Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dini Etrilia Santi

NIM

: 201532253

Doping Darah Peningkat Stamina Atlet

Dewasa ini hampir sebagian besar atlet merasa kurang mampu mencapai prestasi
maksimal hanya dengan mengandalkan kemampuan alamiahnya yang berupa kekuatan,
kecepatan, dan daya tahan tanpa dukungan obat-obatan. Sayangnya sampai saat ini badan
otoritas olahraga dunia yang membidangi penggunaan obat-obatan terlarang tersebut masih
sering kali berusaha untuk menutupi kenyataan yang dihadapi. Pengguanaan obat-obatan
dalam dunia olahraga telah berlangsung lama. Bahkan sejak dimulainya olimpiade modern
sudah dikenal jenis obatobatan seperti strychinine, heroin, cocaine, dan morphine yang
ternyata lebih banyak efek merugikan daripada efek menguntungkannya bagi atlet (Made,
2013).
Olahraga merupakan tempat dimana adanya proses interaksi antar manusia serta
mengandung nilai-nilai etikanya satu dengan lain diperlihatkan, diuji dan dipelajari. Dalam
olahraga terkandung pelajaran seperti sikap fair play (bermain jujur), kerjasama tim, sikap
sportif dan sebagainya. Beban berat menjadi seorang pemenang yang berada di pundak
seorang atlet dapat berakibat fatal baginya. Para atlet dapat pula menggunakan berbagai
cara yang dilarang dalam peraturan kompetisi yang dipertandingkan demi mencapai target
yang diinginkan, salah satunya melalui penggunaan doping (Azom, 2015).
Beragam motivasi seseorang menjadi atlet dan mengikuti kejuaran menjadikan event
olahraga sebagai arena yang menarik dan menantang. Hal ini dikarenakan pihak-pihak yang

mengikuti kejuaraan olahraga memiliki satu tujuan yaitu untuk memperoleh kemenangan
pada cabang olahraga yang digelutinya. Orientasi untuk memperoleh kemenangan memiliki
beragam motivasi diantaranya sebagai ajang pembuktian ketangkasan atau kekuatan fisik
diri seseorang, memperoleh gelar atau kedudukan, pengakuan, medali, hadiah berupa
materi hingga memperoleh kepuasan dalam diri karena berhasil memperoleh kemenangan.
Ambisi untuk memenangkan pertandingan akibat kekhawatiran yang terjadi dalam diri atlet
melatarbelakangi tingginya penggunaan doping di lingkungan atlet berbagai cabang
olahraga. Sedangkan pengetahuan dan pemahaman atlet tentang doping sangat minim
(Utomo, 2014).
Doping sebenarnya merupakan tindakan penyalahgunaan obat dalam olahraga,
khususnya pada olahraga prestasi. Memang pada awalnya penggunaan doping tidak
dilarang, namun kemudian dilarang setelah ada gerakan anti-doping pada tahun 1910.
Orang Rusia menemukan cara pemeriksaan doping dan pada tahun 1972 diadakanlah
pemeriksaan doping secara resmi. Istilah doping dikenal pertama kali pada tahun 1886,
yaitu dalam suatu perlombaan balap kuda di Inggris, sedang kata dope sendiri berasal dari
suku bangsa di Afrika Tengah. Efek farmakologik obat-obat doping telah dikemuka-kan oleh
Sujatno pada Majalah Kedokteran Bandung No. 4 / 1992 (Muchtan, 2001).
Pebalap sepeda AS, Lance Armstrong, harus merelakan semua gelarnya di Tour de
France dicopot setelah ia terbukti melakukan doping. Pebalap tersebut diketahui melakukan
doping canggih, profesional, dan sulit terlacak, doping darah.
Pada banyak kasus doping darah meningkatkan jumlah hemoglobin dalam sirkulasi
darah. Hemoglobin adalah protein pembawa oksigen dalam darah. Dengan meningkatnya
hemoglobin maka jumlah oksigen sebagai bahan bakar otot atlet juga meningkat. Hal ini
akan menyebabkan performa dan stamina, terutama dalam perlombaan jarak jauh, seperti
bersepeda atau berlari.
Doping darah banyak dilakukan atlet yang memerlukan daya tahan lama karena
meningkatkan jumlah sel darah merah di dalam tubuh. Tapi setelah doping darah dilarang,
kini para atlet banyak yang menggunakan terapi plasma darah atau platelet-rich plasma
(PRP). Doping darah tidak diperbolehkan bagi atlet yang akan mengikuti kompetisi. Hal ini
karena doping darah melibatkan pengambilan darah seminggu sebelum kompetisi dan
kemudian disuntikkan kembali sesaat sebelum kompetisi. Oksigen yang dibawa sel darah
merah dapat meningkatkan daya tahan. Hal ini dilarang di banyak cabang olahraga, karena
alasan adanya peningkatan kinerja, walaupun itu menggunakan darah atlet itu sendiri
(Setiawan, 2010).

Doping darah sendiri dilarang oleh International Olympic Committe dan organisasi
olahraga lainnya. Secara umum ada 3 doping darah yang dikenal luas, yakni transfusi
darah, injeksi erythropoietin (EPO), dan injeksi sintetis pembawa oksigen.
1. Transfusi darah
Transfusi darah sebenarnya adalah praktik medis untuk menggantikan darah yang hilang
karena kecelakaan atau operasi, atau pun memberikan sel darah yang rendah karena
anemia atau gagal ginjal. Transfusi darah yang dipakai untuk meningkatkan performa atlet
ada dua jenis, yakni Autologous transfusion yang menggunakan darah atlet sendiri yang
diambil lalu disimpan untuk penggunaan selanjutnya. Jenis transfusi darah yang kedua
adalah homologus transfusion, penggunaan darah orang lain yang memiliki golongan darah
sama. Namun doping ini bisa dideteksi. Metode deteksinya mulai dipakai sejak tahun 2004
dalam olimpiade musim panas di Athena, Yunani.
2. Injeksi EPO.
EPO adalah hormon yang diproduksi di ginjal dan berfungsi mengatur produksi sel darah
merah. Dalam praktek medis, injeksi EPO diberikan untuk menstimulasi produksi sel darah
merah. Pada atlet EPO dipakai untuk merangsang tubuh memproduksi sel darah merah
lebih tinggi dari kadar normal sehingga stamina meningkat. Tes darah dan urin bisa
mendeteksi EPO sinteteis. Tetapi EPO berada dalam tubuh dalam waktu singkat meski
dampaknya jangka panjang. Ini berarti agak sulit mendeteksinya.
3. Pembawa oksigen sintetis.
Menggunakan zat kimia yang punya kemampuan membawa oksigen. Dalam dunia
medis praktik ini boleh dilakukan jika tidak tersedia darah manusia, ada risiko infeksi darah,
serta tidak cukup waktu untuk mencari donor darah yang sesuai. Para atlet menggunakan
pembawa oksigen sintetis untuk mencapai performa maksimal dengan meningkatkan
oksigen dalam darah. Tes untuk mengetahui praktek doping ini juga sudah tersedia sejak
tahun 2004.
Untuk meningkatkan performa atlet sebenarnya bisa dengan mengkonsumsi makanan
sesuai asupan para atlet, para atlet dapar bertanding dan bertarung tanpa doping. Dengan
bantuan gizi yang baik para atlet dapat menghasilkan performa yang baik dan pada akhirnya
dapat menghasilnya prestasi yang baik pula. Hal ini seharusnya menjadi peran penting para
ahli gizi untuk menangani gizi atlet. Ahli gizi sangat dibutuhkan dalam menangani masalah

ini. Seharusnya para atlet harus dibuka atau diberi penjelasan lebih tentang gizi, sehingga
mereka akan percaya diri dan bisa bertanding tanpa menggunakan doping karena mereka
sudah mengetahui performa mereka sudah baik karena gizi mereka sudah tercukupi.

DAFTAR PUSTAKA

Azom, I. A. (2015). Implementasi International convention against doping in sport di


Indonesia . JOM FISIP , 1.
Made, B. (2013). Doping dalam Olaharga. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun
2013 , 1.
Muchtan, S. (2001). Pengaruh Penggunaan Doping Terhadap Penampilan Atlet Pada Pekan
Olaharga Nasional XIV/1996 dan south East Asian Games XIX/1997 di Jakarta. JKM , 1.
Setiawan, T. A. (2010). Pengaruh doping darah terhadap organ-organ kardiovaskular.
Utomo, D. A. (2014). Upaya Pencegahan Doping Pada atlet cabang olahraga atletik di
daerah Instimewa Ygyakarta. sripsi , 2.

Anda mungkin juga menyukai