Disampaikan dalam bedah buku APBN Konstitusional: Prinsip dan Pilihan Kebijakan,
yang diselenggarakan oleh FITRA - FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya, Sabtu 27 Juni 2015
2
Ketua Laboratorium FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
3
Peter H. Russel, University of Toronto dalam The Social Sciences Encyclopedia, Adam
Kuper & Jesica Kuper, 1996/2000, hlm. 169-170) terj. Agus Beda
Dari penjelasan tentang konstitusi diatas, nampak terang oleh kita bahwa dia
merupakan pantulan dari etos masyarakatnya sehingga bentuk konstitusi
selaras dengan etos ini. Kita juga memahami bahwa ruang lingkupnya
mencakup mulai distribusi kekuasaan (pusat-daerah) sampai pengaturan
hak-hak ekonomi dan sosial, temasuk didalamnya adalah sistem
penganggaran. Dengan demikian, sistem anggaran, bukan dokumen
keuangan semata, namun dia hidup dan terikat dengan kehidupan sosial
politik suatu Negara.
Jika kita cermati gagasan dalam buku ini, maka penulis dengan teliti
mengurai politik anggaran dari masa ke masa (170-203). Yang secara singkat
kita bagi kedalam tiga fase. Pertama, masa awal kemerdekaan. Focus
anggaran pada periode ini lebih mentik beratkan pada upaya konsolidasi
nasionalis serta membangun perekonomian melalui nasionalisasi asset.
Kecenderungan ini dipengaruhi oleh setting sosial politik yakni upaya
menyatukan dan membangun nasionalisme di Republik yang masih berusia
muda dan rentan disintegrasi. Nasionalisme yang membara turut membakar
perampasan perusahaan asing agar secepatnya dikelola dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan masyarakat pribumi.
Fase kedua, era orde baru. Rezim Soeharto yang tampil sebagai korektor
atas kebangkrutan ekonomi orde lama membangun sistem anggarannya
diatas dua pilar utamanya yakni pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan
untuk itu dibutuhkan stabilitas politik yang terjaga. Sebagian besar sumber
daya anggaran dimasa ini difokuskan untuk menopang dua cita-cita ini.
Belakangan kemudian kedua pilar tersebut ditambah satu, yakni aspek
pemerataan. Kemudian terkenal luas dengan istilah :trilogi pembanguinan.
Dengan ambisi untuk membangun ekonomi secepatnya maka investasi asing
dipacu untuk menjejali modal dan berlalu lalang membiayai belanja
pembangunan.
Era reformasi, ditandai oleh perundang-undangan yang memungkinkan
keterlibatan masyarakat mulai perencanaan sampai pengawasan anggaran.
Di era ini pula mulai banyak dikenalkan istilah anggaran public yang
dibedakan dengan anggaran Negara, akuntabilitas, efisiensi, transparansi
ke khalayak luas. Otonomi daerah sebagai keputusan politik paska orde baru
turut berpengaruh terhadap perimbangan keuangan pusat daerah. Namun
terdapat paradoks didalamnya yakni semakin meningkatnya akuntabilitas,
transparansi, efisiensi di era otoda ini namun disisi lain belum
terbangunnnya kesadaran masyarakat secara massif serta masih rendahnya
political will elite daerah dalam memosisikan anggaran yang benar-benar pro
rakyat.
Apakah sistem penganggaran yang telah diatur melalui paket undangundang ini (dalam buku ini disebut tiga paket undang-undang yang
diterbitkan yakni UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, UU No. 1
Tahun 2004 Tentang perbendaharaan Negara, UU No. 25 Tahun 2004 tentang
sistem perencanaan Pembangunan Nsional (SPPN)) beriringan dengan
semangat mengimplementasikan konstitusi tersebut?.
Pertama yang harus kita cermati adalah kehadiran konstitusionalisme untuk
menjamin tegak dan mewujudnya konstitusi di tengah-tengah masyarakat.
Karena Setiap negara yang memiliki konstitusi tidak selalu menikmati apa
yang disebut konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah kondisi politik
yang memberi peluang berfungsinya konstitusi secara efektif dan mampu
memberi batasan pada kekuasaan dan wewenang pemerintah di suatu
negara. Di negara yang menganut konstitusionalisme, konstitusi benar-benar
dijadikan pedoman pemerintahan dan apa yang sudah diatur oleh UUD tidak
mudah diubah meskipun hal itu mungkin merugikan sebagian tokoh
politiknya.
Gagasan untuk membangun APBN Konstitusional ini juga hendaknya
berbarengan dengan konstitusionalisme sebagai penjaganya.