Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN HASIL DISKUSI

BLOK THT

Tutor

: dr. Titik Kusumawinakhyu


Kelompok 4

Ketua

: Mahidin

1413010006

Sekretaris

: Alevia Miranti Purnomo

1413010022

Anggota:
Yuanita Hasna Rahmadhani
Yulis Setiawati

1413010009
1413010012

Abdul Khalik Adam

1413010025

Dhimar Dwi Yudha Novanti

1413010028

Angga Negara

1413010033

Ririn Pratiwi Nunsi

1413010040

Anindya Ryan Pramudya

1413010043

Britania Cahya Kienda

1413010047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2016

DAFTAR ISI
BAB I KLARIFIKASI ISTILAH...............................................................................
BAB II IDENTIFIKASI MASALAH........................................................................
BAB III ANALISIS MASALAH................................................................................
BAB IV KERANGKA KONSEP................................................................................
BAB V LEARNING OBJECTIVE...........................................................................
BAB VI PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE............................................
BAB VII PENUTUP..................................................................................................

BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH

1.1 Sakit kepala : perasaan tidak nyaman pada daerah antara orbita dan
kepala. Nyeri kepala disebut juga cephalgia. (Dorland, 2002)
1.2 Batuk non produktif: Batuk yang kering tanpa adanya dahak atau
sputum. (Tjay, 2007 )

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Mengapa pasien mengeluh hidungnya tersumbat dan keluar cairan kental


berwarna kuning ?
2. Apakah hubungan batuk dan pilek sejak 2 minggu yang
lalu dengan keluhan yang sekarang ?
3. Mengapa pasien mengeluh badannya terasa lemas dan
nafsu makan menurun ?
4. Mengapa pasien mengeluhkan nyeri pada wajah bagian kanan ?

BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1 Mengapa pasien mengeluh hidungnya tersumbat dan keluar cairan


kental berwarna kuning ?
Pasien atau mahasiswa datang ke klinik dan mengeluhkan hidungnya
tersumbat dan keluar cairan kental yang berwarna kuning. Untuk keluhan hidung
tersumbat disebabkan karena adanya suatu proses inflamasi akibat adanya infeksi
virus atau bakateri. Proses inflamasi akan mengeluarkan mediator inflamasi yang
akan menyebabkan hipersekresi sel goblet dan sel mukosa serta meningkatkan
permeabilitas membran kapiler sehingga menghasilkan sekret yang sifatnya
kental. Sekret tersebut lama kelamaan akan menumpuk atau terakumulasi dan
akan menyebabkan hidung tersumbat.

Infeksi virus seperti Rhinovirus atau

influenza virus akan menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan
sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium
sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu
inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation
juga menyebabkan menurunya patensi sinus ostia. (Rubin MA, 2005 )
Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya
tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya
fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan
lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri,
environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia. Sehingga, setelah bakteri patogen
berkembang pada sinus menyebabkan perubahan pada sifat sekret yaitu berwarna
kuning dan kental. (Rubin MA, 2005 )
5

ydvoIf,j()
nighpm
eluarsktbw
Mekanisme hidung tersumbat dan keluar sekret berwarna kuning :

3.2 Apakah hubungan batuk dan pilek sejak 2 minggu yang lalu dengan
keluhan yang sekarang ?

Pasien atau mahasiswa mengeluhkan hidung tersumbat sejak 2 minggu

yang lalu selain itu mahasiswa tersebut sejak 2 minggu yang lalu juga mengalami
batuk dan pilek. Batuk dan pilek yang dialami mahasiswa tersebut adalah suatu

gejala dari Infeksi Saluran Pernafasan bagian Atas ( ISPA ) jadi kemungkinan

hidung tersumbat disertai keluarnya cairan kental disebabkan penyakit ISPA yang

dideritanya. ISPA akan memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan


sinus paranasal. Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya oedem pada dinding
hidung dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi
pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain
itu inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal
instrumentation juga menyebabkan menurunya patensi sinus ostia. (Rubin MA,
2005 )
3.3 Mengapa pasien mengeluh badannya terasa lemas dan nafsu makan
menurun ?
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius
didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung
terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997).
Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal
nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat
kembali normal setelah infeksi hilang (Ballenger, 1997).

GPPN
aepu
oamm
imka
suom
eu

ee a nr nf a gs g d g a
nc a a d p a
n l fua a k k k o t s o
u n o se m n p l
e rs e ku t i n un o n m d
rr u n

un

a n

ar
e k s
e a t a l
7

Hubungan penghidu dengan pengecapan:

TRIM m e es ps nt e ua u p nl jst tuo n u c l e u s


SD e i nt e r u s k a n k o t a k
lrpg a eu r nsu tgt a e t oc ar ip u s d i
sd a s n i b e r h b u n g a n
dpm ae e ln ald ga mu le ul c l iaa
rd a e s n a g a n r a n g s a n g
spno a eb al rl i kovv t nuai fgs a t a
p e n g h id u
3.4 Mengapa pasien mengeluhkan nyeri pada wajah bagian kanan ?
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak
mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan
di dahi dan depan telinga.
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.
(Anonim, 2001)

BAB IV
KERANGKA KONSEP
Mahasiswi
24 tahun

Batuk pilek
(ISPA)

Edema mukosa KOM

Gangguan fungsi penghidu

Disfungsi silia

Akumulasi sekret dalam sinusTekanan sinus Nyeri


Gangguan fungsi pengecapan

Nafsu makan menurun lemas

Sekret purulen

Hidung tersumbat

Diagnosis Banding
Sinusitis Akut
Anamnesis
Kronis
PemeriksaanSinusitis
Penunjang
(Pemeriksaan mikrobiologik, radiologi, garp
Pemeriksaan Fisik
Sinusitis maksilaris
gn, PF hidung luar, rinoskopi anterior, transiluminasi,
Sinusitis
rinoskopi
frontalis
posterior)
Sinusitis etmoidalis
Sinusitis sfenoidalis

Terapi, Komplikasi, Prognosis

Diagnosis Kerja

BAB V
LEARNING OBJECTIVE
1. Bagaimanakah embriologi antomi sinus paranasal dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.

kompleks osteomeatal (KOM) ?


Apa fungsi sinus paranasal ?
Sebutkan macam-macam sinusitis ?
Apakah faktor predisposisi sinusitis ?
Apakah kriteria mayor dan minor sinusitis ?
Bagaimanakah Penegakan diagnosis dari kasus ?
Apa komplikasi dan prognosis sinusitis ?

10

BAB VI
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE
6.1 Bagaimanakah embriologi antomi sinus paranasal dan kompleks
osteomeatal (KOM) ?
a. Sinus maxillaris
Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah medial
orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian
terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi
(Ballenger, 1994).
Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah
erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18
tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan
puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut Moris pada
buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 78 x 46 mm
dan untuk usia 15 tahun 3132 x 1820 x 1920 mm. Sinus maksila merupakan
sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 68 ml, sinus
kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,
yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 1994; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
Perdarahan pada sinus maksila meliputi cabang arteri maksilaris termasuk
infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri greater palatine
serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan vena yang
mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan plexus vena
pterygoid (Amedee, 1993). Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus
maksilaris (V2) yang mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior
nasal dan cabang superior alveolar dari nervus infraorbita (Amedee, 1993).

11

Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:


Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina
vertikalis

ospalatum,

prosesus

unsinatus

os

etmoid,

prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian kecil os


maksilaris.

Dinding

medial

sinus

maksila

merupakan

dinding lateral hidung dimana terdapat ostium sinus yang


menghubungkan

sinus

maksila

dengan

infundibulum

ethmoid. Ostium ini terletak pada bagian superior dari


dinding medial, biasanya pada pertengahan posterior dari
infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posterior duktus
nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke
lamina papyracea dari tulang etmoid (Miller dan Amedee,

1998).
Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita
terdiri dari tulangyang tipis yang dilewati oleh kanalis infra

orbitalis (Ballenger, 1994).


Dinding posteriorinferior atau dasarnya biasanya paling
tebal dandibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan
bagian luar palatum durum. Dinding posterior memisahkan
sinus dari fossa infratemporal dan fossa pterigomaksila

(Ballenger, 1994).
Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang
berhadapandengan fossa kanina dan memisahkan sinus

dari kulit pipi (Ballenger, 1994).


Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila.
Pada anakletaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi ,
dan pada dewasa letaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum
nasi (Miller dan Amedee, 1998).

Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus
melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat
menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis
(Ballenger, 1994). Anomali fasial atau sinus yang besar dapat juga menyebabkan
sinusitis kronis (Medina, 1999).
12

b. Sinus frontalis
Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan
kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses (Amedee,
1993).Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua
setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal
pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja (Amedee, 1993).Sekitar
5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus ini. Ukuran sinus
frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6 sampai 7 ml.
(Amedee, 1993). Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan
supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yang
mengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993; Marks, 2000). Sensasi
mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangan supratroklear
nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (V1) (Amedee, 1993; Marks,
2000). Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital dan akar
hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midline dengan
ukuran masing-masing yang bervariasi. Sinus frontal sangat berhubungan erat
dengan tulang etmoid anterior (Amedee, 1993). Dinding posterior dari sinus ini
melebar secara inferior obliq dan posterior dimana nantinya akan bertemu dengan
atap dari orbita. Ostium alami dari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar
sinus. Sel-sel infraorbita bisa terobstruksi dan membentuk mukokel yang terisolasi
dari ostium dan sinus etmoid (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).
c. Sinus ethmoidalis
Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah
kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah
meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat
setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak (Amedee, 1993; Marks,
2000). Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.

13

Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground
lamella), konka superior dan konka suprema (Amedee, 1993; Marks, 2000).
Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia dewasa
mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x20 x 10
mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya mengandung 1015
sel

persisi

dengan

total

volume

1415

ml

(Amedee,

1993;

Marks,

2000).Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri


etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis
interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yang
mengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993). Inervasi persarafan dari
sinus etmoid ini berasal dari cabang posterolateral hidung dari nervus maksilaris
(V2) dan cabang nervus etmoidalis dari nervus optalmikus (V1) (Amedee, 1993).
Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi dan merupakan subjek
penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yang tipis dengan jumlah dan
ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasan dengan dinding medial
orbita (lamina papyracea) dan bagian medial dari kavum nasi (Murray, 1989;
Maran, 1990; Marks, 2000). Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial
anterior dekat dengan midline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid
dan tulang maksila. Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya
melalui meatus media, sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus
superior (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).
d. Sinus sphenoidalis
Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yang
merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi,
yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess (Amedee, 1993). Pneumatisasi
sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak dan mengalami
pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini mengalami pertumbuhan
maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15 tahun (Amedee, 1993). Sinus
sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septum intersinus.
Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan 14 x 14 x 12
mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml (Amedee, 1993).
14

Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan pleksus
pterigoid (Amedee, 1993). Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari
cabang nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal
dan sfenopalatina dari nervus maksilaris (Amedee, 1993). Sinus sfenoid ini pada
bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri karotis interna, nervus optikus
dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus. Pada daerah ini juga terdapat
bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris dari nervus kranialis kelima
dan keenam (Murray, 1989; Maran, 1990). Dibagian superior terletak lobus
frontalis dan bagian olfaktori. Dibagian posterior terdapat fosa pituitari. Nervus
dan pembuluh darah sfenopalatina terletak didepan dari sinus sfenoid ini,
sedangkan nervus vidianus terletak dibagian inferiornya (Murray, 1989; Maran,
1990).
6.2. Apa fungsi sinus paranasal ?
Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti danmasih
belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal
tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka (Ramalinggam dan Sreeramamoorthy, 1990; Soetjipto dan
mangunkusumo, 2000). Namun karena berhubungan langsung dengan hidung,
maka sinus dapat membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan,
menghangatkan, melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan.
Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal
hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000; Karen dan Edmund, 2010).
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)
Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan,
sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan
rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo 2000).Volume pertukaran udara
15

dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi
pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa
hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organorgan yang dilindungi (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif,
lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan
tingkat rendah (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto dan Mangunkusumo,
2000).
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
16

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000).
6.3. Sebutkan macam-macam sinusitis ?
a. Sinusitis maxillaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena :

merupakan sinus paranasal yang terbesar.

letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret


(drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan
silia.

dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),


sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila.

ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus


semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.

Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata
dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di
dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan
kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.
(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
b. Sinusitis ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
17

menimbulkan selulitis orbita.

Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan

sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak
dapat dielakkan.Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus
medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung.(Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2000).
c. Sinusitis frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri
berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang
tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.Pasien
biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat
pembengkakan supra orbita.(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
d. Sinusitis sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan
gejala infeksi sinus lainnya.(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
6.4. Apakah faktor predisposisi sinusitis ?
Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktor-faktor yang
berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu faktor
manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik / kelainan
kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi / kondisi imun tubuh,
kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan metabolik, dan
keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi (virus, bakteri,
dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik (medikamentosa ataupun
pembedahan). Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya,
yaitu virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold.
Virus yang menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%),
18

influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus.


Sementara rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae
dan Haemophilus influenza (sekitar 60% kasus rinosinusitis akibat bakteri).
Sisanya disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri,
Staphylococcus aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp.,
Moraxella catarrhalis, dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti
Peptostreptococcus, Bacteroides spp., dan Fusobacteria ditemukan pada kasus
sinusitis maksilaris yang merupakan infeksi sekunder terhadap penyakit gigi
(Issing, 2010). Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus
paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida (Mangunkusumo, 2010).
Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan berpolusi,
udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut secara
perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung
dan sinus paranasal (Mangunkusumo, 2010).
6.5. Apakah kriteria mayor dan minor sinusitis ?
a. Kriteria mayor

Sekret nasal purulent.

Drainase faring purulent.

Purulent nasal post drip.

Batuk.

Rongent menunjukkan adanya air fluid level yang menandakan


adanya penebalan 50% dari antrum.

Coronal

CT-Scan,

menandakan

adanya

penebalan

dan

opaksifikasi mukosa sinus.


b. Kriteria minor

Sakit kepala.

19

Nyeri wajah.

Nyeri telinga.

Saki tenggorokan.

Bersin-bersin dan bertambah sering.

Test sitologi nasal (smear), menunjukkan netrofil dan bakteri.

Edema peri orbita.

Sakit gigi.

Nafas berbau.

Demam.

Ultra sound.
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :
Gejala dan tanda: 2 mayor, 1 minor. Atau 2 kriteria minor.

(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).


Bagaimanakah Penegakan diagnosis dari kasus ?

6.6

a. Anamnesis
Dalam menegakkan diagnosis, hal yang pertama dilakukan adalah
anamnesis untuk menggali informasi sedalam dalamnya terutama gejala awal
keluhan serta gejala tambahannyya dan lamanya waktu keluhan di derita, sehingga
dapat di simpulkan dan dilakukan pemeriksaan fisik yang sesuai keluhan.
Sekaligus kita dapat menyesuaikan mengenai gejala mayor dan minor dari
sinusitis.
b. Pemeriksaan fisik yang sesuai

Pemeriksaan inspeksi, palpasi dan perkusi turut membantu


menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena
disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi
20

posterior (Ballenger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo,


2000).

Pemeriksaan transiluminasi, Transluminasi mempuyai manfaat


yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus
maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan kultur bakteri

Untuk menilai adalnya leukositosis dan kadar IgE yang dapat membantu
penegakan diagnosis dari segi etiologi dan sekaligus menentukan terapi yang tetap
dan sesuai.

Pemeriksaan radiologi
a. Foto Rongent sinus paranasal

Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan


Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika
ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa.
Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas
yang paralel dengan dinding sinus (Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki,
2000). Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi
atau daerah periodontal (Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000). Jika
cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas cairan
(air fluid level) pada foto dengan posisi tegak (Ballenger, 1997; Mangunkusumo
dan Rifki, 2000).
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal

21

Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CTScan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah
(Ballenger, 1997). CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan,
memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek
osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya
seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada
komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas (Ballenger,
1997). CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.
Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi
Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,
Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :
Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit (Mackay IS dan Lund VJ,
1997).
c. MRI
Untuk menilai keadaan jaringan lunak yang menyertai adanya sinusitis.
d. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan
karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan
faktor lokal penyebab sinusitis (Ballenger, 1997). Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan
inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor (Ballenger, 1997). Gejala
klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy ofOtolaryngic Allergy
(AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala
mayor disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009). Berdasarkan kriteria
Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor skor diberi skor 2 dan gejala minor skor
1, sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai berikut; Gejala Mayor: Nyeri
22

sinus = skor 2, Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen = skor 2, Post nasal drip =
skor 2, Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala =
skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk = skor 1, Demam =
skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16 Pengukuran skor total
gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu;sedang-berat (skor 8), dan
ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik: skala nominal (Setiadi M, 2009).
1. Penatalaksanaan sinusitis
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid
pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk
melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan
(Waguespack, 1994; Soetjipto, 2000; Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial
yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya
(Soetjipto, 2000).
a. Medikamentosa

Antibiotik

Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan


sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin
sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan
antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan (Weir, 1997;
Soetjipto, 2000; Ahmed, 2003; Kennedy, 2006; Dubin MG dan Liu C, 2007). Jika
tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti siprofloksasin,
golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada bakteri
anaerob, dapat diberi metronidazol (Soetjipto, 2000). Jika dengan antibiotika
alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada faktor
predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun
CT-Scan (Soetjipto, 2000).

23

Terapi medik tambahan

Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal


mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik
dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan
sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi
(Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C, 2007). Preparat yang umum adalah
pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan
darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati (Soetjipto,
2000). Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama
(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa (Soetjipto, 2000).
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari
50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justrudianjurkan, demikian juga
kemungkinan imunoterapi (Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C, 2007; Yuan LJ
dan Fang SY, 2008).
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi,
generasi

kedua

lebih

disukai

seperti

azelastine,

acrivastine,

cetirizine,

fexofenadine dan loratadine (Soetjipto, 2000). Kortikosteroid, ada 2 jenis


kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid
topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung
dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam
pengobatan rinitis dan sinusitis (Soetjipto, 2000). Penggunaannya kortikosteroid
topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini
tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di
rongga hidung dan meatus medius hilang (Soetjipto, 2000; Yuan LJ dan Fang SY,
2008). Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi
singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan.
Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka
sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata
(Soetjipto, 2000).

Terapi operatif
24

Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Beberapa macam tindakan bedah mulai dari
antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Namun
dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang
pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang
hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar
tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat
sembuh kembali (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi
ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan
fungsional (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang
sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya
kelainan patologi dirongga-rongga sinus (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy,
2006; Salama N, 2009). Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan
normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000;
Kennedy, 2006). Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal
tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh
sendiri (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

Operasi Caldwell-Luc

Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus


maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis
seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing
yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal (Lund, 2008).

Etmoidektomi Eksternal

25

Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi.


Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi ini.
Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid atau
frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi orbita
dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan aman (Lane, 2003).

Trepinasi Sinus Frontal

Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal
sulit dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan
dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan (Lane, 2003).

Irigasi sinus

Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus


dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan
pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk
drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya
dilakukan pada meatus inferior hidung (Lund, 2008).

b. Non medikamentosa

Tirahbaring, pasien beristirahat yang cukup untuk memulihkan


fisik yang lemah

Meminum obat yang teratur sesuai aturan medis

Menerima higienitas dari lingkungan

Menjaga kebersihan gigi dan mulut

Kontrol teratur selama keluhan

Menghindari faktor predisposisi seperti polusi lingkungan,


rokok dan prilaku hidup yang tidak sehat lainnya.

6.7 Apa komplikasi dan prognosis sinusitis ?


26

Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan


dengan mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian
sinusitis frontal dan maksila (Mangunkusumo, 2010).

Kompkikasi interkranial

Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses


intraserebri , dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial lebih
umum dijumpai pada pasien sinusitis kronik dibandingkan sinusitis akut
(Giannoni, 2006).

Osteomielitis dan abes subperiosteal

Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis


frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo, 2010).

Komplikasi paru-paru

Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik


dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru
ini disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial

yang

sukar

dihilangkan

sebelum

sinusitisnya

disembuhkan

(Mangunkusumo, 2010).

Komplikasi orbita

Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan


dengan mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila (Mangunkusumo, 2010). Ryan Chandler (1970) membagi
komplikasi orbita menjadi 5, yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus (Gianonni,
2006).Penangan yang sesuai mencegah komplikasi dan mempunyai prognosis
yang baik, sebaliknya jika penanganan lambat dan tidak sesuai maka menybabkan
komplikasi serta akan berprognosis buruk.

27

LAMPIRAN
Glasgow Coma Scale (GCS)
Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala neurologis yang bertujuan
untuk memberikan cara, dapat diandalkan Tujuan merekam keadaan sadar
seseorang untuk awal serta penilaian berikutnya. Seorang pasien dinilai terhadap
kriteria skala, dan poin yang dihasilkan memberikan nilai pasien antara 3
(menunjukkan ketidaksadaran dalam) dan baik 14 (skala asli) atau 15 (semakin
banyak digunakan dimodifikasi atau direvisi skala). GCS awalnya digunakan
untuk menilai tingkat kesadaran setelah cedera kepala, dan skala sekarang
digunakan oleh pertolongan pertama, EMS, dan dokter sebagai berlaku untuk
semua pasien medis dan trauma akut. Di rumah sakit itu juga digunakan dalam
pemantauan pasien kronis dalam perawatan intensif.(Sudoyo et.al., 2014).

Glasgow Coma Scale.Penilaian


* Refleks Membuka Mata (E)
4 : membuka secara spontan
3 : membuka dengan rangsangan suara
2 : membuka dengan rangsangan nyeri
1 : tidak ada respon
* Refleks Verbal (V)
5 : orientasi baik
4 : kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan
3 : kata-kata baik tapi kalimat tidak baik
2 : kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang
1 : tidak ada respon
28

* Refleks Motorik (M)


6 : melakukan perintah dengan benar
5 : mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukan perintah dengan
benar
4 : dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi.
3 : hanya dapat melakukan fleksi
2 : hanya dapat melakukan ekstensi
1 : tidak ada respon
cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.
Penderita yang sadar = compos mentis pasti GCSnya 15 (4-5-6), sedang penderita
koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal
kedua mata bengkak sedang V dan M normal, penulisannya X-5-6.Bila ada
trakheostomi sedang E dan M normal, penulisannya 4-X-6.Atau bila tetra parese
sedang E dan V normal, penulisannya 4-5-X. GCS tidak bisa dipakai untuk
menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5 tahun. Atau jika
ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 8-10 : stupor
e. Skor < 5 : koma
Derajat Kesadaran

Sadar : dapat berorientasi dan komunikasi

Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi


secara motorik / verbal kemudian terlelap lagi. Gelisah atau tenang.

Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap


rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan penglihatan
kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas pada satu atau dua
kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala.

Semi Koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar


dan ada yang menghindar (contoh menghindari tusukan).

Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus.


Kualitas Kesadaran
29

Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar


sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya..

Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan


dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),


memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon


psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal.

Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi


ada respon terhadap nyeri.

Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon


terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).(Sudoyo et.al., 2014).

Gangguan fungsi cerebral meliputi : gangguan komunikasi, gangguan


intelektual, gangguan perilaku dan gangguan emosi.Jika dihubungkan dengan
kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :
GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)
Pengkajian position mental / kesadaran meliputi : GCS, orientasi (orang, tempat
dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi.(Sudoyo et.al., 2014).

30

BAB VII
PENUTUP
Kesimpulan
Sinusitis adalah penyakit yang terjadi di daerah sinus. Sinus itu sendiri
adalah rogga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung.
Fungsi dari rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan
menjaga pertukaran udara di daeranh hidung. Rongga sinus sendiri terdiri dari 4
jenis yaitu :
- Sinus Frontal, terletak di atas meja dibagian tengah dari masing-masing alis
- Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat di sampig hisung
- Sinus Ethmooid, terletak di antara mata, tepat dibelakang tulang hidung
- Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid dan di belakang mata
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh kerusakan lapisan rongga sinus akibat
infeksi atau tindakan bedah. Sedangkan sinusitis subakut biasanya disebakan oleh
infeksi atau tidakan bedah. Sedangkan sinusitis kronis biasanya di sebabkan oleh
infeksi bakteri. Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan
lamanya penyakit (akut, subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang
terjadi (infeksi dan non infeksi).
Gejala lain yang ditimbulkan dari sinusitis adalah :
Rasa sakit atau adanya tekanan didaerah dahi, pipi, hidung dan diantara mata,
Sakit kepal,Demam,Hidung mampet, Berkurangnya indra penciuman, Batuk,
biasanya akan memburuk saat malam, Nafas berbau (halitosis), Sakit gigi.

31

Saran
Saran yang diberikan untuk kelompok tutorial pada skenario ini adalah
diharapkan kepada semua anggota untuk lebih banyak membaca materi dari kasus
terkait sehingga leih banyak lagi pengetahuan yang dapat dibagikan saat
melakukan tutorial.
Dalam tutorial diharapkan agar tutor dapat membimbing mahasiswa agar
mencapai semua learning object maupun tujuan pembelajaran yang harus dicapai
dalam suatu pokok bahasan dengan sabar. Diharapkan tutor sudah berkoordinasi
apa saja yang harus dicapai sehingga pada tiap-tiap kelompok tutorial mencapai
hasil yang sama atau mendapat materi yang sama minimal seperti apa yang
harusnya dipelajari oleh mahasiswa sehingga, saat ujian seperti MCQ terutama
SOCA mahasiswa dapat menjawab setiap soal yang diberikan.
Pemenuhan fasilitas seperti proyektor dan kabel HDMI agar dioptimalkan
karena peralatan tersebut mendukung proses PBL yang sedang berlangsung
karena mahasiswa perlu menggunakan alat-alat tersebut. Terminal listrik, jam
dinding dan juga remote AC juga penting dalam mendukung kelengkapan dan
kenyamanan ruang tutorial

32

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit Media Ausculapius FK
UI, Jakarta
Amedee G Ronald. 1993. Sinus Anatomy and Function. In : Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Byron J.Bailey. JB Lippincott Company.
Philadhelpia.
Ballenger JJ. 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala
dan leher. Edisi ke-13.Jakarta : Binarupa Aksara.
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4thEd.New Delhi, India :
Elsevier.
Giannoni, C.M. and Weinberger D.G., 2006. Complications of Rhinosinusitis. In:
Bailey, B.J., et al. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. USA:
Lippincott Williams & Wilk
Heilger PA, 1997.Hidung : Anatomi dan Fisiologi TerapanDalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kevin Lane Keller., 2003, Strategic Brand Manajemen, Second Edition, Prentice
Hall
Lindberg S.1997. Mucociliary Transport, In : Rhinologic Diagnosis and
Treatment. McCaffrey TV.USA : Thieme Medical Publishers.
Lund, M., 1994. Handbook of Food Additives. Vol. 1 & 2. CRC Press, Florida.
Mackay IS & Naclerio RM. Guidelines for The Management of Nasal Poliposis.
In : Mygind N and Lildhold T eds. Nasal polyposis, An Inflamatory
Disease and Its treatment. Copenhagen. Munksgaard, 1997
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : FK UI, hal : 118-122.
Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis dalam: Soepardi EA, Iskandar N (editor).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher.
Edisi ke-5. Jakarta. Balai Penerbit FK UI, 2002; 120-4.
Marks Dawn B, Marks Allan D, Smith Colleen M. Biokimia kedokteran dasar :
Sebuah pendekatan klinis, Edisi 1, Jakarta, : EGC, 2000.h.513-30
Medina, E., 1999. Mangrove physiology: the challenge of salt, heat, and light
stress under recurrent flooding, p. 109-126. Ecosistemas de Manglar en
Amrica Tropical. Instituto de Ecologa A.C. Mxico, UICN/ORMA,
Costa Rica, NOAA/NMFS Silver Spring MD USA.

33

Miler AJ, Amadee RG. 1998. sinus anatomy and function. in Bailey BJ. head and
neck Surgery otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-lave,New York
Mygind N. 1981. Nasal Allergy, 2nded, Blackwell Scientific Publication. Oxford
Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009
Sakakura.1997. Mucociliary Transport in Rhinologic Disease,In : Bunnag C
Munthabornk, Asean Rhinologic Practice, Bangkok : Siriyot Co.Ltd.,
Setiadi.D. (2009), Implementasi E Procurement untuk Meningkatkan Kinerja
Operasional PT. Garuda Indonesia, Mini Paper Sistem Informasi
Manajemen, Universitas Lampung.
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk, 2004, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher, ( Edisi Keenam ), Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI.
Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N
(editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala
Leher. Edisi ke-5. Jakarta. Balai Penerbit FK UI, 2002
Sudoyo,Aru W., et al., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kdokteran
Universitas Indonesia
Waguespack R.1995. Mucociliary Cleareance Patterns Following Endoscopic
Sinus Surgery, Laryngoscope (supplement).
Weir N, DG Golding. 1997. The Physiology of The Nose & Paranasal Sinuses. In:
Kerr Ag. Scott-Browns Otolaryngology Rinology. 6th ed, Butterworth,
London: pp. 4/8/1-1.

34

Anda mungkin juga menyukai