Anda di halaman 1dari 33

Borang Portofolio

No. ID dan Nama Peserta


No. ID dan Nama Wahana
Topik
Tanggal Kasus
Nama Pasien
Tanggal Presentasi
Tempat Presentasi
Objektif Presentasi
( ) Keilmuan
( ) Diagnostik
( - ) Neonatus
Deskripsi

dr. Fuji Seprinur Hidayat


RSUD Prof. Dr. M. Ali Hanafiah SM Batusangkar
Hipertensi Heart Disease
26 Mei 2016
Ny. D
No. RM
03 Juni 2016
Pendamping
dr. Dini Indria Sari
Ruang Pertemuan RSUD Prof. Dr. M. Ali Hanafiah SM Batusangkar

( ) Keterampilan ( - ) Penyegaran
( - ) Tinjuan Pustaka
( ) Menajemen
( - ) Masalah
( - ) Istimewa
( - ) Bayi
(-) Anak (-) Remaja ()Dewasa (-) Lansia
Seorang pasien Perempuan usia 40 tahun datang ke IGD RSUD MA
Hanafiah Batusangkar dengan keluhan Sakit Kepala dan Tengkuk
Disertai dengan keluar darah dari hidung sejak 1 hari sebelum masuk
Rumah Sakit.
Tujuan
Melakukan diagnosis Hipertensi Heart Disease
Melakukan penatalaksanaan Hipertensi Heart Disease
Bahan Bahasan
(-) Tinjauan Pustaka
( - ) Riset ( ) Kasus ( - ) Audit
Cara Membahas
(-) Diskusi
() Presentasi dan Diskusi (-) email (-) Pos
Data Pasien
Nama : Ny.D
No. Reg
Nama RS
RSUD Prof Dr M.A Hanafiah SM
Terdaftar Sejak : Data Utama Untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Seorang pasien Perempuan usia 40 tahun datang ke IGD RSUD MA Hanafiah Batusangkar
dengan keluhan Sakit Kepala dan Tengkuk Disertai dengan keluar darah dari hidung sejak 1
hari sebelum masuk Rumah Sakit.
2. Riwayat Pengobatan : Tidak Jelas
3. Riwayat Penyakit Terdahulu : Hipertensi
4. Riwayat Penyaki Keluarga : Tidak jelas.
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien sehari-hari bekerja sebagai Ibu rumah tangga
6. Riwayat Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal bersama suami dan anak-anaknya.
7. Riwayat Kebiasaan : Tidak Merokok, tidak minum-minum alkohol
Daftar Pustaka
1.
Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. 984-985.
2.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. [diakses tanggal 10 Maret 2016].
Dikutip dari: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
3.
Universitas Sumatera Utara. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronis.
USU : Medan
4.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan I. [diakses tanggal 10 Maret 2016] Dikutip dari :
1

Borang Portofolio
www.tbindonesia.or.id/www.tbindonesia.or.id/
5.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011 Pedoman Penanggulangan TB di
Indonesia. [diakses tanggal 10 Maret 2016] Dikutip dari : http://www.depkes-ri-2011pedoman-penanggulangan-tb-di-indonesiapdf.html
Hasil Pembelajaran
1. Melakukan diagnosis Hipertensi Heart Disease
2. Melakukan penatalaksanaan Hipertensi Heart Disease
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif :
Seorang pasien baru masuk IGD perempuan, usia 40 tahun, tanggal 26 Mei 2016 jam
08:45 WIB dengan :
Keluhan Utama : Sakit Kepala dan Tengkuk
Riwayat Penyakit Sekarang :
Di alami Os 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Sifat sakit terus menerus dan
terasa berat, Selain itu, Os mengeluhkan sakit pada kepala sering datang pada pagi hari
setelah bangun tidur, otot dan persendian terasa pegal-pegal, badan terasa letih.
Keluhan Keluar darah dari hidung, dialami pasien dalam 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, awalnya hanya sedikit, namun pada pagi ini darah yang menetes semakin
banyak. Darah kental, saat berdarah pasien menutup lubang hidung dengan menekan
hidung dengan handuk kecil.
Dalam 1 bulan terakhir Os mengakui tidak ada gangguan nafsu makan, tidak ada
aktifitas yang berlebihan. Mual (-) Muntah (-) Buang air besar dan buang air kecil (+)
dalam batas normal, riwayat penyakit keluarga yang menderita hipertensi tidak jelas,
Riw HT (+), riw peyakit jantung (-), riw DM (-).
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Hipertensi
Riwayat pemakaian Obat :
Tidak jelas
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riw. Keluarga yang mempunyai penyakit seperti ini tidak jelas
Riwayat Kebiasaan hidup :
Tidak merokok
Objektif :
Sensorium : Compos Mentis
Tek.Darah

: 170/110 mmHg

Nadi

: 84 x/i,Regular, t/v cukup

Anemis : (-)
Ikterus : (-)
Sianosis : (-)
Edema : (-)
2

Borang Portofolio
Pernapasan : 22 x/i
Suhu

: 36.5 0C

Tinggi Badan : 160 Cm


Berat badan : 64 Kg
IMT : 25.0 (weight )
KU/KP/KG : Sedang/Sedang/baik
Status Generalisata :
Kepala

: Mata: Konj. palp. inf. pucat (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), RC (+)/(+),
Pupil isokor 2.5 mm
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), tampak darah mengalir di septum
nasii.
Telinga/Mulut: Dalam batas normal, tidak ada tampak darah mengalir pada
nasopharing.

Leher

: TVJ R-2 cmH2O, trakea medial, pembesaran KGB (-).

Thoraks

Inspeksi

: Simetris fusiformis

Palpasi

: SF, ka=ki, kesan normal

Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: SP: vesikuler
ST: Ronkhi (-), Wheezing (-)
Jantung: HR: 84x/i, regular, desah sistolik(-)

Abdomen

Inspeksi

: Simetris

Palpasi

: Soepel, Hepar tidak teraba, ginjal dan lien tidak teraba,


nyeri tekan epigastrium (-).

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Peristaltik (+) normal.

Pinggang

: Tapping pain (-)/(-)

Inguinal

: Pembesaran KGB (-)

Genitalia

: Perempuan dan tidak ada kelainan.

Extremitas sup : Akral hangat, perfusi jaringan baik, edema (-)


inf : Akral hangat, perfusi jaringan baik, edema (-)
Laboratorium
Darah Rutin (26/05/2016)
WBC
4,8 103/mm3

( N : 3,5-10 )
3

Borang Portofolio
RBC
HGB
HCT
PLT

4,10 106/mm3
12,8 g/dl
36,8 %
231 103/mm3

( N : 3,8-5,8 )
( N : 11-15 )
( N : 35-50 )
( N : 100-350 )

Gula darah (26/05/2016)


KGDR
102 mg/dl
( N : <180 )
Faal Hati (27/05/2016)
SGOT
40
( N : 25 30 )
SGPT
30
( N : 20 40 )
Faal Ginjal (27/05/2016)
Uric Acid 3,5
( N : 2,4 5,7 p )
Ureum
28
( N : < 50 )
Creatinin
0,75
( N : 0,7 1,1 )
Lipid (27/05/2016)
Cholesterol Total 211
( N : < 220 )
Cholesterol HDL 46
( N : 45 85 p )
Cholesterol LDL 142
( N : < 150 )
Trigilserida
113
( N : < 150 )
EKG (27/05/2016)
Normo sinus rytme, HR : 71 x/I, ST elevasi/depresi (-), T inverted (+) pada v3 v6,
Pmitral (-), RVH (-) LVH (-), RBBB/LBBB (-), Blok sinus (-)

Borang Portofolio

Assesment :
Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berusia 40 tahun dengan diagnosis
Hipertensi Heart Disease. Dasar diagnosis adalah dari anamnesa di dapatkan pasien mengalami
sakit kepala dan tengkuk sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Sifat sakit terus menerus
dan terasa berat,
Keluhan Keluar darah dari hidung, dialami pasien dalam 1 hari sebelum masuk rumah
sakit
Dari pemeriksan fisik di temukan keadaan pasien tampak baik, tekanan darah: 170/110
mmHg, HR : 84 x/i, regular, t/v cukup, RR : 22 x/i, Suhu : 36,5 0C, IMT : 25.0. Pada
pemeriksaan fisik Hidung tampak adanya luka disertai darah yang mengalir dari septum nasii
kanan dan kiri. Pada pemeriksaan fisik Thoraks didapatkan pada Inspeksi dada kanan dan kiri
simetris, pada Palpasi fremitus dada kanan dan kiri sama, auskultasi tidak didapatkan adanya
kelainan pada paru maupun jantung, pada Perkusi didapatkan sonor pada kedua lapangan paru.
Dari pemeriksaan penunjang darah rutin di jumpai WBC 4,8 10 3/mm3, RBC 4,10
106/mm3, HGB 12,8 g/dl, HCT 36,8 % , PLT : 231 10 3/mm3, KGDR 102 mg/dl. Kesan
didapatkan normal. Dari pemeriksaan Faal hati SGOT 40, SGPT 30 Kesan didapatkan normal.
Dari pemeriksaan Faal ginjal Uric Acid 3,5, Ureum 28, Creatinin 0,75, didapatkan kesan normal.
Dari pemeriksaan Lipid dijumpai hasil Cholesterol Total 211, Cholesterol HDL 46, Cholesterol
LDL 142, Trigilserida 113 kesan normal. Dari pemeriksaan EKG terdapat T inverted pada v3
sampai ke v6 kesan Iskemik Miocard anterolateral.
Pada pasien ini diberikan pengobatan, Tampon anterior dengan kassa basah tanpa diberi
epinefrin/adrenalin. IVFD RL selama 8 jam/kolf, Inj.Kalnex 3 x 1 amp, Inj.vit K 3 x 1 amp,
amlodipin 1 x 10 mg, candesartan 1 x 8 mg. Perlu diperhatikan

Plan :
Diagnosis Klinis :
Hipertensi Heart Disease
5

Borang Portofolio
Epitaksis
Tatalaksana :
Tampon Basah
IVFD RL selama 8 jam/kolf
Inj.Kalnex 3 x 1 amp
Inj.vit K 3 x 1 amp
Amlodipin 1 x 10 mg
Candesartan 1 x 8 mg
Pendidikan ;
Keluarga dan pasien di berikan penjelasan tentang penyakit pasien, dan rencana penatalaksaan
selanjutnya.
Follow Up :
27 Mei 2016
S: Mimisan (+) Sakit kepala (+) Sakit tengkuk (+) Muntah (-)
O: Sens: CM, TD: 170/110 mmHg, HR: 74x/I, RR: 22 x/I, T: 36,7 0C
Pemeriksaan fisik :
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-) luka pada septum nasii (+) darah (+)
Thoraks :
I : Dada simetris
P : Stem Fremitus Kesan
Ka = Ki
Normal
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A : SP : Vesikuler
ST : Ronkhi (-), Wheezing (-)
A:
Hipertensi Heart Disease
Epitaksis
Iskemik miocard
P : Terapi
Tampon Basah
IVFD RL selama 12 jam/kolf
Inj.Kalnex 3 x 1 amp
Inj. Vit K 3 x 1 amp
Amlodipin 1 x 10 mg
Candesartan 1 x 16 mg
Cefixime 2 x 100 mg
Concor 1 x 2,5 mg
6

Borang Portofolio
Anjuran : EKG ulang

28 Mei 2016
S: Mimisan (+) sudah sedikit, sakit kepala (+) sakit tengkuk (-) muntah (-)
O: Sens: CM, TD: 140/90 mmHg, HR: 78 x/I, RR: 22 x/I, T: 36,5 0C
Pemeriksaan Fisik:
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-) luka pada septum nasii (+) darah (+) minimal.
Thoraks :
I : Dada simetris
P : Stem Fremitus Kesan
Ka = Ki
Normal
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A : SP : Vesikuler
ST : Ronkhi (-), Wheezing (-)
A:
Hipertensi Heart Disease
Epitaksis
Iskemik miocard
P : Terapi
Tampon Basah
IVFD RL selama 12 jam/kolf
Inj.Kalnex 3 x 1 amp
Inj. Vit K 3 x 1 amp
Amlodipin 1 x 10 mg
Candesartan 1 x 16 mg
Cefixime 2 x 100 mg
Concor 1 x 2,5 mg
30 Mei 2016
S:
O: Sens: CM, TD: mmHg, HR: 82 x/I, RR: 22 x/I, T: 36,6 0C
7

Borang Portofolio
Pemeriksaan Fisik:
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-) luka pada septum nasii () darah ().
Thoraks :
I : Dada simetris
P : Stem Fremitus Kesan
Ka = Ki
Normal
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A : SP : Vesikuler
ST : Ronkhi (-), Wheezing (-)
A:
Hipertensi Heart Disease
Epitaksis
Iskemik miocard
P : Terapi
Tampon Basah
IVFD RL selama 12 jam/kolf
Inj.Kalnex 3 x 1 amp
Inj. Vit K 3 x 1 amp
Amlodipin 1 x 10 mg
Candesartan 1 x 16 mg
Cefixime 2 x 100 mg
Concor 1 x 2,5 mg
Anjuran : Pasien Kontrol Hipertensi ke Poli Penyakit Dalam.

Borang Portofolio

TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS
1. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab

kematian

kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian

kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa

tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.


Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen
Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari
jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15
49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang
penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini
Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan China.
2. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex.
3. PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang
primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam
paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
9

Borang Portofolio
peradangan saluran

getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan

tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis


regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
i. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
ii. Meninggal
B. TUBERKULOSIS POST-PRIMER
10

Borang Portofolio
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis postprimer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama
yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti
salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih
keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya
dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin
pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
4. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru).
11

Borang Portofolio
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
ii.

positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

iii.

kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif


Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif

b. Tuberkulosis Paru BTA (-)


i.

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran


klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta

ii.

tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

iii.

M.tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

2. Berdasarkan Tipe Penderita


Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus
dipikirkan beberapa kemungkinan
1. Infeksi sekunder
2. Infeksi jamur
3. TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)

12

Borang Portofolio
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan

di suatu

kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita


pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti
2 minggu

atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya

penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.


e. Kasus Gagal
1. Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
2. Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan
ataugambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
1. Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung
2. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologik
B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB
ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat
anti tuberkulosis siklus penuh.
5. DIAGNOSIS
13

Borang Portofolio
A. GAMBARAN KLINIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan

bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang

lainnya
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
a. batuk 3 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak
napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara
1. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
14

Borang Portofolio
2. Dahak Pagi ( keesokan harinya )
3. Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup
berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut
dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
a. 2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali , kemudian
c. bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif
d. bila 3 kali negatf Mikroskopik negative
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1.
2.
3.
4.

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas


Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

6. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (Kategori I) adalah 2 RHZE/4 H3R3

15

Borang Portofolio
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z)
dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE ). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid
(H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan
(4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita baru TBC Paru BTA Positif
b. Penderita TBC Paru BTA negatif, Rontgen positif
c. Penderita TBC Ekstra Paru.
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
a. Empat obat AntiTuberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
b. Dua obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 150 mg
Berat
Badan
(kg)
30-37
38-54
55-70
>71

Dosis untuk paduan OAT KDT kategori I


Tahap Intensif tiap hari
Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)

selama 16 minggu RH

2 Tablet 4KDT
3 Tablet 4KDT
4 Tablet 4KDT
5 Tablet 4KDT

(150/150)
2 Tablet 2KDT
3 Tablet 2KDT
4 Tablet 2KDT
5 Tablet 2KDT

3. Jenis obat tambahan lainnya (Kategori II) 2 RHRES/RHZE/5 H3R3E3


Pemberian kategori obat OAT ini diberikan untuk pasien
BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri
dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z), Etambutol (E) dan suntikan Streptomisin setiap hari,
lanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R),
16

Borang Portofolio

Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu


diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
4. OAT Sisipan 1 RHZE
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Berat
Badan
(kg)
30-37
38-54
55-70
>71

Dosis OAT KDT untuk Sisipan


Tahap diberikan tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 Tablet 4KDT
3 Tablet 4KDT
4 Tablet 4KDT
5 Tablet 4KDT

Dosis OAT
Nama OAT

Efek Samping

Rifampisin

Urine/cairan tubuh
berwarna merah, flu

Dosis Rekomendasi (mg/kgBB)


Harian
5
(4-6)

3x Seminggu
10
(8-12)
17

Borang Portofolio

Isoniazid

Pirazinamid

Streptomicin

Etambutol

like reaction, mual,


purpura
Peningkatan
Transaminase,
neuritis perifer,
hepatitis
Hepatotoksik,
penumpukan asam
urat
Gangguan n.VIII,
nefrotoksik,
kontraindikasi pada
ibu hamil
Neuritis optic, buta
warna merah dan
hijau, gangguan visus

10
(8-12)

10
(8-12)

25
(20-30)

35
(30-40)

15
(12-18)

15
(12-18)

15
(15-20)

30
(20-35)

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatif

: 2 RHZE / 4 R3H3

2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif


Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif
: 2 RHZ/ 4 R3H3 atau 6 RHE
3. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH
atau 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3
4. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal
menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya
H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun
Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian
dilanjutkan sesuai uji resistensi. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi,
maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3.
5. TB Paru kasus lalai berobat
18

Borang Portofolio
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan
-

OAT dilanjutkan sesuai jadwal.


Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
1) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,
pengobatan OAT STOP.
2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama.
4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan
tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama.
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.

C. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Pemantauan kemajuan hasil
pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah
(LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik
untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu specimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Pemantauan Ulang BTA
Keduanya negative = NEGATIVE
Pemeriksaan ulang BTA

2x
(sewaktu dan pagi)

19
Salah satu Positif = POSITIF

Borang Portofolio

Pemantauan Hasil Pengobatan


Tipe Pasien

Uraian

Pasien Baru

Akhir tahap Intensif

BTA (+) dgn

Hasil BTA
Negatif

Positif

pengobatan
Kategori I

Akhir bulan ke 5
atau akhir
Pengobatan

Negatif
Positif

Pasien baru
Negatif

BTA (-) dan


Ro (+) dgn

Akhir tahap Intensif

Pengobatan
Positif

Kategori I

Negatif

Pasien baru

Akhir tahap Intensif


Positif

BTA (-) dan

selama 1 bulan (28 hari). Jika


setelah sisipan masih tetap (+),
tahap lanjutan tetap diberikan
SEMBUH
GAGAL, ganti OAT Kategori 2,
mulai dari awal
Berikan tahap Lanjutan sampai
tuntas kemudian pasien
dinyatakan PENGOBATAN
LENGKAP
Ganti dengan Kategori 2 mulai
dari awal
Teruskan pengobatan dengan
tahap Lanjutan
Beri OAT sisipan selama 1 bulan
(28 hari). Jika setelah sisipan
masih tetap (+), teruskan
pengobatan tahap lanjutan.

Ro (+) dgn
Negatif

Pengobatan
Kategori I

Tindak Lanjut
Tahap Lanjutan Dimulai
Dilanjutkan dgn OAT sisipan

Akhir bulan ke 5
atau Akhir
Pengobatan

SEMBUH
Belum ada pengobatan, disebut

Positif

status kronik. Jika mungkin,


rujuk ke unit pelayanan
spesialistik.

20

Borang Portofolio

PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS


Kasus

Penjelasan
Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic

TB pada Kehamilan

dan dapat menembus barier placenta. Keadaan


ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap
pada bayi yang akan dilahirkan.

TB pada Ibu menyusui dan Bayinya

Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.


Seorang ibu menyusui yang menderita TB
harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara
terbaik untuk mencegah penularan kuman TB
kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
21

Borang Portofolio
diberikan kepada bayi tersebut
sesuai dengan berat badannya.
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi
hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB

Pasien TB dengan kontrasepsi

sebaiknya mengggunakan kontrasepsi nonhormonal, atau kontrasepsi yang mengandung


estrogen dosis tinggi.
Pemberian OAT pada pasien TB dengan
hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan Tb sangat diperlukan dapat

Pasien Tb dengan Hepatitis Akut

diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)


maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan
Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6
bulan.

Pasien TB dengan kelainan hati kronik

Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3


kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam
pengobatan, harus dihentikan. Pasien dengan
kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh
digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala / mual,

muntah [+]) OAT Stop


Bila klinis (-), Laboratorium terdapat
22

Borang Portofolio
kelainan:
Bilirubin > 2 OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (+) : OAT
stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (-)
teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid


(Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat
dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan
dosis standar pada pasien-pasien dengan
Pasien TB dengan Gagal Ginjal

gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol


diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Paduan OAT yang paling
aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan
Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat
oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis

Pasien TB dengan Diabetes Melitus

obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Pada


pasien Diabetes Mellitus sering terjadi
komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena
itu hati-hati dengan pemberian etambutol,

karena dapat memperberat kelainan tersebut.


(Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011)

23

Borang Portofolio

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS


1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahanperubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi
yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang berbahaya.
2. FAKTOR RESIKO
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan
hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul
dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat
merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi
dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan
dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah di teliti lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang merupakan protease
serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi 1

24

Borang Portofolio
antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun
bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok.
Paparan Partikel Inhalasi
Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya
asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui
sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang
merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain
environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi
tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup
bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik
adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya
perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih
rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3
tahun pertama menjadi meningkat.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran
hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan
peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara
diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi
tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor.
Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan
peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap
infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti
rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan
jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat
tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas
pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.
Komorbiditas.

25

Borang Portofolio
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan
dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive
Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi
risiko menderita PPOK.

3. PATOFISIOLOGI
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil
bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang
menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan
emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada,
mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang
nyata.
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi
yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami
metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses
ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses
remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi
dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel
goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin
dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan
pada protease dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis
PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan
26

Borang Portofolio
melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada
saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran
nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah
berhenti merokok.

Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi


silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi
saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping
pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas
perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial
dengan atau tanpa hiperkapnia.
Inflamasi Lokal dan Sistemik
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan
kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait
dengan eksaserbasi pada PPOK.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan
seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim
dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang
ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas.
Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan
peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian
memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada
subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil secret.
Tumor Necrosis Factor (TNF)- adalah sitokin pleotropik yang memiliki efek
yang bermacam-macam, seperti growth promotion, growth inhibition, angiogenesis,

27

Borang Portofolio
cytotoxicity, inflammation, dan imunomodulation yang berimplikasi terhadap beberapa
kondisi inflamasi. Sitokin ini tidak hanya diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapi juga
oleh sistim imun yang lainnya meliputi : lymphocytes, natural killer cells, mast cells dan
jaringan stromal meliputi : endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells.

4. DIAGNOSIS
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi
sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan
sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa
bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala
non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat
keparahan PPOK.
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda
fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang
bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas
yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada barelshaped, takhipneu, edema tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan.
Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi
yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering
memberikan kelemahan saluran nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada
penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang
ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu
diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya
hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan
Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis

28

Borang Portofolio
kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska
bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan
penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)


2007, dibagi atas 4 derajat :
Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP 1 / KVP < 70%; 50%
< VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas
yang dialaminya.
Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP 1 < 50% prediksi). Terjadi sesak
nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang
berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP 1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal
nafas kronik dan gagal jantung kanan.

29

Borang Portofolio
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh
sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa
diprediksi dengan VEP1
Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :
1. Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed lips breathing
2. Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
3. Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi pada gagal napas kronik.

Gejala Eksaserbasi akut :

SESAK BERTAMBAH
PRODUKSI SPUTUM BERTAMBAH

Eksaserbasi berat
Eksaserbasi sedang

PERUBAHAN WARNA SPUTUM


3 Gejala diatas
2 Gejala diatas
1 Gejala ditambah ISPA lebih dari 5 hari, demam

Eksaserbasi ringan

tanpa sebab lain, peningkatan batuk, mengi,


frekuensi nafas dan nadi meningkat.

5. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Banding PPOK Adalah :
a.Asma
b. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
c.Pneumotoraks
d. Gagal jantung kronik
30

Borang Portofolio
e.Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung.
f. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan
di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.

Adapun karakteristik dari Asma, PPOK, dan SOPT pada tabel :

(Sumber : PDPI,2010)

6. PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi PPOK eksaserbasi akut :
1. Optimalisasi penggunaan obat
a.Bronkodilator
i. Agonis 2 kerja singkat kombinasi dengan anti kolinergik per
inhalasi (nebulizer)
ii. Xantin intravena (bolus atau drip)
b.
Kortikosteroid sistemik
c.Antibiotik
i. Golongan makrolid (azitromicin,clarithomicin)
ii. Golongan quinolon
iii. Golongan sefalosporin gen.III atau IV
d.
Mukolitik
e.Ekspektoran
31

Borang Portofolio

2. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
3. Terapi nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan
pipa nasogaster.
4. Rehabilitasi fisik dan respirasi
5. Evaluasi progresivitas penyakit
6. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi.

32

Borang Portofolio
Algoritma PPOK

33

Anda mungkin juga menyukai