Anda di halaman 1dari 2

Jangan sampai pandangan Saudara berubah menjadi pandangan Asmara begitu

statemen seorang ikhwah pagi itu dalam majelis keilmuan. Saya dan teman-teman
yang lain meresponnya hanya dengan tertawa saja. Karena kami sudah memahami,
bahwa karakter teman kami yang satu ini memang paling jago kalo nyeletuk.
Sebuah Kisah Fiktif
Pagi ini dalam sebuah pesan singkat seorang akhwat mengirimkan pesan singkat
kepada seorang perantara yang dianggap dekat dengan seorang ikhwan. Akhi, ana
ga bisa lagi berinteraksi dengan akh fulan!. Nyata sekali menekan perasaannya
dengan munculnya tanda seru. Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat sebuah
postingan facebook yang membuat ana merasa risih. Afwan, terus terang juga
tersinggung, bahkan memberikan kode keras dalam media-media sosialnya.
Sang perantara trsebut terkejut. Ia berusaha tetap tenang. Sabar Ukhti, jangan
terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang Anti bayangkan, sang
perantara mencoba menenangkan terutama untuk dirinya sendiri.
Afwan, ana tidak menangkap maksud lain dari status-status di media sosialnya.
Ikhwan itu mungkin tidak pernah berpikir dampak yang dia posting di media sosial.
Kata-kata itu membuat ana sedikit banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal
menjaga komitmen dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha
menjadi bagian dari perputaran dakwah ini, sang akhwat kini mulai tersedak
terbata.
Ya sudah ana berharap Anti tetap istiqamah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin
kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini. Sang perantara pun
membuat keputusan, Ana akan ajak bicara langsung akh fulan.
Beberapa Waktu berlalu, ketika akhirnya sang perantara tersebut mendatangi fulan
yang bersangkutan. Fulan berkata, Ana memang membuat status yang demikian
itu, namun tidak ada maksud untuk menyinggung ukhti itu, mungkin ukhti itu yang
ke GR an, apakah itu salah?
Sang perantara berusaha menanggapinya searif mungkin. Ana tidak menyalahkan
status media sosial dan perasaan Antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu
dan berbicara. Pertanyaan ana adalah, apakah Antum sudah siap ketika
menyatakan perasaan dalam media sosial itu? Apakah Antum mengatakannya
dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari Antum? Hak perasaan dan
hak pembinaannya. Apakah Antum menyampaikan kepada pembina Antum untuk
diseriuskan? Apakah Antum sudah siap berkeluarga? Apakah Antum sudah berusaha
menjaga kemungkinan fitnah dari pernyataan Antum, baik terhadap ikhwah lain
maupun terhadap dakwah?
Eeee, Anu Ustadz #JLEB
Berselang tidak lama, Akhwat ini sudah merasakan puncak dari kegelisahan
hatinya, pada akhirnya akhwat langsung berterus terang dengan Fulan melalui
percakapan pesan singkat, Akh, ane mengenal antum juga baru-baru ini, seneng
rasanya bisa membangun ukhuwah dengan saudara lainnya, Bukan maksud ana

untuk mendeskripsikan antum yang ceplas-ceplos. Ana hanya meminta tolong


kepada antum untuk membantu akhwat lainnya untuk menjaga perasaanya

Mungkin maksud antum bukan untuk ana, tapi secara umum yang antum posting
telah membuat beberapa akhwat baper. Ana sangat paham antum itu seperti apa,
antum baik, bagus dan cerewet pake lagi, bahkan di media sosial. Tapi antum
kurang memahami bagaimana itu akhwat, Ana sampaikan ya akh, Akhwat itu
memiliki kelembutan hati yang sangat peka, dia mudah sekali untuk kebawa
perasaan ( Baca : GR ) Afwan, Semoga antum bisa menjaga sikap
Sang ikhwan pun ternganga dan terdiam tanpa membalas pesan singkat itu.
* Tulisan ini dibuat, semata mata hanya sebagai nasihat (bagi penulis dan
pembaca), tidak untuk menghujat apalagi melaknat. Semoga dengannya kita dapat
mengambil hikmah dan manfaat serta senantiasa menjauhkan diri dari berbagai
maksiat. Aamiiin.
Ginanjar Rifai

Anda mungkin juga menyukai