M. SOEHARTO
Jenderal Besar H.M. Soeharto adalah sosok Pejuang setia, prajurit sejati, negarawan
terhormat dan salah satu putra terbaik bangsa yang mengabdi dan mendarma baktikan
hidupnya untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, membangun negara demi
kesejahteraan rakyat, kejayaan dan kewibawaan bangsa.
Memorial Jenderal Besar H.M. Soeharto ini diresmikan oleh Bpk. H. Probosutedjo
(adik dari H.M. Soeharto dan Ibu Hardiyanti Hastuti/Mbak Tutut putri sulung H.M. Soeharto.
Pada tanggal 8 Juni 2013.
Memorial ini di bangun oleh H. Probosutedjo, adik kandung Jenderal Besar H.M.
Soeharto untuk mengenang jasa dan pengabdian, serta penghargaan terhadap prestasi dan
keberhasilan yang telah menghantarkan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat,
maju dan sejahtera, agar nilai-nilai kejuangan yang terkandung didalamnya menjadi pelajaran
dan sumber inspirasi bagi generasi penerus.
Sebuah Patung besar Jendral Soeharto terbuat dari perunggu yang akan menyapa kita
begitu memasuki Gerbang .
Terlepas dari kritik atas kekurangannya, terutama menjalankan pemerintahan yang otoriter,
sisi baik Soeharto sepatutnya tetap bisa diteladani.
Kelebihan
2.
Kekurangan
a. Politik
3
Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada
akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966
mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota PBB kembali
pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde
Baru. Pengucilan politik di Eropa Timur sering disebut lustrasi dilakukan terhadap orangorang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan
Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
dibuang ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II
1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik
pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,
TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
b. Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak
merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an.
c. Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian
barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
4
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia
waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh
militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari
mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan
oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia
politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
d. Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap
hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan persatuan dan kesatuan
bangsa. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat
dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang
disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang
Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan
sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
e. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para
transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
f. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin)
g. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh
banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan
keamanan, antara lain dengan program Penembakan Misterius (petrus)
h.Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya
SEJARAH M. SOEHARTO
MASA KECIL
Rabu Kliwon 8 Juni 1921/1 Syawal 1339 H. Di komplek memorial ini yang terletak di
Desa Kemusuk, lahirlah seorang anak yang di beri nama Soeharto dari pasangan bapak
Kertosudiro dan ibu Sukirah. Soeharto lahir di sebuah Sentong atau kamar, yang pondasinya
masih tersisa dan sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Perkawinan kedua orangtua
Soeharto tidak berlangsung lama. Ketika Soeharto kecil keduanya bercerai. Kemudian
Soeharto diasuh oleh Mbah Kromodiryo seorang dukun bayi di Kemusuk ini. Setelah bercerai
ibu Sukirah menikah lagi dengan bapak Purnama (Atmopawiro) dan mempunyai 7 (tujuh)
anak yang salah satunya adalah bapak H. Probosutedjo
Setelah berumur 4 tahun, Soeharto diambil oleh ibunya dari Mbah Kromodiryo dan
diasuh sendiri oleh ibu Sukirah. Soeharto menempuh Sekolah Rakyat (SR) di Puluhan, Pedes
dan Tiwir yang letaknya di sekitar Kemusuk dari tahun 1929-1931. Kemudian atas keinginan
ayahnya bapak Atmopawiro , Soeharto dititipkan kepada bibinya (istri dr Prawiroharjo
seorang mantri pertanian) di Wuryantoro, Wonogiri. Setelah menamatkan pendidikan dasar,
Soeharto melanjutkan sekolah ke Schakel Scholl di Wonogiri dan Schakel Muhammadiyah di
Yogyakarta yang di selesaikannya pada tahun 1939.
MEMASUKI KETENTARAN
Satu tahun setelah menyelesaikan pendidikannya, pada tahun 1940 Pak Harto berkerja
sebagai pembantu klerk pada Volks Bonk (bank desa) di Wuryantoro tetapi Pak Harto kurang
menyenangi pekerjaan ini. sehubungan dengan itu Pak Harto berhenti berkerja di bank dan
ikut test ujian masuk Kopral Koninkelijik Nederlandsch - Indische Leger = KNIL (Tentara
Kerajaan Belanda). Pak Harto diterima sebagai kopral dan lulus dengan nilai terbaik (1940).
Karena kehebatannya, pada tahun 1941 Pak Harto dikirim ke Sekolah Kadet di Gombong
untuk mendapatkan pangkat sersan. Setelah lulus dan mendapatkan pangkat sersan, Pak
Harto ditugaskan ke Bandung. Penugasan ke Bandung dengan sendirinya berakhir ketika
Belanda menyerah kepada Jepang.
Pada awal masa pemerintahan Jepang (1942), Pak Harto diterima sebagai keibuho
(polisi) dengan nilai terbaik. Pada tahun 1943 Pak Harto diterima menjadi shodanco
(Komandan Pleton) Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan ditempatkan di Wates, dan
kemudian di Glagah, Pantai Selatan Yogyakarta. Setahun kemudian (1944) Pak Harto
diangkat menjadi chudanco (Komandan Kompil) dan di Markat Besar PETA di Solo. Setelah
Indonesia merdeka, pada tanggal 5 Oktober 1945 dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Di Yogja dibentuk Divisi IX, pasukan bawah Divisi IX dan Pak Harto diangkat
menjadi Komandan Batalyon X dengan pangkat Mayor. Selanjuntnya pada tahun 1948, Pak
Harto dipercaya sebagai Komandan Brigade X (Brigade Mataram) Wehrkreise III dengan
pangkat Letnan Kolonel yang membawahi wilayah Yogyakarta.
6
Masuk KNIL dan Mengikuti Pendidikan Dasar Militer di Gombong, Jateng (1 Juni
1940).
10