Anda di halaman 1dari 136

Materi Pancasila

SILABUS MATA KULIAH PANCASILA


BAB I : Latar Belakang Pancasila
1. Landasan Pancasila
2. Tujuan Pancasila
3. Pengertian Pancasila
BAB II : Pancasila Sebagai Filsafat Bangsa
1. Rumusan Kesatuan Sila Pancasila
2. Susunan Pancasila yang Bersifat Hierarkies
3. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-sila
BAB III: Pancasila Sebagai Etika Politik
1.
Pengertian, Nilai, Norma dan Moral
2.
Pengertian Dimensi Politis Manusia
3.
Nilai-nilai Sebagai Sumber Etika Politik
BAB IV: Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
1. Asal Mula Pancasila
2.
Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
3.
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
BAB V: Pancasila dalam Kontek Tata Negara Indonesia
1.
Sebagai Tata Tertib Hukum Tertinggi di Indonesia
2.
Nilai-nilai Hukum Tuhan, Hukum Kodrat dan
Hukum Negara
3.
Hubungan Antara Warga Negara dan Negara
BAB
VI : Pancasila Sebagai Paradigma dalam
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara
1.
Pancasila Sebagai Pengembang IPTEK
2.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi
3. Tridharma Perguruan Tinggi dan Budaya Akademik
BAB Tambahan: Tugas-Tugas Mandiri dan Diskusi Bagi
Mahasiswa

TINJAUAN MATA KULIAH


Mata kuliah Pendidikan Pancasila memberikan
penjelasan tentang perlunya diberikan perkuliahan
1

Pancasila dari berbagai sudut pandang, beberapa teori


asal mula, fungsi dan kedudukan, hubungannya dengan
Pembukaan UUD 1945, pemikiran dan pelaksanaan serta
reformasi pemikiran dan pelaksanaan Pancasila. Selain
hal tersebut di atas, pada matakuliah Pendidikan
Pancasila ini juga dibahas permasalahan aktual dewasa
ini khususnya tentang SARA, HAM, krisis ekonomi, dan
berbagai pemikiran yang digali dari nilai-nilai Pancasila.
Modul-modul matakuliah Pendidikan Pancasila ini
disusun berdasarkan Garis Besar Program Pembelajaran
yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nomor:
265/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Pancasila Pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
Tujuan umum yang ingin dicapai oleh mata kuliah
Pendidikan
Pancasila
tertuang
dalam
Tujuan
Instruksional Umum, yaitu mahasiswa diharapkan dapat:
1. Memahami landasan diberikannya perkuliahan
Pancasila.
2. Memahami pengertian Pancasila.
3. Memahami pengetahuan ilmiah secara umum dan
Pancasila sebagai pengetahuan ilmiah.
4. Memahami Pancasila sebagai obyek studi ilmiah.
5. Memahami pengertian teori asal mula.
6. Memahami teori asal mula Pancasila secara
budaya, asal mula Pancasila formal, dan
dinamika Pancasila sebagai dasar negara.
7. Memahami dan menjelaskan fungsi serta
kedudukan Pancasila, baik secara formal yaitu
Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia
maupun secara material yakni Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa.

8. Memahami dan menjelaskan tentang hubungan


Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 maupun kedudukan hakiki Pembukaan
UUD 1945.
9. Memahami dan menjelaskan pemikiran dan
pelaksanaan Pancasila serta Reformasi pemikiran
dan pelaksanaan Pancasila.
10. Memahami
dan
menjelaskan
berbagai
permasalahan aktual dewasa ini, khususnya
permasalahan SARA, HAM, dan krisis ekonomi
serta berbagai pemikiran yang digali dari nilainilai Pancasila untuk memecahkan permasalahan
tersebut.

I.

ASAL MULA PANCASILA

Teori Asal Mula Pancasila


Asal mula Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan:
1. Causa materialis (asal mula bahan) ialah berasal
dari bangsa Indonesia sendiri, terdapat dalam
adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agamaagamanya.
2. Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun)
dimaksudkan bagaimana Pancasila itu dibentuk
rumusannya
sebagaimana
terdapat
pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat
menentukan.
3. Causa efisien (asal mula karya) ialah asal mula
yang meningkatkan Pancasila dari calon dasar
negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar
negara. Asal mula karya dalam hal ini adalah
PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian
mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai
dasar filsafat Negara setelah melalui pembahasan
dalam sidang-sidangnya.
4. Causa finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan
dari perumusan dan pembahasan Pancasila yakni
hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk
sampai kepada kausan finalis tersebut diperlukan
kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia
sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi
dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18
Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut
bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila
dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan mereka.
Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat

kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa,


kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada
umumnya misalnya:
1. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang
percaya kepada Tuhan, bukti-buktinya: bangunan
peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan
aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, upacara keagamaan pada peringatan hari
besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah
ibadah, tulisan karangan sejarah/dongeng yang
mengandung nilai-nilai agama. Hal ini
menunjukkan kepercayaan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
2. Bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan
santun, lemah lembut dengan sesama manusia,
bukti-buktinya misalnya bangunan padepokan,
pondok-pondok, semboyan aja dumeh, aja
adigang adigung adiguna, aja kementhus, aja
kemaki, aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya,
tulisan
Bharatayudha,
Ramayana,
Malin
Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu
Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, Riwayat
dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin,
membantu orang sakit, dan sebagainya,
hubungan luar negeri semisal perdagangan,
perkawinan, kegiatan kemanusiaan; semua mengindikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
3. Bangsa Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub,
rukun, bersatu, dan kekeluargaan, sebagai buktibuktinya bangunan candi Borobudur, Candi
Prambanan, dan sebagainya, tulisan sejarah
tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi

Daha dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya,


Negara Nasional Majapahit, semboyan bersatu
teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun
agawe senthosa, bersatu laksana sapu lidi,
sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan
mintuna, gotong royong membangun negara
Majapahit, pembangunan rumah-rumah ibadah,
pembangunan rumah baru, pembukaan ladang
baru menunjukkan adanya sifat persatuan.
4. Unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam
masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai
Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali
untuk musyawarah, Nagari di Minangkabau
dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa,
tulisan tentang Musyawarah Para Wali, Puteri
Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri
Sule, dan sebagainya, perbuatan musyawarah di
balai, dan sebagainya, menggambarkan sifat
demokratis Indonesia;
5. Dalam hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, bangsa Indonesia dalam menunaikan
tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan
berlaku adil terhadap sesama, bukti-buktinya
adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah
desa, sumur bersama, lumbungdesa, tulisan
sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja
Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub,
Teja Piatu, dan sebagainya, penyediaan air kendi
di muka rumah, selamatan, dan sebagainya.

Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan


kristalisasi nilai-nilai yang baik-baik yang digali dari
bangsa Indonesia. Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai
yang baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila
merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus
satu dengan yang lainnya. Namun demikian terkadang
ada pengaruh dari luar yang menyebabkan diskontinuitas
antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai
budaya.
Asal Mula Pancasila Secara Formal
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya
Badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat
mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk
merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
sebagai negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada
tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala
Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa).
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali.
Sidang pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni
1945, sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17
Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno
mengusulkan tentang dasar negara, sedangkan Soepomo
mengenai paham negara integralistik. Tindak lanjut
untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk panitia
kecil atau panitia sembilan yang pada tanggal 22 Juni
1945 berhasil merumuskan Rancangan mukaddimah
(pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad
Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar


negara yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan
bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini
ditambah enam anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI
pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil
atau panitia sembilan yang disebut dengan piagam
Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia
sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar
yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia
perancang Hukum Dasar yakni: 1) Panitia Perancang
Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota
berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela Tanah Air dengan
ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3)
Panitia ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta,
bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk
lagi panitia kecil Perancang Hukum Dasar yang
dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam
rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat
menyelesaikan tugasnya Panitia Persiapan Kemerdekaan
(Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering disebut Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil
mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan
Hukum Dasar. Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 sidang
BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan
yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan
Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli
1945 menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang
sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat
Piagam Jakarta sebagai mukaddimah.

Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945,


merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah
tugas badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945
dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil
mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan menetapkan:
1. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah
Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl 14 Juli
1945 dengan beberapa perubahan, disahkan
sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.
2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima
oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah
mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang
pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan
Musyawarah Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat
pembagian daerah propinsi, termasuk pembentukan 12
departemen atau kementerian. Sidang ketiga tanggal 20,
membicarakan agenda badan penolong keluarga korban
perang, satu di antaranya adalah pembentukan Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 1945
diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini
membicarakan pembentukan Komite Nasional Partai

Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini,


maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para
anggotanya menjadi bagian Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan
pimpinan-pimpinan rakyat dari semua golongan atau
aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi
dalam tiga kelompok.
1. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidangsidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap
pengusulan sebagai dasar negara Republik
Indonesia.
2. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar
filsafat Negara Indonesia yang sangat erat
hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
3. Beberapa
rumusan
dalam
perubahan
ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku
kembali rumusan Pancasila yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan
Pancasila sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
1. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei
1945, yang disampaikan dalam pidato Asas dan
Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia
(Rumusan I).
2. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei
1945, yang disampaikan sebagai usul tertulis

10

3.
4.
5.

6.
7.

yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar


(Rumusan II).
Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul
dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka, dengan
istilah Pancasila (Rumusan III).
Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan
susunan yang sistematik hasil kesepakatan yang
pertama (Rumusan IV).
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal
18 Agustus 1945 adalah rumusan pertama yang
diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat
Negara (Rumusan V).
Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949,
dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17
Agustus 1950 (Rumusan VI).
Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah
UUDS, tetapi sila keempatnya berbunyi
Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan
VII).

II. FUNGSI
DAN
PANCASILA

11

KEDUDUKAN

Pancasila Sebagai Dasar Negara


Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang
menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan
kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia
dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau
pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya
sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum
yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di
dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah,
wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya
seperti inilah yang merupakan dasar pijakan
penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara
Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti
menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara
yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan
perundang-undangan di negara Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu
kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan
secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau citacita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).
Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut
terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama

12

hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran


Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih
lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar 1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang
Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan
perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan
MPR, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain
sebagainya.
Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan
hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan
menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari
kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup
berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan
manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka
akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan
sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup
bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa
sehingga darinya mampu menumbuhkan tekad untuk
mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai
pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam
hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa
Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hdup yang
diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila
tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa

13

Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti


dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat
disebut sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Citacita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman,
pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa
Indonesia di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita
moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian
luhur bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
hasil kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang pada
waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila
merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat
Indonesia maka Pancasila sudah seharusnya dihormati
dan dijunjung tinggi.

III.

PANCASILA
UUD45

14

DAN

PEMBUKAAN

Hubungan Pancasila Dan Pembukaan Uud45


Hubungan Secara Formal antara Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945: bahwa rumusan Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang
tercantum dalam Pembukaan UUD45; bahwa
Pembukaan UUD45 berkedudukan dan berfungsi selain
sebagai Mukadimah UUD45 juga sebagai suatu yang
bereksistensi sendiri karena Pembukaan UUD45 yang
intinya Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh
UUD45, bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila
sebagai inti Pembukaan UUD45 dengan demikian
mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, tidak dapat
diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara RI.
Hubungan Secara Material antara Pancasila dan
PembukaanUUD 1945: Proses Perumusan Pancasila:
sidang BPUPKI membahas dasar filsafat Pancasila, baru
kemudian membahas Pembukaan UUD45; sidang
berikutnya tersusun Piagam Jakarta sebagai wujud
bentuk pertama Pembukaan UUD45.
Kedudukan Hakiki Pembukaan Uud45
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki
kedudukan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
bangsa Indonesia karena terlekat pada proklamasi 17
Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara
formal maupun material. Adapun kedudukan hakiki
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
pertama; Pembukaaan Undang-Undang Dasar memiliki
kedudukan hakiki sebagai pernyataan kemerdekaan yang
terperinci, yaitu proklamasi kemerdekaan yang singkat
dan padat 17 Agustus 1945 itu ditegaskan dan dijabarkan

15

lebih lanjut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar


1945.
Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yang kedua adalah bahwa Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 mengandung dasar, rangka dan
suasana bagi negara dan tertib hukum Indonesia.
Maksudnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 merupakan pengejawantahan dari kesadaran dan
cita-cita hukum serta cita-cita moral rakyat Indonesia
yang luhur (Suhadi, 1998). Kedudukan hakiki
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga
adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
memuat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu
tujuan negara, bentuk negara, asas kerohanian negara,
dan pernyataan tentang pembentukan UUD.
Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yang terakhir adalah bahwa Pembukaan UUD 1945
mengandung adanya pengakuan terhadap hukum kodrat,
hukum Tuhan dan adanya hukum etis atau hukum moral.
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
terdapat unsur-unsur, bentuk-bentuk maupun sifat-sifat
yang me-mungkinkan tertib hukum negara Indonesia
mengenal adanya hukum-hukum tersebut. Semua unsur
hukum itu merupakan sumber bahan dan sumber nilai
bagi negara dan hukum positif Indonesia.

IV.

PELAKSANAAN PANCASILA

Pemikiran Dan Pelaksanaan Pancasila

16

Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan


pelaksana-an Pancasila terjadi karena dilanggarnya
prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip
itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau
dari segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip ditinjau dari
segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik
harus konsisten, koheren, dan koresponden, sementara
dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi
penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun
vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalurjalur apa yang dapat digunakan untuk memikirkan dan
melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985) menjelaskan
adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur
pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran
akademis. Sementara Profesor Notonagoro (1974)
menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila,
yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah
perkembangan
pemikiran
Pancasila
menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan dan
heteregonitas pandangan. Kompleksitas permasalahan
tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir;
(3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila
itu Subject to change; dan (5) problem evolusi dan
kompleksitas di dalam pemikiran mengenai pemikiran
Pancasila.
Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang
sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai
kompleksitas permasalahan di atas dapat ditempuh

17

dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik


kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila
sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber
hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan
kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini
berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam
perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan
dan tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam
konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret
dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah
memandang hukum sebagai metodologi, sebagaimana
yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat
dipecahkan melalui jalur politik kenegaraan semata,
melainkan memerlukan jalur lain yang membantu
memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila,
jalur itu adalah jalur akademis, yaitu dengan pendekatan
ilmiah, ideologis, theologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah
untuk pengambilan keputusan atau kebijakan, maka
lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadangkadang kurang memperhatikan aspek koherensi,
konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya kadang
berbagai kebijakan justru kontra produktif dan
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan
demikian pemikiran akademis berfungsi sebagai sumber
bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan.
Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan
oleh para pengambil kebijakan merupakan masukan
yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis.

18

Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan


dalam kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap
kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki
validitas atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji
secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur
pelaksanaan.
Pelaksanaan
Pancasila
dapat
diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu
pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk
realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek
penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang
kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk
peraturan perundang-undangan negara Indonesia.
Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi
setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk,
setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut
Notonagoro pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini
memegang peranan sangat penting, karena sangat
menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
Pancasila. Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro
dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses
pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun
informal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil
yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran,
ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak
dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.

19

Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak


dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka tidak
akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap mental
penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem
dan struktur yang kondusif maka tidak akan
menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar
Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya
ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat
dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan
pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa
implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih
sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
Reformasi Pemikiran Dan Pelaksanaan Pancasila
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai
menata kembali keadaan yang tidak baik menjadi
keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang
disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang
radikal, semua boleh, penjarahan atau pelengseran
penguasa tertentu. Beberapa catatan penting yang harus
diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan
reformasi, antara lain sebagai berikut.
1. Reformasi bukan revolusi
2. Reformasi memerlukan proses
3. Reformasi
memerlukan
perubahan
dan
berkelanjutan
4. Reformasi menyangkut masalah struktural dan
kultural
5. Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas
dan agenda
6. Reformasi memerlukan arah

20

Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan


reformasi antara lain: Pertama, akumulasi kekecewaan
masyarakat terutama ketidakadilan di bidang hukum,
ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang tak
kunjung selesai; ketiga, bangkitnya kesadaran
demokrasi, keempat, merajalelanya praktek KKN,
kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak
diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya
memperbaiki segenap tatanan kehidupan bernegara, baik
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam
dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi,
agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan
antara lain: pertama, mengatasi krisis; kedua,
melaksanakan reformasi, dan ketiga melanjutkan
pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda
reformasi tersebut dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks
ini relevansi Pancasila menarik untuk dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai
tuntutan dan euforia reformasi ternyata masih dianggap
relevan, dengan pertimbangan, antara lain: pertama,
Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset
nasional yang tersisa dan diharapkan masih dapat
menjadi perekat tali persatuan yang hampir koyak.
Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila sebagai
pemersatu, hal ini telah terbukti secara historis dan
sosiologis bangsa Indonesia yang sangat plural baik
ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun agama.
Kedua, Secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar
Negara, jika dasar negara berubah, maka berubahlah

21

negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi bahwa


para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut
mengamandemen Pembukaan UUD 1945 yang di sana
terkandung pokok-pokok pikiran
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan
nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila
adalah tidak satunya antara teori dengan kenyataan,
antara pemikiran dengan pelaksanaan. Maka tuntutan
reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu
kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan
reformasi mengkritik kecenderungan digunakannya
Pancasila sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum
diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan
mitos dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok
lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun
kiranya penting bagi upaya mereformasi pemikiran
Pancasila, antara lain: Pertama, mengarahkan pemikiran
Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang lebih
konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari
kecenderungan yang sangat ideologis (untuk legitimasi
kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran
Pancasila dari kecenderungan subjektif ke objektif, yaitu
dengan menggeser pemikiran dengan menghilangkan
egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai, dengan
menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik pluralisme
sosial, politik, budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam
pemikiran politik kenegaraan dan dalam pelaksanaannya

22

dimungkinkan terjadi karena beberapa hal, di antaranya,


antara lain:
Pertama, adanya gap atau ketidakkonsisten dalam
pembuatan hukum atau perundang-undangan dengan
filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan
rumah, filosofi, asas dan norma hukum adalah pondasi,
maka undang-undang dasar dan perundang-undangan
lain di bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di
luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada
lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak dapat
memerankan fungsinya secara optimal.
Para ahli hukum mendesak untuk diadakan amandemen
UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan
lembaga judicial review yang memiliki independensi
untuk menguji secara substansial dan prosedural suatu
produk hukum.
Kedua, Kelemahan yang terletak pada para
penyelenggara negara adalah maraknya tindakan kolusi,
korupsi dan nepotisme, serta pemanfaatan hukum
sebagai alat legitimasi kekuasaan dan menyingkirkan
lawan-lawan politik dan ekonomisnya.
Sosialisasi Pancasila juga mendapat kritik tajam di era
reformasi, sehingga keluarlah Tap MPR No.
XVIII/MPR/1998 untuk mencabut Tap MPR No.
II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran
tentang sosialisasi Pancasila itu antara lain: menghindari
jargon-jargon yang tidak berakar dari realitas konkret
dan hanya menjadi kata-kata kosong tanpa arti, sebagai
contoh slogan tentang Kesaktian Pancasila, slogan

23

bahwa masyarakat Indonesia dari dulu selalu berbhineka


tunggal ika, padahal dalam kenyataan bangsa Indonesia
dari dulu juga saling bertempur, melaksanakan Pancasila
secara murni dan konsekuen, dan lain-lain. Menghindari
pemaknaan Pancasila sebagai proposisi pasif dan netral,
tetapi lebih diarahkan pada pemaknaan yang lebih
operasional, contoh: Pancasila hendaknya dibaca sebagai
kalimat kerja aktif, seperti masyarakat dan negara
Indonesia harus .. mengesakan Tuhan, memanusiakan
manusia agar lebih adil dan beradab, mempersatukan
Indonesia,
memimpin
rakyat
dengan
hikmat/kebijaksanaan
dalam
suatu
proses
permusyawaratan perwakilan, menciptakan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sosialisasi diharapkan juga
dalam rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan
bangsa, bukan membodohkannya sebagaimana yang
terjadi pada penataran-penataran P-4, sehingga
sosialisasi lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan
argumentatif.

V. PANCASILA
AKTUAL

DAN

24

PERMASALAHAN

Pancasila Dan Permasalahan Sara


Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun
horisontal. Konflik vertikal misalnya antara si kuat
dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara
mayoritas dengan minoritas, dan sebagainya. Sementara
itu konflik horisontal ditunjukkan misalnya konflik
antarumat beragama, antarsuku, atarras, antargolongan
dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi
bagi munculnya konflik.
Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara yang tersusun atas berbagai
unsur yang sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku,
agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini di satu pihak
dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan bangsa, namun di lain pihak juga
merupakan sumber potensial bagi munculnya berbagai
konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran
adanya kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas
kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang
mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak memperhatikan
prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain:
Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit disebutkan
Persatuan Indonesia. Kedua, Penjelasan UUD 1945
tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan
terutama pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal
UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang hakhak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan
terhadap keunikan dan kekhasan yang berasal dari

25

berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti


yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah,
(2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncakpuncak kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya
asing yang sesuai dengan budaya Indonesia; (3)
penjelasan Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap
bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa
secara normatif, para founding fathers negara Indonesia
sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam
bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah,
kebudayaan, bahasa dan lain-lain.
Justru pluralitas itu merupakan aset yang sangat berharga
bagi kejayaan bangsa.
Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila
sebagai
alternatif
pemikiran
dalam
rangka
menyelesaikan masalah SARA ini antara lain: Pertama,
Pancasila merupakan paham yang mengakui adanya
pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya
dalam satu wadah ke-Indonesiaan. Kesatuan tidak boleh
menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas
tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia.
Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum
dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan
ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena
jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang
tinggi. Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam
tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat
dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima
oleh masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang
toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya

26

digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan


kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat
Pancasila Dan Permasalahan Ham
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa,
adalah hak yang melekat pada kemanusiaan, yang tanpa
hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya
manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia
dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam
arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara
langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut
(Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks,
setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus
dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain:
Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat
dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah
satu di antara tiga masalah utama yang menjadi
keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan
itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian
lingkungan hidup. (2) Isu HAM selalu diangkat oleh
media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan
diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang
Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3) Masalah
HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan
bilateral antara negara donor dan penerima bantuan. Isu
HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara
ekonomis dan politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara
paham universalisme dan partikularisme. Paham

27

universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat


universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara
paham partikularisme memandang bahwa setiap bangsa
memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai
dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga
setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria
tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1)
tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip
moral umum dan berlaku universal karena menyangkut
ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran ideologis,
yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak
kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait
dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran kebijakan
praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan
situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia
dapat ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD
1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan
Undang-undang. Hak asasi manusia dalam Pembukaan
UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih
rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara
lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak
kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas
kedudukan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal
28); Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas
kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3,
Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan masalah
HAM dalam UUD 1945, antara lain: pertama, UUD

28

1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi


Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa tahun 1948, sehingga tidak secara eksplisit
menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut
adalah hak-hak warga negara. Kedua, Mengingat UUD
1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak
pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun
mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undangundang yang diserahkan kepada DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Tap MPR
ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia
terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi
Manusia.
Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia
terhadap hak asasi manusia, terdiri dari pendahuluan,
landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta
pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia.
Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari
pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44
pasal
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit
antara lain:
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak keadilan
5. Hak kemerdekaan
6. Hak atas kebebasan informasi
7. Hak keamanan

29

8. Hak kesejahteraan
9. Kewajiban menghormati hak orang lain dan
kewajiban membela negara
10. Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM
ini adalah Tap ini merupakan upaya penjabaran lebih
lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD 1945
dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kegiatan Belajar 3
Pancasila Dan Krisis Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa
Orba ternyata tidak berkelanjutan karena terjadinya
berbagai ketimpangan ekonomi yang besar, baik
antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya
melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula berawal
dari perubahan kurs dolar yang begitu tinggi, kemudian
menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis
kepercayaan pada segenap sektor tidak hanya ekonomi.
Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak
diterapkannya
prinsip-prinsip
ekonomi
dalam
kelembagaan, ketidak- merataan ekonomi, dan lain-lain.
yang juga dipicu dengan maraknya praktek monopoli,
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh para penyelenggara
negara
Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada
filsafat Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dan
landasan operasionalnya GBHN sering disebut Sistem
Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan
dalam Sistem Ekonomi Pancasila antara lain: mengenal

30

etik dan moral agama, tidak semata-mata mengejar


materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang
memiliki unsur jiwa-raga, sebagai makhluk individusosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Sistem
demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas
manusia, menjunjung tinggi kebersamaan, kekeluargaan,
dan kemitraan, mengutamakan hajat hidup rakyat
banyak, dan menitikberatkan pada kemakmuran
masyarakat bukan kemakmuran individu.
Sistem ekonomi Pancasila dibangun di atas landasan
konstitusional UUD 1945, pasal 33 yang mengandung
ajaran bahwa (1) Roda kegiatan ekonomi bangsa
digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial,
dan moral; (2) Seluruh warga masyarakat bertekad untuk
mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan
adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
(3) Seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen,
dan pemerintah selalu bersemangat nasionalistik, yaitu
dalam
setiap
putusan-putusan
ekonominya
menomorsatukan tujuan terwujud-nya perekonomian
nasional yang kuat dan tangguh; (4) Koperasi dan
bekerja secara kooperatif selalu menjiwai pelaku
ekonomi warga masyarakat.
Demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan; (5) Perekono-mian nasional yang amat luas
terus-menerus diupayakan adanya keseimbangan antara
perencanaan nasional dengan peningkatan desentralisasi
serta otonomi daerah. hanya melalui partisipasi daerah
secara aktif aturan main keadilan ekonomi dapat berjalan

31

selanjutnya menghasilkan suatu keadilan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia.
Hakekat Pancasila Bagi Bangsa Indonesia
Setiap bangsa yang mengetahui arah dan tujuan
yang ingin dicapai sangat memerlukan pandangan hidup.
Dengan pandangan hidup sesuatu bangsa memandang
persoalan yang dihadapinya dan arah serta cara
bagaimana bangsa itu memecahkan persoalan dapat
dipedomani. Dengan pandangan hidup itu bangsa
memiliki pegangan bagaimana ia memecahkan masalah
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam
gerak masyarakat.
Pandangan hidup sesuatu adalah suatu kristalisasi dari
nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri yang
diyakini kebenarannya. Demikianlah, maka Pancasila
yang digali dari bumi Indonesia sendiri, merupakan:
1.
Dasar negara RI yang merupakan sumber dari
segala sumber hukum yang berlaku.
2.
Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat
mempersatukan kita, memberi petunjuk dalam mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam masyarakat yang
beraneka ragam sifatnya.
3.
Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena
Pancasila memberikan corak yang khas dan tidak dapat
dipisahkan dari bangsa Indonesia.
4.
Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia,
yakni masyarakat yang adil dan makmur secara material
dan spiritual didalam wadah NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) yang merdeka, berdaulat, bersatu
dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan
bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta

32

dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,


bersahabat, tertib dan damai.
5.
Perjanjian luhur rakyat Indonesia oleh wakil-wakil
rakyat Indonesia, dimana Pancasila telah membuktikan
kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan
bangsa.
Pancasila Sebagai Filsafat Dan Ideologi Bangsa
Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa
Yunani, Phile berarti cinta, Sophia berarti kebijaksanaan.
Filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Mengapa Pancasila disebut filsafat? Berikut pendapat
ahli sebagai berikut:
Prof. MR. Moh. Yamin
Ajaran Pancasila tersusun secara harmonis dalam suatu
sistem filsafat.
Soedirman Kartohadiprodjo
Filsafat itu adalah isi jiwa suatu bangsa, maka Pancasila
dalam filsafat bangsa Indonesia.
Prof. DR. Roeslan Abdulgani
Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai
collection ideologis dari seluruh bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa serta tumbuh
serta lahir dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia.
Pengertian Pancasila sebagai sistem filsafat
Filsafat negara kita adalah PANCASILA yang diakui dan
diterima oleh bangsa Indonesia sebagai pandangan
hidup. Dengan Pancasila sebagai filsafat negara dan
bangsa Indonesia kita dapat mencapai tujuan bangsa.
Pancasila sebagai ideologi nasional

33

Pengertian ideologi secara umum adalah suatu kumpulan


gagasan, ide, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat
sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang
dalam berbagai kehidupan, yaitu:

Bidang politik, hukum, pertahanan dan keamanan.

Bidang sosial dan kebudayaan.

Bidang ekonomi.

Keagamaan.
Kekuatan ideologi terdiri dati tiga dimensi, menurut DR.
Alfian, yaitu:
Dimensi realita
Dimensi idealisme
Dimensi fleksibilitas/ pengembangan
Ideologi
tersebut
memiliki
keluwesan
yang
memungkinkan dan merangsang pengembangan
pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi
bersangkutan tanpa menghilangkan jati diri yang
terkandung dalam rantai dasar.
Butir-Butir P4
TAP MPR NOMOR II/MPR/1978, yang juga dinamakan
EKA PRASETIA PANCAKARSA, memberi petunjuk
wujud pengalaman Pancasila sebagai berikut:
1. Sila Ketuhanan Yang Mahaesa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
b.
Hormat-menghormati dan bekerja sama antara
pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda
sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

34

d.

Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan


kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban antar sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c.
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
seluruh ummat manusia, karena itu dikembangkan sikap
hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa
lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
a.
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan,
dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan
pribadi atau golongan.
b.
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara.
c.
Cinta tanah air dan bangsa.
d.
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air
Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan
bangsa yang ber-BHINEKA TUNGGAL IKA.
4.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

35

c. Mengutamakan musyawarah dalam pengambilan


keputusan untuk kepentingan bersama.
d.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh
semangat kekeluargaan.
e.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab
menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani yang luhur.
g. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung
jawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
a.
Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur
yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
b. Bersikap adil.
c.
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat boros.
h. Tidak bergaya hidup mewah.
i.
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan
kepentingan umum.
j.
Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.
l.
Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan
yang merata dan berkeadilan sosial.
Pancasila Dan Pengetahuan Ilmiah
Perkuliahan Dan Pengertian Pancasila

36

Landasan

Seluruh warga negara kesatuan Republik


Indonesia sudah seharusnya mempelajari, mendalami
dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai Pancasila yang
dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat pengetahuan
ilmiah. Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan
deskriptif, pengetahuan kausal, pengetahuan normatif,
dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif
menjawab pertanyaan bagaimana sehingga bersifat
mendiskripsikan,
adapun
pengetahuan
kausal
memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah
mengapa, sehingga mengenai sebab akibat (kausalitas).
Pancasila memiliki empat kausa :kausa materialis (asal
mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula
bentuk), kausa efisien (asal mula karya), dan kausa
finalis (asal mula tujuan).
Tingkatan pengetahuan normatif merupakan hasil dari
pertanyaan ilmiah kemana. Adapun pengetahuan esensial
mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan apa, (apa
sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena
diharapkan dapat mengetahui hakikat. Pengetahuan
esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan
pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam dalam
sila-sila Pancasila atau secara filsafati untuk mengkaji
hakikatnya. Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan
tinggi, oleh karena itu, tentulah tidak sama dengan
pelajaran Pancasila yang diberikan pada sekolah
menengah.

37

Tanggung jawab yang lebih besar untuk mempelajari dan


mengembangkan Pancasila itu sesungguhnya terkait
dengan kebebasan yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak
bangsa yang kukuh, juga untuk memupuk sikap dan
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
Pancasila. Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar
mahasiswa memahami, menghayati dan melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari
sebagai warga negara RI, juga menguasai pengetahuan
dan pemahaman tentang beragam masalah dasar
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila Sebagai Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi
syarat-syarat ilmiah yakni berobjek, bermetode,
bersistem, dan bersifat universal. Berobjek terbagi dua
yakni objek material dan objek formal. Objek material
berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut juga pokok
soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau
dijadikan bahan untuk diselidiki. Sedangkan objek
formal adalah titik perhatian tertentu (focus of interest,
point of view) merupakan titik pusat perhatian pada segisegi tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan.
Bermetode atau mempunyai metode berarti memiliki
seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan
yang logis. Metode merupakan cara bertindak menurut
aturan tertentu. Bersistem atau bersifat sistematis
bermakna memiliki kebulatan dan keutuhan yang

38

bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang yang


saling berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga
membentuk kesatuan keseluruhan. Bersifat universal,
atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa
penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa
senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju,
melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
Pancasila memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai
pengetahuan ilmiah sehingga dapat dipelajari secara
ilmiah.
Di
samping
memenuhi
syarat-syarat
sebagai
pengetahuan ilmiah. Pancasila juga memiliki susunan
kesatuan yang logis, hubungan antar sila yang organis,
susunan hierarkhis dan berbentuk piramidal, dan saling
mengisi dan mengkualifikasi.
Pancasila dapat juga diletakkan sebagai objek studi
ilmiah, yakni pendekatan yang dimaksudkan dalam
rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni
suatu penguraian yang menyoroti materi yang didasarkan
atas bahan-bahan yang ada dan dengan segala uraian
yang selalu dapat dikembalikan secara bulat dan
sistematis kepada bahan-bahan tersebut. Sifat dari studi
ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala yang
diuraikan memiliki kegunaan atau manfaat dalam
praktek. Contoh pendekatan ilmiah terhadap Pancasila
antara lain: pendekatan historis, pendekatan yuridis
konstitutional, dan pendekatan filosofis.

Hakekat Pancasila Bagi Bangsa Indonesia

39

1.
2.

3.
4.

Setiap bangsa yang mengetahui arah dan


tujuan yang ingin dicapai sangat memerlukan
pandangan hidup. Dengan pandangan hidup
sesuatu bangsa memandang persoalan yang
dihadapinya dan arah serta cara bagaimana
bangsa itu memecahkan persoalan dapat
dipedomani. Dengan pandangan hidup itu
bangsa memiliki pegangan bagaimana ia
memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial
dan budaya yang timbul dalam gerak
masyarakat.
Pandangan hidup sesuatu adalah suatu
kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh
bangsa itu sendiri yang diyakini kebenarannya.
Demikianlah, maka pancasila yang digali dari
bumi Indonesia sendiri, merupakan:
Dasar negara RI yang merupakan sumber dari
segala sumber hukum yang berlaku.
Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat
mempersatukan kita, memberi petunjuk dalam
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dalam
masyarakat yang beraneka ragam sifatnya.
Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena
pancasila memberikan corak yang khas dan tidak
dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia.
Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa
Indonesia, yakni masyarakat yang adil dan
makmur secara material dan spiritual didalam
wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik
40

Indonesia) yang merdeka, berdaulat, bersatu dan


berkedaulatan
rakyat
dalam
suasana
perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib
dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan
dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan
damai.
5. Perjanjian luhur rakyat Indonesia oleh wakilwakil rakyat Indonesia, dimana pancasila telah
membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh
sejarah perjuangan bangsa.

KULIAH II
PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT DAN
IDEOLOGI BANGSA
Secara etinoligis, filsafat berasal dari bahasa
Yunani, Phile berarti cinta, Sophia berati
kebijaksanaan.
Filsafat
berarti
cinta
kebijaksanaan.
Mengapa pancasila disebut filsafat? Berikut
pendapat ahli sebagai berikut:
Prof. MR. Moh. Yamin
Ajaran pancasila tersusun secara harmonis
dalam suatu sistem filsafat.
Soedirman Kartohadiprodjo
Filsafat itu adalah isi jiwa suatu bangsa, maka
pancasila dalam filsafat bangsa Indonesia.
Prof. DR. Roeslan Abdulgani
Pancasila adalah filsafat negara yang lahir
sebagai collection ideologis dari seluruh bangsa
41

Indonesia.
Pancasila
merupakan
hasil
perenungan jiwa serta tumbuh serta lahir dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Pengertian pancasila sebagai sistem filsafat
Filsafat negara kita adalah PANCASILA yang
diakui dan diterima oleh bangsa Indonesia
sebagai pandangan hidup. Dengan pancasila
sebagai filsafat negara dan bangsa Indonesia kita
dapat mencapai tujuan bangsa.
Pancasila sebagai ideologi nasional
Pengertian ideologi secara umum adalah suatu
kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta
kepercayaan yang bersifat sistematis yang
mengarahkan tingkah laku seseorang dalam
berbagai kehidupan, yaitu:

Bidang politik, hukum, pertahanan dan


keamanan.
Bidang sosial dan kebudayaan.
Bidang ekonomi.
Keagamaan.
Kekuatan ideologi terdiri dati tiga dimensi,
menurut DR. Alfian, yaitu:
- Dimensi realita
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi
secara serta bersumber dari budaya dan
pengalaman sejarah masyarakat.
- Dimensi idealisme
Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung
idealisme yang memberi harapan tentang masa
42

depan yang lebih baik melalui pengalaman dan


praktek kehidupan bersama sehari-hari.
- Dimensi fleksibilitas/ pengembangan
Ideologi tersebut memiliki keluwesan yang
memungkinkan dan merangsang pengembangan
pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan
ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan jati
diri yang terkandung dalam rantai dasar.

1.
a.

b.
c.
d.
2.

BUTIR-BUTIR P4
TAP MPR NOMOR II/MPR/1978, yang juga
dinamakan EKA PRASETIA PANCAKARSA,
memberi petunjuk wujud pengalaman pancasila
sebagai berikut:
Sila Ketuhanan Yang Mahaesa
Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa
sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Hormat-menghormati dan bekerja sama antara
pemeluk agama dan kepercayaan yang berbedabeda sehingga terbina kerukunan hidup.
Saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah
sesuai
dengan
agama
dan
kepercayaannya.
Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

43

a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan


kewajiban antar sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian
dari seluruh ummat manusia, karena itu
dikembangkan sikap hormat-menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan,
dan keselamatan bangsa dan negara diatas
kepentingan pribadi atau golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah
air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan
kesatuan
bangsa
yang
ber-BHINEKA
TUNGGAL IKA.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan

44

a.

Mengutamakan kepentingan negara dan


masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam pengambilan
keputusan untuk kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi
oleh semangat kekeluargaan.
e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab
menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan
sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g.
Keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggung jawabkan secara moral kepada
Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang
luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
b. Bersikap adil.
c.
Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat boros.
45

h. Tidak bergaya hidup mewah.


i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan
kepentingan umum.
j. Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.
l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan
yang merata dan berkeadilan sosial.

POLA PELAKSANAAN P4
Untuk melaksanakan P4 perlu usaha yang
dilakukan secara berencana dan terarah
berdasarkan suatu pola. Berdasarkan suatu pola
itu diharapkan lebih terarah usaha-usaha:
o Pembinaan manusia Indonesia agar menjadi insan
pancasila.
o Pembangunan bangsa untuk mewujudkan
masyarakat pancasila.

KULIAH III
PROSES
PENGESAHAN
PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA DAN NILAINILAI PANCASILA
Pada tanggal 18 agustus 1945 PPKI mengadakan
sidang I menghasilkan keputusan sebagai
berikut:
a. Mengesahkan undang-undang dasar.
46

b. Memilih :
Ir. Soekarno sebagai presiden RI
Drs. Moh. Hatta sebagai wakil presiden RI
c. Dalam masa peralihan presiden untuk sementara
waktu akan dibantu oleh komite nasional.
PANCASILA SEBAGAI ETIKA
Pancasila memuat nilai-nilai luhur dan
mendalam yang menjadi pandangan hidup dan
dasar negara. Nilai-nilai tersebut harus dapat
diwujudkan
dalam
perilaku
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai
tersebut adalah:
1. Nilai dasar adalah asas-asas yang diterima
sebagai dalil yang secara relatif mutlak.
2. Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum
nilai-nilai dasar biasanya dalam wujud norma
sosial atau norma hukum, selanjutnya
terkristalisasi dalam lembaga-lembaga yang
sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu.
3. Nilai praktis adalah nilai yang sesungguhnya
dilaksanakan dalam kenyataan.

KULIAH IV
PERBANDINGAN IDEOLOGI PANCASILA
DENGAN PANDANGAN LAIN
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
pancasila merupakan ideologi yang mampu
47

menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman


tanpa pembukaan nilai dasarnya.

LANDASAN
NASIONAL

DALAM

KEHIDUPAN

KULIAH V
PELAKSANAAN P4 DAN PRINSIP UTAMA
KEPEMIMPINAN PANCASILA
Sasaran pelaksanaan P4 adalah perorangan,
keluarga dan masyarakat baik di lingkungan
tempat tinggal maupun di lingkungan tempat
bekerja. Langkah pertama adalah penataran
pegawai RI dan menyebarluaskan kepada
seluruh
lapisan
masyarakat
dengan
menggunakan berbagai jalur dan penciptaan
suasana yang menunjang, antara lain:
1. Jalur-jalur yang digunakan
a. Jalur pendidikan
i. Keluarga
ii. Sekolah
iii. Lingkungan
b. Jalur media massa
48

c. Jalur organisasi sosial politik


2. Penciptaan suasana yang menunjang
a. Kebijaksanaan pemerintah dan perundangundangan
b. Aparatur negara
c. Kepemimpinan dan pemimpin masyarakat
Dalam TAP MPR No. II/MPR/1978, pedoman
P4
itu
dinamakan
EKAPRASETIA
PANCAKARSA. Secara harfiah berarti tekad
yang tunggal untuk melaksanakan lima
kehendak.
Dalam
rangka
mengamalkan
pancasila. Beberapa prinsip utama dari
kepemimpinan pancasila itu adalah:
- ING NGARSO SONG TULODO yang berarti
bahwa seorang pemimpin harus mampu lewat
sikap dan perbuatannya menjadikan dirinya pola
anutan
dan
ikutan
orang-orang
yang
dipimpinnya,
- ING MADYA MANGUN KARSO yang berarti
bahwa seorang pemimpin harus mampu
membangkitkan semangat berswakarsa dan
berkreasi pada orang orang yang dibimbingnya,
dan
- TUT WURI HANDAYANI yang berarti bahwa
seorang pemimpin harus mampu mendorong
orang yang diasuhnya agar berani berjalan
didepan dan sanggup bertanggung jawab

KULIAH VI
49

PEMBUKAAN UUD 1945, HUBUNGANNYA


DENGAN PANCASILA SERTA GARISGARIS BESAR HALUAN NEGARA
Pada alinea ke-empat pembukaan UUD 1945
berbunyi: kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan yang Mahaesa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pancasila dirumuskan pada alinea IV pembukaan
UUD 1945, suasana kebatinan serta cita-cita
hukum UUD 1945 tidak lain adalah bersumber
atau dijiwai oleh dasar falsafah Indonesia.
Pembangunan nasional adalah merupakan
rangkaian
upaya
pembangunan
yang
berkesinambungan, dan meliputi seluruh aspek
50

1.
2.
3.
4.

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara sesuai dengan tujuan nasional seperti
yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945
alinea keempat. Tujuan pembangunan nasional
seperti digariskan dalam GBHN sebagai berikut:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
yang merata material dan spiritual berdasarkan
pancasila
Didalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat,
bersatu dan berkedaulatan rakyat
Dalam suasana perikehidupan bangsa yang
aman, tentram, tertib dan dinamis
Dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka, bersahabat, tertib dan damai

KULIAH VII
POKOK-POKOK
PIKIRAN
DALAM
PEMBUKAAN UUD 1945
Ada empat pokok pikiran yang sifat dan
maknanya sangat dalam, yaitu:
1. Pokok pikiran pertama : negara, melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
2. Pokok pikiran kedua : negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia

51

3.

4.

1.

2.

3.

Pokok pikiran ketiga : negara yang


berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan
dalam permusyawaratan/ perwakilan. Ini adalah
pokok pikiran kedaulatan rakyat, yang
menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR
Pokok pikiran keempat : negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Mahaesa menurut kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Apabila diperhatikan ke-empat pokok pikiran
itu, maka tampaklah bahwa pokok-pokok pikiran
itu tidak lain adalah pancaran dari dasar negara
pancasila. Ia bebas aktif dari paham ideologis
bangsa-bangsa lain di dunia. Paham-paham
tersebut adalah:
Paham komunisme yang menghendaki
persamaan kelas proletariat yang digambarkan
sebagai kaum buruh tani. Paham ini tidak
meyakini adanya sang pencipta yang hal tersebut
bertentangan dengan paham pancasila
Paham liberalisme yang lebih menonjolkan
kebebasan hak individu yang cenderung
mengarah pada sikap egosentris yang bertolak
belakang dengan sifat manusia sebagai makhluk
sosial
Paham islam fundamentalis yang menghendaki
berlakunya syariat Islam di negara RI

KULIAH VIII
52

Pancasila sebagai landasan idiil bangsa


Indonesia memiliki arti bahwa pancasila
merupakan pandangan hidup dan jiwa bangsa,
kepribadian bangsa, tujuan dan cita-cita baik
hukum maupun moral bangsa Indonesia.
Ada dua hal yang digariskan secara sistematis,
yaitu pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum dan tata urutan perundangan
Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang
Dasar 1945, TAP MPR, Undang-undang/Perpu,
keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan
lainnya.
PEMAHAMAN TENTANG DEMOKRASI
INDONESIA
Demokrasi adalah bentuk kekuasaan dari, oleh
dan untuk rakyat (demos). Menurut konsep
demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik
dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta
warga masyarakat didefinisikan sebagai warga
negara.
Tidak semua warga negara dapat terlibat
langsung tetapi hanya populus tertentu. Hanya
mereka yang karena sebab tertentu seperti
membangun pengaruh dan menguasai suara
politik yang terpilih sebagai wakil.
Bentuk demokrasi dalam sistem pemerintahan
negara:
1. Pemerintahan monarki : monarki absolut,
monarki konstistusional, monarki parlementer
53

2.

a.

b.

c.

d.
e.

Pemerintahan republik : pemerintahan yang


dijalankan oleh dan untuk kepentingan rakyat
Mengenai pemahaman demokrasi Indonesia
adalah pemerintahan rakyat yang berdasarkan
nilai-nilai falsafah pancasila atau pemerintahan
dari, oleh dan untuk rakyat berdasarkan sila-sila
pancasila. Ini berarti bahwa :
Demokrasi atau pemerintahan rakyat yang
digunakan oleh pemerintahan Indonesia adalah
sistem pemerintahan rakyat yang dijiwai dan
dituntun oleh nilai-nilai pandangan hidup bangsa
Demokrasi Indonesia pada dasarnya adalah
transformasi nilai-nilai falsafah pancasila
menjadi suatu bentuk dan sistem pemerintahan
khas pancasila
Demokrasi Indonesia yang dituntun oleh nilainilai pancasila adalah konsekuensi dari
komitmen pelaksanaan pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dibidang
pemerintah atau politik
Pelaksanaan demokrasi Indonesia dengan baik
menyaratkan pemahaman dan penghajatan nilainilai falsafah pancasila
Pelaksanaan demokrasi Indonesia dengan benar
adalah pengalaman pancasila melalui politik
pemerintahan
Falsafah pancasila sesungguhnya tidak hanya
mengandung nilai politik, ekonomi, sosial, dan
budaya namun juga mengandung nilai religius.
54

Menurut Prof. DR. Hazairin SH


Demokrasi pancasila pada dasarnya adalah
demokrasi asli Indonesia yang tumbuh dari
kesatuan masyarakat adat Indonesia. Setelah
proklamasi
kemerdekaan
RI, demokrasi
berdasarkan hukum adat ini dikembangkan
menjadi demokrasi Indonesia sehingga menjadi
milik nasional.
Prof.
Hazairin
menggunakan
istilah
dikembangkan/ ditingkatkan yang berarti:
1. Peningkatan status demokrasi adat menjadi
demokrasi
Indonesia
yang
bertarafkan
Internasional
2. Peningkatan bobot materi demokrasi adat yang
semula hanya mencakup aspek kedaerahan,
menjadi lebih luas mencakup aspek kebangsaan,
kemanusiaan, dan keagamaan.
Menurut Sri Soemanti SH
Demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan
yang
mengandung
semangat ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan sosial
Menurut Prof. Pamudji MPA
Demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpim
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan yang berketuhanan Yang
Maha Esa, yang berperikemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi muncul sebagai satu sistem pemerintahan
55

rakyat karena adanya pemerintahan diktator yang otoriter


yang membawa akibat buruk bagi rakyat.
Akibat buruk tersebut antara lain:
1.
Penindasan eksploitasi terhadap rakyat, terutama
eksploitasi tenaga dan pikiran rakyat sehingga rakyatnya
hanya punya kewajiban tanpa hak, sebaliknya penguasa
atau pemerintah tampak seolah-olah hanya punya hak
tanpa kewajiban
2. Kondisi kehidupan masyarakat seperti diatas selalu
mengakibatkan timbulnya konflik dengan korban yang
lebih banyak dipihak rakyat
3. Kesejahteraan tertumpu pada penguasa, sedangkan
rakyat dibiarkan hidup melarat tanpa jaminan masa
depan
Dengan demikian demokrasi Indonesia adalah satu
sistem pemerintah berdasarkan kedaulatan rakyat dalam
bentuk musyawarah untuk mufakat, untuk memecahkan
masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara
demi terwujudnya suatu kehidupan masyarakat yang adil
dan makmur merata secara materiil dan spirituil.

KULIAH IX
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA RI
MENURUT UUD 1945
Dalam undang undang dasar 1945 bab X pasal tentang
warga negara dan penduduk telah diamanatkan antara
lain pada pasal 26, 27, 28, dan pasal 30 sebagai berikut:
1. Pasal 26
Ayat 1 yang menjadi warga negara adalah orang-orang
bangsa Indonesia yang asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara

56

2.

3.
4.
5.

6.

7.

Ayat 2 syarat-syarat mengenai kewarganegaraan


ditetapkan dengan undang-undang
Pasal 27
Ayat 1 segala warga negara bersamaan kedudukannya
didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
Ayat 2 tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ayat 3 setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara
Pasal 28 kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang
Pasal 28A s/d pasal 28J mengenai hak asasi manusia
Pasal 29
Ayat 2 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu
Pasal 31
Ayat 1 tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pendidikan.
Ayat 2 setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Sistem pendidikan nasional diatur dengan undangundang No.2 th 1989 yang menetapkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2
jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan
luar sekolah
Pasal 32 menetapkan bahwa pemerintah menghormati
dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional

57

Siapakah warga negara?


Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa yang menjadi warga
negara adalah:
Orang-orang Indonesia asli
Orang-orang bangsa lain (peranakan Belanda,
peranakan Cina, peranakan Arab dll) yang bertempat
tinggal di Indonesia
Yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya
Bersikap setia kepada negara kesatuan RI
Disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara

KULIAH X

1.
2.
3.

1.
-

Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa


yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya
dalam eksistensinya melalui interaksi dan interrelasi dan
pembangunan dilingkungan nasionalnya (termasuk lokal
dan propinsional), regional serta global. Wawasan
nasional harus mampu memberi inspirasi pada suatu
bangsa yang dipengaruhi oleh tiga faktor:
Bumi atau ruang dimana bangsa itu hidup
Jiwa, tekad dan semangat rakyatnya
Lingkungan strategis
Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai
oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya
Beberapa teori paham kekuasaan, antara lain:
Paham Machiavelli (abad XVIII)
Menurut Machivelli sebuah negara akan bertahan,
apabila
Segala cara dihalalkan dalam merebut dan
mempertahankan kekuasaan
Politik adu domba (divide et impera) adalah sah

58

2.

3.

1.
-

2.
-

Dalam dunia politik disamakan dengan kehidupan


binatang, yang kuat pasti dapat bertahan (survival of the
fittest)
Paham Jendral Clausewitz (abad XVIII)
Menurut Clausewitz perang adalah kelanjutan politik
dengan cara lain. Perang adalah sah-sah saja untuk
mencapai tujuan nasional suatu bangsa
Paham Lenin (abad XIX)
Menurutnya perang adalah kelanjutan politik dengan
cara kekerasan. Komunisme, perang atau pertumpahan
darah atau revolusi diseluruh dunia adalah sah dalam
rangka mengkomuniskan seluruh bangsa di dunia
Sedangkan teori-teori geopilitik antara lain
Ajaran Frederich Ratzel
Dalam hal pertumbuhan negara memerlukan ruang
lingkup, melalui proses lahir, tumbuh, berkembang dan
mati
Negara identik dengan suatu ruang yang ditempati oleh
kelompok politik dalam arti kekuatan. Makin luas
potensi ruang tersebut, makin besar kemungkinan
kelompok politik itu tumbuh (teori ruang, konsep ruang)
Hanya bangsa yang unggul saja yang dapat bertahan
hidup terus
Semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin besar
kebutuhan akan sumber daya alam
Ajaran Ratzel menimbulkan dua aliran, dimana yang
satu berfokus pada kekuatan di darat dan kekuatan di laut
Ajaran Rudolf Kyellen
Negara merupakan suatu bioligis, suatu organisme
hidup yang memiliki intelektual. Negara dimungkinkan
untuk memperoleh ruang yang cukup luas agar
kemampuan rakyatnya dapat berkembang secara bebas

59

3.

4.
1.

2.

Negara merupakan suatu sistem politik/ pemerintahan


yang meliputi bidang-bidang: geopolitik, ekonomi
politik, sosial politik, dan krato politik (politik
memerintah)
Negara harus mampu berswasembada serta
memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi
untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya
Ajaran Sir Walter Raleigh dan Alfred Thyer Mahan
Kedua ahli ini mempunyai gagasan wawasan bahari
yaitu kekuatan di lautan. Barang siapa menguasai lautan
akan menguasai perdagangan
Ajaran wawasan nasional Indonesia
Wawasan tersebut dibentuk dan dijiwai oleh paham
kekuasaan bangsa Indonesia dan geopolitik Indonesia
Paham kekuasaan bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi
pancasila menganut paham tentang perang dan damai.
Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta
kemerdekaan. Wawasan nasional bangsa Indonesia, tidak
mengembangkan ajaran tentang kekuasaan adu kekuatan,
karena hal tersebut mengandung benih-benih
persengketaan dan ekspansionisme
Geopolitik Indonesia
Paham tentang negara Indonesia menganut paham
negara kepulauan, yaitu paham yang dikembangkan dari
asas archipelogi yang memang berbeda dengan
archipelogi negara-negara barat pada umumnya.
Perbedaan yang esensial dari pemahaman ini adalah
bahwa menurut paham barat, laut berperan sebagai
pemisah pulau, sedangkan menurut pemahaman
Indonesia, laut adalah penghubung sebagai wilayah
negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai tanah air
dan disebut negara kepulauan

60

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia


Latar belakang pemikiran bedasarkan falsafah pancasila
Latar belakang pemikiran aspek kewilayahan nusantara
Latar belakang pemikiran aspek sosial dan budaya
Latar belakang pemikiran aspek kesejahteraan bangsa
Indonesia
Wawasan nusantara sebagai wawasan nasional
Wawasan nusantara yaitu cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba
beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan
persatuan wilayah dan tetap menghargai serta
menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan
nasional untuk mencapai tujuan nasional
Unsur dasar konsepsi wawasan nusantara
Konsepsi wawasan nusantara terdiri dari tiga unsur
dasar: wadah (contour), isi (content), dan tata laku
(conduct)
Asas wawasan nusantara adalah:
Kepentingan yang sama
Keadilan yang berarti kesesuaian pembagian hasil
dengan adil, jerih payah usaha dan kegiatan baik orang
perorangan, golongan, kelompok maupun daerah
Kejujuran yang berarti keberanian berfikir, berkata dan
bertindak sesuai realita serta ketentuan yang benar
Solidaritas yang berarti diperlukannya rasa setia kawan
mau memberi dan berkorban bagi orang lain tanpa
meninggalkan ciri dan karakter budaya masing-masing
Kerja sama berarti adanya koordinasi saling pengertian
yang didasarkan atas kesetaraan sehingga kerja
kelompok dapat tercapai
Kesetiaan terhadap kesepakatan bersama untuk menjadi
bangsa dan negara RI
Arah pandang

61

Wawasan nusantara meliputi arah pandang kedalam dan


keluar
Arah pandang kedalam
Bertujuan menjamin perwujudan persatuan kesatuan
segenap aspek kehidupan nasional, baik aspek alamiah
maupun aspek sosial. Arah pandang kedalam
mengandung arti bahwa bangsa Indonesia harus peka
dan berusaha untuk mencegah dan mengatasi sedini
mungkin factor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi
bangsa dan harus mengupayakan tetap terbina dan
terpeliharanya
persatuan
dan
kesatuan
dalam
kebhinekaan.
Arah pandang keluar
Arah pandang keluar ditujukan demi terjaminnya
kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah
maupun kehidupan dalam negri serta dalam
melaksanakan
ketertiban
dunia
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial serta
kerjasama dan sikap saling menghormati. Arah pandang
keluar mengandung arti bahwa dalam kehidupan
nasionalnya, bangsa Indonesia harus berusaha
mengamankan kepentingan nasionalnya dalam semua
aspek kehidupan demi tercapainya tujuan nasional

KULIAH XI
PEMBANGUNAN NASIONAL
Pembangunan nasional adalah merupakan rangkaian
upaya pembangunan yang berkesinambungan dan
meliputi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sesuai dengan tujuan nasional.
Tujuan pembangunan nasional
62

1.
2.
3.
4.

1.
2.
3.

1.

2.

Tujuan pembangunan nasional, seperti yang digariskan


dalam GBHN unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata material dan spiritual berdasarkan pancasila
Didalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat, bersatu
dan berkedaulatan rakyat
Dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tentram, tertib dan damai
Dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib dan damai
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia, ini berarti:
Ada keselarasan, keserasian, keseimbangan dan
kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan
pembangunan
Pembangunan merata untuk seluruh masyarakat
diseluruh wilayah tanah air
Yang ingin dibangun adalah manusia dan masyarakat
Indonesia, sehingga pembangunan harus berkepribadian
Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat
maju yang tetap berkepribadian Indonesia pula
Asas-asas pembangunan nasional
Asas manfaat ialah bahwa segala usaha dan kegiatan
pembangunan harus dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kemanusiaan, bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat dan bagi pengembangan pribadi
warga negara
Asas usaha bersama dan kekeluargaan ialah bahwa
usaha mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa harus
merupakan usaha bersama dari bangsa dan seluruh
rakyat yang dilakukan secara gotong royong dan
semangat kekeluargaan

63

3.

4.

5.

6.

7.

1.
a.
b.

Asas demokrasi ialah demokrasi berdasarkan pancasila


meliputi bidang politik, sosial dan ekonomi yang dalam
menyelesaikan masalah sejauh mungkin ditempuh jalan
musyawarah
Asas adil dan merata ialah bahwa hasil-hasil material
dan spiritual yang dicapai harus dapat dinikmati oleh
seluruh bangsa sesuai dengan dharma baktinya yang
diberikan kepada bangsa dan negara
Asas perikehidupan dan keseimbangan yaitu
kepentingan keduniaan dan akhirat, antara kepentingan
meterian dan spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga,
antara kepentingan individu dan manyarakat, antara
perikehidupan darat, laut dan udara serta antara
kepentingan nasional dan internasional
Asas kesadaran hukum ialah bahwa tiap warga negara
Indonesia harus selalu sadar dan taat kepaha hukum dan
mewajibkan negara untuk menegakkan dan menjamin
kepastian hukum
Asas kepercayaan pada diri sendiri yaitu bahwa
pembangunan harus berlandaskan pada kemampuan dan
kekuatan sendiri dan bersendikan kepada kepribadian
bangsa
Modal dasar dan faktor-faktor dominan
Modal dasar menurut GBHN ada 8 yaitu
Kemerdekaan kedaulatan bangsa Indonesia
Kedudukan generasi Indonesia sepanjang garis
katulistiwa, posisinya sebagai wilayah penghubung (0608 LU; 11-15 LS;94,45 BB; 141,05 BT; jarak utaraselatan 1888 KM dan jarak barat-timur 5110 KM)
luas wilayah 5 juta KM2 dengan 17508 pulau, panjang
pantai 81000 KM. terletak pada posisi silang antara dua
benua dan samudra, iklim tropika serta peranan strategis
yang tinggi nilainya

64

c.
d.
e.
f.
g.
h.
2.
a.
b.
c.
d.
e.

Sumber-sumber kekayaan alam


Jumlah penduduk yang sangat besar (220 juta orang)
Modal rohaniah dan mental
Modal budaya
Potensi efektif bangsa
Angkatan bersenjata RI dan polri
Faktor dominan
Faktor-faktor dominan menurut GBHN
Faktor demografi (ilmu kependudukan) dan sosial
budaya
Faktor geografi (ilmu bumi), hidrografi (ilmu tentang
perairan/laut), geologi dan topografi (pemetaan)
Faktor klimatologi (iklim)
Faktor flora (tumbuh-tumbuhan) dan fauna (binatangbinatang)
Faktor kemungkinan pengembangan

KULIAH XII

1.
2.
3.
4.

KETAHANAN NASIONAL
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17-081945, bangsa Indonesia mengalami gejolak dan ancaman
baik dari dalam maupun luar negri yang membahayakan
kelangsungan hidup bangsa dan Negara.
Beberapa gangguan keamanan antara lain:
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung
Membentuk negara pasundan.
Raymond Westerling.
DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia)
Karto suwiryo membentuk negara islam.
NIT (Negara Indonesia Timur)
Andi Aziz di Makasar.
PRRI PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner RI dan
Perjuangan Semesta)
65

- Ahmad Husein mendirikan negara dalam negara.


5. Ideologi Komunis (1948 & 1965)
6. OPM (Organisasi Papua Merdeka)
7. GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Dalam perjuangan mencapai tujuan bangsa Indonesia
memerlukan keuletan dan ketangguhan untuk
mengembangkan kekuatan nasional yang disebut
ketahanan nasional yang didasarkan pada pokok-pokok
pikiran berikut:
Sebagai salah satu makhluk tuhan, manusia dikatakan
sebagai makhluk yang sempurna karena memiliki naluri,
kemampuan berfikir, akal dan berbagai keterampilan.
Karena itu manusia yang berbudaya akan perlu
mengadakan hubungan:
a. Dengan Tuhan yang disebut agama.
b. Dengan cita-cita yang disebut ideology.
c. Dengan kekuatan/kekuasaan yang disebut politik.
d. Dengan pemenuhan kebutuhan disebut ekonomi.
e. Dengan manusia disebut social.
f. Dengan rasa keindahan disebut seni/budaya.
g. Dengan pemanfaatan alam disebut IPTEK.
h. Dengan rasa aman disebut pertahanan/ keamanan.
TanNas berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan untuk mengembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi
segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik
yang datang dari luar maupun dari dalam dan untuk
menjamin identitas, kelangsungan hidup bangsa dan
negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional.
Hakekat TanNas dan konsepsi TanNas Indonesia.
Hakekat ketahanan nasional Indonesia adalah keuletan
dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat

66

1.
2.
3.
4.
Mandiri

Dinamis

menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam


mencapai tujuan nasional.
Hakekat konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah
pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan
keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam
seluruh aspek kehidupan nasional.
Asas-asas ketahanan nasional.
Asas-asas TanNas adalah tata laku berdasarkan nilai-nilai
pancasila yang terdiri dari:
Asas kesejahteraan dan keamanan.
Asas komprehensif integral atau menyeluruh terpadu.
Asas mawas kedalam dan mawas keluar.
Asas kekeluargaan.
Sifat ketahanan nasional, yaitu:
: TanNas percaya pada kemampuan, keuletan sendiri
serta pada keuletan dengan ketangguhan yang
mengandung prinsip tidak mudah menyerah dengan
tumpuan pada identitas, integritas dan kepribadian
bangsa.
: TanNas dapat meningkat dan menurun tergantung pada
situasi dan kondisi bangsa, negara serta lingkungan
strategisnya.

Wibawa.
Konsultasi dan kerjasama.
Dalam ekonomi kerakyatan, dihindari:
1. Sistem free-fight liberalism yang hanya menguntungkan
pelaku ekonomi kuat.
2. Sistem etatisme : negara beserta aparatur ekonomi
negara bersifat dominan dan mematikan potensi dan
daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor Negara.
3. Bentuk monopoli : pemusatan kekuatan ekonomi pada
satu kolompok yang merugikan masyarakat dan
bertentangan cita-cita keadilan social.

67

KULIAH XIII
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM
BERMASYARAKAT,
BERBANGSA
DAN
BERNEGARA
Dalam masalah yang populer itulah paradigma
berkembang menjadi termonilogi yang mengandung
konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir,
orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari
suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu
bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan,
reformasi, maupun dalam pendidikan.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan.
Negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
melalui pembangunan nasional untuk mewujudkan
seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar
hakekat manusia monopuralis.
Unsur-unsur hakekat manusia monopuralis meliputi
susunan kodrat manusia, rohani (jiwa), dan jasmani
(raga), sifat kodrat manusia makhluk individu dan
makhluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk individu berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan Yang Mahaesa, maka pembangunan nasional
harus meliputi aspek jiwa (rohani) berupa akal, rasa dan
kehendak, aspek rasa, aspek individu, aspek makhluk
sosial, aspek pribadi dan juga aspek ketuhanannya. Pada
gilirannya
dijabarkan
dalam
berbagai
bidang
pembangunan antara lain, politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, sosial, budaya, IPTEK, serta bidang
kehidupan/ agama.
1. Pancasila sebagai paradigma pengembangan IPTEK.
Iptek merupakan hasil kreativitas rohani manusia, yaitu
aspek akal, rasa dan kehendak. Akal merupakan potensi
68

dalam hubungan dengan intelektualitas, rasa dalam


bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral (etika).
Tujuan yang esensial dari IPTEK adalah demi
kesejahteraan umat manusia dan pada hakekatnya terikat
oleh nilai. Pancasila menjadi sistem etika dalam
pengembangan IPTEK.
Sila ketuhanan Yang Mahaesa mengomplementasikan
ilmu pengetahuan, mencipta perimbangan antara rasional
dan irrasonal, antara akal, rasa dan kehendak.
Berdasarkan sila ini IPTEK tidak hanya memikirkan apa
yang ditemukan, dibuktikan, diciptakan tetapi juga
dipertimbangkan manfaatnya.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan
dasar-dasar
moralitas,
bahwa
manusia
dalam
mengembangkan
IPTEK
haruslah
beradab.
Pengembangan IPTEK pada hakekatnya bertujuan demi
kesejahteraan manusia, bukan untuk kesombongan,
kecongkakan dan keserakahan.
Sila persatuan Indonesia, pengembangan IPTEK
hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme,
kebesaran bangsa sebagai bagian dari umat manusia.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
mendasari pengembangan IPTEK secara demokratis.
Setiap
ilmuan
memiliki
kebebasan
untuk
mengembangkan IPTEK.
Sila keadailan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
mengomplementasikan pengembangan IPTEK harus
menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan
manusia.
2.
Pancasila
sebagai
paradigma
pembangunan
POLEKSOSBUDHANKAM.

69

Bahwa pembangunan pada hakekatnya membangun


manusia secara lengkap, meliputi seluruh unsur hakekat
manusia monopluralis dengan kata lain membangun
martabat manusia.
3. Pancasila sebagai paradigma pengembangan bidang
politik.
Sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem
yang menjamin atas hak-hak asasi manusia. Kekuasaan
negara harus mendasarkan pada asal mula dari rakyat
untuk rakyat, oleh karena itu kekuasaan negara harus
berdasarkan kekuasaan rakyat dan bukan kekuasaan
perorangan atau kelompok. Dasar-dasar moral supaya
negara tidak berdasarkan kekuasaan, oleh karena itu para
elit politik dan penyelenggara Negara memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
4. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi.
Menurut DR. Mubyarto sistem ekonomi yang akan
dikembangkan yaitu sistem ekonomi kerakyatan yaitu
ekonomi yang humanistic yang mendasarkan pada tujuan
demi kesejahteraan rakyat secara luas. Pengembangan
ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja
melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan
seluruh bangsa. Tujuan ekonomi adalah untuk memenuhi
kebutuhan manusia, agar menusia menjadi lebih
sejahtera, dan menghindari dari pengembangan ekonomi
yang hanya mendasarkan pada persaingan bebas,
monopoli dan lainnya yang menimbulkan penderitaan
pada manusia, menimbulkan penindasan atas manusia
satu dengan lainnya.
5. Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial
budaya.
Dalam pengembangan aspek sosial budaya hendaknya
didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-

70

nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.


Dalam prinsip etika pancasila pada hakekatnya bersifat
humanistik, artinya nilai-nilai pancasila mendasarkan
pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang berbudaya.
6. Pancasila sebagai paradigma pengembangan HANKAM.
Negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara
dan bangsanya. Atas dasar pengertian itu maka
keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya
kesejahteraan warga negara. Demi tegaknya integritas
seluruh masyarakat diperlukan suatu pertahanan negara,
dimana pendukungnya adalah rakyat, aparat keamanan
negara, dan aparat penegak hukum negara. Pertahanan
dan keamanan Negara harus mendasarkan pada tujuan
demi tercapainya dan terjaminnya harkat dan martabat
manusia, terutama secara rinci terjaminnya hak-hak asas
manusia.
7. Pancasila sebagai paradigma pengembangan kehidupan
beragama.
Di beberapa wilayah negara Indonesia terjadi konflik
sosial yang bersumber pada masalah SARA, terutama
bersumber pada masalah agama. Tragedi di Ambon,
Poso, Medan, Mataram, Kupang, serta daerah lainnya
menunjukkan betapa semakin melemahnya toleransi
kehidupan beragama yang berdasarkan kemanusiaan
yang adil dan beradab. Pancasila telah memberikan
dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa
Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan
beragama di Indonesia. Tuhan menghendaki untuk hidup
saling menghormati, karena Tuhan menciptakan manusia
dari laki-laki dan perempuan yang kemudian berbangsabangsa, berkelompok untuk saling hidup damai yang

71

berkemanusiaan. Kehidupan beragama dalam negara


Indonesia dewasa ini harus dikembangkan kearah
tercapainya kehidupan bersama yang penuh toleransi,
saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang
beradab.

KULIAH XIII
PANCASILA
SEBAGAI
PARADIGMA
REFORMASI
Ketika gelombang gerakan reformasi melanda Indonesia
maka seluruh aturan main dalam wacana politik
mengalami keruntuhan terutama praktek elit politik yang
dihinggapi penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme. Para
elit politik memanfaatkan gelombang reformasi ini
meraih kekuasaan, sehingga banyak terjadi benturan
kepentingan politik. Tragedi di Indonesia antara lain
terjadi peristiwa amuk massa di Jakarta, Tangerang,
Solo, Jawa Timur serta daerah-daerah lainnya. Bahkan
tragedi pembersihan etnis terjadi diberbagai daerah
antara lain di Dili, Kupang, Ambon, Kalimantan Barat,
serta daerah-daerah lainnya.
Kondisi ekonomi semakin memprihatinkan sektor riil
sudah tidak berdaya, banyak perusahaan maupun
perbankan yang gulung tikar sehingga terjadi PHK.
Namun demikian dibalik berbagai keterpurukan bangsa
Indonesia tersebut masih tersisa satu keyakinan nilainilai yang berakar dari pandangan hidup bangsa
Indonesia yaitu nilai-nilai pancasila. Reformasi adalah
menata kehidupan bangsa dan negara dalam suatu sistem
negara
dibawah
nilai-nilai
pancasila,
bukan
menghancurkan dan membubarkan bangsa dan negara
Indonesia.

72

Gerakan Reformasi
Pada pelaksanaan GBHN 1998, bangsa Indonesia
menghadapi bencana hebat yaitu dampak krisis ekonomi
Asia terutama Asia tenggara (South West Asia) sehingga
menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah. Praktek
pemerintahan dibawah orde baru hanya membawa
kebahagiaan semu, ekonomi rakyat menjadi terpuruk,
sistem ekonomi menjadi kapitalistik, kekuasaan ekonomi
di Indonesia hanya berada pada sebagian kecil
penguasa dan konglomerat.
Terlebih lagi merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme serta penyalahgunaan kekuasaan atau
wewenang dikalangan para pejabat dan pelaksana
pemerintahan negara membawa rakyat semakin
menderita.
DPR dan MPR menjadi mandul karena sendi-sendi
demokrasi telah dijangkit penyakit nepotisme. Sistem
politik dikembangkan ke arah sistem birokratik
otoritarian atau suatu sistem korporatik. Puncak dari
keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi
nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat
yang menuntut adanya reformasi disegala bidang
terutama dibidang politik, ekonomi dan hukum. Awal
keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan
mundurnya presiden Soeharto pada tanggal 25 Mei 1998.
Gerakan reformasi dan ideologi pancasila
Reformasi banyak disalahartikan, terbukti maraknya
gerakan masyarakat, melakukan yang tidak sesuai
dengan makna reformasi misalnya pemaksaan kehendak
dengan menduduki kantor suatu instansi, memaksa untuk
mengganti pejabat, melakukan perusakan.

73

1.
2.

3.
4.

5.

Makna reformasi berasal dari kata reformation bermakna


make or become better by removing or putting right
what is bad or wrong
Oleh karena itu gerakan reformasi memiliki kondisi
syarat-syarat:
Adanya penyimpangan : korupsi, kolusi dan nepotisme
yang tidak sesuai dengan semangat pembukaan UUD
1945 serta batang tubuh UUD 1945.
Gerakan reformasi dilakukan dengan cita-cita yang jelas
(landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini adalah
pancasila. Tanpa adanya landasan ideologis tertentu
maka gerakan reformasi akan mengarah kepada
anarkisme, desintegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada
suatu kehancuran bangsa, sebagaimana yang terjadi di
Uni Sovyet dan Yugoslavia.
Gerakan reformasi dilakukan berdasar pada suatu
kerangka struktural tertentu dalam hal ini UUD sebagai
sebagai kerangka acuan reformasi.
Reformasi dilakukan kearah suatu perubahan kearah
kondisi serta keadaan yang lebih baik. Perubahan dalam
reformasi harus mengarah pada kondisi kehidupan rakyat
yang lebih baik pada bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, serta kehidupan keagamaan.
Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral sebagai
manusia yang berketuhanan Yang Mahaesa serta
terjaminnya persatuan bangsa.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Agenda yang lebih kongkret yang diperjuangkan yang
paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini
berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa setelah
peristiwa runtuhnya kekuasaan orde baru, salah satu
subsistem yang mengalami kerusakan parah adalah
bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun

74

penegakkannya
semakin
jauh
dari
nilai-nilai
kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Subsistem
hukum tampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi
kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat
imperatif bagi penyelenggara pemerintahan. Namun
hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan reformasi
tidak mungkin dilakukan secara spekulatif saja
melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber
nilai yang jelas yaitu pancasila yang menjadi dasar citacita reformasi
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Politik
Landasan aksiologis (sumber nilai) bagi sistem politik
Indonesia adalah terkandung dalam deklarasi bangsa
Indonesia yaitu pembukaan UUD 1945 alinea IV:
kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan
untuk
memajukan
kesejahteraan
umum
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia ini
dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan negara republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada ketuhanan Yang Mahaesa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh huikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam
pancasila sebagai fondasi bangunan negara yang

75

dikehendaki oleh para pendiri negara dalam


kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana
kerohanian nilai-nilai pancasila tersebut. Dalam
realisasinya baik pada masa orde lama maupun pada
masa orde baru negara mengarah pada praktek
otoritarianisme yang mengarah pada porsi kekuasaan
yang terbesar pada presiden.
Nilai demokrasi politik secara normatif dijabarkan pada
pasal-pasal UUD 1945 yaitu: pasal 1 ayat (2); pasal 2
ayat (2); pasal 5 ayat (1); dan pasal 6 ayat (2)
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Tidak terwujudnya pelembagaan proses politik yang
demokratis mengakibatkan hubungan pribadi merupakan
mekanisme utama dalam hubungan sosial, politik dan
ekonomi dalam suatu negara. Kelamahan atas sistem
hubungan kelembagaan demokratis memberikan peluang
bagi berkembangnya hubungan antara penguasa politik
dengan pengusaha. Sistem ekonomi Indonesia pada orde
baru bersifar birokratik otoritarian yang ditandai dengan
pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat
keputusan-keputusan nasional hampir seluruhnya berada
ditangan penguasa bekerjasama dengan kelompok
militer dan kaum teknorat.
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan
hanya pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai
kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam
kenyataannya
hanya
menyentuh
kesejahteraan
sekelompok kecil bahkan penguasa
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan
reformasi ekonomi yang berbaris pada ekonomi rakyat
yang
berdasarkan
nilai-nilai
pancasila
yang
mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah
sebagai berikut:

76

1. Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan


Dilakukan dengan program social safety net, yang
populer dengan program Jaringan Pengaman Sosial
(JPS)
2. Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi
Upaya ini dilakukan dengan menciptakan kondisi
kepastian usaha untuk itu pembenahan dalam sektor
perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan
merupakan jantung perekonomian
3. Transformasi struktur
Transformasi struktur ini meliputi proses perubahan dari
ekonomi ke ekonomi
modern
, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari
ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari
ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam
negri ke orientasi ekspor. Dengan sendirinya intervensi
birokrat yang ikut dalam proses ekonomi melalui
monopoli demi kepentingan pribadi harus segera
diakhiri.
Hak Asasi Manusia (HAM) diatur pada pasal 28A
sampai dengan pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945
(AMANDEMEN)
Hak-hak asasi manusia dibagi 6 macam :
a. Hak-hak asasi pribadi (Personal Right) yang meliputi
kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk
agama, kebebasan bergerak.
b. Hak-hak asasi ekonomi (Property Right) yaitu hak untuk
memiliki sesuatu, membeli, menjualnya serta
memanfaatkannya.
c. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama
dalam hukum dan pemerintahan (Right of Legal
Equality)

77

d.

Hak-hak asasi politik (Political Right) yaitu hak untuk


ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih, hak untuk
mendirikan partai politik
e. Hak-hak asasi social dan kebudayaan (Social and
Culture Right) misalnya hak untuk memilih pendidikan,
mengembangkan kebudayaan
f. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara
peradilan dan perlindungan (Procedural Right) peraturan
dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan

1.
2.
3.
4.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai


landasan kebijaksanaan pembangunan nasional
Tujuan pembangunan nasional didalam GBHN telah
digariskan yang unsurnya sebagai berikut:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata materil dan spiritual berdasarkan pancasila
Didalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat bersatu
dan berkedaulatan rakyat
Dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tentram tertib dan dinamis
Dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat tertib dan damai

78

Pancasila Sebagai Ideologi Negara


Ideologi secara praktis diartikan sebagai system dasar
seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta
sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan
oleh Negara maka ideology diartikan sebagai kesatuan
gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis
dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan
kehidupannya, baik sebagai individu, social, maupun
dalam kehidupan bernegara.
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Pancasila jika dilihat
dari nilai-nilai dasarnya, dapat dikatakan sebagai
ideologi terbuka. Dalam ideology terbuka terdapat citacita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat tetap dan
tidak berubah. Oleh kareanya ideology tersebut tidak
langsung
bersifat
operasional,
masih
harus
dieksplisitkan, dijabarkan melalui penafsiran yang sesuai
dengan konteks jaman. Pancasila sebagai ideologi
terbuka memiliki ideologi-ideologi idealitas, normative
dan realities.
Perbandingan
antara
Ideologi
Liberalisme,
Komunisme dan Pancasila
a.
Liberalisme
Jika dibandingkan dengan ideology Pancasila yang
secara khusus norma-normanya terdapat di dalam
Undang-Undang Dasar 1945, maka dapat dikatakan
bahwa hal-hal yang terdapat di dalam liberalisme
terdapat di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi
Pancasila menolak liberalisme sebagai ideology yang
bersifat absolutisasi dan determinisme.
b.
Ideologi
Komunis
Ideologi komunisme bersifat absolutisasi dan
determinisme, karena memberi perhatian yang sangat
besar kepada kolektivitas atau masyarakat, kebebasan
79

individu, hak milik pribadi tidak diberi tempat dalam


Negara komunis. Manusia dianggap sebagai sekrup
dalam sebuah kolektivitas.
c.
Ideologi
Pancasila
Pancasila sebagai Ideologi memberi kedudukan yang
seimbang kepada manusia sebagai makhluk individu dan
makhluk social. Pancasila bertitik tolak dari pandangan
bahwa secara kodrati bersifat monopluralis, yaitu
manusia yang satu tetapi dapat dilihat dari berbagai
dimensi dalam aktualisasinya.
MAKNA SILA-SILA PANCASILA
1. Arti dan Makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti
halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptanya.
Pencipta itu adalah kausa prima yang mempunyai
hubungan dengan yang diciptakannya. Manusia sebagai
makhluk yang dicipta wajib melaksanakan perintah
Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
2. Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab
Manusia ditempatkan sesuai dengan harkatnya. Hal ini
berarti bahwa manusia mempunyai derajat yang sama di
hadapan hukum. Sejalan dengan sifat universal bahwa
kemanusiaan itu dimiliki oleh semua bangsa, maka hal
itupun juga kita terapkan dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Sesuai dengan hal itu, hak kebebasan dan
kemerdekaan dijunjung tinggi.
3. Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia
Makna persatuan hakekatnya adalah satu, yang artinya
bulat, tidak terpecah. Jika persatuan Indonesia dikaitkan
dengan pengertian
modern

80

sekarang ini, maka disebut nasionalisme. Oleh karena


rasa satu yang sedemikian kuatnya, maka timbulah rasa
cinta bangsa dan tanah air.
4. Arti dan Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat
Kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Perbedaan secara umum demokrasi di barat dan di
Indonesia yaitu terletak pada permusyawarata.
Permusyawaratan diusahakan agar dapat menghasilkan
keputusan-keputusan yang diambil secara bulat.
Kebijaksaan ini merupakan suatu prinsip bahwa yang
diputuskan itu memang bermanfaat bagi kepentingan
rakyat banyak.
5. Arti dan Makna Sila Keadila Sosial Bagi Seluruh
Rakyat
Indonesia
Keadilan berarti adanya persamaan dan saling
menghargai karya orang lain. Jadi seseorang bertindak
adil apabila dia memberikan sesuatu kepada orang lain
sesuai dengan haknya. Kemakmuran yang merata bagi
seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat.
6. Pentingnya Paradigma dalam Pembangunan
Pembangunan yang sedang digalakkan memerlukan
paradigma, suatu kerangka berpikir atau suatu model
mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial
dilakukan. Pembangunan dalam perspektif Pancasila
adalah pembangunan yang sarat muatan nilai yang
berfungsi menajdi dasar pengembangan visi dan menjadi
referensi kritik terhadap pelaksanaan pembangunan.
7. Pancasila sebagai Orientasi dan Kerangka Acuan
a.
Pancasila
sebagai
Orientasi
Pembangunan
Pada saat ini Pancasila lebih banyak dihadapkan pada
tantangan berbagai varian kapitalisme daripada
komunisme
atau
sosialisme.
Ini
disebabkan

81

perkembangan kapitalisme yang bersifat global. Fungsi


Pancasila ialah memberi orientasi untuk terbentuknya
struktur kehidupan social-politik dan ekonomi yang
manusiawi, demokratis dan adil bagi seluruh rakyat.
b. Pancasila sebagai Kerangka Acuan Pembangunan
Pancasila diharapkan dapat menjadi matriks atau
kerangka referensi untuk membangun suatu model
masyarakat atau untuk memperbaharui tatanan social
budaya.
Implementasi Pancasila sebagai Paradigma dalam
Berbagai Bidang adalah :
1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pendidikan
Pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar
Pancasila. Tak seyogyanya bagi penyelesaianpenyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional
dipergunakan secara langsung system-sistem aliranaliran ajaran, teori, filsafat dan praktek pendidikan
berasal dari luar.
2. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ideologi
Pengembangan Pancasila sebagai ideologi yang
memiliki dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas
menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan
tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan
tetap mengacu kepada pencapaian tujuan nasional dan
cita-cita nasional Indonesia.
3. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Ada perkembangan baru yang menarik berhubung
dengan dasar Negara kita. Dengan kelima prinsipnya
Pancasila memang menjadi dasar yang cukup integrative
bagi kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen
dalam sejarah Indonesia modern.

82

4. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi


Pembangunan ekonomi nasional harus juga berarti
pembangunan system ekonomi yang kita anggap paling
cocok bagi bangsa Indonesia. Dalam penyusunan system
ekonomi nasional yang tangguh untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, sudah semestinya
Pancasila sebagai landasan filosofisnya.
5. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan SosialBudaya
Pancasila merupakan suatu kerangka di dalam suatu
kelompok di dalam masyarakat dapat hidup bersama,
bekerja bersama di dalam suatu dialog karya yang terus
menerus guna membangun suatu masa depan bersama
6. Pancasila sebagai Paradigma Ketahanan Sosial
Perangkat nilai pada bangsa yang satu berbeda dengan
perangkat nilai pada bangsa lain. Bagi bangsa Indonesia,
perangkat nilai itu adalah Pancasila. Kaitan Pancasila
dan ketahanan nasional adalah kaitan antara ide yang
mengakui pluralitas yang membutuhkan kebersamaan
dan realitas terintegrasinya pluralitas.
7. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum bukan hanya memperhatikan nilainilai filosofis, asas yang terkandung dalam Negara
hukum, tetapi juga mempertimbangkan realitas
penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat.
8. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Kehidupan
Beragama
Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern
yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang
menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa serta
mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan.
9. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan
Teknologi

83

Pancasila mengandung hal-hal yang penting dalam


pengembangan ilmu dan teknologi. Perkembangan
IPTEK dewasa ini dan di masa yang akan datang sangat
cepat, makin menyentuh inti hayati dan materi di satu
pihak, serta menggapai angkasa luas dan luar angkasa di
lain pihak, lagi pula memasuki dan mempengaruhi
makin dalam segala aspek kehidupan dan institusi
budaya.

Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Dan


Negara
Dasar artinya landasan atau fundasi. Jika kita melihat
orang membuat bangunan rumah yang pertama dibuat
adalah fundasi. Fundasi itu berasal dari batu kali, besi
cakar ayam dan adukan semen dengan pasir. Tujuannya
agar kuat dan kokoh sehingga dapat menahan bangunan
yang berada di atasnya. Dasar negara adalah suatu
fundasi yang terdiri dari unsur yang kuat dan kokoh
untuk mendirikan suatu negara sehingga negara nantinya
tidak runtuh dan bubar. Bagi kita dasar negara kita
adalah Pancasila yang telah terbukti mampu menjaga dan
menahan negara kita tidak runtuh dan bubar.

1. Pancasila Ideologi Terbuka


Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia
dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat
pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah,
manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang
bersumber dari kebudayaan Indonesia. Pancasila sebagai
ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia, yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan.

84

Ciri khas ideolgi terbuka adalah nilai-nilai dan


cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali
dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya
masyarakatnya sendiri. Dasarnya dari konsensus
(kesepakatan) masyarakat, tidak diciptakan oleh negara,
melainkan ditemukan dalam masyarakat sendiri. Oleh
sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua
rakyat, masyarakat dapat menemukan dirinya di
dalamnya. Ideologi terbuka bukan hanya dapat
dibenarkan melahirkan dibutuhkan. Nilai-nilai dasar
menurut pandangan negara modern bahwa negara
modern hidup dari nilai-nilai dan sikap-sikap dasarnya.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat
berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya
dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi
terbuka itu, sebenarnya terdapat dalam penjelasan umum
UUD 1945, yang menyatakan, Terutama bagi negara
baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang
tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok,
sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan
pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih
mudah
cara
membuatnya,
mengubahnya
dan
mengcabutnya.
Selanjutnya dinyatakan, Yang sangat penting
dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara ialah
semangat, semangat para penyelenggara negara,
semangat para pemimpin pemerintahan.
Pancasila berkar pada pandangan hidup bangsa
dan falsafah bangsa, sehingga memenuhi prasyarat suatu
ideologi terbuka. Sekalipun ideologi ini bersifat terbuka,
tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa
sehingga dapat memusnahkan atau meniadakan ieologi
itu sendiri, hal mana merupakan suatu yang tidak logis

85

atau nalar. Suatu ideologi sebagai rangkuman gagasangagasan dasar yang terpadu dan bulat tanpa kontradisi
atau saling bertentangan dalam aspek-aspeknya, pada
hakikatnya berupa suatu tata nilai, di mana nilai dapat
kita rumuskan sebagai hal ihwal buruk baiknya sesuatu,
yang dalam hal ini ialah apa yang dicita-citakan.
Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
Faktor yang mendorong keterbukaan ideologi Pancasila
adalah sebagai berikut:
a. Kenyataan dalam proses pembanguan nasional
dan dinamika masyarakat yang berkembang
secara cepat.
b. Kenyataan menunjukkan bahwa bangkrutnya
ideologi yang terutup dan beku cenderung
meredupkan perkembangan dirinya, seperti
bagaimana komunisme ditinggalkan oleh sebagai
besar negara-negara Eropa Timur dan Rusia.
c. Pengalaman sejarah politik masa lampau, seperti
dominasi pemerintah Orde Baru untuk
melaksanakan penataran Pedoman Penghayatan
Pengalaman Pancasila (P4), yang mana materi
penataran P4 itu sesuatu yang dirumuskan oleh
kemauan pemerintah, bukan atas keinginan dari
segenab komponen masyarakat Indonesia,
sehingga hasilnya jauh dari harapan yang
diinginkan.
d. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilainilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan
hasrat mengembangkan secara kreatif dan
dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.

86

Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila


Sekalipun Pancasila memiliki sifat keterbukaan, namun
ada batas-batas keterbukaan itu yang tidak boleh di
langgar, yaitu sebagai berikut:
a. stabilitas nasional yang dinamis,
b. larangan
terhadap
ideologi
marxisme,
Lenninisme dan komunisme.
c. Mencegah berkembangnya paham liberalisme.
d. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang
menggelisahkan kehidupan bermasyarakat.
e. Penciptaan norma-norma baru harus melalui
konsensus.

2. Pancasila Dalam perbandingan dengan


Ideologi Lain
Pancasila berbeda dengan ideologi-ideologi
tersebut, kapitalisme dan komunisme. Kedua ideologi ini
telah terlebih dahulu lahir, kemudian dituangkan dalam
hidup bernegara dan berpolitik dalam jangka waktu yang
dilalui keseluruhan proses ini bisa sampai puluhan
tahun. Manifesto komunis, misalnya diumumkan pada
tahun 1841 sebagai pernyataan ideologis dari filsafat
Marxisme. Konsep politiknya diwujudkan tahun 1917,
dalam revolusi Oktober di Rusia. Ada jarak waktu
selama 76 tahun antara ideologi dan politik. Kapitalisme,
lahir lebih dahulu, menjalani proses yang lebih panjang.
Rangkaian pemikiran falsafah menyampaikan hasil
renungan terlebih dahulu, yang kemudian diwujudkan
dalam tatanan hidup bernegara.
87

Proses yang dilalui Pancasila sedikit khusus,


pemikiran sebelum tahun 1945 secara sistematis
menguraikan secara mendalam mengenai ideologi untuk
negara yang hendak dibentuk, pemikiran mengapa kita
merdeka, tetapi belum ada wawasan terpadu mengenai
bagaimana masa depan yang hendak dibangun itu.
Pemikiran demikian baru timbul setelah para pemimpin
kita bermusyawarah secara mendalam di penghujung
Perang Dunia ke II, Ketua BPUPKI Dr. Radjiman,
mengatakan: Apa dasar negara yang hendak kita bentuk?
Pertanyaan itu dijawab dengan mencari nilai-nilai dasar
yang sama dalam kemajemukan budaya masyarakat kita.
Dengan demikian, pemerimaan Pancasila pertama-tama
dirumuskan sebagai konsesnsus (kesepakatan) politik,
yang didasarkan kepada nilai-nilai budaya (cultural)
masyarakat.

LAMPIRAN

Ideologi, Pancasila, Dan Konstitusi


Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.1
Pendahuluan
Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata
ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2)
ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti
keyakinan yang tidak ilmiah.2 Ideologi dalam arti yang
pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya
1

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar


Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
2
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta;
Kanisius, 1992), hal. 230.

88

dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial.


Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada
kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang
mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai
sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa
untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral.
Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem
berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok
sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama
ditemukan dalam negara-negara yang menganggap
penting adanya suatu ideologi negara. Disebut dalam
arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi
ideologi tersebut.3
Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang
tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan
ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran
yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau
empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan
moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiranpemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.4
3
Arti kata ideology menurut Kamus Oxford adalah (1) a set of ideas
that an economic or political system is based on; (2) a set of beliefs,
especially one held by a particular group, that influences the way people
behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt, ideologi adalah the system of
ideas and imagery through which people come to see the word and define
their needs and aspiration, dan a system of ideas, beliefs and values that
individuals and societies aspire toward. Lihat, Martin Hewitt, Welfare,
Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State,
(Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8.
4
Karl Mannheim misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang
bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan
subyektif seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl
Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik,
Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of
Knowledge, Penerjemah: F. Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius,
1998), hal. xvii.

89

Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang


dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi
dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata
nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral
tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau
ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan
Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.
Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu
negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan
ideologi terbuka.5 Ideologi tertutup adalah ajaran atau
pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuantujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang
ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh
dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai
sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran
suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan
berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang
lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat
dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman
sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir
pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah
tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan
prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal
yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak
mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki
keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi
tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.

Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti


penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat, Ibid., hal. 232-238.

90

Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak


bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit
yang harus dipropagandakan kepada masyarakat.
Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan
berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya
dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi
tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi
masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat
otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah
Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari
pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir
Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran
nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis
operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi
ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam
berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b)
ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c)
norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata,
bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d)
legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang
atas nama kaum proletar.6
Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi
terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan
penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan normanorma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan
disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang
berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang
akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori,
melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan
sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak
6

Ibid., hal. 232-233.

91

totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan


sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan
mengada dalam sistem yang demokratis.
Perkembangan Ideologi Dunia
Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan
bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx
yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada
abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi
sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa
berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada
sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti
dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap
sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan
ideologi kapitalis.
Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan
oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai
ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada
sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme
dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi,
sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik
yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hakhak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut
berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang
menekankan pada individualisme baik dari sisi politik
maupun ekonomi.
Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi
utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua
hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun
demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki
warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap
wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan
pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat.

92

Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di


Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara
Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang
memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa
Barat, Amerika Serikat, dan Asia.
Walaupun negara-negara yang menganut kedua
besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan,
namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi
tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam
perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari
sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun
1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak
mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di
bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Kebijakan-kebijakan
tersebut
kemudian
berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan
ada yang menyebutnya sebagai ideologi, yaitu negara
kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan
ideologi kapitalisme klasik.
Di sisi lain, beberapa negara komunis yang
semula sangat tertutup lambat-laun membuka diri,
terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil
dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap
hingga keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai
dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada
dekade 1990-an.
Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni
Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda
kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme.
Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai
berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan
panggung pertentangan antara kedua ideologi besar
tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu

93

premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat


dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua
alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga
kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi
kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsurunsur sosialisme dan komunisme.
Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang
perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial
dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga
dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika
kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah
libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan
krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakangerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak
individu akan muncul pada sistem yang terlalu
menonjolkan komunalisme.
Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi
Terbuka
Menurut Brian Thompson, secara sederhana
pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa
a constitution is a document which contains the rules
for the the operation of an organization7. Organisasi
dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya.
Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada
umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai
konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris
dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak
memiliki satu naskah tertulis yang disebut UndangUndang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara
7

Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative


Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.

94

ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh8 menjadi konstitusi


dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para
ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam
konteks hukum tata negara Inggris.9
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar
yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka
sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang
berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah
yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power10
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan
sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di
lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang
dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi, dan
konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur
dan dibentuk berdasarkan konstitusi.11 Pengertian
constituent power berkaitan pula dengan pengertian
hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan
hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta
paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri
merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi
bentuk-bentuk
hukum
atau
peraturan-peraturan
perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip
hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan8
Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian
Thompson tentang konstitusi Inggris, In other words the British
constitution was not made, rather it has grown. Ibid., hal. 5.
9
O. Hood Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th ed.,
(London: Sweet and Maxwell, 1987), hal. 5.
10
Lihat misalnya Brian Thompson, op. cit., hal. 5.
11
J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, vol.1, (Oxford:
Clarendon Press, 1901), hal. 151.

95

peraturan yang tingkatannya berada di bawah UndangUndang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan,
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang lebih tinggi tersebut.
Konstitusi selalu terkait dengan paham
konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan
Constitutionalism is the name given to the trust which
men repose in the power of words engrossed on
parchment to keep a government in order 12. Untuk
tujuan to keep a government in order itu diperlukan
pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika
kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan
dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur
dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul
karena
adanya
kebutuhan
untuk
merespons
perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam
kehidupan umat manusia.
Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap
sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara
modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich
sebagaimana dikutip di atas, constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized
restraints upon governmental action. Basis pokoknya
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus)
di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang
diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut negara.13 Kata kuncinya adalah
12
Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social
Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hal. 255.
13
William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and
Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: The members of a political

96

konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan


umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan
negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang
saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini
misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam
sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi
di Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan
di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Konsensus
yang
menjamin
tegaknya
konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya
dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan
(consensus), yaitu14:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama
(the general goals of society or general acceptance
of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan
negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of
institutions and procedures).
Kesepakatan
(consensus)
pertama,
yaitu
berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan
tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu
negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada
puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga
community have, bu definition, common interests which they seek to
promote or protect through the creation and use of the compulsory political
mechanisms we call the State, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968),
hal. 9.
14
Ibid., hal.12-13.

97

masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di


tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di
suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam
kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan
tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa
juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di
antara sesama warga masyarakat dalam konteks
kehidupan bernegara.
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang
dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila
yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk
mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara.
Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau
prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv)
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila
tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk
mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara,
yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan
kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan
keadilan sosial.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa
basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan
konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga
sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada
keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak

98

dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara


haruslah didasarkan atas rule of the game yang
ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk
itu adalah the rule of law yang dipelopori oleh A.V.
Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di
Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi
jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk
menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang
sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu
negara, bukan manusia atau orang.
Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah
The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan
hukum (law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap
berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of
Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat
dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di
puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar
yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah
tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita
mengenal adanya istilah constitutional state yang
merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi
modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan
sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala
sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada
konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna,
karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen
yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi
atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a)
bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang
mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar

99

organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan


antara organ-organ negara itu dengan warga negara.
Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi
dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar
mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan
institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang
hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara
berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatankesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen
konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama
untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang
dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah
dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan
undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena
itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar
memang sudah seharusnya tidak diubah semudah
mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya
mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh
menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu
kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak
boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti
yang terjadi di masa Orde Baru.
Keberadaan
Pancasila
sebagai
falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi
sebagai filosofische grondslag dan common platforms
atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan
pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan
hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi
Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah
dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam
pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan

100

Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi


alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit
kekuasaan
untuk
mengekang
kebebasan
dan
melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat
itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi
juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak
dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi
oleh masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka
adalah membuka ruang membentuk kesepakatan
masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai
dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat
kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme,
yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the
basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan
(the form of institutions and procedures). Kesepakatankesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem
yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal
maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan
melindungi baik hak-hak individu maupun hak
masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik.
Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras
baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi
yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata
seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga
demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal
dasar perekonomian bukan usaha bersama dan
kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk
berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang

101

mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik


sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga
negara lainnya.15
Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era
reformasi
mulai
dilakukan
oleh
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR
membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD
1945, yaitu:16
1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD
1945;
2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil
(dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar
betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem
presidensiil);
4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang
ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasalpasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam
melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan
secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang
15

Lihat, Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum, Demokrasi, dan Dunia


Usaha, makalah disampaikan dalam Orasi Ilmiah Wisuda XX Universitas
Sahid, Jakarta 20 September 2005.
16
Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

102

Tahunan MPR17 dari tahun 1999 hingga perubahan


keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002
bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi
Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara
komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang
Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah
membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
lembaga legislatif.18 Perubahan Kedua dilakukan dalam
sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah
wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal
memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan
yang terperinci tentang HAM.19 Perubahan Ketiga yang
ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001
meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan
bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar
lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang
Pemilihan Umum.20
17

Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi


berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang
Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
18
Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1),
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3),
Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
19

Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal


18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B,
Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E,
Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab
XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
20

Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau


menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3),
dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A,

103

Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang


Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada
Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga
negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan,
ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan
sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.21
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi
hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli
UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat
kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945
mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan
kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari
Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD
1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat
cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang
mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di
antara sesama warga masyarakat yang dalam
kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau
kemajemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat
tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga
Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan
(2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1),
(2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat
(1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal
23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2),
Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2),
(3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2),
(3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
21
Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau
penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal
6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D;
Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32
ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1),
(2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan
Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.

104

disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita


negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag
dan common platforms atau kalimatun sawa di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan
bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews disebut
sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat
dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan
kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme.
Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka
tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasardasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia.
Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk
mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi
terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang
demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan
perkembangan masyarakat.
Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa
Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan
common platforms atau kalimatun sawa. Pancasila
adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum
nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang
mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai
alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi
tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila
berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut
sebagai
norma
fundamental
negara

105

(Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori


Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak
perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai
validitas
yang
membentuk
piramida
hukum
(stufentheorie)22.
Salah
seorang
tokoh
yang
mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans
Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut
dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung.
Susunan norma menurut teori tersebut adalah:23
1. Norma
fundamental
negara
(Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom
(verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu
negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm
adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.
Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara.24
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh
Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam
22
Teori Hans Kelsen ini dapat dipelajari dalam tiga bukunya yaitu
Pure Theory of Law: Introduction to the Problematic of Legal Science; Pure
Theory of Law; dan General Theory of Law and State.
23
Ibid., hal. 37. A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu
Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan
dalam Kurun Waktu Pelita IPelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
24

Ibid.

106

suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai


staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm,
atau norma fundamental negara. Grundnorm pada
dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi
berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.25
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S.
Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan
menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia.
Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum
Indonesia adalah:26
1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan
UUD 1945).
2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap
MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3) Formell gesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis
mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan
Bupati atau Walikota.
Penempatan
Pancasila
sebagai
Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh
Notonagoro27. Pancasila dilihat sebagai cita hukum
(rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini
25

Ibid., hal. 359.

26

Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan


Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
27

Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok


Kaidah Fundamentil Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah
Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).

107

mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk


mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan
untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya
Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm
maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.28
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai
Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas
Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak
termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di
atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat
dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma
dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan
yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan
antara Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum
dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai
validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika
bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat
menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai
beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang
ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas
konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat
yang final, di mana validitas semua norma dalam tata
aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan
wujud
konstitusi
pertama
adalah
konstitusi
sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam
kondisi dipresuposisikan sebagai valid29. Presuposisi

28

Attamimi, Op Cit., hal. 309.

29

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by:


Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 115.

108

inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical


pressuposition.30
Semua norma hukum adalah milik satu tata
aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat
dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada
konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah
norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang
dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah
norma dasar dari tata aturan hukum ini.31
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua
hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas
konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam
prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini
valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum,
tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan
dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak
ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum,
khususnya norma pembuat hukum.32
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara
salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi
validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan
norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya
diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara
staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau
grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada
dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen-

30

Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second


(Revised and Enlarged) German Edition, Translated by: Max Knight,
(Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967), hal. 201
205.
31

Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 115

32

Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 116. Kelsen, Pure Theory of


Law, Op Cit., hal. 195.

109

talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau


revolusi.33
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan
dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan
bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah
karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma
hukum biasa.34 Selain itu, Kelsen juga menyatakan
bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara
keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang
efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata
hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata
hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta
hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan
digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum
yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun
dengan materi yang sama dengan tata hukum lama35.
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan
Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staatsfundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky
adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang
dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar.
Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah
konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan
selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan
staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari
konstitusi?
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam
persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas
33

Attamimi, Op Cit., hal. 359. Nawiasky, Op Cit., hal. 31 37.

34

Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 124 125. Kelsen, Pure Theory,
Op Cit., hal. 221 224.
35

Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 117.

110

dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal


1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai
Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan
didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga
menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau
pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima
asas.36
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu
adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas
dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang
lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan
maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang
dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian
ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo
Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A.
Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid
Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian
dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh
BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.37 Dokumen inilah
yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi
kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun
pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan
dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil
perumusan
BPUPKI
yang
dengan
sendirinya
merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI.
36

Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati


(peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
28 Mei 1945 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UndangUndang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 129.
37

Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.

111

Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang


dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok
pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh
Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun
Weltanschauung, maka hasil dari persidanganpersidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang
selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan
UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag
dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilainilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945
adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya
Pancasila.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya
empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1)
bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi
dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham
golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa Negara
Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia
menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk
dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.38
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masingmasing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan
filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem
38

Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam


Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan
penjelasan ini. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004),
hal. 51.

112

berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama


menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa
kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena
itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan
dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses
perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh
penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa
Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia
ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan
ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa
untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya
sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa
Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak
dibentuk
dan
diselenggarakan
dalam
rangka
melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam
wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah
disebutkan tujuan negara dan dasar negara.39
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi
latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan
negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok
pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang
dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische
grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa
Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak
hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan
UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi
bangsa Indonesia.
39

Ibid., hal. 51 52.

113

Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD


1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia?
Jika
merupakan
staats-fundamentalnorm
maka
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari
pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai
staatsfundamentalnorm
Pembukaan
UUD
1945
merupakan norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
(staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen
Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan
validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian
dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa Pokokpokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok
pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee)
yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang
tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang
tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan
pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya. Bahkan
para founding fathers juga menyadari akan
perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa
memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung).
Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan
terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam
Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa
Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan
pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari
proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang
merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah
lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu
masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan

114

rakyat, dan badan penasehat40. Status Pembukaan UUD


1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya
menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan
Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: Dengan
ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.41
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya
merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat
memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD
1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi
dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi
dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945
adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945
sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah
presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya
Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis
bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun
merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya
tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan
merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945
dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal
tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah
postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara
keseluruhan
ditetapkan
sebagai
konstitusi
(staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan
hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai
bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya
sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai
40

Kusuma, Op Cit., hal. 132 137.

41

Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.

115

standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang


lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai
prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan
posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari
konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung
di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat
menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum
Indonesia.
Jika
Pancasila
bukan
merupakan
staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar
keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang
mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17
Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku
pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena
dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai
dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945
yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia,
yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New
Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah
diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic
thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi
konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara
Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata
hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus
meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
Peran Mahkamah Konstitusi
Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan
aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara
efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan
legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu
produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak

116

memberlakukannya jika menurut organ ini produk


hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat
diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang
disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau
kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang
(judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa,
khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang
mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara
keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional
sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain.
Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki
kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang,
mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk
menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan
bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional
sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.42
George Jellinek pada akhir abad ke-19
mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial
review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah
diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun
1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan
kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan
perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan
pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan
di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang
diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah
Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di
luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering
disebut sebagai The Kelsenian Model43. Gagasan ini
42

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Op Cit. (New York:
Russell & Russell, 1961), hal 157.
43

Disebut juga dengan the centralized system of judicial review.


Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale

117

diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota


lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery)
pada tahun 1919 1920 dan diterima dalam Konstitusi
Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di
dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip
supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of
the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the
principle of the supremacy of the Parliament).
Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik
terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract
review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap
norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya
dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup
kemungkinan dilakukan pengujian a priori.44
Walaupun demikian, keberadaan lembaga
Mahkamah konstitusi secara umum merupakan
fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Hingga saat
ini baru terdapat 78 negara yang membentuk mahkamah
ini secara tersendiri.45 Negara-negara ini pada umumnya
adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari
otoritarian menjadi negara demokrasi.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan
produk dari perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24
ayat (2) UUD 194546 menyatakan: Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
University Press, 1999), hal. 225.
44
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 66, 108
dan 109.
45

Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah


Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN
dan HAN Indonesia, 2002).
46

Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.

118

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan


agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Hal ini berarti cabang kekuasaan
kehakiman merupakan satu kesatuan sistem yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi yang mencerminkan puncak kedaulatan
hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 Agustus 2003.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kemudian
diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada
tanggal 13 Agustus 2003.47 Namun lembaga Mahkamah
Konstitusi sendiri baru benar-benar terbentuk pada
tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah
jabatan sembilan hakim konstitusi pada tanggal 16
Agustus 2003.48
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk; (a) menguji
undang-undang terhadap UUD 1945; (b) memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c) memutus
pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. 49 Selain itu Mahkamah
Konstitusi juga (e) wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
47

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,


Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4316.
48

Sembilan hakim konstitusi pada MKRI yang pertama ditetapkan


berdasarkan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003, tanggal 15 Agustus
2003.
49

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junto Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

119

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,


tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945.50
Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi
sering disebut sebagai judicial review. Namun istilah ini
harus diluruskan dan diganti dengan istilah
constitutional review atau pengujian konstitusional
mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.
Per definisi, konsep constitutional review merupakan
perkembangan gagasan modern tentang sistem
pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide
negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak
asasi manusia (the protection of fundamental rights).
Dalam sistem constitutional review itu tercakup dua
tugas pokok, yaitu (a) menjamin berfungsinya sistem
demokrasi dalam hubungan peran atau interplay antara
cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; dan
(b) melindungi setiap individu warga negara dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang
merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin
dalam konstitusi.51
Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan
kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi
berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum
terbentuknya
Mahkamah
Konstitusi
dengan
50
Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, juncto Pasal 10 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
51

Asshiddiqie, Model-Model Pengujian, Op Cit., hal. 10-11.

120

kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara


dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan
yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat
mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau
terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang
melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan
ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap
pengembangan
budaya
demokrasi.
Pengaturan
kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah
berkembang sebagai bentuk the constitutionalization of
democratic politics.52 Hal ini semata-mata untuk
mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan
perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan
konsep negara hukum yang demokratis (democratische
reshtsstaat).
Kewenangan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang
Dasar
merupakan
kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of the constitution). Kewenangan ini
dilaksanakan untuk menjaga ketentuan undang-undang
agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan atau
merugikan hak konstitusional warga negara. Batu ujian
yang digunakan tentu saja adalah UUD 1945 yang terdiri
dari Pembukaan dan Pasal-pasal. Yang dijadikan alat
untuk menguji apakah suatu ketentuan undang-undang
melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar tidak hanya Pasal-Pasal,
melainkan juga cita-cita dan prinsip dasar yang terdapat
dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah
Konstitusi, berbagai permasalahan baru yang mendasar
52

Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics,


Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004, hal. 2-3, 10.

121

senantiasa muncul dalam proses penataan kehidupan


bernegara terkait dengan dasar negara Pancasila dan
perkembangan dunia yang didominasi oleh ideologi
kapitalisme. Permasalahan tersebut diantaranya adalah;
(a) hubungan ekonomi dengan wilayah hukum dan
politik; (b) kerangka institusional negara; (c) tujuan dan
peran pemerintahan; (d) akibat dan batasan intervensi
negara dalam masyarakat; dan (e) masalah kedaulatan
negara berhadapan dengan perkembangan hukum
internasional.53
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi
terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan
juga selalu melihat secara utuh UUD 1945. Dalam
putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian
dan konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu
ketentuan dalam konstitusi berdasarkan cita negara
(staatside)dan landasan filosofis (filosofische grondslag)
bangsa Indonesia. Hingga saat ini telah terdapat berbagai
putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik 54,

53

Bob Jessop, State Theory, (Cambridge: Polity Press, 1990), hal. 48.

54

Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011017/PUU-I/2003 yang mengembalikan hak politik pasif dan aktif eks anggota
PKI dan organisasi terlarang lainnya dengan menyatakan bahwa Pasal 60
huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

122

ekonomi55, dan sosial56 terkait dengan ketentuan dalam


UUD 1945 yang mengelaborasi nilai-nilai dasar
Pancasila sebagai batu ujian atas permohonan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi
secara otomatis juga berarti sebagai penjaga Pancasila
sebagai materi konstitusi dan mempertahankannya
sebagai ideologi terbuka. Mahkamah Konstitusi
mengelaborasi nilai-nilai dan prinsip dasar Pancasila
untuk menentukan apakah sesuatu ketentuan undangundang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Disamping itu, melalui pelaksanaan kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi tetap menjaga Pancasila sebagai
ideologi terbuka dengan senantiasa mempertimbangkan
perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat dan
masyarakat internasional sehingga tidak menjadi
ideologi tertutup yang dapat disalahgunakan sebagai alat
legitimasi kekuasaan belaka. Hal ini juga dapat
dilakukan dalam pelaksanaan kewenangan yang lain
terutama dalam hal sengketa kewenangan lembaga
negara, pembubaran partai politik, dan memutus usulan
DPR untuk pemberhentian Presiden dan atau Wakil
Presiden.

55

Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 002/PUUI/2003 dalam perkara permohonan konstitusionalitas Undang-Undang No.
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan UndangUndang No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena Pasal-Pasal yang diuji dan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, yaitu Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 68 merupakan
jantung dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2002.
56

Misalnya Putusan No. Perkara 011/PUU-III/2005 dalam perkara


permohonan pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

123

Penutup
Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap
bangsa Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi
bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi
negara lain, bahkan di Amerika dan Perancis, yang
semula hanya menyebutkan kata man sebagai warga
negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa
Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang
dengan sendirinya menentang diskriminasi baik
berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun
gender.
Prinsip-prinsip dasar tersebut juga dapat dilihat
dari perumusan ketentuan UUD 1945 pada Bab XA

124

tentang Hak Asasi Manusia. Seluruh ketentuan masalah


hak asasi manusia dalam UUD 1945 menyebutkan
setiap orang atau setiap warga negara yang
menunjukkan tidak ada pembedaan berdasarkan gender.
Bahkan dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
Walaupun telah ada jaminan konstitusional,
namun realitas menunjukkan bahwa diskriminasi gender
masih terjadi di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari
stereotype dan budaya patriakhi yang dominan tidak
hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan
pada saat negara-negara kawasan Asia dan Amerika
Latin sudah banyak yang pernah dipimpin oleh
perempuan, negara Eropa masih jarang, bahkan di
Amerika belum pernah sama sekali.
Berhadapan dengan realitas masih adanya
diskriminasi atas perempuan baik secara kultural
maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan jika
sekedar memberikan kesempatan yang sama kepada
perempuan dan laki-laki untuk berperan dalam berbagai
bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap tertinggal
karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh
kalah dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal
memang dominan.
Karena itulah adalah sah dan memenuhi rasa
keadilan jika terdapat kebijakan yang berupaya
mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota
khusus (affirmative action). Hal ini secara konstitusional
dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan Setiap orang berhak mendapat kemudahan

125

dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan


dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
Salah satu wujud affirmative action ini adalah
adanya persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah
tentang kuota minimal 30 persen calon anggota legislatif,
baik tingkat pusat maupun daerah, yang diusulkan oleh
partai-partai politik peserta Pemilu 2004. Hanya saja
disayangkan rumusan ketentuan mengenai hal itu, yakni
Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD57 tersebut, tidak
bersifat memaksa (imperatif) karena menggunakan kata
dapat, bukan kata wajib atau harus. Akibatnya,
para anggota lembaga legislatif, baik di tingkat pusat
maupun daerah, hasil Pemilu 2004 tidak memenuhi
keterwakilan 30 persen adalah kaum perempuan.
Terlepas dari berbagai jaminan persamaan hak
dan kemudahan dan perlakuan khusus dalam UUD 1945,
yang menentukan diakui tidaknya kesejajaran
perempuan dan laki-laki serta berperan tidaknya
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, adalah kualitas manusianya. Kalaupun
telah diberikan perlakuan khusus dan kultur sosial sudah
tidak bias gender, namun jika tidak memiliki kualitas
yang memadai, perempuan tidak akan dapat
memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan.
Kebijakan tersebut juga akan berujung sebagai penghias
bibir semata.
Maka peningkatan kualitas dan kemampuan
perempuan harus menjadi agenda bangsa secara
keseluruhan, maupun partai-partai politik, di samping
57

Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan


Lembaran Negara RI Nomor 4277.

126

perjuangan secara struktural dan kultural. Hal ini dapat


dilakukan dengan berbagai proses pendidikan dan
pelatihan serta memperluas medan pengalaman dalam
aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

127

DAFTAR PUSTAKA

Alder, John and Peter English. Constitutional and


Administrative Law. London: MacMillan
Education LTD, 1989.
Almond, Gabriel A. and G. Bingham Powell Jr.
Comparative
Politics;
A
Developmental
Approach. Little, Brown and Company Inc.,
1966.
Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand
Company, 1968.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia.
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
_______________. Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
_______________.
Model-Model
Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
Asshiddiqie, Jimly dan Mustafa Fakhry. Mahkamah
Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan
Peraturan di 78 Negara. Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar
HTN dan HAN Indonesia, 2002.
Attamimi, A. Hamid A. Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis
Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
128

Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita IPelita


IV. Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia. Jakarta, 1990.
Bahar, Saafroedin Ananda B. Kusuma, dan Nannie
Hudawati (peny.). Risalah Sidang Badan
Penyelidik
Usaha-Usaha
Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 194522
Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia, 1995.
Bogdanor, Vernon (ed). Blackwells Encyclopedia of
Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. vol.1.
Oxford: Clarendon Press, 1901.
Friedrich, Carl J. Man and His Government. New York:
McGraw-Hill, 1963.
_____________. Constitutional Government And
Democracy: Theory and Practice in Europe and
America. Fourth Edition. Massachussets-TorontoLondon: Blaisdell Publishing Company, 1967.
Hewitt, Martin. Welfare, Ideology and Need, Developing
Perspectives on the Welfare State. Maryland:
Harvester Wheatsheaf, 1992.
Jessop, Bob. State Theory. Cambridge: Polity Press,
1990.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State.
translated by: Anders Wedberg. New York:
Russell & Russell, 1961.
___________. Pure Theory Of Law. Translation from
the Second (Revised and Enlarged) German
Edition. Translated by: Max Knight. Berkeley,
Los Angeles, London: University of California
Press, 1967.

129

Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara


Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1989.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government
Forms and Performance in Thirty-Six Countries.
New Heaven and London: Yale University Press,
1999.
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.
Jakarta: Kanisius, 1992.
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap
Kaitan Pikiran dan Politik. Judul Asli: Ideology
and Utopia, An Introduction to the Sociology of
Knowledge. Penerjemah: F. Budi Hardiman.
Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan
keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun.
Phillips, O. Hood. Constitutional and Administrative
Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell, 1987.
Pildes, Richard H. The Constitutionalization of
Democratic Politics. Harvard Law Review, Vol.
118:1, 2004.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and
Administrative Law. edisi ke-3. London:
Blackstone Press Ltd., 1997.

DAFTAR PUSTAKA
130

PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH


1. Bakry, Noor M.S. (1994). Orientasi Filsafat
Pancasila. Yogyakarta: Liberty
2. Bertens (1989). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
3. Ismaun. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara
Indonesia.
4. Jacob (1999). Nilai-nilai Pancasila sebagai
Orientasi Pengembangan IPTEK. Yogyakarta:
Interskip dosen-dosen Pancasila se Indonesia
5. Kaelan (1986). Filsafat Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma
6. Kaelan (1996). Filsafat Pancasila Yuridis
Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
7. Kaelan (1998). Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
8. Kaelan (1999). Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
9. Kattsoff, Louis O. (1986). Element of Philosophy
(Terjemahan Soejono Soemargono: Filsafat).
Yogyakarta: Tiara Wancana
10. Liang Gie, The (1998). Lintasan Sejarah Ilmu.
Yogyakarta: PUBIB
11. Notonegoro (1975). Pancasila Secara Utuh
Populer. Jakarta: Pancoran Tujuh
12. Pangeran, Alhaj (1998). BMP Pendidikan
Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika
13. Soemargono, Soejono (1986). Filsafat Umum
Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahaya
14. Soeprapto, Sri (1997). Pendidikan Pancasila
Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: LP-3-UGM
15. Sutardjo (1999). Dasar Esensial Calon Sarjana
Pancasila. Jakarta: Balai Pustaka

131

16. Syafitri, Muarif Achmad (1985). Islam dan


Masalah Kengeraan. Penerbit
17. Wibisono, Koento (1999). Refleksi Kritis
Terhadap Reformasi: Suatu Tinjauan Filsafat
dalam jurnal Pancasila No 3 Tahun III Juni 1999.
Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM
18. Yamin, Muhammad). Pembahasan UndangUndang Dasar Republik Indonesia. Jakarta:
Prapanca
19.
20. Zubair A., Charris (1995). Kuliah Etika. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
ASAL MULA PANCASILA
1. A.T. Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari
Aspek Historis, FPIPS IKIP, Semarang.
2. A.T. Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa
Sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula
Pancasila, Makalah Internship Dosen-Dosen
Pancasila se Indonesia, Yogyakarta.
3. Alhaj dan Patria, 1998. BMP. Pendidikan
Pancasila. Penerbit Karunika, Jakarta 4 5.
4. Bakry Noor M, 1998, Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.
5. Dardji Darmodihardjo, 1978, Santiaji Pancasila,
Lapasila, Malang.
6. Harun Nasution, 1983. Filsafat Agama, NV
Bulan Bintang. Jakarta.
7. Kaelan, 1993, Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
8. Kaelan, 1999, Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.

132

9. Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan Mentalitet


dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta.
10. Notonagoro, 1957, Beberapa Hal Mengenai
Falsafah Pancasila Cet. 2, Pantjoran tujuh
Jakarta.
11. Soenoto, 1984, Filsafat Pancasila Pendekatan
Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya, PT.
Hanindita, Yogyakarta.
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA
1. Heuken, 1988, Ensiklopedi Populer Politik
Pembangunan Pancasila, edisi 6, Yayasan Cipta
Loka Caraka, Jakarta.
2. Kaelan, 1996, Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
3. Koentjaraningrat,
1980,
Manusia
dan
Kebudayaan Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.
4. Manuel Kasiepo, 1982, Dari kepolitikan
Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi,
dan Politik di Indonesia Era Orde Baru, Dalam
Jurnal Ilmu Politik, AIPI-LIPI, PT. Gramedia,
Jakarta.
5. Notonagoro, 1980, Beberapa Hal Mengenai
Falsafah Pancasila, Cet. 9, Pantjoran tujuh,
Jakarta.
6. Soeprapto, 1997, Pendidikan Pancasila Untuk
Perguruan Tinggi, LP.3 UGM, Jogjakarta.
7. Suhadi, 1995, Pendidikan Pancasila, Diktat
Kuliah Fakultas Filasafat, UGM. Jogjakarta.
8. Suhadi, 1998, Pendidikan Pancasila, Diktat
Kuliah, Jogjakarta.
PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD45

133

1. Kaelan, 1999, Pendidikan Pancasila Yuridis


Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
2. Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah
Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.
PELAKSANAAN PANCASILA
1. Hadi Sitia Unggul, SH, 2001, Ketetapan MPR
2001, 2000 dan perubahan I dan II UUD 1945,
Harvarindo, Jakarta.
2. Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam,
Mizan, Bandung.
3. Moh. Mahfud, 1998, Pancasila Sebagai
Paradigma Pembaharuan Tatanan Hukum, dalam
Jurnal Pancasila no. 32 Tahun II, Desember 1998,
Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
4. Notonagoro, 1971, Pancasila Secara ilmiah
Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.
5. Oxford Advanced Learner s Dictionary of
Current English*, 1980
6. Pranarka, A.M.W., 1985, SejarahPemikiran
Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
7. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 1999,
Reformasi di Indonesia dalam Perspektif Filsafat
Sejarah, dalam Jurnal Pancasila no. 3 Tahun III,
Juli 1999, Pusat Studi Pancasila UGM,
Yogyakarta.
8. Susilo Bambang Yudhoyono, 1999, Keformasi
Politik dan Keamanan (Refleksi Kritis), dalam
Jurnal Pancasila no. 3 Tahun III, Juli 1999, Pusat
Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
PANCASILA DAN
Pustaka Primer

PERMASALAHAN AKTUAL

134

1. Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amandemen


Tahap Pertama
2. Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang
Istimewa tahun 1998
3. Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang
Umum tahun 1998

Pustaka Sekunder
1. Nopirin, 1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila, Pancoran Tujuh, Jakarta, Cet 9.
2. Nopirin,1999, Nilai-nilai Pancasila sebagi
Strategi Pengembangan Ekonomi Indonesia,
Internship Dosen-Desen Pancasila Se-Indonesia,
Yogyakarta.
3. Pranarka, A.M.W., 1985, Sejarah Pemikiran
Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
4. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 1999,
Reformasi di Indonesia dalam Perspektif Filsafat
Sejarah, dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni
1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
5. Susilo Bambang Yudhoyono, 1999, Reformasi
Politik dan Keamanan (Refleksi Kritis), dalam
Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999, Pusat
Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
6. Syaidus Syakar, 1975, Pancasila pohon
Kemasyarakatan dan Kenegaraan Indonesia,
Alumni, Bandung.

135

Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok Filsafat


Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran tantang
Pancasila, CSIS, Jakarta.
Suseno, Franz, Magnis, 1987, Etika Politik : Prinsipprinsip Moral Dasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Syahrial Syarbaini. 2003. Pendidikan Pancasila Di
Perguruan Tinggi. Jakarta. Ghalia Indonesia.

136

Anda mungkin juga menyukai