Definisi Virus
Virus ( bahasa latin yang artinya toxin atau racun) adalah suatu partikel submikroskopik (ukurannya berkisar antara 15-600 nm) yang dapat menginfeksi sel dari
suatu organisme biologis. Mengandung inti dari DNA / RNA.
Beberapa kelompok virus :
I: Double-stranded DNA (e.g. Adenoviruses, Herpesviruses, Poxviruses)
II: Single-stranded (+)sense DNA (e.g. Parvoviruses)
III: Double-stranded RNA (e.g. Reoviruses)
IV: Single-stranded (+)sense RNA (e.g. Picornaviruses, Togaviruses)
V: Single-stranded (-)sense RNA (e.g. Orthomyxoviruses, Rhabdoviruses)
VI: Single-stranded (+)sense RNA with DNA intermediate
(e.g.Retroviruses)
in life-cycle
Struktur
virus yang komplit memiliki virion, dimana asam nukleatnya dikelilingi olek
protective coat yang disebut kapsid (protein). Capsid terdiri dari protein yang di kode
oleh viral genome.
Siklus Hidup Virus
Terdiri dari 5 tahap yaitu :
1. Attachment
Attachment adalah ikatan khas diantara viral capsid proteins and specific
receptors pada permukaan sel inang. Virus akan menyerang sel inang yang spesifik,
contohnya human immunodeficiency virus (HIV) hanya menginfeksi manusia pada
sel T. karena membran protein virus(gp120) dapat berinteraksi dengan CD4 and
reseptor pada permukaan sel T.
2. Penetration
Viruse masuk ke sel inang menembus
4. Replication
Replikasi virus :
Dapat dilakukan dengan litik atau lisogenik.
Sel T
HIV Virus
5.Release
Virus dilepaskan dari sel inang melalui lisis. Enveloped viruses (e.g., HIV)
dilepaskan dari sel inangnya melalui budding. Disamping itu,virus mendapatkan
phospholipid envelope yang berisi kumpulan viral glycoproteins.
Mekanisme Sistem Imun Khusus Untuk Virus
Host Immune Response
Bagian yang paling pertama menghadapi virus adalah sistem imun alami.
Bagian ini terdiri dari berbagai sel dan mekanisme lain untuk melindungi sel inang
dari infeksi secara non spesifik. Ini berarti sistem imun alami mengenal dan merespon
patogen secara pintas, lain halnya dengan sistem imun dapatan, respon tersebut tidak
bertahan lama dalam melindungi sistem imun sel inang.
Ketika sistem imun dapatan dari suatu vertebrata dimasuki virus, sel inang
akan memproduksi antibodi spesifik yang akan mengikat virus dan akan
mempertahankan keadaan normalnya. Sistem ini disebut imunitas humoral. Dua tipe
antibodi yang penting adalah IgM(sangat efektif untuk menetralisir virus tetapi hanya
diproduksi oleh sel sistem imun dalam beberapa minggu. Anti bodi yang lainnya
adalah IgG yang diproduksi dalam waktu tak terbatas. Kehadiran IgM dalam darah
pada sel inang digunakan untuk tes infeksi akut dimana IgG mengindikasikan infeksi
yang pernah terjadi(memori). Dua tipe antibodi ini diukur ketika melakukan tes imun.
Pertahanan kedua dari vertebrata dalam melawan virus disebut cell-mediated
immunity meliputi sel imun yang dikenal dengan sel T. Sel tubuh selalu menyajikan
fragmen-fragmen kecil proteinnya ke permukaan sel. Dan jika sel T mengenali
terdapatnya fragmen viral yang asing, maka sel inang akan merusak dengan sel T
killer dan virus specific T-cells proliferate. Makrofage merupakan antigen
presentation utama.
Perlakuan diatas tidak berlaku untuk semua infeksi virus, contohnya HIV
menghindari sistem imun dengan selalu mengubah asam amino dari protein pada
permukaan virion. Virus persisten juga selalu menghindari kontrol imun dengan
pengasingan, blokade antigen presentation, resistensi sitokin, menghindari aktivitas
NK sel, menghindari sel dari apoptosis dan antigen shift.
Produksi interferon juga merupakan mekanisme yang penting dalam
pertahanan sel inang.
Cara Virus Menghindari Sistem Imun
gastrointestinal
saluran
terhadap masuknya virus, dan rusaknya kulit seperti akibat gigitan nyamuk atau
suntikan hipodermik, diperlukan untuk penyebaran melalui sawar ini. Sementara
beberapa virus dihambat oleh permukaan, lainnya mampu menyebar luas melalui
sistema limfatik dan sirkulatori. Virus masuk SSP melalui saraf perifer dan via
aliran darah. Jalur saraf perifer sangat penting dalam migrasi dan disseminasi virus
rabies, herpes simplex dan varicella oster. Namun infeksi kebanyakan virus pada SSP
terjadi akibat viremia. Pada viremia yang hebat, virus mencapai parenkhima otak
walau sawar darah otak dibentuk oleh sel endotel. Virus bisa masuk melalui sel
endotel dan mungkin menyerang dan menginfeksinya. Bila partikel telah masuk
SSP, mereka harus mendapatkan sel yang bisa dipengaruhi
infeksi. Tidak semua jenis sel SSP terancam oleh virus bersangkutan dan progresi
penyakit akan terhenti kecuali bila virus menemukan reseptor sel sesuai.
Terbentuknya kelainan neurologis klinis tergantung pengaruh virus pada sel
yang dimasukinya.
Herpes simplex
protein seluler yang menyebabkan sel segera mati. Virus lainnya mungkin berakibat
sedikit perubahan pada metabolisme seluler esensial, akan tetapi menyebabkan
perubahan metabolisme fungsional, seperti produksi enzim dan transmiter neural,
menyebabkan kelainan utama fungsi faal saraf khas. Tapi virus lainnya mungkin
bertahan untuk
bukti adanya
kelainan. Masa laten yang panjang ini paling umum tampak pada virus DNA dan
berkaitan dengan infeksi kronik seperti panensefalitis sklerosing subakuta akibat
virus campak dan
leukoensefalopati
papovavirus.
Variasi
luas
viral
keterancaman populasi sel SSP terhadap berbagai virus. Keberagaman yang luas dari
spesialisasi dan
menjelaskan
keterancaman yang khas kelompok sel saraf dan glia tertentu terhadap virus
tertentu. Misalnya virus rabies mengenai
terhadap saraf
saraf
sistema limbik
namun
tidak
selektif menyerang
oligodendrosit, dan virus herpes memiliki predileksi pada lobus temporal namun
dapat dengan baik menyerang berbagai jenis sel. Kebanyakan infeksi virus pada SSP
disebabkan oleh virus yang umum dijumpai
biasanya
berkaitan
pada populasi
umumnya
dan
virus yang umum menyebabkan infeksi SSP terbentuk secara luas. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa infeksi SSP tidaklah secara sederhana diakibatkan agen virus,
namun lebih oleh karena rusaknya mekanisme pertahanan tubuh normal. Kemajuan
besar dari pengobatan telah mengembangkan strain viral yang telah dibunuh dan
dilumpuhkan untuk immunisasi terhadap polio, mumps dan campak.
Meningitis viral, infeksi viral paling umum pada SSP, tampil sebagai
meningitis
aseptik.
Meningitis enteroviral
prodroma, perjalanannya
terkadang
dapat
menyerupai
mulai
PSA
mendadak
ringan,
tanpa
dan mungkin
lesi mukosal
sistemik
mematikan pada neonatus. Ensefalitis HSV-2 diffusa bisa sebagai begian kelainan
ini. Herpes neonatal dikira ditularkan dari
lahir
yang terinfeksi.
Karakteristik penting HSV-1 adalah kemampuan untuk tetap pada keadaan
'tidur', keadaan asimtomatik untuk jangka lama pada badan sel neuron sensori
mencapai
sekitar
retrograd mencapai akson yang mencatu daerah lesi oral. Virus yang 'tidur' dapat
diaktifkan berbagai stimuli seperti demam, cedera, sinar ultraviolet, dan trauma pada
saraf trigeminal; membentuk lesi kulit yang baru, diduga melalui perjalanan
sentrifugal partikel virus menuruni akson sensori. Tidak ada partikel virus atau
antigen viral dapat ditemukan pada ganglia trigeminal selama keadaan 'tidur'. Virus
DNA karenanya dikatakan tidak memproduksi partikel viral dan tanpa merusak
integritas seluler metabolisme neuron sensori. Setelah
HSV-1 adalah
penyebab
sporadik di USA. Bila tidak diobati, angka kematian sekitar 70 %, jauh lebih tinggi
dari kebanyakan ensefalitides. Hubungan ensefalitis HSV-1 dengan infeksi herpes
oral tidak jelas. Walau beberapa pasien memiliki lesi oral aktif pada saat onset
ensefalitis, ini umumnya tidak ada artinya. Riwayat lesi herpetik dijumpai pada
25 %
infeksi SSP adalah invasi HSV-1 pada epitel nasal dan migrasi sepanjang akson
dari
pada lobus frontal inferior dan temporal, yaitu invasi dan diikuti lisis sel glial dan
neuronal.
Sekitar 90 % pasien memperlihatkan tanda neuro-logis
segera yang
massa intrakranial dan menyebabkan peninggikan TIK serta herniasi unkal. Koma,
disertai
dengan terlambatnya
terapi
antiviral
dan mononuklir dengan yang terakhir lebih dominan. Sel darah merah, sangat
jarang pada
ensefalitides
lain, sering
diagnostik. Protein cukup meninggi dan glukosa normal. Biakan HSV jarang positif
dari CSS dan perlu waktu lama bila akan dipakai sebagai nilai diagnostik awal.
Tes untuk melacak antigen HSV juga perlu waktu, dan tidak terbukti cukup
sensitif atau spesifik. Terakhir ini, tehnik reaksi rantai polimerase untuk mengenal
DNA HSV pada CSS terbukti merupakan tes yang cepat dan sensitif. Tes ini
menjanjikan sebagai tes diagnostik terpilih.
EEG
mungkin
membantu
dalam
memastikan
proses
fokal
engan
penguatan
pada hari
ketiga
kontras memperlihatkan
daerah dengan penguatan abnormal sekitar daerah berdensitas rendah. MRI nyata
lebih
ikatan pada polimerase DNA viral setelah fosforilasi pada sel yang terinfeksi.
Terapi harus dimulai segera setelah diagnosis, karena keterlambatan dimulainya
terapi secara drastis mempengaruhi kematian pasien. Dosis 30mg/kg per hari
diberikan dengan selang 8 jam untuk paling tidak 10 hari. Kematian keseluruhan
tampak berkurang hingga 19-28 % dengan terapi asiklovir, nyata kurang dari terapi
vidarabin yang sekitar 50 %. Faktor yang sama pentingnya dalam menindak pasien
ini
adalah pengontrolan
peninggian
TIK sehubungan
dengan
edema
mengandung nukleolid
RNA
membantu
Lentivirus tidak
mempunyai
dari
mekanisme pertahanan
potensi teratogenik
tubuh.
menjelaskan kemampuan tropisme dan lisis oleh HIV terhadap sel ini.
Monosit, makrofag, dan mikroglia juga mengandung
AIDS
ada
dua jenis;
immunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya immunitas sel-T, dan infeksi HIV
langsung yang tampil
sebagai
meningitis atau
manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
INFEKSI OPPORTUNIS PADA SSP PADA AIDS
Infeksi opportunis atas sistema saraf pada AIDS bisa oleh patogen viral
atau nonviral. Sindroma viral tersering adalah ensefalitis subakuta disebabkan sitomegalovirus. Kelainan berikut, terjadi dengan frekuensi makin
jarang
menurut
nonviral
tersering
adalah
meningo-ensefalitis Toxoplasma
gondii. Infeksi fungal mening dan/atau otak sering juga terjadi. Paling sering, dalam
frekuensi makin rendah sesuai urutannya,
yang terinfeksi
melalui
sawar
darah
otak.
Sekitar
30 % pasien
asimtomatis seropositif HIV dengan biakan CSS positif HIV, kemungkinan virus
menembus SSP pada awal perjalanan infeksi dan sering berada dalam keadaan
asimtomatis. Saat ini sudah jelas bahwa infeksi HIV primer berakibat spektrum
dari kelainan klinis SSP,meningitis, dan suatu demensia progresif yang disebut
kompleks demensia AIDS (ADC).
Dua jenis meningitis dapat terjadi pada infeksi HIV; sindroma febril akuta
yang serupa dengan mononukleosis dalam beberapa hari atau minggu dari munculan
HIV inisial dan meningitis aseptik disekitar saat sero-onversi. Gejala meningitis
berkaitan dengan pleo-sitosis CSS mononuklir dan biakan CSS positif HIV pada 50
% pasien. Kedua keadaan ini self limited.
ADC
khas
tampilan motor, dan tingkah laku.Gejala biasanya berupa kesulitan konsentrasi dan
memori menuju demensia yang jelas dengan tingkat aurosal intak.
bergantian cepat
frontal biasanya
yang
melambat, hiperrefleksia,
prominen
dan
dengan
pada tingkat
tanda-tanda
Gerakan
lepasan
imbalans, ataksia,
dan
multinuklir.
(leukoensefalo-pati),
Demielinasi dengan
seperti
juga
mielopati
dan sel
juga
umum jumpai.
Tiadanya infeksi sitolitik dari sel saraf, oligodendrosit, dan astrosit memusatkan
perhatian
ditampilkan pencitra ini; MRIjelas lebih sensitif dari CT scan. Atrofi otak sering
merupakan temuan lanjut.
PEMERIKSAAN DAN TERAPI INFEKSI HIV
Saat ini tindakan pemeriksaan untuk kegunaan klinis ditekankan pada
pelacakan antibodi HIV pada pasien dan darah donor. Tes skrining ini adalah
'enzyme
linked immunosorbant
assay (ELISA)',
sensitifitasnya
99.7 % dan
seropositif antibodi
disebut
'window period'
dan biasanya antara 6-8 minggu. Karenanya risiko donor darah seronegatif
terinfeksi serta dapat menularkan ada. Penelitian terakhir memperlihatkan risiko
itu sangat kecil; hanya satu biakan positif HIV dijumpai pada 61.000 unit darah
segar yang ELISA seronegatif. Beberapa tes yang lebih baru, yang melacak antigen
HIV, tes penangkapan antigen, dan yang lain melacak asam nukleik HIV, metoda
reaksi rantai polimerase. Kegunaan tes-tes ini dalam skrining belum jelas.
berat
terbatasnya dosis.
dengan
Agen lain,
efek
dan
2',3'-
dideoksinosin (ddI), dicoba untuk mengobati pasien dengan infeksi HIV. Terapi
paling efektif untuk infeksi HIV mungkin kombinasi AZT dan terapi lain: ddC, ddI,
interferon a, serta asiklovirinisial. Trial