Anda di halaman 1dari 45

Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita

Anatomi system reproduksi wanita terbagi 2, yaitu:


1. Organ-organ Internal, terdiri dari :
- Dua ovarium (indung telur)
- Dua tuba fallopii (saluran telur)
- Uterus (rahim)
- Vagina
2. Organ-organ eksternal, terdiri dari :
- Mons pubis
- Labia Mayora
- Labia Minora
- Klitoris
- Vestibulum
- Meatus Uretra
- Introitus vagina
- Kelenjar skene dan bartholini

Hormon-Hormon Reproduksi
Estrogen
Estrogen dihasilkan oleh ovarium. Ada banyak jenis dari estrogen tapi yang paling penting
untuk reproduksi adalah estradiol. Estrogen berguna untuk pembentukan ciri-ciri
perkembangan seksual pada wanita yaitu pembentukan payudara, lekuk tubuh, rambut
kemaluan,dll. Estrogen juga berguna pada siklus menstruasi dengan membentuk ketebalan
endometrium, menjaga kualitas dan kuantitas cairan cerviks dan vagina sehingga sesuai untuk
penetrasi sperma.
Progesterone
Hormon ini diproduksi oleh korpus luteum. Progesterone mempertahankan ketebalan
endometrium sehingga dapat menerima implantasi zygot. Kadar progesterone terus
dipertahankan selama trimester awal kehamilan sampai plasenta dapat membentuk hormon
HCG.
Gonadotropin Releasing Hormone
GNRH merupakan hormon yang diproduksi oleh hipotalamus diotak. GNRH akan
merangsang pelepasan FSH (folikl stimulating hormone) di hipofisis. Bila kadar estrogen
tinggi, maka estrogen akan memberikan umpanbalik ke hipotalamus sehingga kadar GNRH
akan menjadi rendah, begitupun sebaliknya.
FSH (folikel stimulating hormone) dan LH (luteinizing Hormone)
Kedua hormon ini dinamakan gonadotropoin hormon yang diproduksi oleh hipofisis akibat
rangsangan dari GNRH. FSH akan menyebabkan pematangan dari folikel. Dari folikel yang
matang akan dikeluarkan ovum. Kemudian folikel ini akan menjadi korpus luteum dan
dipertahankan untuk waktu tertentu oleh LH.

Masa-masa kehidupan wanita:


Masalah normal yang dialami wanita dari usia 8 sampai 65 tahun (terlihat pada gambar 2)
terdiri dari :
1. Prapubertas

Bayi wanita
Folikel primordial (bakal telur) dikedua ovarium telah lengkap, yakni
sebanyak 750.000 butir dan tidak bertambah lagi pada kehidupan selanjutnya.
Alat kelamin luar dan dalam sudah terbentuk. Pada minggu pertama dan
kedua, bayi masih mengalami pengaruh estrogen dari ibunya.

Masa kanak-kanak
Pertumbuhan alat-alat kelamin tidak memperlihatkan pertumbuhan yang
berarti sampai masa pubertas. Kadar hormon estrogen dan hormon
gonadotropin lainnya sangat rendah.

2. Pubertas
Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.
Pubertas mulai dengan awal berfungsinya ovarium dan berakhir pada saat ovarium
sudah berfungsi mantap dan teratur. Pubertas pada wanita mulai kira-kira pada umur
8-14 tahun. Kejadian penting pada masa ini adalah pertumbuhan badan yang cepat,
timbul ciri-ciri kelamin sekuder, menarche, dan perubahan fisik. Perkembangan ini
terutama disebabkan oleh estrogen.
3. Masa reproduksi
Merupakan masa terpenting pada wanita dan berlangsung kira-kira 33 tahun. Haid
pada masa ini paling teratur dan bermakna untuk kemungkinan kehamilan.
4. Masa Klimakterium termasuk menopause dan pasca menopause

klimakterium, merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa


senium, yang bukan merupakan suatu keadaan patologik, melainkan suatu
masa peralihan yang normal. Masa ini berlangsung sebelum dan beberapa
tahun sesudah menopause. Masa premenopause, menopause dan pasca
menopause dikenal sebagai masa klimakterium. Klimakterium dapat dikatakan
mulai sekitar 6 tahun sebelum menopause dan berakhir kira-kira 6-7 tahun
sesudah menopause. Pada wanita dalam masa ini, terjadi juga keluhan-keluhan
yang disebut sindroma klimakterik. Keluhan-keluhan ini dapat bersifat psikis
seperti mudah tersinggung, depresi, kelelahan, semangat kurang dan susah
tidur. Gangguan neurovegetatif dapat berupa hot flashes, keringat banyak, rasa
kedinginan, sakit kepala, dll.

Menopause adalah haid terakhir atau saat terjadinya haid terakhir yang
disebabkan menurunnya fungsi ovarium. Diagnosa dibuat setelah terdapat
amenorea (tidak haid) sekurang-kurangnya satu tahun. Berhentinya haid dapat

didahului oleh siklus yang lebih panjang dengan perdarahan yang berkurang.
Umumnya batas terendah terjadinya menopause adalah umur 44 tahun.
Menopause dapat terjadi secara artificial karena operasi atau radiasi yang
umumnya menimbulkan keluhan yang lebih banyak dibandingkan dengan
menopause alamiah.
5. Masa Senile
Pada masa ini telah tercapai keseimbangan hormonal yan baru sehingga tidka ada lagi
gangguan vegetatif maupun psikis. Yang mencolok pada masa ini adaah kemunduran
alat-alat tubuh dan kemampuan fisik sebagai proses menjadi tua. Dalam masa ini pula
osteoporosis terjadi pada wanita dengan intensitas yang berbeda. Walaupun sebabsebabnya belum jelas betul, namun berkurangnya hormon steroid dan berkurangnya
aktivitas osteoblast memegang peranan dalam hal ini. Ganggguan-gangguan lain yang
dapat timbul antara lain vagina menjadi kering sehingga timbul rasa nyeri pada waktu
bersetubuh, nyeri pada waktu berkemih dan terasa ingin terus buang air kecil.
Pengertian perubahan-perubahan fisiologis ini sangat berguna bagi wanita yang secara pasti
akan mengalami masalah ini dalam kehidupannya, sehingga ia bisa mempersiapkan diri
sesuai dengan pendidikan sosial ekonomi yang didapatnya.
Haid
Haid adalah perdarahan dari uterus yang keluar melalui vagina selama 5-7 hari, dan terjadi
setiap 22 atau 35 hari. Yang merangsang menimbulkan haid adalah hormon FSH dan LH,
prolaktin dari daerah otak dan hormon estrogen serta progesteron dari sel telur yang dalam
keseimbangannya menyebabkan selaput lendir rahim tumbuh dan apabila sudah ovulasi
terjadi dan sel telur tidak dibuahi hormon estrogen dan progesteron menurun terjadilah
pelepasan selaput lendir dengan perdarahan terjadilah haid.

Turunnya hormon estrogen secara fisiologi dimulai pada masa klimakterium (usia 40-65
tahun). (Gambar 1) Penurunan ini menyebabkan keluhan-keluhan yang mengganggu, diawali
umumnya dengan gangguan haid yang yang tadinya teratur, siklik, menjadi tidak teratur tidak
siklik dan jumlah darah dapat berkurang atau bertambah.

<*>Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan ke II Perhimpunan Osteoporosis Indonesia


, Makassar , 25 Juli 2004.

Menopause adalah suatu fase alamiah yang akan dialami oleh setiap wanita yang biasanya
terjadi diatas usia 40 tahun. Ini merupakan suatu akhir proses biologis dari siklus menstruasi
yang terjadi karena penurunan produksi hormon Estrogen yang dihasilkan Ovarium (indung
telur ). Seorang wanita dikatakan mengalami menopause bila siklus menstruasinya telah
berhenti selama 12 bulan. Berhentinya haid tersebut akan membawa dampak pada
konsekuensi kesehatan baik fisik maupun psikis.
Menopause adalah perdarahan terakhir dari uterus yang masih dipengaruhi oleh hormonhormon dari otak dan sel telur.
Pra menopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause dan pascamenopause adalah 3-5
tahun setelah menopause.
Sedangkan ooporopause adalah terhentinya fungsi ovarium , berarti terhentinya produksi
estrogen, estron yang terjadi pada usia 55 56 tahun.
Ilmu Kebidanan

Obstetri merupakan cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan persalinan, hal-hal
yang mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya (Oxford English Dictionary, 1933). Obstetri
terutama membahas tentang fenomena dan penatalaksanaan kehamilan, persalinan
puerperium baik pada keadaan normal maupun abnormal. Nama lain obstetri adalah mid
wifery.
Tujuan obstetri yaitu agar supaya setiap kehamilan yang diharapkan dan berpuncak pada ibu
dan bayi yang sehat. Juga berusaha keras mengecilkan jumlah kematian wanita dan bayi
sebagai akibat proses reproduksi atau jumlah kecacatan fisik, intelektual dan emosional yang
diakibatkannya.
Statistik Vital Obstetri
Statistik vital obstetri meliputi:
1. Kelahiran
2. Angka kelahiran
3. Angka fertilitas
4. Kelahiran hidup
5. Lahir mati (still birth)
6. Kematian neonatal
7. Angka lahir mati
8. Angka kematian janin (sama dengan angka lahir mati)
9. Angka kematian neonatal
10. Angka kematian perinatal
11. Berat badan lahir rendah
12. Bayi cukup bulan (term infant)
13. Bayi kurang bulan (prematur)
14. Bayi lewat bulan (post term)
15. Abortus
16. Kematian ibu langsung (direct maternal death)

17. Kematian ibu tak langsung (indirect maternal death)


18. Kematian non maternal
19. Angka kematian ibu atau mortalitas ibu (maternal death rate atau maternal
mortality).
Kelahiran
Kelahiran adalah ekspulsi atau ekstraksi lengkap seorang janin dari ibu tanpa memperhatikan
apakah tali pusatnya telah terpotong atau plasentanya masih berhubungan. Berat badan lahir
adalah sama atau lebih 500 gram, panjang badan lahir adalah sama atau lebih 25 cm, dan usia
kehamilan sama atau lebih 20 minggu.
Angka Kelahiran
Angka kelahiran adalah jumlah kelahiran per 1000 penduduk.
Angka Fertilitas
Angka fertilitas adalah jumlah kelahiran hidup per 1000 populasi wanita usia 15-44 tahun.
Kelahiran Hidup
Tanda utama kelahiran hidup adalah neonatus dapat bernapas. Tanda-tanda kehidupan lainnya
meliputi denyut jantung dan gerakan spontan yang jelas dari otot volunter.
Lahir Mati (Still Birth)
Lahir mati ditandai oleh tidak ada satupun tanda-tanda kehidupan pada saat atau setelah
kelahiran.
Kematian Neonatal
Kematian neonatal terdiri atas kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. Kematian
neonatal dini adalah kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup dalam 7 hari setelah
kelahiran. Kematian neonatal lanjut adalah kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup
lebih 7 hari sampai kurang 29 hari.
Angka Lahir Mati
Angka lahir mati adalah jumlah bayi yang dilahirkan mati per 1000 bayi yang lahir.
Angka Kematian Neonatal
Angka kematian neonatal adalah jumlah kematian neonatal per 1000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Perinatal

Angka kematian perinatal adalah jumlah bayi lahir mati ditambah kematian neonatal per 1000
kelahiran total.
Berat Badan Lahir Rendah
Berat badan lahir rendah adalah berat badan lahir kurang 2500 gram.
Bayi Cukup Bulan
Bayi cukup bulan adalah bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan 37-42 minggu atau
260-294 hari.
Bayi Kurang Bulan (Prematur)
Bayi kurang bulan adalah bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan kurang 37 minggu.
Bayi Lewat Bulan
Bayi lewat bulan adalah bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan lebih 42 minggu.
Abortus
Abortus adalah pengambilan atau pengeluaran janin atau embrio dari uterus selama paruh
pertama masa kehamilan (20 minggu atau kurang) atau berat badan lahir kurang 500 gram
atau panjang badan lahir 25 cm atau kurang.
Kematian Ibu Langsung
Kematian ibu langsung disebabkan komplikasi obstetri dari kehamilan, persalinan atau
puerperium dan akibat intervensi, kelahiran, dan terapi tidak tepat.
Kematian Ibu Tak Langsung
Kematian ibu tak langsung disebabkan oleh penyakit yang timbul selama kehamilan,
persalinan atau puerperium dan diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilan.
Misalnya kematian ibu karena komplikasi stenosis mitral.
Kematian Non Maternal
Kematian non maternal disebabkan oleh kecelakaan atau faktor kebetulan yang sama sekali
tidak berhubungan dengan kehamilan.
Angka Kematian Ibu
Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu akibat proses reproduktif per 100.000
kelahiran hidup.

Sebab-sebab
1.
2.
3. Infeksi

umum

kematian

ibu

yaitu

:
Perdarahan
Hipertensi

Perdarahan
Perdarahan yang dapat menyebabkan kematian ibu terdiri atas perdarahan post partum,
perdarahan berkaitan abortus, perdarahan akibat kehamilan ektopik, perdarahan akibat lokasi
plasenta abnormal atau ablasio plasenta (plasenta previa dan absupsio plasenta), dan
perdarahan karena ruptur uteri.
Hipertensi
Hipertensi yang dapat menyebabkan kematian ibu terdiri atas hipertensi yang diinduksi
kehamilan dan hipertensi yang diperberat kehamilan. Hipertensi umumnya disertai edema
dan proteinuria (pre eklamsia). Pada kasus berat disertai oleh kejang-kejang dan koma
(eklamsia).
Infeksi
Infeksi nifas atau infeksi panggul post partum biasanya dimulai oleh infeksi uterus atau
parametrium tetapi kadang-kadang meluas dan menyebabkan peritonitis, tromboflebitis dan
bakteriemia.
Alasan
menurunnya
angka
kematian
Transfusi
Anti
- Pemeliharaan cairan elektrolit, keseimbanngan asam-basa
komplikasi serius kehamilan dan persalinan.

ibu

pada

:
darah
mikroba
komplikasi-

Kematian reproduktif adalah kematian akibat kehamilan dan penggunaan teknik-teknik untuk
mencegah kehamilan (teknik kontrasepsi).
Kematian Perinatal
Kematian
neonatus
yang
terbanyak
adalah
:
1.
Berat
badan
lahir
rendah
2. Cedera susunan saraf pusat akibat hipoksia in utero dan cedera traumatik
selama
persalinan
dan
kelahiran
3. Malformasi kongenital
Sumber :
Cunningham, Mac Donald, Gant. Obstetri Williams, ed. ke-18. dr. Joko Suyono & dr. Andry
Hartono (penerj.). Jakarta : EGC.

Juli 12, 2008 Posted by kuliahbidan | Kebidanan, kuliahbidan | Kebidanan | Tinggalkan


sebuah Komentar
Ilmu Kebidanan

PERDARAHAN ANTEPARTUM
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pada jalan lahir setelah kehamilan 20 minggu.
Klasifikasi perdarahan antepartum yaitu :
1. Plasenta previa
2. Solusio plasenta
3. Perdarahan antepartum yang tidak jelas sumbernya (idiopatik)
Ciri-ciri plasenta previa :
1. Perdarahan tanpa nyeri
2. Perdarahan berulang
3. Warna perdarahan merah segar
4. Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
5. Timbulnya perlahan-lahan
6. Waktu terjadinya saat hamil
7. His biasanya tidak ada
8. Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi
9. Denyut jantung janin ada
10. Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
11. Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul
12. Presentasi mungkin abnormal.
Ciri-ciri solusio plasenta :
1. Perdarahan dengan nyeri
2. Perdarahan tidak berulang

3. Warna perdarahan merah coklat


4. Adanya anemia dan renjatan yang tidak sesuai dengan keluarnya darah
5. Timbulnya tiba-tiba
6. Waktu terjadinya saat hamil inpartu
7. His ada
8. Rasa tegang saat palpasi
9. Denyut jantung janin biasanya tidak ada
10. Teraba ketuban yang tegang pada periksa dalam vagina
11. Penurunan kepala dapat masuk pintu atas panggul
12. Tidak berhubungan dengan presentasi
Plasenta Previa
Plasenta previa merupakan plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim
sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum). (2)
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan
lahir pada waktu tertentu : (2)
1. Plasenta previa totalis : bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
2. Plasenta previa lateralis : bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup
oleh plasenta.
3. Plasenta previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan jalan lahir.
4. Plasenta previa letak rendah : bila plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir
pembukaan jalan lahir.
Etiologi plasenta previa belum jelas.
Diagnosis plasenta previa :

1. Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu


dan berlangsung tanpa sebab.
2. Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka
kepala belum masuk pintu atas panggul.
3. Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum.
4. USG untuk menentukan letak plasenta.
5. Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui
kanalis servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu cara ini hanya dilakukan
diatas meja operasi.
Penatalaksanaan plasenta previa :
1. Konservatif bila :
a. Kehamilan kurang 37 minggu.
b. Perdarahan tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal).
c. Tempat tinggal pasien dekat dengan rumah sakit (dapat menempuh
perjalanan selama 15 menit).
2. Penanganan aktif bila :
a. Perdarahan banyak tanpa memandang usia kehamilan.
b. Umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
c. Anak mati
Perawatan konservatif berupa :
- Istirahat.
- Memberikan hematinik dan spasmolitik unntuk mengatasi anemia.

- Memberikan antibiotik bila ada indikasii.


- Pemeriksaan USG, Hb, dan hematokrit.
Bila selama 3 hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan perawatan konservatif maka
lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan. Bila timbul
perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan senggama.
Penanganan aktif berupa :
- Persalinan per vaginam.
- Persalinan per abdominal.
Penderita disiapkan untuk pemeriksaan dalam di atas meja operasi (double set up) yakni
dalam keadaan siap operasi. Bila pada pemeriksaan dalam didapatkan :
1. Plasenta previa marginalis
2. Plasenta previa letak rendah
3. Plasenta lateralis atau marginalis dimana janin mati dan serviks sudah matang,
kepala sudah masuk pintu atas panggul dan tidak ada perdarahan atau hanya
sedikit perdarahan maka lakukan amniotomi yang diikuti dengan drips oksitosin
pada partus per vaginam bila gagal drips (sesuai dengan protap terminasi
kehamilan). Bila terjadi perdarahan banyak, lakukan seksio sesar.
Indikasi melakukan seksio sesar :
- Plasenta previa totalis
- Perdarahan banyak tanpa henti.
- Presentase abnormal.
- Panggul sempit.
- Keadaan serviks tidak menguntungkan (beelum matang).
- Gawat janin

Pada keadaan dimana tidak memungkinkan dilakukan seksio sesar maka lakukan pemasangan
cunam Willet atau versi Braxton Hicks.
Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta pada implantasi normal
sebelum janin lahir. (2)
Klasifikasi solusio plasenta berdasarkan tanda klinis dan derajat pelepasan plasenta yaitu :
1. Ringan : Perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda
renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma lebih 120 mg%.
2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan,
gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian
permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin
mati, pelepasan plasenta bisa terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
Etiologi solusio plasenta belum jelas.
Penatalaksanaan solusio plasenta :
Tergantung dari berat ringannya kasus. Pada solusio plasenta ringan dilakukan istirahat,
pemberian sedatif lalu tentukan apakah gejala semakin progresif atau akan berhenti. Bila
proses berhenti secara berangsur, penderita dimobilisasi. Selama perawatan dilakukan
pemeriksaan Hb, fibrinogen, hematokrit dan trombosit.
Pada solusio plasenta sedang dan berat maka penanganan bertujuan untuk mengatasi renjatan,
memperbaiki anemia, menghentikan perdarahan dan mengosongkan uterus secepat mungkin.
Penatalaksanaannya meliputi :
1. Pemberian transfusi darah
2. Pemecahan ketuban (amniotomi)
3. Pemberian infus oksitosin
4. Kalau perlu dilakukan seksio sesar.

Bila diagnosa solusio plasenta secara klinis sudah dapat ditegakkan, berarti perdarahan yang
terjadi minimal 1000 cc sehingga transfusi darah harus diberikan minimal 1000 cc. Ketuban
segera dipecahkan dengan maksud untuk mengurangi regangan dinding uterus dan untuk
mempercepat persalinan diberikan infus oksitosin 5 UI dalam 500 cc dekstrose 5 %.
Seksio sesar dilakukan bila :
1. Persalinan tidak selesai atau diharapkan tidak selesai dalam 6 jam.
2. Perdarahan banyak.
3. Pembukaan tidak ada atau kurang 4 cm.
4. Panggul sempit.
5. Letak lintang.
6. Pre eklampsia berat.
7. Pelvik score kurang 5.
Vasa Previa
Vasa previa merupakan keadaan dimana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi dengan
vilamentosa yakni pada selaput ketuban. (2)
Etiologi vasa previa belum jelas.
Diagnosis vasa previa :
Pada pemeriksaan dalam vagina diraba pembuluh darah pada selaput ketuban. Pemeriksaan
juga dapat dilakukan dengan inspekulo atau amnioskopi. Bila sudah terjadi perdarahan maka
akan diikuti dengan denyut jantung janin yang tidak beraturan, deselerasi atau bradikardi,
khususnya bila perdahan terjadi ketika atau beberapa saat setelah selaput ketuban pecah.
Darah ini berasal dari janin dan untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan tes Apt dan tes
Kleihauer-Betke serta hapusan darah tepi.
Penatalaksanaan vasa previa :
Sangat bergantung pada status janin. Bila ada keraguan tentang viabilitas janin, tentukan
lebih dahulu umur kehamilan, ukuran janin, maturitas paru dan pemantauan kesejahteraan
janin dengan USG dan kardiotokografi. Bila janin hidup dan cukup matur dapat dilakukan
seksio sesar segera namun bila janin sudah meninggal atau imatur, dilakukan persalinan
pervaginam.
Daftar Pustaka

1. Pengurus Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Perdarahan


Antepartum. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi Bag. I. Jakarta.
1991 : 9-13.
2. Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N, Rambulangi J. Penatalaksanaan Perdarahan
Antepartum. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS, Ujung Pandang, 1997.
Sumber :
Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, dr. I.M.S. Murah Manoe, Sp.OG.,
dr. Syahrul Rauf, Sp.OG., dr. Hendrie Usmany, Sp.OG. (editors). Bagian / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Rumah Sakit Umum Pusat, dr.
Wahidin Sudirohusodo, Makassar, 1999.

Osteoporosis
sumber: http://www.yayanakhyar.co.nr/
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
-Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas
massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan
mudah patah.
-Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif dan
metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi permasalahan muskuloskletal yang
memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara berkembang.
-Sejak dicanangkannya Bone Joint Decade (BJD) 2000-2010 osteoporosis menjadi
penting, karena selain termasuk dalam 5 besar masalah kelainan muskuloskletal yang harus
ditangani, juga kasusnya semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah usia tua.
-Pada umumnya pengobatan osteoporosis dibagi menjadi 2 bagian yaitu untuk
menghambat hilangnya massa tulang dan disbut pencegahan primer dan untuk meningkatkan
massa tulang yang disebut pencegahan sekunder.
-Permasalahan terapi osteoporosis adalah kompleks dan erat hubungannya dengan cakupan
penderita yang rendah akibat mahalnya biaya deteksi dini, pemeriksaan lanjutan dan obat-

obatan untuk penyakit osteoporosis. Selain itu obat-obatan yang ada pun masih belum ada
yang ideal karena masalah efikasi dan toleransi yang ditimbulkan oleh obat-obatan tersebut.
1.2 Tujuan penelitian
-Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah :
1. Untuk memahami defenisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, klasifikasi,
patogenesis, gambaran klinis, diagnosa dan penatalaksanaan osteoporosis.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran
1.3 Batasan masalah
-Referat ini membahas defenisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis,
diagnosa dan penatalaksanaan osteoporosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
-Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang cirinya adalah pengurangan massa
tulang dan kemunduran mikroarsitektur tulang sehingga meningkatkan risiko fraktur oleh
karena fragilitas tulang meningkat.
2.2 Epidemiologi
-Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan merupakan
problem pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik menjadi penting karena
problem fraktur tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang
terjadi tanpa disertai trauma yang jelas.
-Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak massa tulang dicapai
pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4%
per tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi RSCM mendapatkan faktor resiko
osteoporosis yang meliputi usia, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah,

sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat barat badan lebih
atau obesitas dan latihan yang teratur.
2.3 Etiologi
-Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pembentukan massa puncak tulang yang
kurang baik selama masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah
menopause. Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sampai usia 40
tahun, pada wanita lebih muda sekitar 30-35 tahun. Walaupun demikian tulang yang hidup
tidak pernah beristirahat dan akan selalu mengadakan remodelling dan memperbaharui
cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur formasi dan resorpsi
tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu berada dalam keadaan seimbang dan disebut
coupling. Proses coupling ini memungkinkan aktivitas formasi tulang sebanding dengan
aktivitas resorpsi tulang. Proses ini berlangsung 12 minggu pada orang muda dan 16-20
minggu pada usia menengah atau lanjut. Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per
tahun.
-Proses remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lokal yang
menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada konsep Activation Resorption
Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi oleh protein mitogenik yang berasal dari tulang
yang merangsang preosteoblas supaya membelah membelah menjadi osteoblas akibat adanya
aktivitas resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang mempengaruhi proses remodelling adalah
faktor hormonal. Proses remodelling akan ditingkatkan oleh hormon paratiroid, hormon
pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D. Sedang yang menghambat proses remodelling
adalah kalsitonin, estrogen dan glukokortikoid. Proses-proses yang mengganggu remodelling
tulang inilah yang menyebabkan osteoporosis.
-Selain gangguan pada proses remodelling tulang faktor lainnya adalah pengaturan
metabolisme kalsium dan fosfat. Walaupun terdapat variasi asupan kalsium yang besar, tubuh
tetap memelihara konsentrasi kalsium serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis
kalsium serum dikontrol oleh organ tulang, ginjal dan usus melalui pengaturan paratiroid
hormon (PTH), hormon kalsitonin, kalsitriol (1,25(OH)2 vitamin D) dan penurunan fosfat
serum. Faktor lain yang berperan adalah hormon tiroid, glukokortikoid dan insulin, vitamin C
dan inhibitor mineralisasi tulang (pirofosfat dan pH darah). Pertukaran kalsium sebesar 1.000
mg/harinya antara tulang dan cairan ekstraseluler dapat bersifat kinetik melalui fase formasi
dan resorpsi tulang yang lambat. Absorpsi kalsium dari gastrointestinal yang efisien
tergantung pada asupan kalsium harian, status vitamin D dan umur. Didalam darah absorpsi
tergantung kadar protein tubuh, yaitu albumin, karena 50% kalsium yang diserap oleh tubuh
terikat oleh albumin, 40% dalam bentuk kompleks sitrat dan 10% terikat fosfat.
2.4 Faktor Resiko Osteoporosis
1. Usia

Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8

2. Genetik

Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)

Seks (wanita > pria)

Riwayat keluarga

3. Lingkungan, dan lainnya

Defisiensi kalsium

Aktivitas fisik kurang

Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin)

Merokok, alkohol

Resiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin, gangguan


penglihatan)

Hormonal dan penyakit kronik

Defisiensi estrogen, androgen

Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme

Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal, gastrektomi)

Sifat fisik tulang

Densitas (massa)

Ukuran dan geometri

Mikroarsitektur

Komposisi

-Selain itu ada juga faktor resiko faktur panggul yaitu,:


1. Penurunan respons protektif

Kelainan neuromuskular

Gangguan penglihatan

Gangguan keseimbangan

2. Peningkatan fragilitas tulang

Densitas massa tulang rendah

Hiperparatiroidisme

3. Gangguan penyediaan energi

Malabsorpsi

2.5 Klasifikasi Osteoporosis


-Dalam terapi hal yang perlu diperhatikan adalah mengenali klasifikasi osteoporosis dari
penderita. Osteoporosis dibagi 2 , yaitu :

Osteoporosis primer

Osteoporosis primer berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang menyebabkan


peningkatan proses resorpsi di tulang trabekula sehingga meningkatkan resiko fraktur
vertebra dan Colles. Pada usia dekade awal pasca menopause, wanita lebih sering terkena
daripada pria dengan perbandingan 6-8: 1 pada usia rata-rata 53-57 tahun.

Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain di luar tulang.

Osteoporosis idiopatik

Osteoporosis idiopatik terjadi pada laki-laki yang lebih muda dan pemuda pra menopause
dengan faktor etiologik yang tidak diketahui.
2.6 Patogenesis
-Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus menerus. Pada osteoporosis,
massa tulang berkurang, yang menunjukkan bahwa laju resorpsi tulang pasti melebihi laju
pembentukan tulang. Pembentukan tulang lebih banyak terjadi pada korteks
Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium
-Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi organik
(30%) dan substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta
sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb. Substansi organik terdiri
dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan osteoklas dan matriks tulang (98%) terdiri

dari kolagen tipe I (95%) dan protein nonkolagen (5%) seperti osteokalsin, osteonektin,
proteoglikan tulang, protein morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang.
-Tanpa matriks tulang yang berfungsi sebagai perancah, proses mineralisasi tulang tidak
mungkin dapat berlangsung. Matriks tulang merupakan makromolekul yang sangat bersifat
anionik dan berperan penting dalam proses kalsifikasi dan fiksasi kristal hidroksi apatit pada
serabut kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis dan beban mekanik sesuai dengan
hukum Wolf, yaitu setiap perubahan fungsi tulang akan diikuti oleh perubahan tertentu yang
menetap pada arsitektur internal dan penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum
matematika. Dengan kata lain, hukum Wolf dapat diartikan sebagai bentuk akan selalu
mengikuti fungsi.
Patogenesis Osteoporosis primer
-Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal
setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal
meningkat. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow
stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas, dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause
akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas
meningkat.
-Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan
meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada
menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan
oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga
meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk
garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang
respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik.
Patogenesis Osteoporosis Sekunder
-Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42% dan
kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan 9 kehidupannya, terjadi
ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi
tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang,
perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur.
-Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini
disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan
paparan sinar matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan
osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang misalnya osteokalsin.
Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan
osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan kadar estrogen
yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah
terjadi. Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan
kadar Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan
meningkatkan pengikatan estrogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif.

-Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua
adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama).
Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih tinggi pada
orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai
yang licin atau tidak rata, dll.
2.7 Gambaran Klinis
-Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa dekade, hal ini disebabkan karena
osteoporosis tidak menyebabkan gejala fraktur tulang. Beberapa fraktur osteoporosis dapat
terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian. Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah
fraktur pada vertebra, pergelangan tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang paling
lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan deformitas pada tulang
belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps vertebra terutama pada daerah dorsal atau
lumbal. Secara khas awalnya akut dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam
perut. Nyeri dapat meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalik ditempat
tidur. Istirahat ditempat tidaur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi akan berulang
dengan jangka waktu yang bervariasi. Serangan nyeri akut juga dapat disertai oleh distensi
perut dan ileus
-Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila didapatkan :

Patah tulang akibat trauma yang ringan.

Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.

Gangguan otot (kaku dan lemah)

Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.

2.8 Diagnosis
-Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena tidak ada rasa nyeri
pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis lanjut. Khususnya pada wanitawanita menopause dan pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan
dengan adanya nyeri akibat defisiensi estrogen. Masalah rasa nyeri jaringan lunak (wallaca
tahun1981) yang menyatakan rasa nyeri timbul setelah bekerja, memakai baju, pekerjaan
rumah tangga, taman dll. Jadi secara anamnesa mendiagnosis osteoporosis hanya dari tanda
sekunder yang menunjang terjadinya osteoporosis seperti :
- Tinggi badan yang makin menurun.
- Obat-obatan yang diminum.

- Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi, klimakterium.


- Jumlah kehamilan dan menyusui.
- Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.
- Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan matahari cukup.
- Apakah sering minum susu? Asupan kalsium lainnya.
- Apakah sering merokok, minum alkohol?
Pemeriksaan Fisik
-Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis. Demikian
juga gaya berjalan penderita osteoporosis, deformitas tulang, nyeri spinal. Penderita dengan
osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan.
Pemeriksaan Radiologis
-Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah
trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang
memberikan gambaran picture-frame vertebra.
Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)
Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko fraktur . untuk
menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan kriteria kelompok kerja WHO,
yaitu:
1. Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang
orang dewasa muda (T-score)
2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-score.
3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.
4. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.
2.9 Penatalaksanaan

-Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi pencegahan yang
pada umumnya bertujuan untuk menghambat hilangnya massa tulang. Dengan cara yaitu
memperhatikan faktor makanan, latihan fisik ( senam pencegahan osteoporosis), pola hidup
yang aktif dan paparan sinar ultra violet. Selain itu juga menghindari obat-obatan dan jenis
makanan yang merupakan faktor resiko osteoporosis seperti alkohol, kafein, diuretika,
sedatif, kortikosteroid.
-Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa tulang dengan
melakukan pemberian obat-obatan antara lain hormon pengganti (estrogen dan progesterone
dosis rendah). Kalsitrol, kalsitonin, bifosfat, raloxifene, dan nutrisi seperti kalsium serta
senam beban.
-Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama bila terjadi
fraktur panggul.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pada osteoporosis terjadi perubahan mikro arsitektur tulang yang menyebabkan
kerapuhan tulang.
2. Faktor resiko osteoporosis yang meliputi usia, lamanya menopause dan kadar
estrogen yang rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang
tinggi, riwayat barat badan lebih atau obesitas dan latihan yang teratur
3. Penyusutan kepadatan tulang mulai terjadi berangsur-angsur sejak perempuan berusia
30-40 tahun dan osteoporosis mulai dapat dijumpai kurang lebih 5-10 tahun setelah
menopaouse.
4. Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi pencegahan dan
terapi obat-obatan
Saran
1. Memberikan edukasi yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya untuk
meringankan penyakit
2. Penatalaksanaan yang efektif dan efiisien pada penderita untuk mendapatkan hasil
yang baik dan mencegah kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Simadibrata, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: FKUI , 2006.
Lane NE. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2003.
Broto R. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosis
http://www.sabah.org.my/bm/nasihat/artikel_kesihatan/osteoporosis.( di akses tanggal 21
oktober 2006)
http://www.medicastore.com/nutrafor/isi.( diakses tanggal 21 oktober 2006)

Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi dan


Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare Akut Pada Balita
di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
Kabupaten Indragiri Hilir
sumber http://www.yayanakhyar.co.nr/
ABSTRACT
THE CORRELATION BETWEEN ENVIRONMENT, SOCIAL-ECONOMY AND
KNOWLEDGE AMONG MOTHERS TOWARDS INCIDENS OF ACUTE DIARRHEA
ON CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD
IN PEKAN ARBA VILLAGE TEMBILAHAN DISTRICT
OF INDRAGIRI HILIR REGENCY
BY
YANCE WARMAN
Diarrhea is still fully guarded to fell in children under five years old. Its one of the main
factor of death and illness to children in the developed country as Indonesia. Many factors
influenced this phenomenon. Some of them were environment, social-economy and well
informed mother. The aim of this research was conducted to map the condition and
specifically executed in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency.
This research used methode of analitycal cross sectional approach. Population was mother
who have children under five with numery 535, but the sample was 230. The instrument of the
research was questionnaire. The analysis data used SPSS program.

From this research was founded that percentage of respondent environment condition at 41.7
% was good health. 54.4% was moderate and 3.9% was bad environment. Instead,
respondent social-economy can be categorized 3.9% was underprosperous, 79.1% was
prosperous level I, 4.8% was prosperous level II, 4.4 % was prosperous level III and 7.8%
was upper prosperous. Looking at well informed factor research concludes that 46,5 % was
good and 53,5 % was moderate. This research also concludes that Diarrhea percentage of
children under five was 53% of sample. The correlation between environment, social
economy and knowledge among mothers towards incidens of acute diarrhea on children
under five years old indicated significant correlation and positif relation. Overall well
informed factor was more significantly influence acute diarrhea rate in Pekan Arba VillageTembilahan District of Indragiri Hilir Regency compared to other factors.
Keywords: Environment, Social-Economy, Knowledge among Mothers, Incidens of acute
diarrhea on children under five years old
ABSTRAK
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN, SOSIAL EKONOMI
DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA BALITA
DI KELURAHAN PEKAN ARBA KECAMATAN TEMBILAHAN KABUPATEN
INHIL
OLEH
YANCE WARMAN
Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare merupakan
penyebab utama kematian dan kesakitan pada anak di Negara berkembang, termasuk
Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare ini, diantaranya faktor
lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap
kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten
INHIL.
Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional study. Populasi dari penelitian ini
adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang bertempat tinggal di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL. Populasi berjumlah 535, dengan sample
berjumlah 230. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Pengolahan dan analisis data dengan
mengunakan SPSS.
Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi lingkungan responden berada dalam kategori baik
41,7%, cukup 54,4% dan buruk 3,9%. Keadaan sosial ekonomi berada dalam kategori
keluarga prasejahtera 3,9%, keluarga sejahtera I 79,1%, keluarga sejahtera II 4,8%, keluarga
sejahtera III 4,4% dan keluarga sejahtera III plus 7,8%. Tingkat pengetahuan ibu berada

dalam kategori tinggi 46,5%, sedang 53,5%. Angka kejadian diare pada anak balita 53% dari
jumlah sample. Korelasi antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu
terhadap kejadian diare akut pada anak balita menunjukkan korelasi yang signifikan dan
hubungan yang positif, dimana pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat
dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian diare akut
pada balita di Kelurahan Pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.
Kata kunci : Lingkungan, Sosial ekonomi, Pengetahuan ibu, Kejadian diare akut pada anak
balita
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu negara.
Masa perkembangan tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita. Masa balita
merupakan masa yang paling rentan terhadap serangan penyakit. Terjadinya gangguan
kesehatan pada masa tersebut, dapat berakibat negatif bagi pertumbuhan anak itu seumur
hidupnya (Soetjiningsih, 1995, Adzania, 2004). Penyakit yang masih perlu diwaspadai
menyerang balita adalah diare (Sutoto, Indriyono, 1996, Widjaja, 2003)
Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun, dengan korban
meninggal sekitar 5 juta jiwa. Statistik di Amerika mencatat tiap tahun terdapat 20-35 juta
kasus diare dan 16,5 juta diantaranya adalah balita (Pickering et al, 2004). Angka kematian
balita di negara berkembang akibat diare ini sekitar 3,2 juta setiap tahun (Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Statistik
menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia,
duapertiganya adalah balita dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Pickering et al,
2004). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada tahun 2003 angka kejadian
diare di Provinsi Riau sebanyak 84.634, tahun 2004 sebanyak 87.660 orang dan pada tahun
2005 diare menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada pasien rawat inap di
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir
mencatat bahwa angka kejadian diare di Tembilahan pada tahun 2004 mencapai 904 kasus,
pada tahun 2005 sebanyak 725 kasus. Data dari puskesmas Tembilahan diketahui bahwa
kejadian diare di Kelurahan Pekan Arba tahun 2004 sebanyak 85 kasus, dan tahun 2005
sebanyak 102 kasus.
Departemen kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa tingkat kematian bayi di
Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota
Assosiation South East Asia Nation (ASEAN). Penyebab utama kesakitan dan kematian pada
anak di negara berkembang adalah diare. Sampai saat ini diare tetap sebagai child killer
peringkat pertama di Indonesia (Andrianto, 1995, Warouw, 2002).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi kejadian diare akut pada balita. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
faktor lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Faktor-faktor tersebut
merupakan faktor yang berasal dari luar dan dapat diperbaiki, sehingga dengan memperbaiki
faktor resiko tersebut diharapkan dapat menekan angka kesakitan dan kematian diare pada
balita (Irianto, 2000, Warouw, 2002, Asnil et al, 2003).
Berdasarkan latar belakang di atas maka saya tertarik mengetahui hubungan antara
lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita
di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir.
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah
terdapat hubungan antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap
kejadian diare akut di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan INHIL?
1.3. Hipotesis penelitian
Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
a. Adanya hubungan antara keadaan lingkungan, yakni sumber air minum, jamban,
perumahan, sampah dan pengelolaan limbah, dengan kejadian diare akut pada balita di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
b. Adanya hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada balita di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
c. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
1.4. Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum :
Mengetahui hubungan keadaan lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan
kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.
1.4.2 Tujuan Khusus :
Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :
1. Mengetahui gambaran keadaan lingkungan masyarakat di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan
2. Mengetahui gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan
3. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu sehubungan dengan kejadian Diare akut di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

4. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
5. Mengetahui hubungan antara sosial ekonomi masyarakat terhadap kejadian diare akut pada
balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
6. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
7. Mengetahui kontribusi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian
diare akut pada balita di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan
1.5. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain :
a. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh lingkungan, sosial ekonomi dan
pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita, mampu mengenali permasalahan
kesehatan di masyarakat serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapat dibangku
kuliah ketengah masyarakat.
b. Diharapkan membantu pemerintah setempat dalam usaha penetapan kebijakan,
pengembangan program khususnya bidang kesehatan lingkungan, sosial ekonomi dan
peningkatan pengetahuan ibu-ibu di bidang kesehatan
c. Menambah referensi perpustakaan di Fakultas Kedokteran Universitas Riau, memberi
masukan, saran kepada fakultas mengenai target-target dan kurikulum apa saja yang akan
dikembangkan di fakultas untuk menghasilkan lulusan dokter yang siap terjun di masyarakat
d. Menambah wawasan penulis khususnya tentang cara-cara pencegahan dan faktor yang
dapat mempengaruhi kejadian diare akut pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diare Akut
2.1.1.Definisi Diare
Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak
normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UI, 1998)

2.1.2. Klasifikasi Diare


Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut, diare persisten dan
diare kronis. (Asnil et al, 2003).
2.1.2.1 Diare Akut
Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14 hari, dengan
pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah
2.1.2.2 Diare Persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare
akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.
2.1.2.3 Diare kronis
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi,
seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama
diare kronik lebih dari 30 hari.
2.1.3. Etiologi
Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat,
imunodefisiensi dan keadaan-keadaan tertentu. (Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003).
2.1.3.1 Infeksi
Infeksi terdiri dari infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran
pencernaan dan infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan.
(Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Ngastiyah, 2004). Mikroorganisme yang
menjadi penyebabnya antara lain Aeromonas, Compylobacter, Clostridiumdifficile,
Escherichiacoli, Enterotoxigenic, Enteropathogenic, Shigella, Salmonella, Vibrio cholera,
Enteroinvasive (Pickering et al, 2004).
2.1.3.2 Makanan
Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas, makanan yang
mengandung bakteri atau toksin. Alergi terhadap makanan tertentu seperti susu sapi, terjadi
malabsorbsi karbohidrat, disakarida, lemak, protein, vitamin dan mineral.
2.1.3.3 Imunodefisiensi
Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat
gandanya bakteri, flora usus, jamur, terutama Candida
2.1.3.4 Terapi obat
Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik, antasid

2.1.3.5 Keadaan tertentu


Keadaan lain yang menyebabkan seseorang diare seperti gangguan psikis (ketakutan, gugup),
gangguan saraf.
2.1.4. Epidemiologi
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih besar. Kejadian
diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan
secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan
tinja penderita (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 1999). Prevalensi diare yang tinggi di negara berkembang
merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).
Penurunan angka kejadian diare pada bayi di negara-negara maju, erat kaitannya dengan
pemberian ASI, yang sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran minum anak dan
sebagian lagi karena faktor pencegahan imunologik dari ASI (Asnil et al, 2003). Perilaku
yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya
diare antara lain, tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan,
menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air
minum yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan sesudah
buang air besar (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 1999).
2.1.5. Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan
osmotik dan gangguan sekretorik. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Direktorat
Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999 ).
2.1.5.1 Gangguan osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat
untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare
terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan
isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut di dalamnya akan lewat
tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan
hipertonik, air dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus
sampai osmolaritas dari isi usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi
pula diare.
2.1.5.2 Gangguan sekretorik
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan vili gagal
mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau
meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus.
Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul
diare.

2.1.6. Manifestasi klinis


Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan
berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau
lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur empedu,
karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam
akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus
selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. (Ngastiyah, 1997,
Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003). Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang
baik selama diare akan jatuh pada keadaan-keadaan seperti dehidrasi, gangguan
keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Asnil et al,
2003)
2.1.6.1 Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air. Derajat
dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat badan. Derajat dehidrasi
menurut kehilangan berat badan, diklasifikasikan menjadi empat, dapat dilihat dari tabel
berikut :
Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan

Derajat dehidrasi

Penurunan berat badan (%)

Tidak dehidrasi

<2

Dehidrasi ringan

25

Dehidrasi sedang

5-10

Dehidrasi berat

10

( Buku ajar diare, 1999 )


Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinis

Penilaian
Keadaan umum

A
Baik, sadar

B
Gelisah, rewel

C
Lesu, tidak sadar

Mata
Air mata
Mulut, lidah
Rasa haus

Normal
Cekung
Sangat cekung
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Basah
Kering
Sangat kering
Minum
seperti Haus, ingin minum Malas minum, tidak
biasa
banyak
bisa minum
Periksa:Turgor kulit Kembali cepat
Kembali lambat Kembali
sangat
lambat
Hasil pemeriksaan
Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/ Dehidrasi beratBila
sedangBila ada 1 ada
1
tanda
tanda
ditambah ditambah
1/lebih
1/lebih tanda lain tanda lain
Terapi
Rencana
Rencana
Rencana
pengobatan A
pengobatan B
pengobatanC
( Buku ajar diare, 1999 )
2.1.6.2 Gangguan keseimbangan asam-basa
Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis. Metabolik
asidosis ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam
laktat karena adanya anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat
karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke
dalam cairan intraseluler.
2.1.6.3 Hipoglikemia
Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi
pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala
hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg % pada bayi dan
50 mg % pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis , tremor,
berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.
2.1.6.4 Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya
penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena makanan sering
dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan pengenceran.
Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena
adanya hiperperistaltik.
2.1.6.5 Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan
berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan
dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal
2.1.7. Penatalaksanaan

2.1.7.1 Prinsip penatalaksanaan diare akut


Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Prinsip penatalaksanaan diare akut antara lain dengan rehidrasi, nutrisi,
medikamentosa (Andrianto, 1995)
2.1.7.1.1 Rehidrasi
Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah
cairan yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan atau
muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan
dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih
terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masingmasing anak atau golongan umur.
2.1.7.1.2 Nutrisi
Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek
buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi
tujuannya, serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak, maka
diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral
setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak
merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan
diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi,
pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan mineral dalam
jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena malabsorbsi diberikan makanan
sesuai dengan penyebabnya, antara lain : Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai
menengah, Intoleransi laktosa berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi
berikan makanan rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7
hari masukan nutrisi tidak optimal (Suandi, 1999)
2.1.7.1.3 Medikamentosa
Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin. Obat-obat anti diare meliputi
antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti Norit, kaolin,
attapulgit. Anti muntah termasuk prometazin dan klorpromazin
2.1.7.2 Rencana pengobatan
Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga, yakni
rencana pengobatan A, B dan C.
2.1.7.2.1 Rencana pengobatan A
Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di rumah,
memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan
seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang. Gunakan larutan oralit untuk anak
seperti dijelaskan dalam tabel berikut :
Tabel 2.3 Kebutuhan oralit per kelompok umur

Umur

Jumlah oralit yang diberikan


tiap BAB

Jumlah oralit yang disediakan di


rumah

< 12 bulan

50-100 ml

400 ml/hari ( 2 bungkus)

1-4 tahun

100-200 ml

600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)

> 5 tahun

200-300 ml

800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)

( Buku ajar diare, 1999 )


2.1.7.2.2 Rencana pengobatan B
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ;
dalam 3 jam pertama, berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit
paling sedikit sesuai tabel berikut:
Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama
Umur
Jumlah oralit

< 1 tahun
300 ml

1-5 tahun
600 ml

> 5 tahun
1200 ml

( Buku ajar diare, 1999 )


Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan
ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200 ml air
masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih
rencana A, B atau C untuk melanjutkan pengobatan
2.1.7.2.3 Rencana pengobatan C
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama berikan
cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit.
Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.
2.1.8. Pencegahan Diare
Tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan perbaikan keadaan lingkungan,
seperti penyediaan sumber air minum yang bersih, penggunaan jamban, pembuangan sampah
pada tempatnya, sanitasi perumahan dan penyediaan tempat pembuangan air limbah yang
layak. Perbaikan perilaku ibu terhadap balita seperti pemberian ASI sampai anak berumur 2
tahun, perbaikan cara menyapih, kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah
beraktivitas, membuang tinja anak pada tempat yang tepat, memberikan imunisasi morbili

(Andrianto, 1995). Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang
kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi
sehat ( Notoadmodjo, 2003)
2.2. Lingkungan
Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat
kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga
epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan.
Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan (Mukono, 1995).
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai
penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan
lingkungan (Trisnanta, 1995).
Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap
penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit (Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut
seperti diare, kholera, campak, demam berdarah dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza,
hepatitis, tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya
(Noerolandra, 1999).
Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah
penyediaan air minum, tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah, perumahan dan
pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).
2.2.1 Sumber air
Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air
tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara
sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral
yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak
mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap 100
cc air.
Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara
lain : air hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau.
2.2.2 Pembuangan kotoran manusia
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus
dikeluarkan dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO 2. Masalah pembuangan kotoran
manusia merupakan masalah pokok karena kotoran manusia adalah sumber penyebaran
penyakit yang multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia
antara lain : tipus, diare, disentri, kolera, bermacam-macam cacing seperti cacing gelang,
kremi, tambang, pita, schistosomiasis. Syarat pembuangan kotoran antara lain, tidak
mengotori tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah,
kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau
berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya mudah dan murah
(Notoatmodjo, 2003).

Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus,
sebaiknya semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk,
bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu
pandangan, tidak menimbulkan bau, disediakan alat pembersih seperti air atau kertas
pembersih. (Notoatmodjo, 2003)
Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) :
2.2.2.1 Pit privy (cubluk)
Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata,
hanya dapat dibuat di tanah atau dengan air tanah dalam.
2.2.2.2 Angsatrine
Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat
sehingga bau busuk tidak keluar.
2.2.2.3 Bored hole latrine
Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap
sehingga mengotori air permukaan
2.2.2.4 Overhung latrine
Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses dapat
mengotori air permukaan
2.2.2.5 Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine )
Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga
serangga mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh
air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2.2.2.6 Jamban empang (fishpond latrine)
Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja
dapat dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang
dimakan, demikian seterusnya.
2.2.3 Pembuangan sampah
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah
tangga atau hasil proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik,
adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas,
plastik. Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya :
sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai
berikut: (Notoatmodjo, 2003).
2.2.3.1 Pengumpulan dan pengangkutan sampah

Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah
dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah.
Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA)
2.2.3.2 Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan
pupuk (Composting)
2.2.4 Perumahan
Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi
lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas
bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo,
2003).
2.2.4.1 Ventilasi
Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar
dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas
ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah
2.2.4.2 Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam
ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media
atau tempat baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup
baik siang maupun malam 100-200 lux.
2.2.4.3 Luas bangunan rumah
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m 2 untuk tiap orang.
Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya
konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan
mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain.
2.2.4.4 Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat
Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup,
pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang
berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak
2.2.5 Air limbah
Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada
umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang
terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan
menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain limbah
sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media
berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk,

menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber
pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi produktivitas
manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).
Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi,
persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air
minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak
dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan
vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo,
2003).
2.3. Sosial ekonomi masyarakat
Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga
melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004)
Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena
kemiskinan mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang
memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin
pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih
tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang
berpenghasilan rendah 2 kali lebih besar menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), 3
kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan kematian
anak karena penyakit dibanding anak yang orangtuanya berpenghasilan cukup. (Behrman,
1999)
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta
kemiskinan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam pengentasan
kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin sehingga dapat memperbaiki posisi
mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang berkenaan dengan penanggulangan
kemiskinan. Ada banyak ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kemiskinan. Di
Indonesia saat ini digunakan dua ukuran kemiskinan, yakni yang dihitung BPS (Badan Pusat
Statistik) dan BKKBN (Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional). Informasi
kemiskinan yang dihitung BPS merupakan informasi makro sedangkan informasi dari
BKKBN bersifat mikro dan sangat cocok untuk operasional lapangan. (Badan Penelitian dan
Pengembangan Provinsi Riau, 2004)
Pengukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS dilakukan dengan cara menetapkan nilai
standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun minuman, yang harus dipenuhi
seseorang untuk hidup layak. Garis kemiskinan sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah
yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100
kalori per orang per hari. Individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau,
2004).
Pendataan yang dilakukan oleh BKKBN tiap tahun dengan menggunakan kuesioner,
diperoleh gambaran status kesejahteraan keluarga. Keluarga di Indonesia dikategorikan
dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II,

keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga
yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga
sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun
kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang
telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi
kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah dapat
memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi
sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus
adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis,
pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif
dalam kegiatan kemasyarakatan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004).
2.4. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkat seperti dalam tabel berikut :
Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif
Domain
Definisi
Tahu
Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya
Memahami kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan secara benar.
Aplikasi
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi riil.
Analisis
kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut.
Sintesis
kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
Evaluasi
kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau obyek
( Notoatmodjo, 2003)
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sebagai
parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat
terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga
perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994)
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan pendekatan cross sectional
study yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu
terhadap objek yang berubah.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten
Indragiri Hilir. Hal ini didasari oleh data yang dikumpulkan dari puskesmas setempat bahwa
daerah tersebut memiliki prevalensi kejadian diare yang cukup tinggi, dan berdasarkan data
dari kelurahan dan pengamatan dari peneliti sendiri diketahui bahwa daerah tersebut memiliki
keadaan georafis, sosial ekonomi yang spesifik.
3.3. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober November 2006
3.4. Variabel penelitian
Variabel terikat atau dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare akut pada anak
balita. Variabel bebas atau independen yakni lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan
ibu.
3.5. Definisi operasional
Definisi operasional pada penelitian ini mencakup lima variabel yakni, diare akut pada anak
balita, lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.
3.5.1 Diare akut pada anak balita adalah kejadian diare yang terjadi secara mendadak,
berlangsung kurang dari 14 hari, pada anak balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba,
diketahui dengan cara wawancara langsung dengan ibu balita.
3.5.2 Lingkungan adalah keadaan lingkungan responden yang dinilai dari keadaan
perumahan, sumber air minum, jamban, pengelolaan sampah dan limbah, yang dinilai dengan
menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri, dengan skala
ukur interval. Terdiri dari keadaan lingkungan baik, cukup dan buruk.
3.5.3 Sosial ekonomi adalah tingkat kesejahteraan responden yang dinilai dengan
menggunakan kuesioner resmi yang dikeluarkan oleh BKKBN. Terdiri dari lima tingkatan,
yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III,
dan keluarga sejahtera III plus.
3.5.4 Pengetahuan ibu adalah kumpulan informasi tentang diare yang dipahami oleh ibu-ibu
yang memiliki anak balita di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh dari pengalaman dan
penginderaan terhadap objek tertentu yang diukur dengan menggunakan kuesioner rancangan

penulis dengan skala ukur interval. Terdiri dari tiga tingkat, yakni pengetahuan ibu tinggi,
sedang dan rendah.
3.6. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita yang tinggal di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan dengan jumlah 535 orang. Jumlah sampel
diambil secara proporsional dengan teknik pengambilan sampel secara acak sederhana (
simple random sampling) dengan cara lottery technique, yakni dengan mengundi anggota
populasi. (Notoatmodjo, 2003). Cara menentukan ukuran sampel yang praktis adalah dengan
formula sebagai berikut : (Notoadmodjo, 2002)
n = N1 + N (d2)

Ket : N= besar populasi


n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan ( 95 % )
Sehingga diperoleh jumlah sampel 230 orang. Sampel diambil secara proporsional sesuai
dengan persentase ibu yang memiliki anak balita di tiap RWnya. Jumlah sampel dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 3.1 Distribusi jumlah sampel per RW

Nama RW

Jumlah populasi

Persentase sampel (%)

Jumlah sampel

RW 1

146

27

62

RW 2

225

42

97

RW 3

97

18

41

RW 4

67

13

30

Total

535

100

230

(sumber : data kelurahan Pekan Arba, 2006)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita yang berdomisili di Kelurahan
Pekan Arba dan bersedia diwawancarai. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu balita yang
memiliki balita lebih dari satu.
3.7. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang dirancang oleh penulis sendiri,
dan kuesioner dari BKKBN. Kuesioner yang dirancang oleh penulis telah diuji validitas dan
reliabilitasnya pada responden yang memiliki kriteria hampir sama dengan ibu-ibu yang
memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba Tembilahan.
3.8. Cara pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara dan kuesioner. Pertanyaan bersifat closeended question, untuk menilai status diare diberi alternatif pertanyaan pernah atau tidak.
Penilaian keadaan lingkungan, dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi
dengan pengamatan penulis sendiri. Jika keadaan lingkungan baik maka diberi nilai 1, jika
sebaliknya diberi nilai 0. Menilai keadaan sosial ekonomi, responden mengisi kolom yang
telah tersedia dengan tanda ceklis (). Pengklasifikasian keadaan sosial ekonomi tergantung
dari batas akhir pengisian ceklis oleh responden. Penilaian terhadap pengetahuan Ibu,
responden memilih alternatif jawaban berupa benar dan salah. Responden yang mampu
menjawab dengan tepat pada pertanyaan diberi nilai 1, jawaban yang tidak tepat akan diberi
nilai 0 untuk pertanyaan favorable, pertanyaan unfavorable bernilai sebaliknya.
Berikut ini merupakan blue print dari kuesioner penilaian tingkat pengetahuan ibu terhadap
kejadian diare pada anak balita.
Tabel 3.2 Blue print kuesioner pengetahuan ibu tentang kejadian diare

Variabel

Nomor butir item

Jumlah butir
item

Favorable Unfavorable
Definisi Diare

1,3

Etiologi diare

4,5,7

Penatalaksanaan diare

10,12,13

8,9,11

Pencegahan diare

14,15

3.9. Pengolahan dan Analisis data

3.9.1 Pengolahan data


Pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara manual, dengan tahapan sebagai berikut :
3.9.1.1 Data lingkungan dan pengetahuan ibu
Data lingkungan diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dikonfirmasi dengan
pengamatan penulis sendiri. Data pengetahuan ibu diperoleh melalui pengisian kuesioner
rancangan penulis. Setelah data terkumpul, dilakukan pengecekan kembali data-data yang
sudah diperoleh untuk selanjutnya diklarifikasi, ditabulasi dan dinilai, dengan menggunakan
rumus :
Nilai = Jumlah jawaban benar X 100
Skor total
selanjutnya dimasukkan ke dalam skala pengukuran dengan rentang nilai. Rentang nilai
dibagi atas tiga dengan skala ukur interval, untuk lingkungan terdiri dari :Baik ( 68-100),
Cukup ( 34-67 ), buruk (0-33), sedangkan untuk pengetahuan ibu terbagi atas, tinggi (680100), sedang (34-67) dan rendah (0-33).
3.9.1.2 Data sosial ekonomi keluarga
Data sosial ekonomi keluarga diperoleh melalui pengisian kuesioner yang sudah baku dari
dinas BKKBN kota Tembilahan. Setelah kuesioner terkumpul, dilakukan tahapan sebagai
berikut, yakni mengecek kembali data-data yang sudah diperoleh untuk selanjutnya
diklarifikasi. Berdasarkan data tersebut maka dapat diklasifikasikan sosial ekonomi keluarga
menjadi lima tingkatan yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap 1, keluarga
sejahtera tahap 2, keluarga sejahtera tahap 3, keluarga sejahtera tahap 3 plus.
3.9.2 Analisis data
Variabel bebas dan terikat dalam penelitian ini akan dikorelasikan dengan rumus korelasi
Pearson (Pearson product moment Correlation) sebagai berikut : (Sugiono, 2005) :
rxy = xy
(xy)
dimana :
rxy = Korelasi antara variabel terikat dengan variabel bebas
x = ( Xi X )
y = ( Yi Y )
Analisis data ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS pada komputer. Kesimpulan
pada uji analisis assosiatif dengan menghitung nilai p. Bila nilai p > 0,05 maka Ht ditolak,

artinya tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yang diteliti. Sebaliknya
jika p< 0,05 maka Ht diterima, artinya terdapat hubungan antara variabel bebas dan terikat
yang diteliti.
Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikatnya maka
digunakan persamaan regresi, korelasi ganda tiga prediktor. Korelasi ganda tiga prediktor
digunakan untuk mengetahui kontribusi tiga variabel bebas terhadap variabel terikatnya.
Korelasi ganda tiga prediktor dalam penelitian ini akan dianalisis kontribusi variabel
lingkungan, sosial ekonomi, pengetahuan ibu terhadap kejadian diare. Analisis ini dilakukan
dengan menggunakan SPSS yakni uji regresi linear (Dahlan, 2004, Trihendradi, 2004).
Persamaan regresi untuk tiga prediktor adalah (Sugiono, 2005) :
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3
Dimana :
Y = Kejadian diare akut pada anak balita
X1 = Lingkungan
X2 = Pengetahuan ibu
X3 = Sosial ekonomi
Rumus korelasi ganda tiga prediktor (Sugiono, 2005) :
Ry (1,2,3) = b1X1Y + b2X2Y + b3X3Y
Y2
Uji signifikansi koefisien korelasi ganda (Sugiono, 2005) :
F = R2 (N- m 1)
m ( 1-R2)
dimana :
R = Koefisien korelasi ganda
N = Jumlah anggota sampel
M = Jumlah variabel independen
Kesimpulan uji analisis korelatif menyatakan kemaknaan dan besarnya kekuatan korelasi,
sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 3.3 Interpretasi hasil uji hipotesis korelatif

Parameter

Kekuatan korelasi (r)

Nilai

Interpretasi

0,00-0,199

Sangat lemah

0,20-0,399

Lemah

0,40-0,599

Cukup kuat

0,60-0,799

Kuat

0,80-1,000

Sangat kuat

P<0,05

Korelasi bermakna

p>0,05

Korelasi tidak bermakna

Nilai p

( Seri statistik untuk kedokteran dan kesehatan, 2001)


BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran umum daerah penelitian
Kelurahan Pekan Arba yang merupakan satu diantara enam kelurahan yang berada di
Kecamatan Tembilahan. Penduduk di wilayah kelurahan ini berjumlah 5712 jiwa, laki-laki
2763 dan perempuan 2949. Jumlah kepala keluarga 1190 dan balita sebanyak 535 orang.
Mata pencaharian utama masyarakat adalah wiraswasta, petani dan pegawai negeri sipil.
Kualitas angkatan kerja menurut pendidikan yang ditamatkan masih didominasi oleh tamatan
SD. Kelurahan ini hanya terdapat satu puskesmas pembantu (pustu) dan enam posyandu
sebagai prasarana kesehatan. Kader-kader posyandu adalah ibu-ibu rumah tangga, yang
bersedia mengabdikan diri dalam kegiatan tersebut, dipilih oleh masyarakat setempat karena
keaktifannya. Pelatihan kader ini dilakukan oleh Pustu secara berkala. Jumlah kader tiap
posyandu sebanyak dua orang. Sebagian kawasan di kelurahan ini berada di pusat kota dan
sebagian lagi jauh dari pusat kota, dengan kondisi alam yang berawa-rawa, banyak lahan
kosong berupa semak-semak dan pepohonan.

4.2. Karakteristik responden


Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan kuesioner diperoleh
gambaran karakteristik sampel di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten
Indragiri Hilir. Responden berjumlah 230 orang. Responden adalah ibu-ibu yang memiliki
anak balita berusia 1-5 tahun memiliki kisaran umur 18 tahun terendah dan 49 tahun
tertinggi.
Adapun distribusi tingkat pendidikan ibu-ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba
menurut pendidikan yang ditamatkan, seperti tergambar pada gambar berikut :

Anda mungkin juga menyukai