Anda di halaman 1dari 27

SEORANG LAKI-LAKI DENGAN CARSINOMA

NASOFARING DALAM EKSTERNAL RADIASI

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior Bagian Radiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Endang Mahati
Esdras Ardi
Nurvita Nindita
Rr. Lydia Purna K

G6A 001 072


G6A 001 073
G6A 001 145
G6A 001 164

BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus besar dengan :


Judul

: Seorang laki-laki dengan carsinoma nasofaring dalam eksternal


radiasi

Bagian

: Radiologi

Pembimbing

: dr. Lina

Diajukan

: November 2006

Semarang, November 2006


Pembimbing

Penguji

dr. Lina

dr. Adji Suroso Sp.Rad

ii

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan .........................................................................................

ii

Daftar isi .............................................................................................................

iii

I.

Pendahuluan ...........................................................................................

II.

Tinjauan Pustaka ....................................................................................

A. Epidemiologi ....................................................................................

B. Etiologi..............................................................................................

C. Gejala Klinik.....................................................................................

D. Diagnostik.........................................................................................

E. Stadium Klinik..................................................................................

F. Pengelolaan.......................................................................................

G. Pencegahan........................................................................................

H. Prognosis...........................................................................................

10

I. Radioterapi........................................................................................

10

III.

Laporan kasus..........................................................................................

16

IV.

Pembahasan.............................................................................................

22

V.

Kesimpulan.............................................................................................

23

Daftar Pustaka.....................................................................................................

24

Lampiran ............................................................................................................

25

iii

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
paling sering ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring berada pada urutan ke-4
kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan
kanker paru.1,2
Salah satu faktor penyulit menegakkan diagnosis kanker nasofaring adalah
karena letak predileksinya yang tersembunyi. Selain itu, faktor kurangnya informasi
kepada masyarakat terhadap penyakit ini, juga menyebabkan gejala dini dari
penyakit ini tidak diketahui penderita.3,4
Disamping itu, faktor penyakitnya sendiri ketika masih dini sering tidak
menimbulkan keluhan yang mengganggu sehingga penderita tidak datang berobat,
sulitnya menegakan diagnosis dini, hasil biopsi yang sering negatif meskipun telah
dilakukan berulang kali pada daerah yang dicurigai, kurangnya kewaspadaan dokter
terhadap gejala dini dan sarana alat untuk menegakkan diagnosis dini penyakit
tersebut juga menjadi penyulit dalam menegakkan diagnosis kanker nasofaring.3,4
Tindakan operasi kurang dapat berperan pada penanganan karsinoma
nasofaring. Tindakan pembedahan hanya terbatas pada tindakan biopsi tumor primer
atau kelenjar getah bening regional pada kasus baru, residu atau kekambuhan lokal.2
Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan
untuk radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien
kanker nasofaring WHO 1,2,3 yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada
evaluasi awal, sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan
metastase. Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama
pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.2.
Pada tulisan ini dilaporkan seorang pria dengan karsinoma nasofaring WHO
dalam eksternal radiasi 12 kali.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Karsinoma Nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa
nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada fosa rosenmulleri. Anggapan ini
berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian epitel merupakan predileksi
terjadinya keganasan. Fosa rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris
atau epitel kuboid ke arah gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi
di dinding atas nasofaring (basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi
koanae), dan di sekitar tuba.4
A. Epidemiologi
Kanker Nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. Survei
departemen kesehatan menunjukkan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk per
tahun. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia 50-59 tahun, hanya 30% dari
penderita karsinoma nasofaring yang berusia di bawah 50 tahun. Sejauh yang
ditemukan, penderita paling muda delapan tahun, yang tertua 83 tahun. Walau
insidennya tinggi, kanker ini kurang populer karena tumbuh di tempat
tersembunyi dan pada stadium dini tak menimbulkan gejala yang khas, sehingga
pasien ataupun dokter tak menyadari. Ras kulit putih sangat jarang terkena
penyakit ini. Di Asia yang terbanyak adalah bangsa Cina, baik di negara asal
maupun di negara perantauan, dimana tingkat insidensi di Cina Selatan
kejadiannya 40 per 100.000 orang. Ras Melayu-Indonesia dan Malaysiatermasuk yang agak banyak terkena. Perbandingan penderita kanker nasofaring
antara lelaki : perempuan = 2,4 1.3
B. Etiologi
Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir
dapat dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein

Barr, karena pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus
Epstein Barr yang cukup tinggi.1
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini
adalah letak geografis , rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan,
kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman/parasit. Penyebab
timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya interaksi antara faktor
lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1,5
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan menggunakan bumbu masakan
tertentu, dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang terlalu panas.2 Penelitian
terdahulu menyatakan bahwa kelembaban udara sekitar merupakan faktor
predisposisi Karsinoma Nasofaring.5
C. Gejala Klinik
Pada dasarnya gejala Karsinoma Nasofaring dibagi menjadi 5 kelompok,
yaitu :
1. Gejala hidung
Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi seringkali didiagnosis
sebagai rinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Oleh karena
itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila
penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun atau rinore dengan
ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila bercampur titik-titik darah tanpa
kelainan di hidung dan sinus paranasal. Gejala lainnya dapat berupa
epistaksis ringan atau sumbatan hidung.1,5
2. Gejala telinga
Gejala telinga dapat berupa rasa penuh di telinga, berdengung atau tinitus,
serta kurang pendengaran tipe hantaran. Gangguan pendengaran terjadi bila
massa tumor menyebabkan oklusi tuba. Gangguan pendengaran ini kadang
masih dianggap ringan oleh penderita, bahkan oleh dokter karena kurang
pendengaran ini dianggap akibat sumbatan tuba oleh rinitis kronik.Gejala
telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari Karsinoma Nasofaring.

Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab
yang jelas.1,5
3. Gejala tumor leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara
limfogen dari karsinoma nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral. Khas
tumor leher pada kasus ini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoid,
dibelakang angulus mandibula, didalam m. sternokleidomastoideus, massa
tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah digerakkan. Gejala tumor leher
ini merupakan gejala yang agak lanjut dari karsinoma nasofaring,
diperkirakan hal inilah yang mendorong penderita datang berobat.1,5
4. Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan
kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata seperti nervus II, III,
IV,VI. Penderita biasanya mengeluh melihat dobel atau diplopia karena
kelumpuhan N VI. Kelumpuhan mata/optalmoplegia akibat kelumpuhan N III
dan N IV, dan apabila mengenai N II akan menimbulkan kebutaan.1,5
5. Gejala kranial/ syaraf
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan
nervi kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Pada gejala kranial
ini, sebelum terjadi kelumpuhan syaraf kranial, didahului oleh gejala subjektif
dari penderita, seperti kepala sakit, kurang rasa pada daerah hidung dan pipi,
kadang kesulitan menelan. Gejala-gejala syaraf ini meliputi:
-

Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.

Sindroma petrosfenoidal, melibatkan nervus VI, III, IV dan II, gejala yang
muncul antara lain, strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan
membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.

Parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah, karena terjadi parese
nervus V yang merupakan saraf sensorik dan motorik.

Sindroma parafaring, melibatkan nervus IX, X, XI, XII, gejala yang


ditimbulkan antara lain; hilangnya refleks muntah, disfagi, parese lidah
dan deviasi uvula ke sisi yang sehat, hipersalivasi, disfoni, afoni, disfagi,

spasme esofagus, nyeri pada faring dan laring. Pada parese nervus XI
terdapat kesukaran memutar kepala atau dagu.1,5
D. Diagnostik
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada karsinoma
nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain:
1.

Pemeriksaan

nasofaring

dengan

rinoskopi

posterior

yaitu

dengan

menggunakan kaca tenggorok dibantu 2 buah kateter karet yang dimasukkan


melalui masing-masing lubang hidung dan dikeluarkan dari mulut untuk
menarik palatum molle ke atas sehingga rongga nasofaring dapat tampak
lebih jelas.2
2.

Biopsi nasofaring
Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui
hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral
dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang berada di
hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.1

3.

Histopatologi, dengan melihat struktur histologis, maka karsinoma nasofaring


dibagi beberapa jenis sesuai dengan pembagian WHO, yaitu
WHO 1 : karsinoma sel sel skuamosa, berkeratin di dalam maupun di luar
sel. Sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang.
WHO 2 : termasuk adalah karsinoma non keratin, tumor berdiferensiasi
sedang sampai baik.

WHO 3 : karsinoma tanpa differensiasi, gambaran sel kanker paling


heterogen. Karsinoma anaplastik, clear cell carsinoma dan variasi
sel spindel.
Jenis undifferentiated dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang serupa
yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai titer antibodi terhadap virus
Epstein Barr, sedangkan jenis keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan
tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan virus tersebut.2
4.

Serologis
Pemeriksaan serologis diperkenalkan saat ini sebagai salah satu cara untuk
deteksi dini kanker nasofaring. Dengan masuknya virus ke dalam sel
manusia, badan akan membentuk suatu reaksi imunologi atau kekebalan
tubuh terhadap antigen-antigen yang ada di dalam virus. Penyelidikan reaksi
imunologi terhadap antigen virus Epstein Barr ini telah berhasil
mengindentifikasi beberapa antigen khusus yang dijumpai pada karsinoma
nasofaring.
a.

Antibodi Ig G dan Ig A terhadap Viral Capsid Antigen (VCA). Sampai saat


ini, pemeriksaan titer Ig A - VCA dianggap yang paling spesifik dan
sensitif untuk diagnosa dini kanker nasofaring. Uji ini juga dianggap
metode pilihan untuk keadaan occolt primary yaitu keadaan ditemukannya
kelainan berupa pembesaran kelenjar servikal atau destruksi dasar
tengkorak atau kelumpuhan saraf otak tanpa adanya tumor di nasofaring.

b.

Ig G anti Farly Antigen (FA). Untuk deteksi dini kanker nasofaring, uji ini
kurang sensitif jika dibandingkan dengan Ig A - VCA.

c.

Antibody Dependent Cellular Cytotoxicty (ADCC). Pemeriksaan ADCC


dapat menentukan perjalanan penyakit serta prognosis berdasarkan tinggi
rendahnya titer pada waktu diagnosis.2

5.

Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, invasi
ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh. Pemeriksaan
yang diperlukan antara lain :

Foto thorax PA
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak
diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan
kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan
untuk radiasi intrakaviter.
Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti
foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.
Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.
MRI 2,5,6
6.

Pemeriksaan neurooptalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan
sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak. Manifestasinya
tergantung dari saraf yang dikenai.2

E. Stadium klinik
Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
T = Tumor primer
T0 : tidak terdapat tumor primer.
T1 : tumor terbatas di daerah nasofaring.
T2 : tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga
hidung.
T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring
T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : tumor telah menginvasi jaringan tulang dan atau semua sinus
paranasalis.
T4 : tumor telah meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf-saraf
kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbita
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 : tidak ada metastasis ke KGB regional.

N1 : metastasis unilateral pada KGB di atas daerah supraklavicula dengan


diameter terpanjang kurang dari 6 cm.
N2 : metastasis literal pada KGB di atas daerah supraklavicula.
N3 : metastasis pada KGB
a. Diameter terpanjang lebih dari 6 cm
b. Pada daerah supraklavicula
M = Metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh.
M1 : terdapat metastasis jauh.2
5 year surv rate
Stadium I

: T1

N0

M0

76,9%

Stadium II : T2

N0

M0

56 %

Stadium III : T3

N0

M0

38,4%

N1

M0

N0,N1

M0

Tiap T

N2,N3

M0

Tiap T

Tiap N

M1

T1, T2 ,T3
Stadium IV : T4

16,4%

F. Pengelolaan
a. Pengobatan Bedah
Dilakukan operasi transpalatal maupun operasi transmaksilerparanasal,
tetapi terapi bedah ini tidak berkembang karena hasilnya kurang efektif
dibandingkan dengan tindakannya.1
Tindakan pembedahan diseksi leher radikal kadang dilakukan untuk
mengobati metastasis ke kelenjar limfe leher. Pembedahan dilakukan
terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau
timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang.1,5
b. Pengobatan dengan Sitostatika

Pengobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan


pengobatan adjuvan atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang
berhasil. Adapun kapan sebaiknya sitostatika diberikan adalah sebagai
berikut:

Stadium I / II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal.

Pada residif tumor primer

Pada stadium IV dengan residif / residu atau dengan metastasis jauh.2


Sitostatika yang diberikan pada penderita karsinoma nasofaring

adalah:

Cisplatinum 60 mg/m2 diberikan secara tetesan dalam 250 cc NaCl


0,9% hari I dan II

Bleomycin 8 mg diberikan secara intramuskular hari III dan IV

5 FU 750 mg diberikan secara tetesan dalam 250 cc dextrose 5% hari


I dan II.2
Siklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal 5 kali. Fungsi

ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan
agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk
mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin,
antiemetik dan lain-lain.2
c. Radioterapi
Radio terapi masih merupakan pengobatan utama, ditujukan pada
daerah tumor induk dan daerah perluasannya.6
G. Pencegahan
Karena penyebab Karsinoma Nasofaring belum jelas, pencegahan hanya
berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh pada timbulnya Karsinoma
Nasofaring tersebut yaitu :
1.

Penggunaan vaksin EBV pada penduduk yang tinggal di daerah resiko tinggi.1

2.

Penerangan kebiasaan hidup yang sehat, mengubah cara memasak makanan


untuk mencegah akibat yang ditimbulkan dari bahan-bahan yang berbahaya.1

H. Prognosis
Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara
signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate pada
pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang lebih tua.
Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki survival rate
lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada pasien stadium
awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik daripada stadium
lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).6
Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan
dengan menurunnnya survival rate.6
Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival
rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel
squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan
Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.5
I. RADIOTERAPI
Sebagai pengobatan pilihan pada KNF ( karsinoma nasofaring ) penanganan
radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan cara :

Radiasi Externa / teleterapi

Brachiterapi

Kombinasi radiasi dengan kemoterapi

KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke
kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang
pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya
merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.5

10

I. Radiasi kuratif
Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer
bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi
kuratif meliputi:
Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta
kelenjar getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar supraklavicula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada
tumor primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy), sehari 2x.
Apabila secara teknis tidak bisa diberikan radiasi intrakaviter oleh
karena pasien tidak mampu / menolak dilakukan tindakan brakhiterapi.
Bila setelah dosis total 60 Gy, daerah sinus paranasalis tidak bersih,
maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 70 Gy.2
II. Radiasi paliatif
Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran dan bentuk
radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat radiasi paliatif.
Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk metastase jauh, tergantung
lokasi metastase.5
III. Teknik Radiasi
Pemberian terapi radiasi harus diimbangi dengan teknik radiasi yang baik
dengan harapan mendapatkan hasil terbaik dengan efek samping radiasi
seminimal mungkin, hal ini meliputi:
a) Persiapan Pra Radioterapi
(1) Perbaikan Keadaan Umum
Mempersiapkan keadaan umum penderita sebaik mungkin dengan
mempertimbangkan waktu perluasan tumor.
(2) Dilakukan Pemeriksaan Keadaan Gigi dan Mulut
Meningkatakan Higiene dan menghilankan fokal infeksi di rongga mulut.2

11

b) Pesawat / Jenis Radiasi


Digunakan pesawat :

Tele Cobalt

Linier Akselerator Foton 4 mV/ 6 mV

Digunakan pesawat terapi tele bertenaga tinggi ( Cobalt 60; linier


akselerator

4 Mev) untuk mengurangi efek samping pada kulit serta

jaringan lain.5
c) Alat bantu
Alat bantu terdiri dari :

Sebuah penopang tengkuk, agar kepala dapat ekstensi

Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau
Thermoplast

Blok Timah hitam.2

d) Simulasi
Simulasi Dilakukan dengan :

Alat Simulator ( di RSDK )

Alat Rontgen Konvensional untuk membuat foto lokalisasi dengan


jarak fokus kulit sama dengan FSD alat radiasi.2

e) Jumlah lapangan radiasi minimal 2 (dua) lapangan

Untuk stadium I ,II lapangan radiasi Plan Paralel Lateral


Supraklavikula

Untuk Stadium III lapangan radiasi isosenter : Anterior dan Plan


Paralel Lateral Supraklavikula

Untuk Stadium IV Lapangan Radiasi tergantung


o

Bila KGB leher sangat besar, lapangan radiasi depan


belakang (D-B)

Bila KGB leher cukup kecil atau tidak memotong tumor di


leher radiasi bisa Anterior dan Plan Paralel Lateral
Supraklavikula.2

f) Batas-batas lapangan Penyinaran

12

batas atas meliputi seluruh dasar tengkorak termasuk sella tursika

batas anterior di depan choanae, mencapai setengah bagian posterior


dari palatum durum, atau menyesuaikan perluasan tumor ke depan

batas posterior di sebelah belakang meatus akustikus eksternus,


seluruh rantai sepanjang m. Sternocleidomastoideus atau sesuai
dengan lesi metastase ( diberi marker logam )

batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi
tepi atas kartilago tiroidea

Radiasi juga diberikan pada kelenjar getah bening supraklavikuler dan


leher bawah. Arah sinar diberikan dari arah anterior dengan batas
lapangan ini 0,5 cm di bawah lapangan laterolateral

Blokade diberikan untuk mengamankan medula spinalis

Apabila terdapat pembesaran kelenjar limfe dari mastoid sampai ke


supraklavicula maka diberikan radiasi dari depan ke belakang, batas
atas lapangan radiasi harus mencakup seluruh dasar tengkorak, batas
bawah pada tepi bawah klavicula (kiri dan kanan adalah 2/3 distal
klavicula). Bagian medial leher (trakea, esofagus dan medula spinalis)
harus dihindarkan dari radiasi dengan memasang blok timah pada
daerah tersebut selebar 1 cm dan tinggi minimal 6 cm.

Pengecilan lapangan radiasi dilakukan apabila tumor jauh mengecil,


dosis radiasi mencapai 40 Gy. Batas posterior menjadi di sebelah
depan meatus akustikus eksterna sehingga medula spinalis terletak di
luar lapangan radiasi. Batas bawah menjadi setinggi angulus
mandibula. Batas anterior tidak mengalami perubahan

Apabila terdapat infiltrat tumor ke dalam sinus-sinus paranasal dan


atau kavum nasi, maka lapangan radiasi sesuai dengan lapangan
radiasi untuk tumor primer ditambah dengan lapangan anterior, yang
pada pelaksanaannya menggunakan dua buah penyaringan pada
lapangan lateral kiri-kanan guna mendapatkan dosis yang homogen
pada seluruh tumor. Dosisnya adalah 2 Gy. Bola mata harus ikut serta

13

mendapat radiasi apabila terbukti didapatkan infiltrasi pada ruang


intraorbita, saraf optikus atau tulang-tulang sekitar mata.3

Untuk tumor-tumor yang terbatas pada nasofaring serta tidak


ditemukan pembesaran kelenjar leher T2/T2 No batas batas lapangan
diubah maka batas atas lebih rendah dari dasar tengkorak ( sela tursika
di luar lapangan radiasi)

IV. Dosis Radiasi


Dosis radiasi:
Dosis perfraksi yang diberikan adalah 2 Gy diberikan 5 kali dalam
seminggu

untuk tumor

primer

maupun

kelenjar. Dilanjutkan

pengecilan lapangan radiasi / blok medula spinalis. Setelah itu radiasi


dilanjutkan untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 60-70 Gy
pada tumor. Hanya kelenjar regional yang membesar yang mendapat
radiasi sampai 60 Gy atau lebih. Bila tidak ada pembesaran ini maka
radiasi efektif pada kelenjar leher dan klavicula cukup sampai 40 Gy.
Untuk tumor dengan stadium T1 N0 M0, T2 N0 M0 radiasi eksterna
diberikan dengan dosis total 54 Gy, kemudian dievaluasi dengan CTScan, bila hanya tersisa di daerah nasofaring saja, pasien diterapi
dengan brakhiterapi dengan fraksi 3 x (2x3 Gy), pagi dan sore dengan
jarak 6 jam atau dengan radiasi eksterna dengan dosis 60 Gy,
kemudian dievaluasi dengan CT-Scan bila hanya tersisa pada
nasofaring saja, pasien diistirahatkan

1-2 minggu,

kemudian

dilanjutkan dengan brakhiterapi dengan fraksi 3x (2x3 Gy), pagi dan


sore dengan jarak 6 jam.
Untuk tumor dengan T4 radiasi eksternal diberikan 70 Gy
Tetapi bila kasus semua di atas masih tersisa di sinus paranasalis, maka
radiasi eksternal diteruskan menjadi 60-70 Gy.2
Brakhiterapi pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan
dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Diberikan pada
kasus-kasus T1-T2 yang setelah dosis eksterna 54-60 Gy, istirahat 2 minggu,
kemudian baru dilakukan brakhiterapi. Dilakukan dengan cara after

14

loading. Pada penderita cukup diberi anestesi lokal. Penderita dalam keadaan
berbaring dan melalui kavum nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari
rongga mulut apakah ujung aplikator benar-benar sudah melekat pada dinding
faring. Aplikator kemudian difiksasi dengan memasukkan tampon diantara
sela-sela aplikator dengan rongga hidung. Sisanya yang berada di luar rongga
hidung juga difiksasi. Diberikan dosis sebesar 15 Gy, 1,5 cm dari sumbu
aplikator, diulangi 1 minggu kemudian dengan cara dan dosis yang sama.
Untuk meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap
jaringan sehat sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat
pemberian radiasi.2
IV. Pemantauan Radiasi
1. Pemantauan selama pelaksanaan radiasi
-

pemeriksaan klinis sekurang-kurangnya setelah 5 kali radiasi atau setiap


kali pasien mengalami keluhan baru yang timbul setelah radiasi.

catat keluhan pasien, bila perlu diberi terapi medikamentosa

periksa Hb, Leukosit, Trombosit setiap setelah 5 kali radiasi. Syarat


dilakukan radiasi : Hb > dari 10 gr %, Leukosit > dari 3000, Trombosit >
dari 80.000

2. Pemantauan setelah selesai radiasi


-

Dilakukan setiap bulan sekali selama 6 bulan kedua dan setiap 3 bulan
selama 6 bulan ketiga dan seterusnya.

Nilai keadaan umum, tanda-tanda metastasis ke hati, tulang atau paruparu

Nilai tumor primer dan kelenjar-kelenjar, ada tidaknya residu tumor /


kelenjar dilakukan paling sedikit 8 minggu setelah radiasi selesai. Harus
dibedakan antara jaringan tumor dan fibrosis pasca radiasi.2

15

BAB III
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. S

Umur

: 43 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Alamat

: Peron RT01 Rw05 Peron, Limbangan, Kendal

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Masuk RSDK : 6 November 2006


No. CM

: 5396037

II. DATA DASAR


A. Anamnesis ( 8 November 2006)

Keluhan Utama : Melanjutkan pengobatan

Riwayat Penyakit Sekarang :


o 1,5 tahun yang lalu penderita merasa gembrebeg pada telinga kiri, dan
teraba benjolan sebesar kacang kedelai di leher sebelah kiri, tidak nyeri,
warna sama dengan kulit leher.
o 8 bulan yang lalu penderita merasa benjolan di lehernya semakin besar,
disertai dengan hidung tersumbat dan suara bindeng. Penderita juga
sering mengeluh pusing.
o 4 bulan yang lalu penderita memeriksakan diri ke RSU Salatiga,
ditangani oleh ahli bedah, dilakukan biopsi dan CT scan , dari hasil biopsi
dikatakan kanker nasofaring kemudian penderita dirujuk ke RSDK.

16

o Sampai saat ini penderita sudah 33x disinar, dan hendak melanjutkan
pengobatan brakhiterapi. Keluhan benjolan masih ada, keluhan hidung
mampet (+), mimisan (-), nyeri kepala (-), melihat dobel (-), telinga
gemrebeg (+), mual (-), muntah (-), sariawan (-), buang air besar tidak ada
keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Hipertensi (-)
- Diabetes melitus (-)
- Riwayat alergi obat (-)
- Riwayat makan ikan asin sering (-), makan mie instan sering (-), makan dan
minum makanan atau minuman panas sering (+), makan makanan pedas(-).
- Riwayat merokok (+)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita bekerja sebagai wiraswasta, istri tidak bekerja, memiliki 3 anak
yang sudah mandiri.
Kesan : sosial ekonomi kurang

B. Pemeriksaan Fisik ( 8 November 2006 )


Keadaan Umum : Sadar, Komposmentis

Tanda Vital

: Tekanan Darah

: 110/80 mm Hg

Nadi

: 78x/menit

Frekuensi Napas : 24x/menit


Suhu

: afebris

Kepala

: mesosefal

Mata

: konjungtiva palpebra anemis (-), sclera ikterik (-),


diplopia (-)

Telinga

: discharge -/-, kurang pendengaran -/-, tinnitus -/+

17

Hidung

: obstruksi(+), epistaksis (-), discharge (-), terpasang


aplikator.

Rongga mulut

: tak ada kelainan

Tenggorokan

: T2-2, faring hiperemis (+)

Leher

: benjolan 4x2x2 cm keras,tak nyeri tekan sulit digerakkan


tak sakit, warna seperti sekitar di leher kiri

Dada
Jantung

: iktus kordis tak tampak

Pa : iktus kordis SIC V, 2 cm medial LCMS


Iktus kordis tak kuat angkat
Pe : konfigurasi jantung dalam batas normal
Au: BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Paru

: simetris, statis dan dinamis

Pa : stem fremitus kanan sama dengan kiri


Pe : sonor seluruh lapangan paru
Au : SD : vesikuler
ST : (-)

Abdomen

I : datar, lemas
Pa : nyeri tekan (-),hepar lien tak teraba
Pe : timpani, pekak sisi (+) N, pekak alih (-)
Au : bising usus (+) N

Genitalia Eksterna : Laki-laki dalam batas normal

Ekstremitas

Superior

Inferior

Sianosis

-/-

-/-

Oedema

-/-

-/-

Akral dingin

-/-

-/-

Capillary refill

< 2

< 2

Reflek fisiologis

Reflek patologis

18

C. Pemeriksaan Penunjang
1)

Laboratorium
a. Darah rutin ( 4 November 2006 )
Hb

: 13,20 gr/dl

Eritrosit

: 4.930.000/mm3

Lekosit

: 4300/mm

Trombosit

: 211.000/mm

Ht

: 41,6 %

MCV

: 84,4 femtoliter

MCH

: 26,8 pikogram

MCHC

: 31,8 gr/dl

Kesan : dalam batas normal


b. Kimia klinik ( 30 Oktober 2006 )
GDS

84 mg/dl

Ureum

10 mg/dl

Creatinin

0,78 mg/dl

Na

140 mmol/l

4,6 mmol/l

Cl

105mmol/l

Ca

2,32mmol/l

Kesan : dalam batas normal


2)

Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan tanpa kontras
- Tampak daerah nasofaring kanan dan kiri asimetris, daerah nasofaring kiri
relatif lebih sempit dibanding kanan.
- Tampak lesi hiperdens, batas tegas, bentuk bulat homogen, dinding tegas,
diameter ukuran 8 x 6 cm di daerah mandibula sinistra meluas kearah
cervical sinistra, tampak lesi tersebut mendesak organ sekitarnya.
Kesan :- Tampak penyempitan pada nasofaring sinistra, tak tampak destruksi
tulang.

19

- Tampak lesi hiperdens, batas tegas, homogen, diameter ukuran 8 x 6


cm di daerah mandibula sinistra yang meluas ke arah cervical
sinistra.
b. USG Abdomen
Hepar : ukuran normal, stratum parenkim homogen, tepi tajam, permukaan
rata, v. porta tak melebar, v. hepatica tak melebar, nodul tak
tampak
Vesica felea

: ukuran normal, batu (-), sludge (-), dinding tidak


menebal

Duktus biliaris

: tidak melebar

Lien

: ukuran normal, v. lienalis tidak melebar

Pancreas

: ukuran normal, kalsifikasi (-)

Ginjal kanan & kiri : ukuran normal, stratum parenkim normal, batas
kortikomeduler normal,PCS normal, batu (-)
Limfonodi paraaorta : tak membesar
Vesica urinaria

: dinding tak menebal, batu (-), masa (-)

Prostat

: normal

Kesan : tak tampak metastase pada organ intra abdomen secara sonografi.
c. X foto thoraks PA
Cor : CTR 50 %
Retrocardial space tak menyempit.
Retrosternal space tak menyempit.
Pulmo :
-

corakan bronkovaskuler normal.

tidak tampak bercak kesuraman inhomogen di kedua lapangan paru.

tidak tampak gambaran coin lesion.

kedua sinus dan diafragma baik.

tidak tampak destruksi pada tulang.

Kesan : - cor tak membesar


- pulmo tak tampak gambaran metastase, tak tampak kelainan lain

20

pada paru
3)

Pemeriksaan Patologi Anatomi


Kesan : karsinoma epidermoid berdeferensiasi moderat

D. Diagnosis
Ca nasofaring T1 N2 M0 dengan pasca eksternal radiasi XXXIII
E. Usul
1. Dilakukan brakiterapi, penderita selesai, penderita dikirim ke bagian THT
untuk dievaluasi
2. Setelah satu bulan radioterapi selesai penderita dikirim ke bagian THT dan
dikonsulkan ke bagian lain yang dianggap perlu
3. Pemantauan efek samping radiasi dan perbaikan keadaan umum
4. Pemantauan penyebaran dan perkembangan tumor

21

BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki berumur 43 tahun akan melanjutkan pengobatan. 1,5
tahun yang lalu penderita merasa gembrebeg pada telinga kiri, dan teraba benjolan
sebesar kacang kedelai di leher sebelah kiri, tidak nyeri, warna sama dengan kulit
leher, 8 bulan yang lalu penderita merasa benjolan di lehernya semakin besar,
disertai dengan hidung tersumbat dan suara bindeng. Penderita juga sering mengeluh
pusing. 4 bulan yang lalu penderita memeriksakan diri ke RSU Salatiga, ditangani
oleh ahli bedah, dilakukan biopsi dan CT scan , dari hasil biopsi dikatakan kanker
nasofaring kemudian penderita dirujuk ke RSDK. Sampai saat ini penderita sudah
33x dilakukan eksternal radiasi, dan hendak melanjutkan pengobatan brakiterapi.
Keluhan benjolan masih ada, keluhan hidung mampet (+), mimisan (-), nyeri kepala
(-), melihat dobel (-), telinga gemrebeg (+), mual (-), muntah (-), sariawan (-), buang
air besar tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan telinga kiri gembrebeg, tenggorokan T22, hiperemis, benjolan di leher 4x2x2 cm di leher kiri. Pemeriksaan laboratorium
dalam batas normal. Pemeriksaan X foto thorax pada posisi PA tidak didapatkan
gambaran metastase. Pemeriksaan USG Abdomen tidak tampak metastase dan
kelainan sonografi organ intraabdomen yang lainnya. Pemeriksaan CT-Scan
Nasofaring tanpa kontras didapatkan lesi hiperdens, batas tegas, homogen, diameter
ukuran 8 x 6 cm di daerah mandibula sinistra yang meluas ke arah cervical
sinistra. . Pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan Ca epidermoid berdiferensiasi
moderat.
Berdasarkan data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis Karsinoma
Nasofaring T1 N2 M0.
Karena hasil diagnosisnya adalah Karsinoma Nasofaring T1 N2 M0, maka
penatalaksanaan penderita ini dilakukan terapi eksternal radiasi dengan dosis 6600
cGy, fraksinasi 200 cGy, 5x/minggu. Lapangan radiasi lateral dan supraklavikula.
Dan saat ini penderita sudah mendapatkan ER sebanyak 33x dan akan melanjutkan
brakiterapi.

22

BAB V
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa
nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia.
Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak faktor yang
mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinik,
pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan studi-studi yang baru, didapatkan bahwa penderita karsinoma
nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan
kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya
mendapatkan terapi radioterapi saja.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N
editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi 5. Penerbit FKUI. Jakarta.
2001;146-50
2. Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi Radioterapi
Kanker Nasofaring.
3. De Jong Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 1997; 460-1
4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring
dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC. Jakarta 1997; 321-6.
5. Instalasi PJP SMF Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Standar
Prosedur Radiasi Karsinoma Nasofaring
6. Kuntjoro E. Panduan Kuliah Radiologi. Semarang : SMF Fakultas Kedokteran
UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai