Orde secara harfiah dapat diartikan zaman, atau masa. Secara kontekstual, Orde lama
biasanya diartikan sebgai zaman pemerintahan presiden Soekarno, yang berlangsung sejak
tahun 1959 hingga 1965, yaitu sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai
dengan digantikannya Soekarno oleh Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1965 yang
selanjutnya dikenal sebagai Supersemar1 Pendidikan pada masa orde lama, terutama
difokuskan antara 1950-1966. Sebagaimana diketahui sesudah Konfrensi Meja Bundar pada
1949, terbentukalah Republik Indonesia serikat. Didalam RIS diatur mengenai pendidikan
dan pengajaran. Didalam UUD RIS juga diatur mengenai pendidikan Nasional.2
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di
bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan.
Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan
dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa
mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa
pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak
generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat
kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada
halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi
dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap
orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan.
Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas
demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang
1 Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 23.
2 Muhammad Rifai. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern, (Jogjakarta: Ar Ruz
Media, 2011), hal 159
1
pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak pemikir-pemikir
yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang
mendikte peserta didik.3
3 Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia, (Jogjakarta: Ar Ruz Media, 2009), hal 87
2
1) Sekolah-sekolah rendah dan sekolah-sekolah luar biasa tidak memungut uang sekolah
maupun uang alat alat pelajaran.(pasal22)
2) Di semua sekolah negeri, keculai sekolah rendah dan sekolah luar biasa murid-murid
membayar uang sekolah yang ditetapkan menurut kemampuan orangtuanya. (pasal 23)
3) Untuk pendidikan di beberapa sekolah menengah dan sekolah kepandaian , murid-murid
membayar sejumlah uang pengganti pemakaian alat-alat pengajaran.
4) Murid-murid yang tenyata pandai , tetapi tidak mampu membayar uang sekolah dan uang
alat-alat pelajaran , dapat dibebaskan dari biaya itu. Aturan tentang pembebasan biaya ini
ditentukan oleh menteri pendidikan, penagjaran dan kebudayaan.
UU tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah
No.65 tahun 1951 yang menyatakan bahwa propoinsi mempunyai wewenang dan
menyelenggarakan sekolah dasar. Agar lebih banyak memberi kesempatan belajar kepada
masyarakat, pemerintah daerah
menyelenggarakan
untuk
kursus-kursus
kemajuan
pengetahuan
umum
masyarakat,
merupakan jalan terang yang harus ditempuh bangsa Indonesia dalam usaha menuju ke
4 Muhammad Rifai. Op Cit, hal 159-163
4
kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Maka dengan diberlakukannya kembali UndangUndang Dasar 1945 yang tertuang di dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 itu adalah
langkah yang paling tepat. Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dan Undang-Undang No.12
tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, merupakan upaya
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan cita-cita nasional bangsa
Indonesia.
Dalam usaha memajukan pendidikan, telah diusahakan terus memperbanyak sekolah
agar dapat menampung terutama anak-anak usia sekolah. Untuk meningkatkan mutu
pendidikan pun telah diusahakan, seperti telah didirikannya sekolah-sekolah pilot project,
sekolah perintis, sekolah teladan, sekolah percobaan dan sebagainya. Kemudian pernah pula
keluar Instruksi Menteri Muda Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No. 1/1959 (Priyono)
dengan apa yang disebut Sapta Usaha Tama yang isinya:
1. Penertiban aparatur dan Usaha-usaha Kementerian PP dan K.
2. Menggiatkan kesenian dan olahraga.
3. Mengharuskan usaha halaman.
4. Mengharuskan penabungan.
5. Mewajibkan usaha-usaha kooperasi.
6. Mengadakan Klas Masyarakat.
7. Membentuk Regu Kerja di kalangan SLA dan Universitas.
Setelah itu keluar ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan tanggal
10 Oktober 1960, yaitu tentang lima pokok perkembangan atau yang disebut Pantja
Wardhana. Adapun isinya:
1. Perkembangan cinta Bangsa dan Tanah Air, Moral Nasional/Internasional/Keagamaan.
2. Perkembangan Inteligensi.
3. Perkembangan Emosional-Artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir dan batin.
4. Perkembangan Keprigelan (kerajinan) tangan.
5. Perkembangan Jasmani.5
5 Wasty Soemanto dan F.X. Soeyarno. Landasan Historis Pendidikan Indonesia, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983), hal 86-88
5
Seluruh kegiatan sekolah, baik yang kurikuler maupun yang ekstrakurikuler banyak
berubah dan disesuaikan dengan instruksi Menteri PP dan K tersebut, khususnya demi
tercapainya tujuan pendidikan yang dimaksudkan.6
Berdasarkan instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 2 tanggal 17
Agustus 1961, diadakan perincian yang lebih lanjut mengenai Pantja Wardhana/Hari Krida.
Untuk menyesuaikan kebijakan pendidikan dengan Manipol, diinstruksikan sebagai berikut.
1. Menegaskan Pancasila dengan Manipol sebagai pelengkapnya sebagai asas pendidikan
nasional.
2. Menetapkan Pantja Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisi prinsip-prinsip:
a. Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan.
b. Perkembangan kecerdasan.
c. Perkembangan emosional artistik atau keharusan dan keindahan lahir batin.
d. Perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan.
e. Perkembangan jasmani.
3. Menyelenggarakan hari krida atau hari kegiatan-kegiatan lapangan kebudayaan,
kesenian, olahraga, dan permainan pada tiap-tiap hari Sabtu.
Di dalam suatu uraian mengenai Pantja Wardhana sistem pendidikan, Indonesia,
Sumardi Atmaprawira merumuskan Pantja Wardhana sebagai sarana untuk membentuk
manusia sosialis Indonesia dalam rangka pelaksanaan pembangunan semesta.7
pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejsk tahun 1945 ketika bangsa Indonesi
6 Ary H. Gunawan. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal 49-50
7 Muhammad Rifai. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern, (Jogjakarta: Ar Ruz
Media, 2011), hal 178-179
6
Dalam Keputusan Presiden RI, No. 145 tahun 1965 tentang nama dan rumusan induk
sistem pendidikan nasional, tujuan ditetapkan sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan Nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun
oleh pihak swasta, dari pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan
warga negara Sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis
Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu :
(a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa; (b) Perikemanusiaan yang adil dan beradab; (c)
Kebangsaan; (d) Kerakyatan; dan (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam ManipolUsdek.10
Istilah sosialis menjadi salah satu identitas pendidikan zaman Orde Lama. Melalui
istilah tersebut, kita bisa melihat bagaimana pertarungan politik dan ideologis saat itu dalam
pemerintahan dan hal tersebut menjadikan pendidikan nasional sangat dipengaruhi oleh warna
pertarungan politik dan ideologis saat itu, yaitu antara kubu kiri-sosialis-komunis, Soekarno
sebagai kepala negaradan pemerintahan, kekuatan militer, serta kekuatan partai Islam, seperti
NU-Masyumi. Kita harus mengakui bahwa pendidikan nasional saat itu, terutama tahun 1960
menjadi keruh oleh nuansa politis saat itu.11
Kemudian dalam rangka menyesuaikan segala usaha untuk mewujudkan Manipol,
disadari bahwa pendidikan nasional merupakan sarana yang maha-penting dalam usaha
tersebut. Melalui Keputusan Presiden RI, No. 145 tahun 1965 tentang nama dan rumusan
induk sistem pendidikan nasional, ditetapkan rumusan induk sistem pendidikan nasional
seperti yang disebutkan sebelumnya. Berpangkal dari Tap MPRS No. II tahun 1960,
pendidikan haruslah difungsikan sebagai berikut.
1. Pendidikan sebagai pembina manusia Indonesia baru yang berakhlak tinggi.
2. Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan.
3. Pendidikan sebagai lembaga pengembang kebudayaan nasional.
10 Wardiman Djojonegoro. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, (Jakarta:
Depdikbud, 1996), hal 102-103
11 Muhammad Rifai. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern, (Jogjakarta: Ar
Ruz Media, 2011), hal 159
8
Tilaar menyimpulkan secara konstitusional, sistem pendidikan era ini didasarkan kepada
pengaturan-pengaturan, yaitu sebagai berikut.
1. Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 4 tahun 1950 juncto No. 12 tahun 1954.
2. Undang-Undang No. 2 tahun 1962 tentang Perguruan Tinggi.
3. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1965.
Masih ada lagi produk hukum di dalam era transisi ini yaitu Undang-Undang Perguruan
Tinggi; UU No. 22 tahun 1961, yang melalui UU ini UU No. 27 tahun 1950 Republik
Indonesia Serikat dicabut dan digantikan. Dalam rangka melaksanakan Manipol-usdek di
dalam bidang pendidikan dan pengajaran ini, dengan memerhatikan Tap MPRS No.
I/MPRS/1962 dan No. II/MPRS/ 1960, terwujudlah undang-undang tentang perguruan tinggi
ini.12
Sistem persekolahan/pendidikan
Sistem persekolahan pada masa orde lama hanya mengenal 3 tingkat :
1. Pendidikan rendah, yang terdiri dari taman kanak-kanak (1 tahun) dan sekolah dasar (6
tahun)
2. Pendidikan menengah yang terdiri dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan
sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dengan masa belajar untuk masing-masing terdiri
atas sekolah umum dan sekolah kejuruan.
3. Pendidikan tinggi selama kurun waktu 1945-1950 berkembang pesat dan terbuka lebar
bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat, tetapi karena masa perjuangan maka
perkuliahan kerap kali disela dengan perjuangan ke garis depan. Pendidikan tinggi yang
ada berbentuk universitas atau perguruan tinggi dan akademi.
Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba
terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat
mengatasi masa panca roba seperti rongrongan terhadap NKRI. Kebijakan yang diambil orde
lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi.
Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi.
12 Muhammad Rifai. Ibid, hal 180
10
Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB,
Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen
dan keterbatasan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi
mulai terjadi. Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan
pemberantasan buta huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati
pendidikan sehingga mayoritas buta huruf.13
Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1954 didirikan perguruan tinggi yang pertama
untuk pendidikan guru, yaitu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung,
Malang, dan Batusangkar. Pada tahun 1961 berdasarkan kesepakatan antara Departemen
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) dengan Departemen Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pengetahuan (PTIP) yang dibentuk pada Kabinet Kerja II tahun 1960, PTPG
dimasukkan ke dalam universitas sebagai Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
yang ditujukan untuk mendidik calon guru Sekolah Lanjutan. Sekolah Guru A untuk mendidik
calon guru Sekolah Dasar tetap dilanjutkan, sedangkan Sekolah Guru B (empat tahun)
dihapuskan.
Namun demikian, dengan alasan bahwa FKIP sebagai lembaga pendidik calon guru
dipandang tidak memenuhi harapan pihak Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan
(PD dan K), maka pada tahun 1962, Prof. Dr. Prijono (Menteri PD dan K) mendirikan Institut
Pendidikan Guru (IPG) di bawah Departemen PD dan K sebagai alternatif pengganti FKIP
yang berada di bawah Depatemen PTIP. IPG yang mendapat dukungan dari komunis ini
kepemimpinannya diberikan kepada tokoh-tokoh PGRI nonvaksentral. Akibatnya timbul
keresahan dan pertentangan keduannya. Kemudian Presiden Soekarno mengadakan
pertemuan membahas pertentangan dua lembaga pendidikan tersebut.
Sebagai hasil pertemuan tersebut pada tanggal 3 Januari 1963 kelaur Keppres. No. 3,
tahun 1963, tentang peleburan FKIP dan IPG menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) di bawah Departemen PTIP yang setara dengan Universitas dan merupakan satusatunya lembaga pendidikan guru untuk sekolah lanjutan.
13 S. Anam. Sekolah Dasar, Pergulatan Mengejar Ketertinggalan, (Solo: Wajatri, 197), hal 113-114
11