2.2.1 Definisi Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit kronis, berulang, ditandai dengan
adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat, dan distribusinya pada tempat-tempat
tertentu dari tubuh (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004; Leung, 2003; Williams, 2005)
ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas, disertai edema, vesikel, dan basah pada
stadium akut, dan penebalan kulit (likenifikasi) pada stadium kronis (Williams, 2005).
Patofisiologi
Patofisiologi dermatitis atopik adalah adanya disfungsi imun yang menyebabkan
terbentuknya IgE, dan gangguan barrier epitel kulit. Teori hipotesis yang pertama disebut juga
teori imun hipotesis, menyatakan pada individu yang sehat, terdapat keseimbangan antara 2
subpopulasi sel T yang utama yaitu Th1 dan Th2. Tetapi pada individu tertentu terdapat
ketidakseimbangan dimana terdapat dominansi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin
yaitu interleukin (IL) 4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM
CSF), yang menyebabkan peningkatan jumlah IgE dan menurunkan kadar interferon gamma.
Namun demikian pada dermatitis atopik yang kronis, jenis sel Th1 yang dominan. Selain kedua
sub populasi sel T tersebut, sel lain yang juga terlibat dalam proses ini adalah sel Langerhans,
keratinosit, dan sel B (Krafchik, 2008). Hipotesis yang kedua melibatkan defek fungsi barier dari
stratum korneum epitel kulit pada pasien dermatitis atopik, yang memudahkan masuknya antigen
yang berakibat pada terbentuknya sitokin inflamasi. Xerosis juga diketahui berhubungan dengan
gejala pada dermatitis atopik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa terdapat kehilangan fungsi yang
kompleks akibat mutasi dari gen filaggrin (FLG)
Faktor Risiko
2.2.5.1. Genetik Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kompleks yang merupakan hasil
interaksi beberapa faktor. Beberapa gen telah diidentifikasi dapat menjelaskan beberapa kasus
namun faktor genetik bukan faktor tunggal penyebab dermatitis atopik. Peran lingkungan ikut
berperan penting, seperti dalam penelitian pada anak Jamaica yang tinggal di London memiliki
risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami dermatitis atopik dibanding anak-anak Jamaica
yang tinggal di Jamaica (Boediardja, 2004; William, 2008; Soebaryo, 2004). Transmisi dari gen
pembawa risiko atopi ini berasal dari beberapa lokus gen (Schafer, 2006). Penurunan gen risiko
atopi ini sangat kuat berasal dari gen ibu dan ditemukan bahwa terdapat peran yang potensial
dari kromosom 5q31- 33 yang terkandung dalam keluarga gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan
GMCSF yang diekspresikan oleh sel Th2 (Leung, 2003). Menurut Janeway dkk. (2001),
kromosom 11q dan 5q mempunyai peran yang penting dalam atopi, dimana gen-gen pada
kromosom ini mengkode subunit dari reseptor IgE yang memiliki afinitas tinggi. Kromosom 5
terdiri kelompok gen yang diantaranya mengkode IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13 dan
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sitokin- 20 sitokin ini sangat
penting dalam aktifitas IgE, kelangsungan hidup eosinofil, dan proliferasi sel mast. Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Moore dkk. (2004) tentang faktor prediktor perinatal terhadap
dermatitis atopik pada 6 bulan pertama kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi
memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya dermatitis atopik, dan riwayat atopi pada ibu
memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan riwayat atopi pada ayah. Riwayat dermatitis
atopik pada orangtua adalah faktor risiko penting terjadinya dermatitis atopik pada anak, dan
kejadian dermatitis atopik pada kembar monozigot lebih tinggi daripada kembar dizigot
(Boediardja, 2004; Liu dkk., 2003).
2.2.5.2. Alergen Makanan Pada awal abad ke-20, Schloss, Talbot, dan Blackfan
mempublikasikan suatu laporan kasus mengenai perbaikan klinis yang dialami oleh pasien
dermatitis atopik setelah dilakukan penghindaran terhadap makananmakanan tertentu dalam diet
mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa alergen menginduksi aktivasi sel mast yang
dimediasi IgE dan menghasilkan suatu hasil akhir berupa reaksi hipersensitifitas yang
dikarakteristikkan dengan adanya infiltrasi monosit dan limfosit pada jaringan, contohnya kulit.
Pola dari ekspresi sitokin yang ditemukan pada limfosit yang menginfiltrasi lesi dermatitis atopik
yang akut adalah predominan Th2, IL-4, IL-5, IL-13. Sebagai tambahan, sitokin-sitokin ini
memicu masuknya eosinofil yang telah aktif, dan melepaskan produk-produk dari eosinofil. Sel
Langerhans yang menghasilkan IgE, diregulasi 21 oleh sitokin-sitokin ini sehingga menjadi
sangat efisien dalam tugasnya mengantarkan alergen pada sel T (Leung, 2003). Fiocchi dkk.
dalam review-nya terrhadap sedikitnya 15 penelitian dari tahun 1975 sampai tahun 2003,
didapatkan alergen susu sapi paling sering menimbulkan alergi (Sinagra dkk, 2007). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Rennick dkk. (2006), dilakukan skin prick test alergen makanan
pada populasi bayi dermatitis atopi derajat sedang dan berat yang mendapat ASI. Didapatkan
91,5 % positif terhadap satu atau lebih alergen makanan di antaranya susu sapi, putih telur,
kacang dan gandum. Menurut Hanifin (1992), diperkirakan alergen makanan diabsorpsi melalui
usus halus, kemudian memasuki sirkulasi dan terikat dengan sel mast yang telah tersensitisasi
dengan IgE spesifik di kulit. Interaksi ini akan melepaskan histamin dan mediator-mediator lain
yang menyebabkan eritema dan pruritus. Hal yang mendukung perkiraan mekanisme ini adalah
pada pasien dermatitis atopik terdapat peningkatan permeabilitas usus terhadap molekulmolekul
makanan yang berukuran besar. Kemungkinan yang lain adalah mediator-mediator yang
dilepaskan oleh sel mast usus, akan menuju sirkulasi dan menyebabkan reaksi pada kulit dan
saluran nafas. Dermatitis atopik tidak selalu disebabkan oleh alergi makanan, tapi dapat
diprovokasi oleh makanan tertentu. Suatu penelitian yang dilakukan dengan sampel pasien
dermatitis atopik yang dirawat di rumah sakit, terbukti bahwa alergen makanan dapat
menimbulkan eksaserbasi sebesar 32% - 40%. Yang menarik adalah alergen yang bertanggung
jawab terhadap lebih dari 90% reaksi 22 tersebut adalah susu sapi, telur ayam, gandum, kedelai,
kacang dan ikan. Hasil ini ternyata konsisten dengan penelitian akhir tahun 1980 dan akhir tahun
1990 (Schafer, 2006). Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa dengan eliminasi makanan
yang diperkirakan sebagai penyebab, terjadi penurunan dalam jumlah spontaneous basophil
histamine release (SBHR) pada anak dengan dermatitis atopik yang telah lama mengkonsumsi
makanan dimana dia alergi terhadap makanan tersebut (Leung, 2003). Beberapa penelitian klinis
menunjukkan bahwa eleminasi dari alergen makanan yang relevan, dapat memberikan perbaikan
gejala pada kulit, dan pemberian kembali makanan tersebut, memicu terulangnya gejala (Leung,
2003). Suatu penelitian prospektif dan acak German Infant Nutrition and Prevention Study
(GINI) yang dilakukan Laubereau (2004), didapatkan data yang valid tentang efek pencegahan
dermatitis atopik pada formula hipoalergenik, dimana penggunaannya dapat menurunkan insiden
dermatitis atopik setelah 1 tahun pada anak tanpa predisposisi genetik. Sebaliknya, insiden
dermatitis atopik menurun pada anak dengan riwayat dermatitis atopik pada keluarga hanya bila
diberikan formula ekstensif hidrolisis berbasis kasein.
2.2.5.3. Pengenalan Makanan Padat Dini Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (saat umur
4 bulan) berhubungan dengan meningkatnya risiko dermatitis atopik, karena memudahkan
masuknya makromolekul dari alergen makanan melalui saluran cerna yang imatur. Imaturnya
saluran cerna ini mulai dari saliva yang masih sedikit 23 menghasilkan enzim ptialin pencerna
karbohidrat, pH lambung yang cukup tinggi sehingga penghancuran makanan tidak sempurna,
dan tight junction usus yang masih longgar. Kombinasi ini menghasilkan makanan dalam bentuk
molekul yang besar, atau disebut juga makromolekul. Komite nutrisi AAP menyarankan
penundaan pemberian makanan padat sampai umur 4 bulan dimana telah terjadi maturasi dan
kesiapan dari sistem saraf dan saluran cerna (Sicherer dan Sampson, 2004). Hasil sebaliknya
didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Snijders dkk.(2007), bahwa tidak ada hubungan
antara pemberian makanan padat dini dengan dermatitis atopik. 2.2.5.4 Aeroalergen Aeroalergen
adalah suatu substansi , biasanya protein atau glikoprotein berukuran 10-50 kDa yang terdapat di
udara, yang mampu untuk menginduksi respon IgE (sensitisasi) pada seseorang yang mempunyai
predisposisi genetik. Aeroalergen dibedakan menjadi dua yaitu alergen luar rumah, dan alergen
dalam rumah (Yunginger, 2003). a. Alergen Luar Rumah Sumber utama alergen luar rumah
adalah pollen dan jamur. Paparan terhadap pollen tergantung dari jenis tanaman dan lokasi
tumbuhnya. Diperkirakan 20-100 serbuk pollen/m3 , cukup untuk menimbulkan sensitisasi pada
individu tertentu. Serbuk pollen berdiameter antara 10-100 m, dan kebanyakan menempati
rongga hidung atau nasofaring Jamur banyak terdapat di negara-negara dengan kelembaban
tinggi, termasuk Indonesia. Beberapa spesies 24 jamur yang dapat menimbulkan sensitisasi
adalah Alternaria, Aspergillus, Cladosporium, dan Penicillium (Yunginger, 2003). Kebanyakan
alergi pada manusia disebabkan oleh sejumlah kecil alergen protein inhalan yang dapat
menimbulkan produksi IgE pada individu yang rentan. Kita menghirup banyak macam protein
yang tidak semuanya menginduksi timbulnya IgE. Kebanyakan protein yang bersifat alergen
inhalan berukuran sangat kecil, dan mempunyai sifat larut yang tinggi. Pada kontak dengan
mukosa hidung misalnya, partikel alergen yang kecil ini, contohnya pollen, akan berdifusi ke
dalam mukosa. Alergen secara tipikal dipresentasikan pada sistem imun dalam dosis yang sangat
rendah, mengubah keseimbangan Th2 yang akan menginduksi produksi dari IgE dalam
responnya terhadap dosis alergen yang sangat kecil ini. Produksi antibodi IgE memerlukan sel
Th2 yang memproduksi Interleukin (IL) 4 dan IL-13, dan hal ini dapat dihambat oleh Th1 yang
memproduksi interferon (IFN-) ( Janeway dkk., 2001). b. Alergen dalam rumah Alergen
dalam rumah contohnya tungau debu rumah, bulu binatang dan kecoa. Dilihat dari struktur dan
fungsinya alergen dalam rumah adalah berupa protein atau glikoprotein dengan berat molekul
10-50 kDa. Alergen ini akan memicu diferensiasi sel T menjadi sel Th2 yang memproduksi IL-4,
IL-13 dan menginduksi terbentuknya IgE (Yunginger, 2003). Tungau debu rumah
(Dermatophagoides pteronyssimus), adalah suatu parasit yang menginvasi inangnya dengan cara
mensekresi enzim proteolitik yang merusak keutuhan jaringan sehingga memudahkan parasit
masuk ke dalam 25 jaringan host. Diduga bahwa enzim yang dihasilkan tersebut secara aktif
akan memicu respon dari Th2. Alergenisitas dari Dermatophagoides pteronyssimus (Der p 1 ) ini
juga dipicu oleh sifat proteolitiknya terhadap beberapa reseptor protein pada sel B dan sel T.
Selain itu Der p 1 ini juga mampu memecah subunit dari reseptor IL-2 dan CD 25 dari sel T.
Hilangnya aktivitas reseptor IL-2 akan mengganggu jumlah sel Th1, sehingga akan terjadi
dominansi jumlah sel Th2 (Janeway dkk., 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terjadi lesi kulit eksematous yang gatal setelah dilakukan bronchial inhalation challenge dengan
aeroalergen pada pasien dermatitis atopik yang tersensitisasi dengan alergen inhalan. Aplikasi
suatu aeroalergen pada permukaan kulit, menimbulkan suatu lesi kulit yang eksematoid pada
30% - 50% pasien dermatitis atopik. Reaksi positif ditimbulkan oleh alergen tungau debu rumah,
bulu binatang dan jamur (Leung, 2003). Aeroalergen terutama tungau debu rumah telah lama
diketahui sebagai faktor pencetus dermatitis atopik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
meneliti hubungan antara pengurangan alergen load dan titik akhir klinis. Sebagian besar
penelitian ini memiliki dampak yang bermanfaat dalam menurunkan prevalensi dermatitis
atopik, meskipun penelitian-penelitian yang lebih kecil belum dapat mengkonfirmasinya.
Hubungan klinis antara dermatitis atopik dengan sensitisasi terhadap tungau debu rumah dapat
dilihat pada suatu penelitian epidemiologi pada 2201 anak sekolah. Dan hubungan yang linear
antara derajat sensitisasi terhadap tungau debu rumah dengan derajat keparahan dermatitis atopik
juga telah dilaporkan (Schafer, 2006). 26 Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa
penghindaran terhadap aeroalergen berhasil menghasilkan perbaikan klinis pada dermatitis
atopik. Data laboratorium menunjukkan bahwa terdapat antibodi IgE terhadap alergen inhalan
yang spesifik pada kebanyakan pasien dermatitis atopik. Penelitian terakhir menemukan bahwa
95 % serum pasien dermatitis atopik terdapat antibody IgE terhadap alergen tungau debu rumah
jika dibandingkan dengan jumlah 42 % pada pasien asma. Derajat sensitisasi alergen inhalan ini
berbanding lurus dengan derajat keparahan penyakit dermatitis atopik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa respon imun pada kulit pasien dermatitis atopik ditimbulkan oleh alergen
inhalan atau aeroalergen (Leung, 2003). b. Binatang dalam rumah Hubungan antara binatang
dalam rumah terhadap terjadinya penyakit atopi telah banyak diteliti. Studi terdahulu mendukung
bahwa binatang peliharaan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit atopi terutama pada bayi
yang berisiko tinggi. Di pihak lain, beberapa penelitian terkini mendapatkan hasil bahwa alergen
tertentu malah memberikan efek pencegahan terhadap terjadinya penyakit atopi (Schafer, 2006).
Moore dkk. (2004) mendapatkan adanya kecoa di dalam rumah merupakan salah satu faktor
prediktor terjadinya dermatitis atopik pada 6 bulan pertama kehidupan. Binatang-binatang lain
yang telah diteliti untuk hal ini adalah kelinci, tikus, guinea pig, dan pada penelitian
epidemiologi di Jerman mendapatkan bahwa tikus merupakan faktor risiko dermatitis atopik, dan
pada anak sekolah didapatkan peningkatan kejadian dermatitis atopik jika memelihara kelinci
dan babi guinea di dalam rumah (Schafer, 2006). Metodologi 27 penelitian yang baik dan teliti
diperlukan untuk mengetahui hubungan antara binatang dengan dermatitis atopik (Schafer,
2006). Penelitian-penelitian pada anak-anak yang tumbuh dan besar di peternakan menunjukkan
efek protektif terhadap sensitisasi alergen dan penyakit atopi, yang diperkirakan karena paparan
endotoksin (Schafer, 2006). c. Faktor lingkungan yang lain Beberapa penelitian telah meneliti
hubungan antara manifestasi atopi dengan eksema dengan parameter polusi udara. Di Jerman
Barat dan Timur didapatkan hubungan linear yang signifikan antara parameter paparan NOx
terhadap prevalensi dermatitis atopik dengan hasil 16,5 % dibandingkan dengan 14,9 % pada
kontrol. Hasil yang sama didapatkan bahwa insiden dermatitis atopik meningkat pada daerah
dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Ekspose terhadap komponen volatil organik
khususnya toluene, juga dihubungkan dengan terjadinya dermatitis atopik pada anak (Schafer,
2006). Asap rokok juga diduga berhubungan dengan dermatitis atopik. Penelitian terhadap 421
anak prasekolah yang ibunya pada waktu hamil dan menyusui merokok, memiliki angka risiko
2,3 kali dibanding dengan yang tidak merokok (Benn dkk. dkk., 2004; Schafer, 2006). Menurut
Terr (2003), asap rokok memiliki efek sebagai adjuvant terhadap produksi antibodi IgE total dan
IgE spesifik.
Penyebab pasti dermatitis atopik masih belum diketahui, oleh karena itu pengobatannya terutama
masih bersifat simptomatik. Penyakit ini dapat bermanifestasi mulai dari yang ringan sampai
berat sekali dengan berbagai faktor pencetus yang bervariasi sehingga memerlukan beragam
pendekatan sistematik dan holistik dalam penatalaksanaannya. Hingga saat ini penatalaksanaan
dermatitis atopik terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit, mencegah atau
mengurangi kekambuhan sehingga dapat mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama serta
mengubah perjalanan penyakit. Sebaiknya 42 penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka
waktu lama, bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan (Sugito, 2009). The Second
maupun
kortikosteroid
topikal
secara
intermiten,
beberapa
pilihan
dapat
dipertimbangkan, bergantung pada keadaan pasien. Pilihan tersebut antara lain fototerapi,
kortikosteroid yang lebih poten maupun sediaan oral, imunosupresan : siklosporin, metotreksat,
atau azatioprin (sendiri-sendiri atau dalam kombinasi), dan psikoterapi/psikofarmakologi
(Sugito, 2009).