Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI
Dalam merancang heat exchanger, diperlukan teori-teori pendukung yang
akan digunakan sebagai berikut :
A. Gas alam
Komponen utama yang terdapat pada gas alam adalah metana (CH4) yang
merupakan molekul hidrokarbon. Selain itu gas alam juga mengandung beberapa
molekul lainnya seperti etana (C2H6), butane (C4H10), karbondioksida (CO2),
hydrogen sulfide (H2S), air (H2O) dan dapat juga mengandung molekul berat seperti
pasir. Komposisi gas alam bervariasi sesuai dengan sumber/sumur gas tersebut.
Berikut komposisi dari gas alam yang digunakan pada Proyek CNG Bangkanai:
Tabel II.1 Komposisi Gas
Komponen
Hidrogen Sulfida
Karbondioksida
Nitrogen
Metana
Etana
Propana
Butana
Pentana
Heksana
Heptana
Octana
Nonana
Uap Air
Total
B. Gas Ideal

H2S
CO2
N2
CH4
C2H6
C3H8
C4H10
C5H12
C6H14
C7H16
C8H18
C9H20
H2O

Mol Persen
0
5
5.8
70
12
3.7
2
1.5
0
0
0
0
0
100.0000

Gas ideal atau sempurna terdiri dari partikel-partikel yang kecil, bergerak dan
tidak saling berinteraksi. Hukum gas ideal adalah tekanan dari jumlah mol gas yang
memiliki volume berkaitan dengan temperature,[6] sebagai berikut :

P .V n . R .T ...................................................... (2.1)

Dimana :

P = Tekanan [Pa]
V = Volume [m3]
n = Jumlah mol gas [mol]

R = Konstanta gas

Pa . m 3

0
K . mol

8.31432

T = Temperature [oK]
C. Hukum perpindahan panas
Kalor yang dilepaskan sama dengan kalor yang diberikan (Qgas = Qair),
dimana;
Q m . C . T ..........................................................(2.2)

Dimana Q = Laju perpindahan panas [ BTU ]


m = massa [ lb ]
c = kapasitas panas
T

[ ]
BTU
lb . F

= beda temperatur masuk dan keluar [ ]

D. Luas area perpindahan panas


Untuk mendapatkan luas area perpindahan panas, dibutuhkan beda
temperatur logaritmik dengan formula [7] sebagai berikut :
TLMTD

Thi Tho Tco Tci


T Tho
ln hi
Tco Tci
................................................... (2.3)

Dimana : T LMTD = Beda temperatur logaritmik [ ]


T hi = Temperatur hot input [ ]
T ho = Temperatur hot output [ ]

T ci = Temperatur cold input [ ]


T co = Temperatur cold output [ ]
Luas area perpindahan panas adalah area yang dibutuhkan untuk
memindahkan panas dari fluida satu ke fluida lainnya[2]. Dengan formula
sebagai berikut :

Q U . As . TLMTD ..............................................(2.4)
Dimana : Q = Laju perpindahan panas [ BTU ]
U = Koefisien perpindahan panas

BTU
2
h . ft . F

Tabel II.2. Approximate Overall Design Coefficients

Sumber: D.Q.Kern, Process Heat transfer ; 840 tabel 8


As = Luas area perpindahan panas [ft2]
As

Maka :

Q
U . T LMTD ...................................................(2.5)

E. Prinsip alat penukar kalor (heat exchanger)


Pada prinsipnya alat penukar kalor (heat exchanger) sebagai alat yang
digunakan untuk memindahkan energy panas internal antara dua atau lebih fluida/gas
karena temperatur yang berbeda.[7]
F. Pressure vessel (bejana tekan)

Didalam merancang sebuah bejana tekan alat penukar kalor diperlukan


beberapa parameter yang telah ditentukan,[3] seperti :
1. Design Pressure (tekanan desain)
Tekanan desain untuk bejana tekan alat penukar kalor merupakan pengukur
tekanan pada atas bejana tekan, bertepatan dengan desain suhu material,
yang digunakan untuk menghitung minimal tebal dinding dari bejana tekan
tersebut. Pada alat penukar kalor terdapat dua tekanan berbeda yang berada
pada tubeside dan Shell side. Menurut ASME Code (UG-21) tekanan desain
yang lebih besarlah digunakan untuk perhitungan minimal tebal dinding
bejana tekan.
2. Design Temperature (temperatur desain)
Desain dan operating temperatur biasanya diletakkan pada nameplate.
Temperatur desain tidak boleh lebih besar dari suhu rata-rata material
dibawah kondisi operasi.
3. Operating Temperature (temperatur operasi)
Temperatur operasi adalah suhu yang digunakan oleh bejana tekan pada
kondisi operasi.
4. Operating Pressure (tekanan operasi)
Tekanan operasi adalah tekanan yang digunakan bejana tekan pada kondisi
operasi. Biasanya tekanan operasi tidak melebihi MAWP, dan tetap pada
kondisi konstan yang diatur oleh perangkat-perangkat instrumen, seperti
control valve, pressure safety valve, dan lain sebagainya.

10

G. Heat exchanger tipe shell and tube


Pada shell and tube heat exchanger terdapat sejumlah tube penukar kalor
yang dipasang parallel didalam shell. Suatu fluida/gas mengalir didalam tube dan
fluida/gas lainnya mengalir diluar tube (shell). Komponen dalam heat exchanger ini
antara lain tube (tube bundle), shell, front end head, rear end head, baffles, tie rod
dan tube sheet.[2] Susunan tipe shell, tube and baffle di klasifikasikan sebagai
berikut :
1. Notasi shell, front dan rear end head
Berbagai notasi front dan rear head serta tipe shell telah distandarisasi dalam
TEMA (Tubular Exchanger Manufacturer Association) seperti gambar
dibawah ini :

Gambar II.1. Standar Notasi TEMA shell, front end dan rear end [7]

11

Tipe E shell adalah yang paling banyak digunakan karena desainnya yang
sederhana serta harga yang relatif lebih murah. Shell tipe F memiliki nilai
efisiensi yang lebih tinggi dari tipe E, karena shell tipe ini didesain untuk
memiliki dua aliran (aliran U). Aliran sisi shell yang dipecah seperti pada tipe
G, H dan J digunakan pada kondisi-kondisi khusus seperti pada boiler
thermopsiphon. Shell tipe K digunakan pada pemanas kolam air. Sedangkan
tipe X biasa digunakan untuk proses penurunan tekanan uap.
a)

Shell side
Shell side adalah komponen utama pada bejana tekan penukar kalor. Pada
Shell side merupakan tempat masuk dan keluarnya fluida dingin.
Ketebalan dari shell dipengaruhi oleh tekanan desain.[6] Untuk
mendapatkan ketebalan dari shell under internal pressure digunakan
persamaan berikut ini :

Gambar II.2. Shell

t
Dimana :

P.R
S .E 0.6.P (2.6)

t = ketebalan shell [inch]


P = tekanan internal [psi]
S

= tegangan ijin bahan [psi]

E = effisiensi pengelasan /joint efficiency

12

R = radius luar shell [inch]


b)

Bonnet
Bonnetside merupakan tempat masuk dan keluarnya fluida panas yang
akan didinginkan. Bonnetside tipe B yang akan digunakan berbentuk
ellipsoidal head 2:1. Keuntungan yang dimiliki bonnetside tipe B yaitu
lebih kuat menahan tekanan sehingga ketebalan dari ellipsoidal ini
biasanya lebih tipis dan juga lebih ringan jika dibandingkan dengan tipe
lainnya. Untuk menentukan ketebalan dari ellipsoidal head digunakan
persamaan sebagai berikut :

t
Dimana :

P.D
2.S .E 0.2.P ....................................(2.7)

t = ketebalan shell [inch]


p = tekanan [psi]
S

= tegangan ijin bahan [psi]

E = effisiensi pengelasan/joint efficiency

d = diameter shell [inch]


2. TEMA exchanger class
TEMA exchanger class dibagi menjadi 3 yaitu, sebagai berikut :
a) TEMA exchanger class R
Digunakan untuk spesifikasi desain dan fabrikasi untuk shell and tube HE
pada pengolahan minyak bumi dan aplikasi proses pengolahan khusus.
b) TEMA exchanger class C
Digunakan untuk spesifikasi desain dan fabrikasi untuk shell and tube HE
pada industry perdagangan dan aplikasi pengolahan umum.

13

c) TEMA exchanger class B


Digunakan untuk spesifikasi desain dan fabrikasi untuk shell and tube HE
pada aplikasi pengolahan kimia.
3. Tube
a) Panjang Tube
Panjang tube untuk tipe tube lurus dan U-tube pada exchanger yang
umum digunakan : 96 (2438mm), 120 (3048mm), 144 (3658mm),
192 (4877mm) dan 240 (6096mm).
b) Diameter Tube dan Gages
Diameter tube dan gages untuk bare tube tembaga (copper), besi (steel)
dan alloy di klasifikasikan pada table berikut :
Tabel II.3 Diameter Tube and gage

Sumber : TEMA (ninth edition)


Dengan catatan : Tebal dinding tube minimum harus di tetapkan.

14

Diameter tube yang kecil (8-15mm) lebih baik untuk area yang lebih besar
dan volume density, tetapi dibatasi untuk tujuan dalam pembersihan tube
yaitu 20 mm. Diameter tube yang besar sering digunakan untuk condenser
dan boiler.
4. Tube layout (susunan tube), Jumlah Tube
Jumlah tube dibutuhkan untuk mencari diameter shell. Untuk menentukan
jumlah tube dibutuhkan luas area perpindahan panas dibagi panjang tube
yang dapat diasumsikan dan OD tube yang digunakan dengan formula
sebagai berikut :
N tube

As
L . . OD tube .....................................(2.8)

Dimana : L = panjang tube [ft]


ODtube = diameter luar tube [inch]
Tentukan tube layout yang digunakan yaitu sebagai berikut :
a) Sudut 30 (Triangular pitch)
b) Sudut 45 (Rotated square pitch)
c) Sudut 60 (Rotated triangular pitch)
d) Sudut 90 (square pitch)

Gambar II.3. susunan tube

15

Masukan jumlah tube yang didapatkan kedalam tabel dibawah ini :


Tabel II.4. Tube-sheet layout (tube count) square pitch

Sumber : Process Heat transfer

16

Tabel II.5. Tube-sheet layout (tube count) triangular pitch

Sumber : Process Heat transfer


5. Bilangan Reynold
Untuk mengetahui velocity air yang digunakan tidak mempengaruhi
pressure drop pada sisi tube maka perlu dihitung bilangan reynold pada sisi
tube, menggunakan formula dibawah ini :

17

Re

np
nt

4 ma

. d i . a ...............................................(2.9)

Dimana : Re = Bilangan reynold


ma= massa air [lb]
n p = jumlah tube pass
nt = jumlah tube
d i= diameter dalam tube [inch]
Jika reynold number yang di hasilkan Re<<104, maka design parameters
harus diperbaiki (akan berpengaruh pada pressure drop di sisi tube) dengan
cara manambah panjang tube atau menambah jumlah tube passes.
6. Tube Passes
Secara umum jumlah tube passes yang makin besar digunakan untuk
menaikkan kecepatan fluida sisi tube dan koefisien heat transfer (dalam
penurunan tekanan yang diijinkan) dan mengurangi kerusakan. Multiple
tube passes memerlukan temperature profile correction.
7. Baffle dan plat penyangga
a) Macam-macam tipe baffle
Baffle

ini

memiliki

dua

fungsi,

yang

pertama

untuk

menahan/menyangga tube dari getaran dan kelonggaran, yang kedua


untuk mengarahkan aliran fluida/gas di shell agar menyilang sehingga
didapatkan koefisien heat transfer tinggi.

18

Gambar II.4. macam-macam tipe baffle


H. Laju korosi
Pada senyawa kimia terdapat beberapa senyawa yang mempengaruhi laju korosi,
yaitu : CO2, H2S, H+, OH-, CO3, H2O, dll .
Laju korosi akibat CO2 dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
a. Persen pressure dari CO2 :

pCO2 pressure x % CO2 ...........................................................(2.10)


b. Fugasitas CO2 (f CO2 ) :

1 .4
Log f CO2 Log pCO2 0.0031
xP
T 273

....................(2.11)

c. Laju Korosi CO2 (v(dWM)) :


Log v dWM 5.8

1710
0.67 Log f co 2
T 273
.........................(2.12)

d. Laju korosi CO2 :

V FS v dWM ..........................................................................(2.13)
Jika terdapat inhibitor dengan asumsi 90%

19

Vwith inhibitor 100% inhibitor V

...........................................................(2.14)

I. Pemilihan Material/ Bahan


Pemilihan bahan berdasarkan beberapa faktor yaitu :
a. Ketahanan terhadap korosi yang diakibatkan proses yang berlangsung dan
lingkungan proses.
b. Kekuatan material terhadap tekanan dan suhu proses dan lingkungan.
c. Ketersediaan material.
d. Cost pembelian material.
Dari faktor-faktor diatas maka seleksi material secara umum diklasifikasikan
menjadi corrosive dan noncorrosive service.

Noncorrosive service
Fundamental seleksi material pada kondisi non-korosif adalah berdasarkan
dari kondisi temperatur dan kondisi tekanan desain. Berikut tabel 2.7
klasifikasi seleksi material sesuai dengan kondisi kerja [3].
Tabel II.6 Klasifikasi seleksi material noncorrosive service
Service
Temperature (0F)

Low Temperature

Cryogenic

(-425)
(-321)

Plate

Pipe

SA-240 type

SA-312 type

304, 304L,

304, 304L,

347

347

SA-240 type

Forgings
SA-182 Gr.
F304,
F304L,
F347

Pressure
Bolting
Bolts :
SA320 Gr.
B8 strain
hardened

SA-312 type

SA-182 Gr.

Nuts :

304, 304L,

F304,

SA-194

(-320)

304, 304L,

(-151)

316, 316L

316, 316L

F304L

Gr.B

(-150)

SA-333
SA-203 Gr.

SA-333 Gr.

SA-350 Gr.

Bolts : SA-

(-76)
(-75)

D or E
SA-203 Gr.

3
SA-333 Gr.

LF3
SA-350 Gr.

320 Gr. L7

(-51)
(-50)

A or B
SA-516

3
SA-333 Gr.

LF3
SA-350 Gr.

Nuts : SA194 Gr. 4

Bolts

Structural
Nuts Shapes

Same as pressure parts

20

(-21)
Service
Temperature (0F)
(-20) (4)
(5) (32)

Intermediate

(33) (60)

(61) (775)

Elevatesd Temperature

(776) (875)

LF1 or LF2

Plate

Pipe

Forgings

SA-516
SA-516
SA-285

SA-53
or SA-106

SA-516
SA-285

SA-53

SA-515

(seamless)

SA-516

or SA-106

SA-204
SA-204

SA-335 F1
SA-335 F1

Gr.B or C
SA-387

SA-181 Gr.1

Structural
Nuts
Shapes

or SA-325

SA-105 Gr.1

Bolts : SA-

or B

193 Gr B7

SA-36

Nuts : SASA-182

194 Gr. 2H

Gr.F1
SA-182

SA-335 F11

Gr.F11

(1000)

SA-387

SA-335 F12

SA-182

Gr.12 Cl.1

Gr.F12

(1001)

SA-387

SA-182

(1100)

Gr.22 Cl.1

SA-335 F22

SA-307 Gr. B

or B

Gr.11 Cl.1

Gr.F22

SA-240

SA-312

SA-182 Gr.

(1101)

types 304,

types 304H,

304H,

(1500)

316, 321,

316H, 321H,

316H,

347
Type 310

347H

321H, 347H

Above

Bolting

Bolts

(seamless)

SA-515

(876)

(1500) -

Pressure

SA-193
Gr.B5
SA-194 Gr.3

Same as pressure parts

SA-193
Gr.B8
SA-193 Gr.8

stainless
incoloy

Sumber : Pressure Vessel Handbook


Corrosive Service
Secara umum penggunaan stainless steel merupakan pilihan utama
untuk corrosive service. Tetapi hal ini juga merupakan masalah karena
tekanan desain terbatas pada kemampuan stainless steel. Sehingga untuk
ketebalan lebih dari 3/8 in maka kita gunakan baja karbon atau paduan baja
karbon dengan dilapisi bahan anti korosi. Metode yang paling umum
digunakan adalah integral cladding.

21

Integral cladding merupakan teknik pelapisan dengan menggunakan


material lain sebagai pelindung. Dengan proses hot rolled, dua material diroll pada kondisi temperatur. Untuk material bagian luar merupakan material
yang diharapkan untuk dilindungi dan material pelapis bagian dalam yang
manjadi pelindung. Pada tabel 2.8 merupakan beberapa jenis material
cladding yang secara umum digunakan.
Tabel II.7 Jenis material cladding

Sumber : Pressure Vessel Handbook

Anda mungkin juga menyukai