Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah kesehatan yang
penting, bila tidak ditanggulangi akan menyebabkan angka kematian ibu yang
tinggi. Kematian seorang ibu dalam proses reproduksi merupakan tragedi yang
mencemaskan. Keberadaan seorang ibu merupakan tonggak untuk tercapainya
keluarga yang sejahtera dan kematian seorang ibu merupakan suatu bencana bagi
keluarganya. Dampak sosial dan ekonomi kejadian ini dapat dipastikan sangat
besar, baik bagi keluarga, masyarakat maupun angkatan kerja. World Health
rganization (2008) melaporkan pada tahun 2005 terdapat 536.000 wanita
meninggal akibat dari komplikasi kehamilan dan persalinan, dan 400 ibu
meninggal per 100.000 kelahiran hidup (Maternal Mortality Ratio).1,2
Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai angka kematian ibu (AKI)
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Pada tahun
2005 terdapat AKI sebesar 420/100.000 kelahiran hidup di Indonesia.
Berdasarkan profil kesehatan indonesia 2006, AKI di Rumah Sakit periode 20012005 cenderung menurun dari 7,5/1000 kelahiran hidup pada tahun 2001 menjadi
0,9/1000 kelahiran hidup pada tahun 2005. Namun pada tahun 2004, AKI
mengalami kenaikan tajam dari sebelumnya 1,1/1000 kelahiran hidup pada tahun
2003 menjadi 8,6/1000 kelahiran hidup.1
Kehamilan ektopik (KE) merupakan salah satu kehamilan yang berakhir abortus,
dan sekitar 16 % kematian dalam kehamilan dikarenakan perdarahan yang
dilaporkan disebabkan kehamilan ektopik yang pecah. Kehamilan ektopik terjadi
apabila hasil konsepsi berimplantasi, tumbuh dan berkembang di luar
endometrium normal. Kehamilan ektopik ini merupakan kehamilan yang
berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya

kemungkinan terjadi keadaan gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) dimana terjadi abortus maupun ruptur tuba.
Abortus dan ruptur tuba menimbulkan perdarahan ke dalam kavum abdominalis
yang bila cukup banyak dapat menyebabkan hipotensi berat atau syok. Bila tidak
atau terlambat mendapat penanganan yang tepat penderita akan meninggal akibat
kehilangan darah yang sangat banyak.2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi berimplantasi
dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik dapat terjadi
di luar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga
terjadi di dalam rahim di tempat abnormal misalnya dalam cervik, pars
intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim.1,3,4
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena tempat
implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai
aterm. Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul
gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang
menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.1
2.2. Epidemiologi
2.2.1. Distribusi Frekuensi
Kehamilan ektopik terganggu sulit diketahui, karena biasanya penderita tidak
menyampaikan keluhan yang khas, kehamilan ektopik baru memberikan gejala
bila kehamilan tersebut terganggu. Sehingga insidensi kehamilan ektopik yang
sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET
berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat
dalam dua dekade ini. Dengan berkembangnya alat diagnostik canggih, semakin
banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula
insidensi dan prevalensinya.2
Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik,
karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan
uterin, bukan kehamilan ektopik, terutama IUD dan mungkin juga progestagen

dosis rendah. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan


keterjadian kehamilan ektopik.3
Kehamilan ektopik banyak terdapat bersama dengan keadaan gizi buruk dan
keadaan kesehatan yang rendah, maka insidennya lebih tinggi di negara sedang
berkembang dan pada masyarakat yang berstatus sosio-ekonomi rendah daripada
di negara maju dan pada masyarakat yang berstatus sosio-ekonomi tinggi. Di
Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241
kehamilan, kejadian ini dipengaruhi oleh faktor sosial, mungkin karena pada
golongan pendapatan rendah lebih sering terdapat gonorrhoe karena kemungkinan
berobat kurang.1,2
2.2.2. Determinan
a)

Usia
Umur merupakan faktor resiko yang penting terhadap terjadinya kehamilan
ektopik. Sebagian besar wanita mengalami kehamilan ektopik berumur 2040 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Menurut Linardakis (1998) 40%
dari kehamilan ektopik terjadi antara umur 20-29 tahun.4

b)

Paritas
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan pertambahan paritas.
Kejadian ini lebih banyak terjadi pada multipara. Ada laporan yang
menyebutkan kejadiannya satu dalam 2600 kehamilan. Penelitian di RSUD
Arifin Achmad di Pekan Baru selama periode 1 Januari 2003-31 Desember
2005 melaporkan bahwa kehamilan ektopik terganggu terbanyak terjadi
pada penderita paritas 1 (35,34 %).4

c)

Ras/Suku
Menurut Philip Kotler, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang, salah satunya adalah faktor sosial dan kebudayaan. Suku
termasuk bagian dari budaya yang tentunya akan mempengaruhi perilaku
dalam menggunakan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan.
Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada wanita kulit hitam dari

pada wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena peradangan


pelvis lebih banyak ditemukan pada golongan wanita kulit hitam.4
d)

Tingkat Pendidikan
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannyaselama kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor
penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga keluarga.
Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin
meningkat pengetahuan dan kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan
dalam kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk
melakukan pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur.4

f)

Sosioekonomi
Derajat sosio ekonomi masyarakat akan menunjukkan tingkat kesejahteraan
dan kesempatannya dalam menggunakan dan menerima pelayanan
kesehatan. Jenis pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan
keadaan sosio ekonomi keluarga. Kehamilan ektopik lebih sering terjadi
pada keadaan sosio ekonomi yang rendah.4

g)

Riwayat Penyakit Terdahulu


Riwayat penyakit yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik
adalah infeksi, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur, dan keadaan
infertil.4

h)

Riwayat Kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan kehamilan
ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral atau dengan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR), rasio kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan
intrauterin adalah lebih besar daripada wanita-wanita yang tidak
menggunakan metode kontrasepsi. Kejadian kehamilan ektopik pada
akseptor AKDR dilaporkan 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pemakai kondom. Diperkirakan terjadi 2 kehamilan ektopik per 1000
akseptor AKDR setiap tahun. Akseptor pil yang berisi hanya progestagen
dilaporkan mempunyai insiden yang tinggi terhadap kehamilan ektopik

apabila terjadi kehamilan selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan insidennya yang biasa. Pada pemakai pil mini 4-6%
dari kehamilannya dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi dilaporkan tidak
terjadi perubahan insiden pada akseptor pil kombinasi.3,4
i)

Riwayat Operasi Tuba


Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur sterilisasi yang
gagal maupun usaha untuk memperbaiki infertilitas tuba semakin umum
sebagai faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik.4

2.3. Etiologi
Pada kehamilan normal, telur yang sudah dibuahi akan melalui tuba falopi menuju
ke uterus. Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan
zigot. Dalam 3 hari terbentuk kelompok sel yang sama besarnya dan disebut
stadium morula. Dalam ukuran yang sama ini hasil konsepsi disalurkan terus ke
pars ismika dan pars interstitialis tuba (bagian-bagian tuba yang sempit) dan terus
ke arah kavum uteri oleh arus serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan
kontraksi tuba. Dalam kavum uteri, hasil konsepsi mencapai stadium blastula.
Blastula dilindungi oleh simpai yang disebut trofoblas, yang mampu
menghancurkan dan mencairkan jaringan. Ketika blastula mencapai rongga rahim,
jaringan endometrium dalam keadaan sekresi. Jaringan endometrium ini banyak
mengandung sel-sel desidua. Blastula dengan bagian yang berisi massa sel dalam
(inner-cell mass) akan masuk ke dalam desidua, menyebabkan luka kecil yang
kemudian sembuh dan menutup lagi. Pada saat nidasi terkadang terjadi sedikit
perdarahan akibat luka desidua (tanda Hartman). Nidasi terjadi pada dinding
depan atau belakang uterus (korpus), dekat pada fundus uteri. Blastula yang
berimplantasi pada rahim akan mulai tumbuh menjadi janin.5

Gambar 1. Proses implantasi normal di endometrium uterus


Beberapa hal di bawah ini merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan
terjadinya kehamilan ektopik:
2.3.1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Merupakan faktor risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka
kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat
sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua.3
2.3.2

Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron

Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih menggunakan


kontrasepsi spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga
meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat mengganggu pergerakan sel
rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk
berimplantasi ke dalam rahim.
2.3.3

Kerusakan dari saluran tuba

Faktor dalam lumen tuba1:


a. Endosalpingitis dapat menyebabkan lumen tuba menyempit atau membentuk
kantong buntu akibat perlekatan endosalping.

b. Pada Hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkeluk-keluk dan hal ini
disertai gangguan fungsi silia endosalping.
c. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab
lumen tuba menyempit.
2.4 Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada
dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara
kolumner

atau

interkolumner.

Implantasi

secara

kolumner

yaitu

telur

berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur


selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara
dini dan kemudian diresorpsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi
antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur
dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan
dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak
sempurna, dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke
dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat
implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh
invasi trofoblas.1
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus
luteum graviditas dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek. Endometrium
dapat pula berubah menjadi desidua. Setelah janin mati, desidua dalam uterus
mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping atau
dilepaskan secara utuh. Perdarahan pervaginam yang dijumpai pada kehamilan
ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang
degeneratif.1
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga
tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar
kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba yaitu1:

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi


Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi
koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini
dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan
selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke
arah ostium tuba abdominale. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan
tuba membesar dan kebiru-biruan (Hematosalping) dan selanjutnya darah
mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba, berkumpul di kavum douglas dan
akan membentuk hematokel retrouterina.
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan
yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi
koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat
terjadi secara spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam
rongga perut melalui ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur
sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh invasi
trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi
di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2
lapisan ligamentum tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi kehamilan
intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang diderita. Bila
janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya, dan bila besar dapat
diubah menjadi litopedion.

Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion
dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut,
sehingga terjadi kehamilan ektpik lanjut atau kehamilan abdominal sekunder.
Untuk mencukupi kebutuhan makananbagi janin, plasenta dari tuba akan
meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian uterus,
ligamentum latum, dasar panggul dan usus.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari
kehamilan ektopik, dapat dibedakan menurut:
2.5.1. Kehamilan Tuba
Kehamilan tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopi.
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba (95%). Konseptus dapat
berimplantasi pada ampulla (55%), isthmus (25%), fimbrial (17%), ataupun pada
interstisial (2%) dari tuba. Tuba fallopi mempunyai kemampuan untuk
berkembang yang terbatas, sehingga sebagian besar akan pecah (ruptura) pada
umur kehamilan 35-40 hari.4,5,7

Gambar 3. Lokasi kehamilan ektopik

10

2.5.2. Kehamilan Ovarial


Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh kehamilan
ektopik dimana sel telur yang dibuahi bernidasi di ovarium. Meskipun daya
akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi
tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.4,5
2.5.3. Kehamilan Servikal
Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang sekali
terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur,
serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu
sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase.4,5
2.5.4. Kehamilan Abdominal
Kehamilan ini terjadi satu dalam 15.000 kehamilan, atau kurang dari 0,1% dari
seluruh kehamilan ektopik. Kehamilan abdominal ada 2 macam:
a.

Primer , dimana telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.

b.

Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya di


dalam saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam
rongga abdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua
kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat
ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga
abdomen.Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup
bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum
tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan makanan kurang
sempurna.4

2.5.5. Kehamilan Intraligamenter


Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.
Konseptus yang terjatuh ke dalam ruangan ekstra peritoneal ini apabila lapisan
korionnya melekat dengan baik dan memperoleh vaskularisasi dimana fetusnya
dapat hidup dan berkembang dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses

11

kehamilan ini serupa dengan kehmilan abdominal sekunder karena keduanya


berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.
2.6. Gambaran Klinis
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan penderita
maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan,
sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba.7
2.6.1. Kehamilan Ektopik Belum Terganggu
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur sulit
untuk diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas.
Amenorea atau gangguan haid dilaporkan oleh 75- 95% penderita. Lamanya
amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian
penderita tidak mengalami amenore karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya. Tanda-tanda kehamilan muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25%
kasus.7
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah nyeri di
perut bawah yang tidak khas walaupun kehamilan ektopik belum mengalami
ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar
ditentukan. Keadaan ini juga masih harus dipastikan dengan alat bantu diagnostik
yang lain seperti ultrasonografi (USG) dan laparoskopi.4,5,7
2.6.2. Kehamilan Ektopik Terganggu
Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda, mulai dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala
yang tidak jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik
terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang
terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil.7

12

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau akut
biasanya tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tibatiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita
pingsan, tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat serta perdarahan yang
lebih banyak dapat menimbulkan syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin.
Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke
dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau keseluruh perut
bawah dan bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi
nyeri.1,2,3,7
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik
terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri
karena pelepasan desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan
berwarna coklat tua. Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%. Perdarahan
berarti gangguan pembentukan Hcg (human chorionic gonadotropin).7
2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesis
Kehamilan ektopik biasanya didiagnosis pada trimester pertama kehamilan.
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12 minggu.
Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah memperlihatkan gejalagejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus pada wanita dengan
kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami pembesaran yang berbeda
dengan bentuk dari kehamilan ektopik.6
KE memiliki frekuensi yang hampir sama pada sejumlah besar usia ibu dan asalusul etnis. Dokumentasi tentang faktor-faktor risiko merupakan bagian esensial
dari anamnesis, dan pasien-pasien klinis asimptomatis dengan faktor-faktor risiko
dapat mengambil manfaat dari pencitraan dini rutin. Meskipun demikian, lebih
dari separuh KE yang diidentifikasi adalah pada perempuan tanpa faktor-faktor
risiko yang jelas diketahui.6
13

Temuan-temuan tergantung pada apakah ruptur telah terjadi. Wanita dengan


perdarahan intraperitoneal datang dengan nyeri perut, bersama dengan berbagai
derajat instabilitas hemodinamik. Meskipun demikian, para perempuan tanpa
ruptur dapat juga datang dengan nyeri pelvik, perdarahan pervaginam, atau
keduanya.6
2.7.2. Pemeriksaan Fisik
Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga perut dapat
ditemukan tanda-tanda syok. Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila
uterus dapat diraba maka akan terasa sedikit membesar dan kadang-kadang teraba
tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Cavum douglasi
yang menonjol dan nyeri raba menunjukkan adanya hematocele retrouterina.3,4,6
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan
diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan
dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik
dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang lebih dari 20.000
biasanya menunjukkan infeksi pelvik.2
b. Kadar -hCG (Human Chorionic Gonadotropin) dan Progesteron
Pemeriksaan kadar -hCG (Human Chorionic Gonadotropin) penting untuk
memastikan kehamilan. Hormon ini dapat dideteksi paling awal pada satu minggu
sebelum tanggal menstruasi berikutnya. Konsentrasi serum yang sudah dapat
dideteksi ialah 5 IU/L, sedangkan pada urin ialah 2050 IU/L.6 Tes kehamilan
negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena
kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan human chorionic
gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif. Tes kehamilan positif juga

14

tidak dapat mengidentifikasi lokasi kantung gestasional. Meskipun demikian,


wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki level -hCG yang rendah
dibandingkan kehamilan intrauterin.5
Pemeriksaan kadar serum progesteron juga dapat membedakan kehamilan
intrauterin normal dan kehamilan yang abnormal, kadar serum progesteron yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah curiga adanya kehamilan ektopik. Dari sebuah
studi yang besar, kadar progesteron >25ng/ml menyingkirkan diagnosis kehamilan
ektopik dengan sensitifitas 97,4%. Kadar progesteron 5ng/ml menyingkirkan
kehamilan intrauterin normal dengan sensitivitas 100%.7
c. Kuldosintesis
Kuldosintesis ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah terdapat
darah dalam kavum douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat diagnosis
kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis yaitu:
-

Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.

Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik

Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,


kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior ditampakkan

Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan semprit
10 ml dilakukan pengisapan.5

Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang tdak
membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil. Hasil negatif bila cairan yang dihisap
berupa:
-

Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista
ovarium yang pecah.

Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).

Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.5

15

d. Pencitraan Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal telah mengubah penilaian tentang kehamilan dini
yang bermasalah, dengan memungkinkan visualisasi yang lebih dini, lebih jelas
baik tentang embrio yang berkembang secara normal maupun abnormal. Suatu
kantung gestasi yang normal, suatu kumpulan ovoid dari cairan yang berdekatan
dengan endometrial line, dapat divisualisasikan dengan probe transvaginal pada
usia kehamilan sekitar 5 minggu. Karena lingkungan hormonal pada KE dapat
menghasilkan suatu kumpulan cairan intrauterin yang menyerupai suatu kantung
gestasi (kantung gestasi palsu) maka suatu kantung semata belum memastikan
kehamilan intrauterin. Identifikasi adanya kantung gestasi ekstrauterin yang
mengandung yolk sac (dengan atau tanpa embrio) menegaskan diagnosis KE.
Banyak penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa pencitraan ultrasonografi
transvaginal di poliklinik memiliki akurasi yang tinggi dalam memastikan
kehamilan intrauterin dan ekstrauterin. Oleh karena itu pemeriksaan skrining USG
transvaginal dianjurkan terutama pada pasien yang mengeluh perdarahan atau
nyeri pada trimester pertama kehamilan.3

Gambar 4. USG kehamilan ektopik

16

e. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk
kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat
dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas
dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi
alat kandungan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.6

2.8. Penatalaksaan
2.8.1 Penatalaksanaan Medisinal
Methotrexate (MTX) merupakan pilihan terapi medisinal lini pertama pada
kehamilan ektopik yang belum terganggu dan kondisi hemodinamik stabil.
Methotrexate (MTX), suatu antagonis asam folat, menginhibisi sintesa DNA
dalam sel-sel yang membagi secara aktif, termasuk trofoblas. Jika diberikan
kepada pasien yang diseleksi secara tepat, maka akan memiliki tingkat
keberhasilan hingga 94%. Namun jika pasien mengalami nyeri perut hebat atau
akut abdomen atau jika ultrasonografi menunjukkan adanya darah intraabdominal
lebih dari 100 ml segera dilakukan laparoskopi.2,
2.8.2. Operatif
Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan tindakan
bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif
(biasanya salpingotomi ) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau
laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara
hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi,
fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan
teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini
membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa
kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan ektopik yang
hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi dapat dilakukan dengan
teknik laparaskopi. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil
17

ektopik yang belum rupture dan besarnya tidak lebih dari 5 cm pada diameter
transversa yang terlihat komplit melalui laparaskopi.4
a.

Salpingotomi Linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan
pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75%
kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai
dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier
dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Produk kehamilan dikeluarkan
dengan hati-hati dari dalam lumen. Setiap sisa trofoblas yang ada harus
dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan
cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada
mukosa. Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena
kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang
akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian
ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan
untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada tegangan
yang berlebihan.4

b.

Reseksi Segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu
alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat
bagian implantasi. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur
normal tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan
untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan
dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada
ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan
mikroskop/loupe.4

c.

Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami
ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera
diatasi. Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan
krisis kardiopulmunonal yang serius. Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat
digunakan, dan tuba yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer

18

dengan klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi
dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri,
hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka
delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk menutup myometrium
pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan
menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting
untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum latum.4
2.9. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis
dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1
kematian diantara 826 kasus, Wilson dkk., (1971) melaporkan 1 kematian diantara
591 kasus. Akan tetapi bila pertolongan terlambat angka kematian dapat tinggi.
Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus.
Sedangkan Tardjiman dkk., (1973) mendapatkan angka kematian 4 dari 138
kehamilan ektopik.7
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral.
Sebagian perempuan menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik lagi
pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 014,6%. Untuk perempuan dengan jumlah anak yang sudah cukup, sebaiknya pada
operasi dilakukan salpingektomi bilateralis dan sebelumnya perlu mendapat
persetujuan suami dan isteri.7

19

BAB III
KESIMPULAN

Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi berimplantasi
dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik terganggu
(KET) adalah keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut
sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan
umum pasien.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kehamilan ektopik antara lain
faktor mekanik, faktor fisiologis, dan kegagalan kontrasepsi. Kebanyakan dari
kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang paling umum terjadi
adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian berturut-turut adalah
isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah intersisial tuba (2%).
Penegakan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kehamilan ektopik biasanya didiagnosis pada trimester
pertama kehamilan. Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara
kehamilan 5 dan 12 minggu. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik
telah memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau
uterus pada wanita dengan kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami
pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik.
Pemeriksan penunjang yang semakin canggih dapat membantu menegakkan
diagnosis kehamilan ektopik secara dini sehingga penatalaksanaan secara
medisinalis dapat dilakukan. Namun sebagian besar wanita dengan kehamilan
ektopik akan membutuhkan tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal
(salpingektomi) atau konservatif (biasanya salpingotomi ) dan tindakan itu
dilakukan dengan jalan laparaskopi atau laparatomi. Tindakan yang dilakukan
tergantung dari keadaan hemodinamik pasien, operator yang tidak terlatih serta
fasilitas yang tersedia.

20

Berdasarkan uraian di atas, diagnosis yang tepat dan cepat merupakan hal yang
sangat

penting

karena

dapat

menurunkan

angka

kematian

ibu

dan

mempertahankan kualitas reproduksinya. Pendeteksian secara dini kelompok yang


bersiko tinggi serta pemeriksaan antenatal secara teratur berperan penting dalam
penetalaksaan lebih lanjut oleh tenaga medis.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Damayanti I. 2011. Kehamilan Ektopik. Fakultas Kedokteran dan Ilmu


Kesehatan Universitas Tanjungpura: Pontianak.
2. Bangun R. 2009. Karakteristik Ibu Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu
(KET) di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 20032008. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara: Medan.
3. Hadisaputra W. 2008. Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik dengan Kajian
Hasil Laparoskopi Operatif. Maj Obstet Ginekol Indones Vol 32, No 2, April
2008: 72-6.
4. Pawitra HW. 2012. Kehamilan Ektopik Terganggu. Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Malang: Malang.


5. Deanette M. R. Aling, Juneke J. Kaeng, John Wantania. 2014. Hubungan

Penggunaan Kontrasepsi dengan Kejadian Kehamilan Ektopik Terganggu di


Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 2009 2013. Jurnal eClinic (eCl), Volume 2, Nomor 3, November 2014.
6. Widjajahakim G, Christina S. 2008. Kehamilan Ektopik Terganggu di

Abdomen. Fakultas Kedokteran UKRIDA: Jakarta.


7. Suryawan A, Gunanegara RF, Hartanto H, Sastrawinata US. 2007. Artikel

Penelitian: Profil Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu Periode 1 Januari


2003 sampai 31 Desember 2004 di RS Immanuel Bandung. JKM Vol. 6, No.
2, Februari 2007.

22

Anda mungkin juga menyukai