BLOK THT
Tutor
Ketua
: Mahidin
1413010006
Sekretaris
1413010022
Anggota:
Yuanita Hasna Rahmadhani
Yulis Setiawati
1413010009
1413010012
1413010025
1413010028
Angga Negara
1413010033
1413010040
1413010043
1413010047
DAFTAR ISI
BAB I KLARIFIKASI ISTILAH...............................................................................
BAB II IDENTIFIKASI MASALAH........................................................................
BAB III ANALISIS MASALAH................................................................................
BAB IV KERANGKA KONSEP................................................................................
BAB V LEARNING OBJECTIVE...........................................................................
BAB VI PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE............................................
BAB VII PENUTUP..................................................................................................
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH
1.1 Sakit kepala : perasaan tidak nyaman pada daerah antara orbita dan
kepala. Nyeri kepala disebut juga cephalgia. (Dorland, 2002)
1.2 Batuk non produktif: Batuk yang kering tanpa adanya dahak atau
sputum. (Tjay, 2007 )
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
BAB III
ANALISIS MASALAH
influenza virus akan menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan
sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium
sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu
inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation
juga menyebabkan menurunya patensi sinus ostia. (Rubin MA, 2005 )
Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya
tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya
fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan
lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri,
environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia. Sehingga, setelah bakteri patogen
berkembang pada sinus menyebabkan perubahan pada sifat sekret yaitu berwarna
kuning dan kental. (Rubin MA, 2005 )
5
ydvoIf,j()
nighpm
eluarsktbw
Mekanisme hidung tersumbat dan keluar sekret berwarna kuning :
3.2 Apakah hubungan batuk dan pilek sejak 2 minggu yang lalu dengan
keluhan yang sekarang ?
yang lalu selain itu mahasiswa tersebut sejak 2 minggu yang lalu juga mengalami
batuk dan pilek. Batuk dan pilek yang dialami mahasiswa tersebut adalah suatu
gejala dari Infeksi Saluran Pernafasan bagian Atas ( ISPA ) jadi kemungkinan
hidung tersumbat disertai keluarnya cairan kental disebabkan penyakit ISPA yang
GPPN
aepu
oamm
imka
suom
eu
ee a nr nf a gs g d g a
nc a a d p a
n l fua a k k k o t s o
u n o se m n p l
e rs e ku t i n un o n m d
rr u n
un
a n
ar
e k s
e a t a l
7
BAB IV
KERANGKA KONSEP
Mahasiswi
24 tahun
Batuk pilek
(ISPA)
Disfungsi silia
Sekret purulen
Hidung tersumbat
Diagnosis Banding
Sinusitis Akut
Anamnesis
Kronis
PemeriksaanSinusitis
Penunjang
(Pemeriksaan mikrobiologik, radiologi, garp
Pemeriksaan Fisik
Sinusitis maksilaris
gn, PF hidung luar, rinoskopi anterior, transiluminasi,
Sinusitis
rinoskopi
frontalis
posterior)
Sinusitis etmoidalis
Sinusitis sfenoidalis
Diagnosis Kerja
BAB V
LEARNING OBJECTIVE
1. Bagaimanakah embriologi antomi sinus paranasal dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
10
BAB VI
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE
6.1 Bagaimanakah embriologi antomi sinus paranasal dan kompleks
osteomeatal (KOM) ?
a. Sinus maxillaris
Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah medial
orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian
terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi
(Ballenger, 1994).
Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah
erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18
tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan
puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut Moris pada
buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 78 x 46 mm
dan untuk usia 15 tahun 3132 x 1820 x 1920 mm. Sinus maksila merupakan
sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 68 ml, sinus
kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,
yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 1994; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
Perdarahan pada sinus maksila meliputi cabang arteri maksilaris termasuk
infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri greater palatine
serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan vena yang
mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan plexus vena
pterygoid (Amedee, 1993). Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus
maksilaris (V2) yang mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior
nasal dan cabang superior alveolar dari nervus infraorbita (Amedee, 1993).
11
ospalatum,
prosesus
unsinatus
os
etmoid,
Dinding
medial
sinus
maksila
merupakan
sinus
maksila
dengan
infundibulum
1998).
Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita
terdiri dari tulangyang tipis yang dilewati oleh kanalis infra
(Ballenger, 1994).
Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang
berhadapandengan fossa kanina dan memisahkan sinus
Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus
melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat
menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis
(Ballenger, 1994). Anomali fasial atau sinus yang besar dapat juga menyebabkan
sinusitis kronis (Medina, 1999).
12
b. Sinus frontalis
Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan
kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses (Amedee,
1993).Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua
setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal
pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja (Amedee, 1993).Sekitar
5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus ini. Ukuran sinus
frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6 sampai 7 ml.
(Amedee, 1993). Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan
supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yang
mengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993; Marks, 2000). Sensasi
mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangan supratroklear
nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (V1) (Amedee, 1993; Marks,
2000). Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital dan akar
hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midline dengan
ukuran masing-masing yang bervariasi. Sinus frontal sangat berhubungan erat
dengan tulang etmoid anterior (Amedee, 1993). Dinding posterior dari sinus ini
melebar secara inferior obliq dan posterior dimana nantinya akan bertemu dengan
atap dari orbita. Ostium alami dari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar
sinus. Sel-sel infraorbita bisa terobstruksi dan membentuk mukokel yang terisolasi
dari ostium dan sinus etmoid (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).
c. Sinus ethmoidalis
Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah
kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah
meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat
setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak (Amedee, 1993; Marks,
2000). Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.
13
Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground
lamella), konka superior dan konka suprema (Amedee, 1993; Marks, 2000).
Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia dewasa
mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x20 x 10
mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya mengandung 1015
sel
persisi
dengan
total
volume
1415
ml
(Amedee,
1993;
Marks,
Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan pleksus
pterigoid (Amedee, 1993). Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari
cabang nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal
dan sfenopalatina dari nervus maksilaris (Amedee, 1993). Sinus sfenoid ini pada
bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri karotis interna, nervus optikus
dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus. Pada daerah ini juga terdapat
bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris dari nervus kranialis kelima
dan keenam (Murray, 1989; Maran, 1990). Dibagian superior terletak lobus
frontalis dan bagian olfaktori. Dibagian posterior terdapat fosa pituitari. Nervus
dan pembuluh darah sfenopalatina terletak didepan dari sinus sfenoid ini,
sedangkan nervus vidianus terletak dibagian inferiornya (Murray, 1989; Maran,
1990).
6.2. Apa fungsi sinus paranasal ?
Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti danmasih
belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal
tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka (Ramalinggam dan Sreeramamoorthy, 1990; Soetjipto dan
mangunkusumo, 2000). Namun karena berhubungan langsung dengan hidung,
maka sinus dapat membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan,
menghangatkan, melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan.
Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal
hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000; Karen dan Edmund, 2010).
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)
Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan,
sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan
rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo 2000).Volume pertukaran udara
15
dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi
pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa
hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organorgan yang dilindungi (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif,
lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan
tingkat rendah (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto dan Mangunkusumo,
2000).
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
16
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000).
6.3. Sebutkan macam-macam sinusitis ?
a. Sinusitis maxillaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena :
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata
dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di
dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan
kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.
(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
b. Sinusitis ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
17
sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak
dapat dielakkan.Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus
medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung.(Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2000).
c. Sinusitis frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri
berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang
tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.Pasien
biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat
pembengkakan supra orbita.(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
d. Sinusitis sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan
gejala infeksi sinus lainnya.(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
6.4. Apakah faktor predisposisi sinusitis ?
Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktor-faktor yang
berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu faktor
manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik / kelainan
kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi / kondisi imun tubuh,
kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan metabolik, dan
keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi (virus, bakteri,
dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik (medikamentosa ataupun
pembedahan). Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya,
yaitu virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold.
Virus yang menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%),
18
Batuk.
Coronal
CT-Scan,
menandakan
adanya
penebalan
dan
Sakit kepala.
19
Nyeri wajah.
Nyeri telinga.
Saki tenggorokan.
Sakit gigi.
Nafas berbau.
Demam.
Ultra sound.
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :
Gejala dan tanda: 2 mayor, 1 minor. Atau 2 kriteria minor.
6.6
a. Anamnesis
Dalam menegakkan diagnosis, hal yang pertama dilakukan adalah
anamnesis untuk menggali informasi sedalam dalamnya terutama gejala awal
keluhan serta gejala tambahannyya dan lamanya waktu keluhan di derita, sehingga
dapat di simpulkan dan dilakukan pemeriksaan fisik yang sesuai keluhan.
Sekaligus kita dapat menyesuaikan mengenai gejala mayor dan minor dari
sinusitis.
b. Pemeriksaan fisik yang sesuai
c. Pemeriksaan penunjang
Untuk menilai adalnya leukositosis dan kadar IgE yang dapat membantu
penegakan diagnosis dari segi etiologi dan sekaligus menentukan terapi yang tetap
dan sesuai.
Pemeriksaan radiologi
a. Foto Rongent sinus paranasal
21
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CTScan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah
(Ballenger, 1997). CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan,
memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek
osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya
seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada
komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas (Ballenger,
1997). CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.
Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi
Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,
Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :
Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit (Mackay IS dan Lund VJ,
1997).
c. MRI
Untuk menilai keadaan jaringan lunak yang menyertai adanya sinusitis.
d. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan
karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan
faktor lokal penyebab sinusitis (Ballenger, 1997). Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan
inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor (Ballenger, 1997). Gejala
klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy ofOtolaryngic Allergy
(AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala
mayor disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009). Berdasarkan kriteria
Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor skor diberi skor 2 dan gejala minor skor
1, sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai berikut; Gejala Mayor: Nyeri
22
sinus = skor 2, Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen = skor 2, Post nasal drip =
skor 2, Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala =
skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk = skor 1, Demam =
skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16 Pengukuran skor total
gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu;sedang-berat (skor 8), dan
ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik: skala nominal (Setiadi M, 2009).
1. Penatalaksanaan sinusitis
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid
pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk
melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan
(Waguespack, 1994; Soetjipto, 2000; Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial
yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya
(Soetjipto, 2000).
a. Medikamentosa
Antibiotik
23
kedua
lebih
disukai
seperti
azelastine,
acrivastine,
cetirizine,
Terapi operatif
24
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Beberapa macam tindakan bedah mulai dari
antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Namun
dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang
pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang
hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar
tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat
sembuh kembali (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi
ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan
fungsional (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang
sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya
kelainan patologi dirongga-rongga sinus (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy,
2006; Salama N, 2009). Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan
normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000;
Kennedy, 2006). Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal
tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh
sendiri (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Operasi Caldwell-Luc
Etmoidektomi Eksternal
25
Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal
sulit dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan
dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan (Lane, 2003).
Irigasi sinus
b. Non medikamentosa
Kompkikasi interkranial
Komplikasi paru-paru
yang
sukar
dihilangkan
sebelum
sinusitisnya
disembuhkan
(Mangunkusumo, 2010).
Komplikasi orbita
27
LAMPIRAN
Glasgow Coma Scale (GCS)
Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala neurologis yang bertujuan
untuk memberikan cara, dapat diandalkan Tujuan merekam keadaan sadar
seseorang untuk awal serta penilaian berikutnya. Seorang pasien dinilai terhadap
kriteria skala, dan poin yang dihasilkan memberikan nilai pasien antara 3
(menunjukkan ketidaksadaran dalam) dan baik 14 (skala asli) atau 15 (semakin
banyak digunakan dimodifikasi atau direvisi skala). GCS awalnya digunakan
untuk menilai tingkat kesadaran setelah cedera kepala, dan skala sekarang
digunakan oleh pertolongan pertama, EMS, dan dokter sebagai berlaku untuk
semua pasien medis dan trauma akut. Di rumah sakit itu juga digunakan dalam
pemantauan pasien kronis dalam perawatan intensif.(Sudoyo et.al., 2014).
30
BAB VII
PENUTUP
Kesimpulan
Sinusitis adalah penyakit yang terjadi di daerah sinus. Sinus itu sendiri
adalah rogga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung.
Fungsi dari rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan
menjaga pertukaran udara di daeranh hidung. Rongga sinus sendiri terdiri dari 4
jenis yaitu :
- Sinus Frontal, terletak di atas meja dibagian tengah dari masing-masing alis
- Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat di sampig hisung
- Sinus Ethmooid, terletak di antara mata, tepat dibelakang tulang hidung
- Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid dan di belakang mata
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh kerusakan lapisan rongga sinus akibat
infeksi atau tindakan bedah. Sedangkan sinusitis subakut biasanya disebakan oleh
infeksi atau tidakan bedah. Sedangkan sinusitis kronis biasanya di sebabkan oleh
infeksi bakteri. Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan
lamanya penyakit (akut, subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang
terjadi (infeksi dan non infeksi).
Gejala lain yang ditimbulkan dari sinusitis adalah :
Rasa sakit atau adanya tekanan didaerah dahi, pipi, hidung dan diantara mata,
Sakit kepal,Demam,Hidung mampet, Berkurangnya indra penciuman, Batuk,
biasanya akan memburuk saat malam, Nafas berbau (halitosis), Sakit gigi.
31
Saran
Saran yang diberikan untuk kelompok tutorial pada skenario ini adalah
diharapkan kepada semua anggota untuk lebih banyak membaca materi dari kasus
terkait sehingga leih banyak lagi pengetahuan yang dapat dibagikan saat
melakukan tutorial.
Dalam tutorial diharapkan agar tutor dapat membimbing mahasiswa agar
mencapai semua learning object maupun tujuan pembelajaran yang harus dicapai
dalam suatu pokok bahasan dengan sabar. Diharapkan tutor sudah berkoordinasi
apa saja yang harus dicapai sehingga pada tiap-tiap kelompok tutorial mencapai
hasil yang sama atau mendapat materi yang sama minimal seperti apa yang
harusnya dipelajari oleh mahasiswa sehingga, saat ujian seperti MCQ terutama
SOCA mahasiswa dapat menjawab setiap soal yang diberikan.
Pemenuhan fasilitas seperti proyektor dan kabel HDMI agar dioptimalkan
karena peralatan tersebut mendukung proses PBL yang sedang berlangsung
karena mahasiswa perlu menggunakan alat-alat tersebut. Terminal listrik, jam
dinding dan juga remote AC juga penting dalam mendukung kelengkapan dan
kenyamanan ruang tutorial
32
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit Media Ausculapius FK
UI, Jakarta
Amedee G Ronald. 1993. Sinus Anatomy and Function. In : Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Byron J.Bailey. JB Lippincott Company.
Philadhelpia.
Ballenger JJ. 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala
dan leher. Edisi ke-13.Jakarta : Binarupa Aksara.
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4thEd.New Delhi, India :
Elsevier.
Giannoni, C.M. and Weinberger D.G., 2006. Complications of Rhinosinusitis. In:
Bailey, B.J., et al. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. USA:
Lippincott Williams & Wilk
Heilger PA, 1997.Hidung : Anatomi dan Fisiologi TerapanDalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kevin Lane Keller., 2003, Strategic Brand Manajemen, Second Edition, Prentice
Hall
Lindberg S.1997. Mucociliary Transport, In : Rhinologic Diagnosis and
Treatment. McCaffrey TV.USA : Thieme Medical Publishers.
Lund, M., 1994. Handbook of Food Additives. Vol. 1 & 2. CRC Press, Florida.
Mackay IS & Naclerio RM. Guidelines for The Management of Nasal Poliposis.
In : Mygind N and Lildhold T eds. Nasal polyposis, An Inflamatory
Disease and Its treatment. Copenhagen. Munksgaard, 1997
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : FK UI, hal : 118-122.
Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis dalam: Soepardi EA, Iskandar N (editor).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher.
Edisi ke-5. Jakarta. Balai Penerbit FK UI, 2002; 120-4.
Marks Dawn B, Marks Allan D, Smith Colleen M. Biokimia kedokteran dasar :
Sebuah pendekatan klinis, Edisi 1, Jakarta, : EGC, 2000.h.513-30
Medina, E., 1999. Mangrove physiology: the challenge of salt, heat, and light
stress under recurrent flooding, p. 109-126. Ecosistemas de Manglar en
Amrica Tropical. Instituto de Ecologa A.C. Mxico, UICN/ORMA,
Costa Rica, NOAA/NMFS Silver Spring MD USA.
33
Miler AJ, Amadee RG. 1998. sinus anatomy and function. in Bailey BJ. head and
neck Surgery otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-lave,New York
Mygind N. 1981. Nasal Allergy, 2nded, Blackwell Scientific Publication. Oxford
Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009
Sakakura.1997. Mucociliary Transport in Rhinologic Disease,In : Bunnag C
Munthabornk, Asean Rhinologic Practice, Bangkok : Siriyot Co.Ltd.,
Setiadi.D. (2009), Implementasi E Procurement untuk Meningkatkan Kinerja
Operasional PT. Garuda Indonesia, Mini Paper Sistem Informasi
Manajemen, Universitas Lampung.
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk, 2004, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher, ( Edisi Keenam ), Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI.
Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N
(editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala
Leher. Edisi ke-5. Jakarta. Balai Penerbit FK UI, 2002
Sudoyo,Aru W., et al., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kdokteran
Universitas Indonesia
Waguespack R.1995. Mucociliary Cleareance Patterns Following Endoscopic
Sinus Surgery, Laryngoscope (supplement).
Weir N, DG Golding. 1997. The Physiology of The Nose & Paranasal Sinuses. In:
Kerr Ag. Scott-Browns Otolaryngology Rinology. 6th ed, Butterworth,
London: pp. 4/8/1-1.
34