1. Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau sindrom gawat nafas adalah suatu
istiah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi disfungsi pernafasan pada
neonatus. Kondisi disfungsi atau gangguan pernafasan ini dapat disebabkan karena
adanya keterlambatan perkembangan dari maturitas paru yang disebabkan karena
ketidakadekuatan dari jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2006; Whalley
danWong,2009). Respiratory Distress Syndrom disebut juga dengan Hyaline Membran
Disease atau penyakit membrane hyaline. Ciri khas pada penyakit ini adalah selalu
ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli (Surasmi, 2003).
Hyaline membrane disease (HMD) merupakan suatu penyakit pada bayi yang
lahir prematur yang mempunyai gejala klinis sesak napas ketika lahir. Penyakit ini
disebabkan oleh kekurangan dari zat surfaktan. Nama lain dari penyakit ini adalah
surfactan defeciency disease. Sedangkan beberapa referensi juga menyebutkan
Hyaline Membrane Disease (HMD), juga dikenal sebagai respiratory distress syndrome
(RDS) adalah penyebab tersering dari gagal nafas pada bayi prematur, khususnya yang
lahir pada usia kehamilan 32 minggu.
Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi
baru lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh
HMD atau komplikasinya. HMD disebut juga Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu
gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah
lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, tipe pernapasan
dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif
dalam 48 96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan
pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram.
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi :
1. Pulmonary Infection
2. Pulmonary hemoragi
3. Meconium aspiration pneumonia
4. Oxygen toxicity
5. Congenital diaphragmatic hernia
6. Pulmonary hypoplasia
7. Perdarahan otak
8. Penyakit membrane hialin
9. Fistel trakheoesofageal
Bila menurut masa gestasi penyebab gangguan nafas adalah :
Pada bayi kurang bulan : penyakit membrane hyaline, pneuomonia, asfiksia dan
kelainan atau malformasi congenital
Pada bayi cukup bulan : sindrom aspirasi mekoniu, pneumonia, asidosis, kelainan
atau malformasi kongenital
Faktor Risiko :
1.
2.
3.
4.
5.
3. Manifestasi Klinis
Beberapa jam setelah kelahiran, bayi menunjukkan
pernafasan cepat dan dangkal (> 60/menit)
Penggunaanaccessory neck muscle untuk bernafas
Mendengkur, takikardia, sianosi
Terjadi retensi cairan, edema, dan oliguria pada 48 jam pertama
Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu
(>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam
pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus
inspiratoir.Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR
score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada
distress nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama>24jam.
Sumber lain menyebutkan bahwa berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS
ini sangat dipengaruhi oleh tingkatmaturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia
kehamilan, semakin berat gejala klinisyang ditujukan. Menurut Surasmi, dkk (2003) tanda
dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
4. Patofisiologi
( Terlampir)
5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan
fisik
akan
ditemukan
takhipneu
(>
60
kali/menit),
sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya
pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.
b. Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak
menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis
gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut
ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervarias
c. Echocardiografi
Dilakukan untuk mendiagnosis PDA dan mennetukan arah dan derajat pirau. Juga
berguna untuk mendiagnosis hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan
adanya kelainan struktural jantung.
d. Tes kocok (Shake test)
Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui
nasogastrik tube pada neonatus <>banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96
%, dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan
didiamkan selama 15 menit.
Pembacaan :
Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD
+1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD
+2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung
+3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung
pada dua deret <>
+4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus
matur
e. Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya
HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan
f.
penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air. Bila
terapung berarti tes apung positif, paru-paru mengandung udara, bayi tersebut
pernah dilahirkan hidup. Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi
pernafasan partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.
6. Penatalaksanaan
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paruparu, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya
HMD akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi
asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia. (9) Kebanyakan kasus HMD bersifat selflimiting, jadi tujuan terapi adalah untuk meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah
iatrogenik yang memperberat. Penanganan sebaiknya dilakukandiNICU. Diantaranya
sebagai berikut :
a. Resusitasi di tempat melahirkan
Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah
perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya
hipotermia dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana
kebutuhan oksigen berada pada batas minimum. Pemberian obat selama resusitasi :
Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi
persisten setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat
diberikan intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi
tetap bradikardi, dosis ketiga dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila
situasi sangat buruk.
Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa
20 mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari
konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.
Volume expander 10 ml/kg dan bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.
b. Surfaktan Eksogen
Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang
membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah
memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari
paru sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary dysplasia
(BPD) secara konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan
perbedaan oksigen alveoli arteri dalam 48 72 jam pertama kehidupan,
menurunkan
tidal
volume
ventilator,
meningkatkan
compliance
paru,
dan
profilaksis) atau beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi
penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam
kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai terapi profilaksis
membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai angka bertahan
hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus diberi
surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama
kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau lebih
memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan
pulseoxymetri.
Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari
binatang adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg,
dan Survanta, ekstrak dari paru-paru sapi dengan penambahan 3 jenis lipid
(phosphatidylcholine, asam palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua
surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan SP-C dengan proporsi yang berbeda
dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan
sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan gabungan phospholipid
dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol, diberikan 5
ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara
alveolus. ALEC (artificial lung expanding compound) merupakan gabungan DPPC
and phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun
beratnya. Yang sedang diteliti adalah Infasurf (alami).
c. Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah
Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara
55 70 mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan yang normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila
oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen
dengan konsentrasi 70%, merupakan indikasi menggunakan continuous positive
airway pressure (CPAP). Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri,
bikarbonat, elektrolit, gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang
diperlukan kateterisasi arteri umbilikalis.
Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk
memantau oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena
dapat memberi informasi berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi
dini komplikasi seperti pneumotoraks, juga merefleksikan respon bayi terhadap
berbagai prosedur seperti intubasi endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan.
PaO2 harus dijaga antara 50 80 mmHg, dan Sa O2 antara 90 94 %. Hiperoksia
berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan faktor resiko retinopathy of
prematurity (ROP). Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya
diperiksa melalui foto rontgen setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri
umbilikalis harus berada di atas bifurkasio aorta atau di atas aksis celiaca (T6 T10).
Penempatan harus dilakukan oleh orang yang ahli. Kateter harus diangkat segera
setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil dan
Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %.Pengawasan periodik dari
tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH adalah bagian yang penting dari
penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal hal tersebut harus dilakukan.
Darah diabil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan kontra
indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu
dipantau dari elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi
oksigen). Darah kapiler tidak berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan
untuk memantau PCO2 dan pH.
d. Fluid and Nutrition
Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus
glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian
tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24
jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus
(PDA). Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil
dan distres nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang
minimal, serta dapt menurunkan insidensi NEC.
e. Ventilasi Mekanik
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity
(FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara,
mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan
RDS PaO2 <>> 50%. Pemakainan secara nasopharyngeal atau endotracheal saja
tidak cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi
tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia
kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat
menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap
dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas
yang adekuat, disertai analisa gas darah yang memuaskan. CPAP diberikan pada
tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan tekanan
oksigen arteri meningkat dengan cepat .Meski penyebabnya belum hilang, jumlah
tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan
penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera
sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di
atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan.
Ventilasi Mekanik Bayi dengan HMD berat atau disertai komplikasi, yang berakibat
timbulnya apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi
penggunaannya antara lain :
1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk pH darah arteri <> pCO2 arteri >
60 mmHg pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 100 %
2. Kolaps cardiorespirasi
3. Apnea persisten dan bradikardi
Memilih ventilator mekanik Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir
dapat diberikan berupa ventilator konvensional atau ventilator berfrekuensi tinggi
(150 x / menit). Ventilator konvensional dapat berupa tipe volume atau tekanan,
dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut dengan dasar cycling mode biasanya
siklus inspirasi diterminasi. Pada modus pressure limited time cycled ventilation,
tekanan puncak inspirasi diatur dan selama inspirasi udara dihantarkan untuk
mencapai tekanan yang ditargetkan. Setelah target tercapai, volume gas yang
tersisa dilepaskan ke atmosfer. Hasilnya, penghantaran volume tidal setiap kali
nafas bervariabel meski tekanan puncak yang dicatat konstan. Pada modus
volume
limited,
pre-set
volume
dihantarkan
oleh
setiap
nafas
tanpa
positive end expiratory pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio inspirasi :
ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang waktu inspirasi sementara kecepatannya
tetap konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi berlebihan,
meski oksigenasi adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan curah
jantung. Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan minute ventilation,
ditentukan oleh produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang mati) dan kecepatan
pernafasan. Untuk minute ventilation yang sama, perubahan penghantaran
volume tidal lebih efektif untuk merubah eliminasi CO2 dibanding perubahan
kecepatan pernafasan karena ventilasi ruang mati tetap konstan.
f.
topikal
pada
daerah
di
atas
arteri
femoralis.
Atau
dengan
penggunaan
surfaktan
eksogen,
PDA sebagai
komplikasi
HMD
b. Pulmonary Edema
Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang
merupakan komplikasi dari HMD dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur
sekitar 1 % namun pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di
rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal dari rongga interstitial atau
perdarahan alveoli. Bentuk interstitial ditandai dengan perdarahan pleura, septum
interlobularis, peribronkial, perivaskular, dan dinding aleolar. Bila perdarahan
masuk ke alveoli, eritrosit memenuhi rongga udara dan meluas hingga ke
bronkiolus dan bronkus. Faktor predisposisinya antara lain asfiksia perinatal,
hipotermia, hipoglikemi, gagal jantung kongestif, koagulopati, pneumonia, dan
pemberian cairan berlebih.
Pada bayi yang mendapat terapi surfaktan eksogen, terjadi peningkatanpirau
kanan ke kiri melalui duktus arteriosus yang memicu terjadinya edema paru
hemoragis. Perdarahan paru biasanya muncul hari ke-5 sampai 7 kehidupan.
Apabila bersifat masif, dapat terjadi hal-hal yang mematikan. Perburukan
mendadak dari pernafasan dikaitkan dengan bradikardi, asidosis metabolik dan
syok. Darah keluar dari hidung dan mulut melalui ETT. Gambaran rontgen
menunjukan gambaran opak difus dari kedua paru. Penanganan segera meliputi
ventilasi buatan yang adekuat. Meningkatkan tekanan jalan udara dengan
menggunakan PEEP dapat mencegah perdarahan lebih lanjut. Transfusi PRC dan
FFP mungkin diperlukan untuk mengganti volume yang hilang, namun restriksi
cairan diindikasikan bila perdarahan terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri. Bila
penyebabnya PDA, maka PDA harus diterapi.
c. Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)
PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru.
PIE yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecar
akan
menimbulkan
pneumotoraks.
Bisa
juga
menyebabkan
terjadinya
menyebabkan
udara
masuk
ke
vena
pulmonalis,
menimbulkan
emboliudara.
8. Pencegahan
Obat-obat tocolysis (-agonist : terbutalin, salbutamol)
relaksasi uterus Contoh : Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml
(untuk asma: 5 mg/ml) Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam
infus 500 ml dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 50 g/menit dgn
monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan diturunkan
atau obat dihentikan
Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg setiap
12 jam untuk 4 x pemberian)
Cek
kematangan
paru
(lewat
cairan
amniotik
pengukuran
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.
rasio
Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung
Seto.
Christian.2013. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Idiopatic Respiratory Distress
Whalley dan Wong. 2009. Pediatric of Nursing.
Surasmi. 2003. Kegawatdaruratan Pada Neonatus.
Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. Epidemiology of neonatal
respiratory failure in the united states. Am J Respir Crit Care Med
2001;164:1154-60.
Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, dkk. Neonatal respiratory failure: a
12-month clinical epidemiologic study from 2004 to 2005 in China. Pediatrics.
2008;121:1115-24.
UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23 November 2010);
Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan kesehatan: Peran
penelitian kesehatan. 2006; (Diunduh 23 November 2010); Tersedia
dari:http://www.depkes.go.id.
Hagedorn M, Gardner S, Abman S. Common systemic diseases of the neonate:
Respiratory diseases. Dalam: Merenstein G, Gardner S, penyunting. Handbook of
neonatal intensive care. Edisi 5. St. Louis: Mosby; 2002. h. 485-575.
Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. Disorders of the lung parenchyma.
Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 683-93.
Jing L, Yun S, Jian-ying D, Tian Z, Jing-ya L, Li-li L, dkk. Clinical characteristics,
diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term neonates.
Chin Med J. 2010;123(19):2640-44.
Levy M. Pathophysiology of oxygen delivery in respiratory failure. Chests 2005;128:547-53.
Kumar A, Bhatnagar V. Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatr 2005.
2005;72(5):425-38. 10. Sweet D, Carn