya
keinginan untuk merangkul integritas dirumuskan pendekatan pembangunan

yang memungkinkan pembentukan dan penerapan kepemimpinan etis di


dalam dasar dari manajer menemukan nilai inti dan mengembangkan visi
yang dapat mewujudkan tujuan organisasi. Dalam model 4-V, komitmen
terluar dari nilai etika dan prinsip-prinsip perilaku dari organisasi berfungsi
sebagai titik awal dimana kepemimpinan dengan tujuan clarion call itu
didirikan. Akibatnya, pemimpin etis memiliki selama bertahun-tahun
mewujudkan visi, nilai dan tujuan dari organisasi dan pengikut sebagai
konstituen dalam spektrum yang lebih luas dari cita-cita etis (Avolio,
Walumbwa & Weber, 2009). Tujuan dasar dari kepemimpinan etis telah
pemimpin menghubungkan tujuan dari organisasi di dalam kelompok
kepentingan eksternal serta internal karyawan. Dengan demikian, pemimpin
etis bekerja untuk membuat struktur searah dari manajemen dalam upaya
untuk mempertahankan pemahaman amal pandangan bervariasi, nilai-nilai,
dan opini demi kebaikan organisasi.
1.3 Pola Kepemimpinan Etis
Dalam dunia bisnis kontemporer yang ditandai dengan sejumlah
tantangan dan praktek tidak etis, peranan nilai telah mengambil didahulukan
untuk mengatasi tingkat pertumbuhan dari malpraktik bisnis. Bass, et al
(2003) menyatakan bahwa pola yang ada dari kepemipinan etis telah
menyatakan dengan jelas dirinya di dalam situasi dimana pemimpin secara
luas mengabdikan energi dan waktu mereka untuk memimpin proses bisnis
di dalam lingkup penciptaan nilai. Brown, Trevio and Harrison (2005)
menunjukkan bahwa konsep yang lebih luas dari kepemimpinan etis telah
membentuk pola mendasar dimana pemimpin berkewajiban untuk
menggabungkan

pemanfaatan

eksplisit

nilai-nilai

dan

etika

untuk

pembentuk kepemimpinan yang cocok tertanam dalam etika. Hal ini


menjadi penting bahwa pola ini menginformasikan perlunya pengamatan
efektif untuk bentuk yang mendasari kinerja bisnis dan memulai desain
percakapan dimana kedua manajer dan pengikutnya membangun perspektif
dari landasan etika yang tidak hanya kurang kompleks tetapi juga mampu
menandingi semangat nilai-nilai dan karakter yang baik.
Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy (2008) menunjukkan bahwa pola yang
khas

dari

kepemimpinan

etis

adalah

untuk

mewujudkan

dan

mengartikulasikan tujuan dan nilai organisasi. Sehubungan dengan ini, jelas


bahwa pemimpin dalam kerangka ini melambangkan moral dan menarik
narasi dari etika untuk menunjukkan dasar praktis nilai etika. Demikian pula
ini adalah realisasi bahwa tugas bisnis yang menantang pada masyarakat
sekarang seperti menandai dalam sebuah skenario dimana setiap orang
bercita-cita dari kepuasan pribadi. Meskipun hal ini mengakibatkan
kecenderungan dari tampilan publik, pewahyuan dari berbagai perilaku
tidak etis dan skandal menunjukkan bahwa pola kepentingan egois dari
kepemimpinan bisnis. Untuk mengatasi skenario ini, adalah jelas bahwa
petugas kepala eksekutif di perusahaan kontemporer harus menjadi panutan
bagi kepemimpinan bisnis etis di dalam seluruh masyarakat. Untuk
menggambarkan, sudah jelas peningkatan kegiatan tidak etis di Citigroup di
Jepang pada tahun 2004 menyebabkan pemberhentian secara ringkas
beberapa manajer yang menimpa kemampuan mereka untuk menerima
tanggung jawab penuh dan meminta maaf kepada para pegawai (House,
2004). Dalam lingkup pemahaman ini, jelaslah sudah realisasi tersebut
beresonansi dengan sistem nilai di Jepang dan menandakan era baru
tanggung jawab etis bersama. Dalam luas yang sama, budaya dalam
Citigroup menggembar-gemborkan pola kepemimpinan etis dimana baik
manajer dan karyawan diharapkan untuk mengambil penuh tanggung jawab
atas keputusan tidak etis yang dapat mempengaruhi organisasi.
Selain itu, pola utama dari kepemimpinan etis meningkat dalam
peningkatan kecenderungan untuk membayar perhatian khusus untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang terbaik dalam organisasi.
Fokus pada keberhasilan organisasi sebagai lawan ego pribadi adalah
dimensi utama bagi kepemimpinan etis dalam memahami tempatnya di
dalam jaringan yang luas dari kelompok kepentingan dan konstituen
(McCray, Gonzalez, & Darling, 2012). House (2004) memperkuat
pandangan Stacey (2003) dengan menambah bahwa para pemimpin etis
menekankan pada sesuatu yang lebih besar dibandingkan dengan mereka
sebagai individu. Ini adalah mimpi dan tujuan organisasi. Dalam pandangan
ini, realisasi nilai keunggulan bisnis terletak pada keberhasilan karyawan
sebaga kompetensi inti turunan. Misalnya, jelas bahwa pada tahun 1998,

Roger Enrico, mantan CEO Pepsi menunjukkan dengan gerakan berani


tentang bagaimana ia meghargai karyawan internal perusahaan. Hal ini jelas
dalam upaya sadar untuk mengorbankan presentase dari gaji atas dasar
bahwa perusahaan memberikan kontribusi yang sama dari omset bagi
karyawan; dana beasiswa anak (Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy, 2008).
Melalui kerangka ini, muncul bahwa kepemimpinan etis tidak peduli dengan
amal dan donasi lainnya, melainkan melalui identifikasi dan bertindak atas
tuas yang meningkatkan loyalitas karyawan, kepuasan mereka dan
menyalurkannya untuk mendorong keberhasilan organisasi.
Kepemimpinan etis adalah tentang pengembangan kapasitas. Model
penciptaan nilai adalah dimensi kepemimpinan etis yang cukup standar.
Yang diusulkan oleh McCray, Gonzalez & Darling (2012), kepemimpinan
etis membayar perhatian khusus untuk membangun kapasitas para pengikut
mereka

untuk

tujuan

keberlanjutan.

Hal

ini

diabadikan

dalam

kecenderungan untuk mencari dan mengembangkan orang-orang terbaik


yang berbakat karena itu adalah keharusan moral untuk membantu dalam
kepemimpinan dan menciptakan nilai lebih bagi organisasi dan diri mereka
sendiri. Pola ini melibatkan para pemimpin membuat prinsip-prinsip etika
dan faktor menjadi pertimbangan dalam proses menciptakan kepemimpinan
yang berkelanjutan. Sebuah contoh adalah meningkatnya jumlah CEO, yang
telah memulai program yang mengevaluasi pengalaman, keterampilan dan
bakat karyawan dengan cukup berkaitan dengan integrita. Pada intinya,
Stacey (2013) mencatat bahwa beragam banyak kepala eksekutif telah
memulai pendekatan kepatuhan etis untuk memecahkan tantangan
pembimbing. Dalam upaya untuk secara efektif menyadari pola ini, sangat
penting bagi para pemimpin untuk menciptakan percakapan hidup tentang
nilai-nilai dan etika dan proses yang ekstensif untuk menciptakan nilai bagi
kelompok kepentingan. Percakapan tersebut harus melintasi semua tingkat
praktik bisnis di mana prinsip-prinsip penciptaan nilai serta prinsip-prinsip
kelompok kepentingan dalam harapan masyarakat yang lebih luas rutin
diperiksa dan dievaluasi.
Dalam badan usaha yang meneliti nilai percakapan tersebut, hasilnya
berbatasan dengan akuntabel dan bertanggung jawab dengan pendekatan

kinerja (Tomescu & Popescu, 2013). Sebagai hasilnya. Harapan karyawan


untuk pemimpin untuk dapat bertanggungjawab menngindikasikan model
yang efisien dari keunggulan bisnis dan pengukuran pencapaian dimana
kelompok kepentingan internal dan eksternal menggunakan pengetahuan
tentang pengendalian alternatif untuk meluruskan kembali inspirasi
berpotensi untuk tujuan bisnis. Untuk menggambarkan, narasi Jim Burke
dan penarikan kembali produk Tylenol di awal 1980 contoh terbaik peran
nilai percakapan. Biaya keuangan jangka pendek dari produk Tylenol
menyebabkan para pemimpin merobohkan semua produk yang berpotensi
merusakkan untuk menjaga kepercayaan publik dan kepercayaan dari
karyawan (Eisenbei & brodbeck 2014). Contoh ini membahas titik penting
untuk memahami peran etika nilai dalam perilaku etis.
Mekanisme mendorong kembali untuk melawan kemungkinan nilai-nilai
menjadi basi mencerminkan konseptualisasi negara tentang nilai-nilai dan
etika dalam Johnson and Johnson. Hassan et al. (2013) berpendapat bahwa
persepsi otoritas yang sah sangat penting dalam membangun cara eksplisit
di mana karyawan bergabung bergandengan mendorong kembali tantangan
mengubah turun nilai etika sebagai proses internal operasi bisnis. Dengan
demikian, ini mencerminkan cita-cita Stacey (2013) dalam merumuskan
budaya organisasi yang berfokus pada kerja tim. Sebagai contoh, banyak
eksekutif telah menggunakan pertemuan tingkat yang melompat untuk
melibatkan

semua

kelompok

kepentingan

dan

dengan

demikian

mengembangkan pandangan yang lebih realistis dari apa yang terjadi dalam
organisasi.
1.4 Fungsi inti kepemimpinan etis
Fungsi inti dari kepemimpinan etis adalah untuk membangun paradigma
nilai yang mempengaruhi pengikut. Berkaitan dengan ini, jelas bahwa
implikasi praktis dari prinsip-prinsip etika nilai terletak pada kemampuan
pemimpin untuk mengembangkan komponen strategis dari kematangan
awal

etika

menuju

mempengaruhi

pengikut

dalam

upaya

untuk

mengaktifkan mereka mengejar keberhasilan dan efisiensi kinerja dalam


organisasi. Buble (2012) menguraikan bahwa dalam pasar global saat ini,
organisasi telah mengalami keterputusan antara keyakinan para pemimpin

dan tindakan. Keterputusan seperti bersifat lazim ketika dilema etika


menghadapi proses pembuatan keputusan organisasi. Al-Sharafi & Rajiani
(2013) meninjau bahwa aspek lingkungan organisasi yang meramalkan
seperti dilema etika adalah kepercayaan antara pemimpin dan masingmasing pengikut lainnya. Kesenjangan kecil antara tindakan para pemimpin
dan apa yang dia katakan menciptakan dilema etika bagi karyawan. Dalam
pandangan ini, itu adalah pada strategi kepemimpinan etis untuk menutup
kesenjangan dengan mempengaruhi pengikut melalui perilaku yang
konsisten, cara moral bersikap, tindakan yang tepat dan melakukan apa yang
dikatakan pemimpin.
Stacey (2013) menumbuhkan rekomendasi bahwa strategi khusus yang
berhubungan dengan peran pengaruh etika atas pengikutnya dan
peningkatan kepercayaan karyawan harus menandai fungsi utama dari
kepemimpinan etis. Strategi ini harus memenuhi nilai fugsional dari mencari
ke dalam untuk menilai tidak hanya aspek emosional dari organisasi, tetapi
juga mempertanyakan keputusan pemimpin dalam mempertimbangkan
perpektif orang lain. Dengan demikian, itu adalah masuk akal untuk dicatat
bahwa permintaan dari dalih nilai organisasi akan ditentukan melalui
tindakan

yang

cocok.

Dengan

demikian

pemimpin

efektif

akan

mengantisipasi konsekuensi dari pertimbangan bersaing keputusan berat dan


berhasil mengenali situasi dilema etika. Dalam lingkup pendekatan strategis,
para pemimpin secara efektif mengatasi perkembangan dilema etika dengan
meletakkan struktur yang diperlukan untuk menghindari masalah, tekanan
situasional dan bias.
Selain itu, adalah masuk akal untuk dicatat bahwa landasan etika harus
mencerminkan semangat moralitas. Dalam pandangan ini, Al-Sharafi &
Rajiani (2013) mencatat bahwa karyawan harus diizinkan untuk belajar
sebanyak ketika mereka melihat apa yang dilakukan pemimpin mereka.
Dalam pandangan ini, jelas bahwa peran pemimpin etis adalah untuk
mewujudkan nilai-nilai yang dianut organisasi dengan membangun
hubungan yang diperlukan untuk keharmonisan. Dengan demikian, itu
berada di luar setiap wajar keraguan bahwa tujuan organisasi akan
diwujudkan melalui kerangka kerja di mana para pemimpin dan pengikut

terlibat terhadap solusi yang saling menguntungkan bagi organisasi.


Pentingnya menciptakan situasi yang saling menguntungkan berhubungan
dengan keuangan yang merupakan praktik dari kepemimpinan etis dalam
mempertahankan keuntungan dari pengembalian investasi dan rasa hormat.
Perspektif spiritual yang membentuk pemahaman yang koheren dari
fungsi kepemimpinan etis mencerminkan peran kepemimpinan dalam
membangun perspektf yang membebaskan. Menurut Hsin-Kuang, ChunHsiung & Dorjgotov (2012), para pemimpin mempengaruhi karyawan untuk
mengidentifikasi spiritual terfokus mereka dan terhubung dengan yang
mahatinggi melalui sebuah paradox yang menenangkan ketegangan etis
pusat. Ketegangan ini mungkin terletak pada sifat komunal dari manusia dan
memanifestasikan kebutuhan yang melekat bagi orang lain melalui disposisi
melayani diri sendiri dan lebih sedikit kepemimpinan egosentris. Menurut
ini, kerangka kerja yang diperlukan yang menetapkan desain mementingkan
diri sendiri dari etika kepemimpinan bertumpu pada kemampuan para
pemimpin untuk mempengaruhi pengikutnya dengan mengukur tindakan
dan hasil mereka. Program yang mensurvei karyawan menyediakan
wawasan yang sangat dibutuhkan ke dalam nadi etis secara keseluruhan di
organisasi tersebut. Sehubungan dengan hal ini, saling mempengaruhi dari
hubungan

spirirtual

dan

karyawan

menggambarkan

kemungkinan

konsekuensi dari perilaku etis yang menerangi fitur kepemimpinan etis.


Dalam pandangan ini, pemimpin mengembangkan kemampuan yang
konsisten mengukur efektivitas nilai pelaksanaan etika dalam organisasi.
1.5 Pengaruh Pemimpin Etis pada Karyawan
Untuk memahami pengaruh kepemimpinan etis terhadap kinerja
karyawan, sangat penting untuk melihat keseluruhan proses dimana
pengaruh mencapai kebaikan bersama. Resick et al. (2012) berpendapat
bahwa teori representasi kepemimpinan etis menjelaskan dasar-dasar teori
sifat dan teori acara dalam meletakkan peran kepemimpinan. Sehubungan
dengan hal ini, jelas bahwa kualitas seorang pemimpin memainkan peran
utama dalam mengembangkan tujuan transformasional kepemimpinan
berkaitan dengan mengungkapkan misi organisasi dan meletakkan dasar
yang

diperlukan

untuk

kebijakan,

strategi

dan

prosedur

untuk

kepemimpinan. Penggunaan strategi dan teknik oleh para pemimpin


meningkatkan kemampuan para pemimpin untuk memberdayakan para
pengikut dan ekstensif meningkatkan self-efisiensi karyawan. Hal ini,
menurut Nelson, Pom, & Wolf (2012), Bekerja untuk memanfaatkan
perubahan dari norma nilai-nilai serta sikap yang diperlukan dengan visi
para pemimpin. Penelitian menunjukkan bahwa gaya etika kepemimpinan
menunjukkan

respon

normatif

terhadap

tindakan

pribadi

maupun

antarpribadi hubungan dalam organisasi. Ini bertujuan untuk memperbaiki


kondisi umum karyawan dalam upaya untuk mengaktifkan mereka
merespon pencapaian efisien tujuan organisasi (Stacey, 2013).
Peran kepemimpinan etis dalam mempengaruhi kinerja karyawan
bertumpu pada tumpuan dari motivasi perilaku, inspirasi dan pertimbangan
individual. Buble (2012) menegaskan bahwa pengaruh ideal memungkinkan
proses yang lebih handal dan proses integrative praktik bisnis berdasarkan
karakterisasi moral, keprihatinan kuat untuk diri dan orang lain dan
demonstrasi nilai-nilai etika. Dalam pandangan ini, Nelson, Poms, & Wolf
(2012) menyoroti ajaran dasar yang tertanam dalam penciptaan visi dan
pemenuhan visi. Sehubungan dengan ini, itu adalah masuk akal untuk
dicatat bahwa kepemimpinan etis mempengaruhi sejumlah karyawan
dengan cukup menggunakan imbalan, wewenang resmi dan sanksi untuk
mempengaruhi perilaku kepatuhan karyawan. Pendekatan ini mengandaikan
desain transaksional mencerminkan di mana motivasi untuk melaksanakan
meningkatkan rasa loyalitas karyawan dan mementingkan diri terhadap
tujuan organisasi. Promosi yang handal dan dapat dipercaya melakukan di
antara karyawan dapat diperkuat melalui penguatan, dua komunikasi dan
pengambilan keputusan. Pemahaman ini menunjukkan situasi di mana
seorang pemimpin etis menahan tantangan dari organisasi dengan
menekankan pada nilai-nilai yang benar dan karakter yang baik dalam
organisasi (Hsin-Kuang, Chun-Hsiung, & Dorjgotov, 2012). Realitas
kepemimpinan etis berbatasan pada kombinasi kekuatan karakter dan nilainilai tepat, dengan demikian berdiri beberapa kesempatan yang lebih baik
untuk menetapkan contoh bagi karyawan lainnya untuk kelompok
kepentingan dalam organisasi. Ini merupakan dasar di mana tujuan, nilai-

nilai dan visi dari organisasi dan konstituen mencerminkan cita-cita etis.
Dalam dasar ini, para pemimpin menghubungkan tujuan organisasi dengan
orang-orang dari kelompok kepentingan eksternal dan karyawan yang tidak
terpisahkan.
Secara imperatif, adalah masuk akal untuk dicatat bahwa pemimpin etis
harus secara luas memahami pentingnya hubungan positif dengan para
kelompok kepentingan dalam organisasi. Meskipun bentuk-bentuk dari
standar emas untuk semua upaya-upaya organisasi, jelas bahwa kualitas
hubungan harus dibangun atas dasar kepercayaan dan rasa hormat sama
pentingnya sebagai faktor penentu keberhasilan. Berkenaan dengan ini,
Resick et al. (2012) merancang pemimpin etis memainkan bagian
terkemuka dalam memahami bentuk alami seperti hubungan tumbuh dalam
lingkungan integritas, rasa hormat dan keadilan kepercayaan, ekuitas serta
keadilan. Akibatnya, penting untuk mencerminkan pandangan dari Nelson,
Pom, & Wolf (2012) yang hidup rukun di mana prinsip-prinsip karakteristik
menetapkan pada efisiensi usaha manusia yang bisa berkembang dan
dipertahankan.
Dengan demikian, dimensi kepemimpinan etis harus fokus pada nilainilai moral dan keadilan dalam pengambilan keputusan sementara pada saat
yang sama mempertimbangkan dampak keputusan tersebut akan ada di
organisasi. Ini berarti bahwa komunikasi yang jelas dengan karyawan harus
ditetapkan dalam rangka membangun kerangka kerja memastikan kerja
karyawan dan bagaimana kontribusi bagi keberhasilan organisasi.
Akibatnya,

pemimpin

etis

terus

melakukan

upaya-upaya

yang

menggabungkan prinsip-prinsip moral dalam perilaku mereka, nilai-nilai


dan keyakinan mewujudkan sebuah komitmen untuk tujuan organisasi yang
lebih tinggi diabadikan melalui kehati-hatian, ketekunan dan kesabaran
(Hsin-Kuang, Chun-Hsiung, & Dorjgotov, 2012). Dalam konseptualisasi
rangka kepemimpinan etis, Stacey (2013) menyediakan matriks yang terdiri
dari karakterisasi tidak etis. Ini berbatasan dengan sudut yang lemah . Di
mode yang sama, Buble (2012) mengusulkan bahwa pemimpin harus
dianggap sebagai orang yang bermoral baik, menunjukkan keprihatinan
untuk kesejahteraan karyawan dan menjadi didekati.

1.6 Keuntungan Kepemimpinan Etis di Sektor Publik


Kepemimpinan etis adalah menguntungkan sektor publik karena
menekankan pada keterlibatan negara dalam aspek-aspek tertentu dari
masyarakat melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Merangkul berbagai
kegiatan mulai dari keamanan, pendidikan, perencanaan kota, administrasi,
kesehatan antara lain, menjadi penting bahwa pemanfaatan kepemimpinan
etis akan meningkatkan pengiriman layanan dalam lingkup ekuitas dan
keadilan. Giessner dan Quaquebeke (2010) berpendapat bahwa pendekatan
terpadu kepemimpinan memungkinkan pemimpin sektor publik yang akan
bertanggung jawab untuk berbagai kelompok kepentingan dan warga. Hal
berikut untuk dicatat bahwa dengan pemimpin masyarakat diharapkan untuk
tampil dalam pemberian layanan mereka dengan cermat sesuai dengan
berdiri lebih tinggi dari moralitas pribadi, itu adalah kunci bahwa proses
administrasi publik akan menjunjung nilai dalam independen eksplorasi
kepemimpinan.
Selain itu, sejumlah nilai-nilai yang umum selaras dengan transformasi
dan transaksi sektor publik membentuk pemahaman nilai-nilai etika dan
harapan

masyarakat

sehingga

berpotensi

memungkinkan

untuk

penggabungan pertimbangan etis dalam pendekatan terpadu holistik untuk


kepemimpinan

dalam

sektor

publik.

Menurut

Rehman

(2011),

kepemimpinan etis telah saling memperkuat perilaku yang sesuai yang


mengoptimalkan konsep idealis efisiensi dan keunggulan bisnis. Terbukti,
melalui dasar-dasar kepemimpinan etis, sektor publik dikelola dengan cara
yang

mendorong

transparansi

dan

mengurangi

korupsi,

sehingga

memberikan kontribusi bagi keseluruhan spektrum tanggung jawab etis.


Dalam pandangan ini, harapan meningkatnya pemimpin dan masyarakat
untuk memenuhi beragam standar prototipe merupakan dasar kepemimpinan
etis.
Di era nilai profil tinggi selang di sektor publik, seringnya pemanfaatan
dan referensi untuk penilaian moral (Hsin-Kuang, Chun-Hsiung, &

Dorjgotov, 2012). Rehmann (2011) lebih jauh berpendapat bahwa kelompok


kepentingan telah diratakan meningkatkan harapan tribun etis untuk
melaksanakan beragam kegiatan dalam perspektif moral yang baik. Ini
meningkatkan kesadaran, melekat pada nilai sosial dan kepentingan publik
telah menjadi pertimbangan prinsip inti dari kepemimpinan etis dan
manajemen. Pada kerangka ini bahwa kelompok kepentingan telah menjadi
lebih tegas dalam menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam sektor
masyarakat.
1.7 Tantangan Kepemimpinan Etis di Sektor Publik
Litschka, Suske, dan Brandweiner (2011) menyatakan bahwa nilai
strategis dari kepemimpinan etis sukses harus berupaya untuk bertindak
dengan keadilan, integritas dan pendekatan yang bertanggung jawab secara
sosial.

Namun,

karakteristik

lingkungan

dimana

sektor

publik

mengoperasikan tantangan pengelolaan apa yang adil dalam bidang


segudang kegiatan publik. Solusi yang diusulkan untuk tantangan ini adalah
berlabuh pada peningkatan moral para pemimpin dalam meniru ajaran
praktek etis. Hal ini muncul secara konsisten bahwa ketegangan terjadi
dalam pelaksanaan sistem etis kepemimpinan. Hal itu terjadi karena
terjadinya speared yang melebar dari ego alami selama proses pengambilan
keputusan pembuatan membutuhkan pemimpin di sektor publik untuk
menumpahkan lebih dari ketergantungan pada kecenderungan alami.
Dengan demikian, itu adalah masuk akal untuk dicatat bahwa pemimpin etis
telah mampu memperhitungkan konsekuensi dari pengikut mereka ketika
membuat keputusan dalam sektor publik. Giessner dan Quaquebeke (2010)
berpendapat bahwa dalam hal ini yang bersangkutan, itu menjadi tantangan
overdrive kepemimpinan etis melekat pada nilai pelayanan, sehingga
mengurangi potensi bahaya sebagai hasil dari proses bisnis.
Sebagian besar pemimpin di sektor publik ditandai dengan konflik
kepribadian defensif. Ini menandakan penciptaan berbagai pusat-pusat
kekuasaan yang bertujuan memperkaya tujuan pemimpin individu yang
bertentangan

dengan

seluruh

organisasi.

Komplikasi

seperti

pose

keprihatinan etis sehingga sulit bagi para pemimpin untuk terlibat dalam

transaksi integratif pendekatan kepemimpinan. Dalam terang ini, jelas


bahwa alasan yang mendasari untuk kegagalan dalam pemimpin di sektor
masyarakat terjadi karena kenaikan keegoisan dan kebodohan. Sebagai
catatan Buble (2012), itu adalah kejadian umum yang pemimpin seperti
sering merasa dibebaskan dari persyaratan disposisi moral. Alasan yang
menetapkan perspektif ini adalah rasa kepemimpinan dilihat sebagai yang
terpisah dari diri seorang pemimpin. Mengingat ini, sektor publik pemimpin
yang lebih mungkin untuk alasan diri dari berlatih manajemen etis.
1.8 Peran Kepemimpinan Etis di Budidaya Efisiensi dalam Sektor Publik
Di sektor publik, peran kepemimpinan etis dalam meningkatkan efisiensi
bertumpu pada alas tingkah laku kepemimpinan etis. Ini dibangun pada
model pemberdayaan psikologis di mana pemimpin menengahi interaksi
antara kinerja, harapan dan hubungan dengan karyawan. Dalam perspektif
moral identitas, Hsin-Kuang, Chun-Hsiung dan Dorjgotov (2012) membagi
konsep bahwa pengaruh menengah kepemimpinan etis dalam meningkatkan
efisiensi menandakan variabel identitas moral. Menurut Rehman (2011),
pemimpin dalam sektor publik diberi mandat untuk mengatur contoh
terkemuka tentang isu-isu kepercayaan dan integritas yang menentukan
bahwa kegiatan sektor publik tidak merugikan nilai-nilai masyarakat
melainkan meningkatkan utilitas dari kebutuhan manusia.
Dengan memamerkan perilaku etis, pemimpin dalam sektor publik
menginspirasi pengikut mereka untuk terlibat dalam apa yang benar, baik
dan cukup. Pendekatan ini membantu dalam mengangkat kesadaran moral
para pengikut mengarah ke tenaga kerja sangat termotivasi, tingginya
tingkat kepuasan kerja, aktualisasi diri dan peningkatan efektif dalam
pelayanan. Dalam terang ini, pandangan Litschka, Suske, dan Brandweiner
(2011) menunjukkan apresiasi kritis manajemen kontemporer menempatkan
kepemimpinan etis pada sumbu yang mencakup konsisten dalam upaya
untuk mendorong etika tingkah laku. Dalam terang ini, Giessner dan
Quaquebeke (2010) menunjukkan bahwa melalui bisnis kepemimpinan etis
dan kegiatan dalam sektor publik telah berhasil berinvestasi ke dalam lebih
memperluas dan inisiatif kebijakan publik hybrid memungkinkan indeks
produksi yang tinggi. Sehubungan dengan hal ini, dapat disimpulkan bahwa

pemimpin etis berpartisipasi dalam menciptakan lingkungan yang tepat dan


kondisi

yang

diperlukan

untuk

budaya

sukses,

transparansi

dan

akuntabilitas. Meskipun hal tersebut memupuk perkembangan moral ahli,


itu meningkatkan efisiensi di produktivitas.
Praktek kepemimpinan etis dalam sektor publik telah ada di dasar re
evaluasi strategis. Pemeliharaan pemimpin etis telah melayani untuk
meningkatkan pendekatan terpadu yang memungkinkan pemimpin untuk
memahami lingkungan dari praktek bisnis mereka dan memulai program
dasar moral etika administrasi. Peran utama lintasan ini adalah untuk
meningkatkan semangat kompetensi ditambah dengan proses pengambilan
keputusan etis yang mendorong kepentingan umum, dan harapan
masyarakat.

Terbukti,

asosiasi

kualitas

produksi

dalam

lingkup

kepemimpinan transformasional melayani kebutuhan pemimpin etis di


sektor publik (Hsin-Kuang, Chun-Hsiung, & Dorjgotov, 2012). Melalui
inisiatif seperti pengambilan risiko serta komitmen, adalah masuk akal
untuk dicatat bahwa penalaran sistematis risiko publik mengambil inisiatif
menopang komitmen kualitas ditambahkan ke sektor publik iklim etika.
Sehubungan dengan hal ini, jelas bahwa pemimpin etis telah difokuskan
pada aspek kedua transaksional dan kepemimpinan transformasional
berpotensi mengeksekusi pendekatan dipotong jelas bahwa manfaat dimensi
luas pelayanan dalam lingkungan sektor publik.

2. Metodologi
Pendekatan terstruktur ringkas digunakan dalam menentukan studi untuk
ditinjau kembali dan dianalisis . Fokus menyalakan ditinjau ulang literatur
ilmuwan yang disediakan penelitian dengan informasi otentik sekitar
penilaian efek dari pemimpin etis dalam kinerja karyawan di sektor publik.
Akibatnya, pencarian dari jurnal yang ditinjau ilmuwan dan studi lainnya
tentang kepemimpinan etis dilakukan di JSTOR, EBSCOhost dan ProQuest
database. Kriteria pencantuman berdasarkan pada semua dokumen, jurnal,
penelitian sebelumnya tentang kepemimpinan etis dan perilaku organisasi.
Ini berisi informasi umum mengenai efek dari pemimpin etis dalam kinerja

karyawan di sektor publik. Namun, literatur yang tidak dipublikasikan


dalam waktu 5 tahun dikecualikan. Istilah penelusuran deskriptif termasuk
kepemimpinan etis, lingkungan bisnis, kinerja organisasi, keunggulan
bisnis, dan identitas moral yang digunakan untuk mengambil informasi dan
penelitian sebelumnya dari database online dan perpustakaan. Pelaksanaan
strategi kepemimpinan etis di sektor publik adalah merajut pada tinjauan
pustaka, studi sebelumnya, bukti empiris dan konsep teoritis diterapkan
untuk desain penelitian, strategi penelitian dan pendekatan filosofis.
Kerangka penelitian teoritis transformasional dan transaksional menunjuk
ke pengaruh kepemimpinan etis pada kinerja manajemen organisasi sektor
publik, memberikan loncatan yang efektivitas penelitian ini dikembangkan.
Kerangka penelitian teoritis ringkas memeriksa dimensi sosiologis interaksi
antara kepemimpinan etis dan kinerja organisasi dengan meninjau penelitian
sebelumnya dan keluar literatur bahwa makalah penelitian dimasukkan.
Purviews yang luas dari objektivisme dan subjektivisme filosofi
meningkatkan penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif penelitian.
Untuk memastikan efisiensi kepemimpinan etis dan perannya dalam
fokus strategis dari praktek organisasi, penelitian dipinjam dari sifat
fungsionalis kepemimpinan dan manajemen menganalisis studi sebelumnya
dan

teori-teori

kepemimpinan

dalam

spektrum

pendekatan

experimentalisme, interpretif dan humanis. Ini dengan ringkas mencapai


tujuan penelitian untuk mengumpulkan informasi dan perspektif yang
memadai untuk membuktikan efek dari pemimpin etis dalam kinerja
karyawan di sektor publik.
Kelangsungan hidup dan keandalan data yang dikembangkan dari sudut
pandang melegitimasi kesimpulan dari sejauh mana dasar dari penelitian
akurat menyebabkan pembenaran kesimpulan bahwa etika kepemimpinan
positif mempengaruhi kinerja karyawan dalam organisasi. Jelaslah bahwa
sejauh mana temuan dari penelitian membentuk generalisasi akurat,
pertemuan antara teori kerangka kerja dan hasil studi memperkuat
kesimpulan bahwa kepemimpinan etis ekstensif.

3. Kesimpulan
Dari pembahasan

sebelumnya,

jelas

bahwa kepemimpinan

etis

mempengaruhi kinerja organisasi di sektor publik. Penelitian sebelumnya


dan kerangka kepemimpinan transformasional membuktikan bahwa
kepemimpinan etis mempengaruhi kinerja organisasi. Pada intinya, kualitas
pemimpin etis memainkan peran utama dalam mengembangkan tujuan
transformasional kepemimpinan berkaitan dengan mengungkapkan misi
organisasi dan meletakkan dasar yang diperlukan untuk kebijakan, strategi
dan prosedur untuk kepemimpinan. Penggunaan strategi dan teknik oleh
para pemimpin meningkatkan kemampuan para pemimpin itu untuk
memberdayakan para pengikut dan ekstensif meningkatkan self-efisiensi
karyawan.
Kategorisasi kepemimpinan etis dalam manajemen organisasi adalah
konseptualisasi positif hubungan yang berpotensi ada di latar belakang nilainilai moral, kewajiban pemimpin dan harapan dari faktor kepemimpinan
terkait. Interaksi faktor tersebut memberikan wawasan yang berarti ke
dalam pemanfaatan pertimbangan etis dalam kerangka yang luas dari
kepemimpinan sektor publik yang terintegrasi. Tantangan yang pemimpin
menghadapi menerapkan kepemimpinan etis hanyalah adaptif dan berfungsi
untuk menciptakan peluang tegas yang dibutuhkan untuk mengintegrasikan
elemen transaksional dan transformasional kepemimpinan. Harapan
kontemporer pemimpin masyarakat adalah bertanggung jawab secara moral
dan melayani dalam kontribusi dari lingkungan yang lebih luas di mana
prinsip-prinsip kepemimpinan etis diperiksa.
4. Rekomendasi
Pola khas kepemimpinan etis harus mewujudkan dan mengartikulasikan
tujuan nilai organisasi. Sehubungan dengan ini, jelas bahwa pemimpin
dalam kerangka ini melambangkan narasi moral dan menarik dari etika
untuk menunjukkan dasar praktis etika nilai.

Tugas bisnis menantang di sebagian besar organisasi di masyarakat


sekarang yang ditandai dalam sebuah skenario di mana semua orang bercitacita pada kepuasan pribadi. Meskipun memiliki pemimpin dengan
kecenderungan tampilan publik, pernyataan dari berbagai perilaku yang
tidak

etis

dan

skandal

menunjukkan

pola

egoistik

egois

bisnis

kepemimpinan. Untuk mengatasi skenario ini, jelas bahwa petugas kepala


eksekutif di perusahaan kontemporer harus menjadi panutan bagi
kepemimpinan bisnis etis dalam seluruh masyarakat.
Selain itu, pola utama dari kepemimpinan etis melekat dalam
peningkatan kecenderungan untuk membayar perhatian khusus untuk
mengembangkan sumber daya orang-orang terbaik dalam organisasi. Fokus
pada keberhasilan organisasi sebagaimana bertentangan dengan ego pribadi
adalah dimensi utama bagi kepemimpinan etis dalam memahami tempat
mereka di jaringan yang luas dari para kelompok kepentingan dan
konstituen.
Pemimpin etis harus menekankan pada sesuatu yang lebih besar daripada
mereka sebagai individu. Ini adalah terutama mimpi dan tujuan organisasi.
Dalam pandangan ini, realisasi nilai keunggulan bisnis bertumpu pada
keberhasilan karyawan sebagai inti turunan yang kompeten dalam
kepemimpinan etis.
Kepemimpinan etis harus mengidentifikasi dan bertindak atas tuas yang
meningkatkan loyalitas karyawan, kepuasan dan menyalurkan itu untuk
menggerakkan kesuksesan organisasi.

ANALISIS JURNAL
Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam suatu organisasi, dimana
didalamnya terdapat proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin
kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Tiap oraganisasi
memerlukan kerja sama antar manusia dan menyadari bahwa masalah manusia
yang

utama

adalah

masalah

kepemimpinan.

Dalam

tingkatan

ilmiah

kepemimpinan dipandang sebagai suatu fungsi, bukan sebagai kedudukan atau


pembawaan pribadi seseorang. Maka diadakanlah suatu analisa tentang unsurunsur dan fungsi yang dapat menjelaskan kepada kita, syarat-syarat apa yang
diperlukan agar pemimpin dapat bekerja secara efektif dalam situasi yang
berbeda-beda.
Pada dasarnya jiwa kepemimpinan dimilki oleh setiap diri manusia (self
leadership), yang dirasakan pada suatu proses merencanakan dan menetapkan
suatu

keputusan

guna

merealisasikan

tujuan

hidupnya.

Namun

dalam

mengaktualisasikan kepemimpinan itu sendiri sering sekali manusia dihadapkan


pada berbagai problematika hidup, tidak sedikit persoalan muncul hanya
disebabkan kesalahan dalam bertindak dan keliru mempersepsikan sesuatu. Untuk
menghindarinya menjadi penting faktor pengendali diri, salah satunya adalah
dengan mempedomani nilai-nilai etika dan moralitas dalam kehidupan. Jadi

kepemimpinan dengan etika dan moralitas merupakan satu kesatuan yang sangat
erat.
Etika merupakan perilaku berstandar normatif berupa nilai-nilai moral,
norma-norma, dan hal-hal yang baik-baik. Etika difungsikan sebagai penuntun
dalam bersikap dan bertindak menjalankan kehidupan menuju ke tingkat keadaan
yang lebih baik. Pada dasarnya arti hakiki etika adalah determinasi pedoman
untuk menjalankan apa-apa yang benar dan tidak melakukan apa-apa yang tidak
benar. Dengan demikian menjalankan suatu kehidupan yang beretika diyakini
akan membawa kehidupan pada suatu kondisi yang tidak menimbulkan efek
negatif yang merugikan bagi kehidupan di sekitarnya.
Etika kepemimpinan atau kepemimpinan etis, dalam menjalankan kegiatan
organisasi merupakan dimensi yang tidak terpisahkan dari kehidupan organisasi
keseharian. Tanpa adanya etika kepemimpinan yang efektif dapat mengakibatkan
keseimbangan organisasi terganggu. Mematuhi hukum dan peraturan adalah dasar
dari kepemimpinan etis. Kepemimpinan etis merupakan bagian dari tanggung
jawab utama dalam berhadapan dengan konflik di antara karyawan dan landasan
membimbing karyawan untuk mengajari mereka hal yang benar untuk dilakukan.
Para pemimpin etis dapat mewujudkannya ke dalam pembuatan keputusan yang
etis untuk kepentingan organisasi yang lebih luas.
Tujuan dasar dari kepemimpinan etis yaitu menghubungkan tujuan dari
organisasi di dalam kelompok kepentingan eksternal dengan internal (karyawan).
Dengan demikian, pemimpin etis bekerja untuk membuat struktur searah dari
manajemen dalam upaya untuk mempertahankan pemahaman karyawan mengenai
tujuan bersama demi kebaikan organisasi. Fungsi inti dari kepemimpinan etis
adalah untuk membangun paradigma nilai yang mempengaruhi pengikut atau
karyawan. Berkaitan dengan ini, jelas bahwa implikasi praktis dari prinsip-prinsip
etika nilai terletak pada kemampuan pemimpin untuk mengembangkan komponen
strategis dari kematangan awal etika menuju mempengaruhi karyawan dalam
upaya untuk mengaktifkan mereka mengejar keberhasilan dan efisiensi kinerja
dalam organisasi.

Penggunaan strategi dan teknik oleh para pemimpin meningkatkan


kemampuan para pemimpin untuk memberdayakan para karyawan dan ekstensif
untuk meningkatkan self-efisiensi karyawan. Kepemimpinan etis mempengaruhi
sejumlah karyawan dengan cukup menggunakan imbalan, wewenang resmi dan
sanksi untuk mempengaruhi perilaku kepatuhan karyawan. Dengan demikian,
dimensi kepemimpinan etis harus fokus pada nilai-nilai moral dan keadilan dalam
pengambilan keputusan sementara pada saat yang sama mempertimbangkan
dampak keputusan tersebut terhadap organisasi. Komunikasi yang jelas dengan
karyawan harus ditetapkan dalam rangka membangun kerangka kerja dan
memastikan kerja karyawan serta bagaimana kontribusi bagi keberhasilan
organisasi.
Adanya kepemimpinan etis menguntungkan bagi sektor publik karena
menekankan pada keterlibatan negara dalam aspek-aspek tertentu dari masyarakat
melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Namun, karakteristik lingkungan
dimana sektor publik mengoperasikan tantangan adalah tentang pengelolaan apa
yang adil dalam bidang segudang kegiatan publik. Solusi yang diusulkan adalah
berhubungan dengan peningkatan moral para pemimpin dalam meniru ajaran
praktek etis. Hal ini muncul secara konsisten bahwa ketegangan terjadi dalam
pelaksanaan sistem etis kepemimpinan. Hal itu terjadi karena adanya ego alami
yang melebar selama proses pengambilan keputusan.
Sebagian besar pemimpin di sektor publik ditandai dengan konflik
kepribadian defensif. Ini menandakan penciptaan berbagai pusat-pusat kekuasaan
yang bertujuan memperkaya tujuan pemimpin individu yang bertentangan dengan
seluruh organisasi. Komplikasi seperti pose keprihatinan etis sehingga sulit bagi
para

pemimpin

untuk

terlibat

dalam

transaksi

integratif

pendekatan

kepemimpinan. Dalam terang ini, jelas bahwa alasan yang mendasari untuk
kegagalan dalam pemimpin di sektor masyarakat terjadi karena kenaikan
keegoisan dan kebodohan.
Di sektor publik, peran kepemimpinan etis dalam meningkatkan efisiensi
bertumpu pada tingkah laku kepemimpinan etis. Pendapat ini dibangun pada
model pemberdayaan psikologis di mana pemimpin menengahi interaksi antara

kinerja, harapan dan hubungan dengan karyawan. Dengan memamerkan perilaku


etis, pemimpin dalam sektor publik menginspirasi pengikut mereka untuk terlibat
dalam apa yang benar, baik dan cukup. Pendekatan ini membantu dalam
mengangkat kesadaran moral para karyawan untuk mengarah ke tenaga kerja yang
sangat termotivasi, tingginya tingkat kepuasan kerja, aktualisasi diri dan
peningkatan efektif dalam pelayanan.
Perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek
tingkah laku manusia dalam suatu organisasi, atau kelompok tertentu. Studi
tersebut mencakup pembahasan tentang aspek yang ditimbulkan dari pengaruh
organisasi terhadap manusia yang bekerja di dalamnya, juga aspek yang
ditimbulkan dari pengaruh manusia terhadap organisasi dimana mereka berada.
Tujuannya memperlancar upaya pencapaian tujuan organisasi.
Pembahasan yang rinci dan meluas mengenai kepemimpinan yang efektif
tidak terlepas dari pembahasan mengenai perilaku organisasi. Perilaku organisasi
sebagai suatu bentuk interaksi antar individu dan kelompok dalam mencapai
tujuan organisasi dan efektifitas organisasi tidak terlepas dari dinamika dan fungsi
kepemimpinan

seorang

pemimpin

atau

manajer

dalam

mengarahkan,

mengembangkan, melakukan perubahan dan memotivasi individu-individu yang


berada dalam suatu organisasi
Dari jurnal diatas kita dapat kesimpulan bahwa kualitas pemimpin etis
dalam memainkan peran utama dalam mengembangkan tujuan transformasional
kepemimpinan berkaitan dengan mengungkapkan misi organisasi dan meletakkan
dasar

yang

diperlukan

kepemimpinan.

untuk

Penggunaan

kebijakan,

strategi

dan

strategi

dan

teknik

oleh

prosedur
para

untuk

pemimpin

meningkatkan kemampuan para pemimpin itu untuk memberdayakan para


karyawan dan ekstensif untuk meningkatkan self-efisiensi karyawan.
Kategorisasi kepemimpinan etis dalam manajemen organisasi adalah
konseptualisasi hubungan positif yang berpotensi melatarbelakangi nilai-nilai
moral, kewajiban pemimpin dan harapan dari faktor kepemimpinan terkait.
Tantangan pemimpin dalam menghadapi penerapan kepemimpinan etis hanyalah

adaptif dan berfungsi untuk menciptakan peluang tegas yang dibutuhkan untuk
mengintegrasikan elemen transaksional dan transformasional kepemimpinan.
Harapan kontemporer tentang pemimpin adalah yang bertanggung jawab secara
moral dan melayani dalam kontribusinya dengan lingkungan yang lebih luas di
mana prinsip-prinsip kepemimpinan etis diperiksa.
Kelemahan dan Kelebihan Jurnal
Menurut pendapat saya jurnal internasional diatas memiliki kelebihan dalam
hal pemaparan masalah. Dengan menggunakan referensi dalam penulisan, itu
membuat pembaca lebih sedikit percaya dengan apa yang dibahas. Selain itu
penulis juga cukup baik dalam membahas masalah, karena penulis memberikan
penjelasan yang mendalam pada tiap bagian.
Selain kelebihan, jurnal internasional di atas juga memiliki kelemahan.
Kelemahannya adalah tidak banyaknya respon masyarakat yang terdapat pada
hasil penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai