Analisa HPLC
Analisa HPLC
pada jamur dan ganggang Reaktifitas kuinon yang tinggi biasanya lebih jauh
memicu terjadinya reaksi kondensasi non enzimatik yang berperan dalam
pembentukan melanin yang berwarna coklat (Eskin 1990; Lee 1993; Davidek et
al. 1990; Richardson dan Hyslop 1985). Oleh sebab itu, peningkatan kadar vanilin
ekstrak buah vanili segar seiring dengan meningkatnya suhu, seperti terlihat pada
Gambar 23 berkontribusi terhadap pembentukan warna coklat akibat reaksi
pencoklatan enzimatik terutama oleh enzim polifenol oksidase.
Menurut Eskin (1990), suhu optimum aktifitas enzim polifenol oksidase
bervariasi tergantung pada jenis buah atau sayuran. Berdasarkan hasil penelitian
Hanum (1997), suhu optimum aktifitas polifenol oksidase pada buah vanili kering
selama kuring adalah 450C. Aktifitas polifenol oksidase meningkat setelah killing
dan menurun saat conditioning. Diduga panas yang tidak terlalu tinggi saat killing
(60-650C selama 2 menit) merangsang aktifitas enzim sehingga lebih aktif atau
terjadi penurunan ketegaran jaringan sel sehingga kontak antara enzim dan
substrat berjalan lebih sempurna. Aktifitas polifenol oksidase tidak banyak
berubah pada tahap pemeraman (suhu kamar, 24 jam) dan mencapai maksimal
pada tahap pengeringan (600C selama 3 hari). Secara umum terjadi kecenderungan
perubahan yang sama antara aktifitas polifenol oksidase, kadar vanilin dan warna
coklat vanili kering selama kuring. Akan tetapi, belum dapat disimpulkan peran
enzim ini terhadap pembentukan flavor mengingat selama ini polifenol oksidase
hanya dikaitkan dengan pencoklatan dan rasa sepat buah-buahan.
Reaksi penting lainnya dalam pembentukan warna coklat adalah reaksi
pencoklatan non enzimatik Maillard. Reaksi ini dapat terjadi dalam ekstrak vanili
segar akibat dihasilkannya gula-gula pereduksi terutama glukosa, yang merupakan
produk lain dari hidrolisis glukovanilin dan degradasi karbohidrat kompleks pada
buah vanili segar. Tahap awal dari reaksi Maillard adalah kondensasi antara amino dari asam amino atau protein dengan gugus karbonil dari gula pereduksi.
Tahap ini disebut reaksi karbonilamino dan produk awal yang terbentuk akan
kehilangan air, membentuk basa Schiff diikuti dengan siklisasi menghasilkan
glikosilamin yang tersubstitusi N. Senyawa ini sangat labil sehingga mengalami
isomerisasi menjadi asam fruktosamino (1-amino-1-deoksi-1-ketosa). Reaksi ini
disebut Amadori rearrangement. Selanjutnya, setidaknya ada 3 jalur pembentukan
55
56
-glukosidase+air+etanol
yakni
sebesar
15.97%bk
ekstrak.
Perlakuan dengan enzim lainnya pun menghasilkan kadar vanilin yang lebih
tinggi dibanding ekstrak vanili segar tanpa enzim dan kontrol (ekstrak vanili
kering dengan pelarut air+etanol). Penambahan selulase+air, selulase+air+etanol,
pektinase+air,
pektinase+air+etanol
dan
-glukosidase+air,
berturut-turut
menghasilkan kadar vanilin sebesar 4.84, 5.37, 4.20, 5.14 dan 14.19%bk ekstrak.
57
Hal ini disebabkan enzim berfungsi sebagai katalisator reaksi biokimia yang
mampu mengaktifkan senyawa lain secara spesifik. Seperti katalis lainnya, enzim
bekerja dengan menurunkan energi aktivasi sehingga reaksi berlangsung lebih
cepat. (http://wikipedia.org/wiki/Enzyme 2006). Keberadaan sejumlah kecil enzim
dapat mengkatalisis biokonversi sejumlah besar substrat (Tucker 1995).
100
90.26
90
74.91
80
70
55.96
60
49.45
50
40
32.91
24.35
30
20
10
14.19
11.95
3.28
5.37
4.84
1.453.05 1.533.29
15.97
5.14
4.20
ta
no
bl
gl
uk
os
bid
gl
as
uk
e+
os
ai
id
r
as
e+
ai
r+
et
an
ol
pe
kt
in
as
e+
a
ir+
e
e+
ai
r
no
l
lu
la
s
se
pe
kt
in
as
e+
ai
r+
et
a
e+
ai
r
lu
la
s
se
ai
r+
et
an
ol
r
ai
ko
nt
ro
l
vanilin
perlakuan
glukosa
Gambar 25 Kadar vanilin dan glukosa ekstrak buah vanili kering (kontrol) dan
vanili segar dengan penambahan satu jenis enzim komersial dengan
pelarut air dan atau etanol
Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa penambahan enzim -glukosidase
dengan ataupun tanpa etanol menghasilkan kadar vanilin yang lebih tinggi
dibanding dengan perlakuan enzim lainnya. Hal ini dapat dipahami karena kadar
padatan terlarut yang dihasilkan dengan penambahan -glukosidase adalah lebih
rendah dibanding penambahan dengan enzim selulase dan pektinase komersial
sehingga kadar vanilin per berat kering ekstrak lebih tinggi (Lampiran 5).
Kemungkinan lain penyebab lebih tingginya kadar vanilin yang dihasilkan dengan
penambahan -glukosidase adalah persiapan sampel yang dilakukan yakni
pengeringan beku dengan penggilingan yang dapat menyebabkan dinding sel
58
59
2006).
Pemutusan
60
yang lebih tinggi yakni sebesar 2.7%bk vanili segar, dibanding penambahan
enzim Viscozyme+air+etanol yakni sebesar 2.45%bk vanili segar.
Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa penggunaan etanol mampu
menghasilkan kadar vanilin yang lebih tinggi dibanding air. Perlakuan yang
paling signifikan perbedaannya adalah perlakuan -glukosidase+etanol dan glukosidase+air dengan kadar vanilin 14.19%bk ekstrak dan 15.97%bk ekstrak.
Perlu dicatat bahwa dalam percobaan ini penambahan etanol 47.5%v/v dalam
ekstraksi dilakukan selama 30 menit, melanjutkan proses ekstraksi enzimatik
dengan pelarut air yang telah berlangsung selama 8 jam. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah pengamatan pengaruh etanol terhadap kadar vanilin yang
dihasilkan (tanpa terjadinya bias akibat pengaruh aktifitas enzim yang
ditambahkan) serta menghindari terjadinya perubahan struktur enzim yang
menyebabkan enzim tidak aktif. Pelarut organik polar seperti etanol akan
membatasi
air
esensial
dari
permukaan
dan
kemudian
menyebabkan
ketidakstabilan enzim. Efek destabilisasi pelarut organik polar ini terutama karena
kompetisi antara enzim dan pelarut untuk mengikat molekul air (Goodenough
1995). Menurut Zaks (1991), pelarut organik mempengaruhi reaksi enzimatik
dengan berbagai cara. Pertama, pelarut mempengaruhi distribusi air antara enzim
dan medium reaksi. Kedua pelarut organik dapat langsung berinteraksi dengan
enzim, berpengaruh negatif terhadap konformasi yang aktif secara katalitik.
Terakhir, partisi dari substrat dan atau produk dari reaksi antara sisi aktif enzim
dan medium dapat mempengaruhi sejumlah parameter kinetik dan termodinamik
dari enzim. Klibanov (1993), menyatakan bahwa enzim benar-benar tidak aktif
dengan penggunaan pelarut organik sekitar 50-60%.
Diketahui bahwa konsentrasi air pada enzim adalah pengaruh yang paling
signifikan bagi aktifitasnya dalam pelarut organik. Hilangnya air esensial
memiliki efek kuat dalam menurunkan aktifitas enzim. Oleh sebab itu, saat
kebutuhan air terpenuhi lagi, aktifitas katalitik kembali pulih. Penambahan air
pada pelarut organik polar menghasilkan peningkatan air yang moderat pada
enzim, sehingga akan lebih banyak lagi air yang perlu ditambahkan dibanding
pelarut non polar (Zaks 1991). Kemungkinan penggunaan enzim dalam pelarut
organik polar konsentrasi rendah sehingga tidak mengganggu jumlah air esensial
61
62
Kelarutan vanilin yang lebih tinggi dalam etanol dibanding air berhubungan
dengan polaritas. Walaupun etanol bersifat hidrolitik, namun memiliki polaritas
yang lebih rendah (0.654) dibanding air (1), sehingga ia lebih efektif melarutkan
senyawa vanilin yang tidak begitu polar (Reichardt 1988). Dalam hal ini berlaku
hukum like dissolves like, komponen yang kurang polar akan terlarut dalam
pelarut yang kurang polar dan sebaliknya (http://en.wikipedia.org/wiki 2006).
Disamping itu, meskipun proses ekstraksinya tidak sempurna, pelarut organik
mampu melarutkan komponen flavor yang masih terikat dalam jaringan selulosa
atau lignin. Selain etanol, pelarut yang dapat digunakan untuk mengekstrak vanili
adalah
pentana
dan
eter, seperti
yang
telah
dilakukan Perez-Silva et