Diajukan oleh :
Rahayu Prabaningtyas
(J510155059)
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT
SEPTUM DEVIASI DENGAN SINUSITIS
Yang diajukan Oleh :
Rahayu Prabaningtyas
J510155046
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari.....................tanggal ...........................
Pembimbing
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT-KL (K), MBA., MARS.,
M.Si, Audiologist
(..)
Dipresentasikan di hadapan
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT-KL (K), MBA., MARS.,
M.Si, Audiologist
(..)
Disahkan Ka Profesi FK UMS
Nama
: dr. D. Dewi Nirlawati
(..)
BAB I
STATUS PENDERITA
I.
IDENTITAS PASIEN
Pasien Nama
Umur
Jenis kelamin
: Nn. BS
: 24 tahun
: Perempuan
Alamat
Status perkawinan
Agama
Suku
Tanggal pemeriksaan
No. RM
II.
:
:
:
:
:
:
Bejen, Karanganyar
Belum Menikah
Islam
Jawa
22 Juli 2015
341xxx
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Bangsal Kantil 1
: disangkal
: diakui
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Allergi
: disangkal
Riwayat Asma
: diakui
: diakui
: disangkal
: disangkal
Riwayat Pengobatan
Sudah berobat ke dokter dan diberi obat semprot hidung (pasien lupa nama
obatnya) dan keluhan berkurang.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Pasien :
1. Vital Sign : Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 80 x/mnt
Respirasi
: 16 x/mnt
Suhu (per axillar)
: 360 C
2. Keadaan Umum
: Baik
3. Kesadaran
: Compos Mentis
B. Status Generalis :
1. Kepala
: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
2. Leher
:Retraksi supra sterna (-) deviasi trachea (-)
peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar limfe (-), inspeksi bengkak di leher
sebelah kiri. Palpasi nyeri Tekan (-)
3. Abdomen
: Simetris, distended (-), bekas operasi(-)
4. Ekstremitas
: Clubbing finger (-), Edema tungkai (-)
C. Status Lokalis :
1. Pemeriksaan Rongga Mulut dan Faring
a. Inspeksi : Mukosa faring hiperemis (-), granulasi (-), palatum mole
nampak edema hiperemis (-) tonsil T1-T1 , kripte melebar (-), detritus
(-), perlengketan (-) uvula di tengah, gigi caries (-).
b. Palpasi : limfadenopati (-), nyeri tekan (-)
3. Pemeriksaan Telinga
INSPEKSI
- Telinga kanan : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka
-
4. Pemeriksaan Hidung
a. Inspeksi : Deformitas (-), bekas luka (-), sekret (+), edema (-)
b. Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (+) pada hidung sebelah kanan
c. Rinoskopi anterior
:
- ND: Mukosa hiperemis (+), concha media hipertrofi (-) concha inferior
hipertrofi (+), concha livide (+), secret (+) berwarna jernih, septum nasi
deviasi (+) ke arah kanan, udem (-), massa dirongga hidung (-)
- NS: Mukosa hiperemis (+),concha media hipertrofi (-) concha inferior
hipertrofi (+), concha livide (+), secret (+) berwarna jernih, septum nasi
deviasi (+) ke arah kanan, udem (-), massa dirongga hidung (-).
d. Rinoskopi posterior
- Dinding belakang
-Muara tuba eustachii
-Adenoid
-Tumor
Hasil
Hemoglobin
13,5
14-18 gr%
Hematokrit
38,1
42-52 vol %
Lekosit
6,63
5-10 10^3/Ul
Trombosit
282
150-300^3/Ul
Eritrosit
4,50
4,00-5,50^6/Ul
MPV
7,1
6,5-12 fl
PDW
15,6
9,0-17
MCV
84,7
82-92 fl
MCHC
35,4
32,0-37,0 g/dl
Gran%
45,8 (L)
50-70%
Limfosit%
41,3 (H)
25-40%
Monosit%
1,9 (L)
3-9%
Eosinofil %
10,5 (H)
0,5-5%
Basofil %
0,5
0,0-1,0%
CT
04.00
2.8 Menit
BT
02.00
1-3 menit
E. DIAGNOSIS BANDING
1. Septum deviasi dengan sinusitis
2. Rinitis alergi
3. Sinusitis kronik
4. Hematoma septum
F. DIAGNOSIS
Septum deviasi dengan sinusitis
G. PENATALAKSANAAN
1. Operatif : septum koreksi dan CWL
2. Medikamentosa :
Inf RL 20 tpm
Inj amoxicillin 1 gr/ 12 jam
Inj asam tranexamat 500 mg/ 8 jam
Inj ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj methil prednisolon 62,5 mg/ 12 jam
OS: amoxicillin 3x500mg, methil prednisolon 2x4mg, antalgin
3x500mg
3. Non Medikamentosa :
Terapi cuci hidug 2 x 20 cc dengan larutan NaCl
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Septum Deviasi
1. Definisi
Septum deviasi adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
ketidaksejajaran dari septum (dinding tipis yang memisahkan kedua cuping
hidung). Septum deviasi merupakan salah satu bentuk dari deformitas
septum yang sering ditemui.
2. Epidemiologi
Studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi septum deviasi meningkat
seiring usia. Van der Veken mennjukkan bahwa prevalensi septum deviasi
pada anak-anak meningkat dari 16% sampai 72% secara linier dari usia 314 tahun. Sedangkan Gray melaporkan
kejadian
septum
deviasi
adalah
79%.
Berdasarkan
Journal
of
kasus disebabkan oleh trauma dan 24% kasus disebabkan oleh trauma pada
saat lahir.
3. Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah
lahir, pada saat partus atau saat janin intrauterin. Penyebab lainnya adalh
ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh,
meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan demikian,
maka akan terjadi deviasi septum nasi tersebut.
4. Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah diajukan, cottle membagi septum nasi
menjadi 5 bagian area yaitu; vestibular, valvar, turbinal, attic, dan area
koana posterior. Dia juga membagi deviasi septum menjadi 3 tipe
berdasarkan keparahan yaitu; deviasi sederhana, obstruksi dan impaksi.
Mladina memperkenalkan metode objektif untuk mengklasifikasikan
deviasi septum nasi. Mladina menyatakan terdapat 7 klasifikasi deviasi
septum yaitu:
a. Tipe 1 deviasi anterior ringan yang tidak mengganggu fungsi
Terdapat celah unilateral di region katup nasal yang tidak menyebar ke
seluruh septum dan tidak kontak langsung dengan dinding lateral.
b. Tipe 2 deviasi vertical anterior yang menggangu fungsi
Terdapat celah vertical unilateral yang kontak langsung dengan area
katup nasal.
c. Tipe 3 deviasi vertical posterior
Terdapat celah unilateral disebelah puncak turbinate bagian tengah.
d. Tipe 4 septum bentuk S
Terdapat celah vertical bilateral, ini merupakan kombinasi dari tipe 2
dan 3
e. Tipe 5 spur horizontal
Spur ini hampir selalu menyentuh dinding nasal lateral dengan atau
tanpa deviasi tinggi ke sisi lain.
f. Tipe 6, tipe 5 dengan potongan horizontal yang dalam di sisi lain
g. Tipe 7 Septum rusak (mengkerut) : kombinasi lebih dari satu tipe.
5. Gejala Klinis
Keluhan yang paling sering pada septum deviasi adalah sumbatan hidung.
Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi diviasi
terdapat konka hipotrofi dan sisi lainnya konka hipertrofi sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
Keluhan lainnya adalah rasa nyeri di kepala dan sekitar mata. Selain itu,
penghidu dapat terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum.
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis.
6. Diagnosis
Septum deviasi biasanya sudah dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik langsung. Namun, diperlukan juga pemeriksaan
radiologis untuk menegakkan diagnosis pasti.
Dari anamnesis didapati sumbatan hidung yang biasanya unilateral,
terkadang bilateral, selain itu didapati nyeri kepala, ganguan penciuman
dan epistaksis. Dari pemeriksaan fisik didapati bentuk hidung yang
asimetris. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dilihat penonjolan
septum ke arah deviasi, hal ini dapat dilihat pada deviasi yang berat.
Pada deviasi ringan biasanya lebih terlihat normal. Temuan yang kita dapat
dari pemeriksaan fisik bersifat subjektif dan rentan mengalami bias.
Pengukuran yang objektif
8. Tatalaksana
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum. Namun, apabila keluhan sangat mengganggu
maka dapat dilakukan koreksi septum.
Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan , yaitu:
a. Septoplasti
b. Reseksi sub mukosa
Penatalaksanaan pilihan untuk deviasi septum adalah pembedahan
(septoplasti). Prosedur ini dilakukan dengan cara menggeser tulang rawan
yang berdeviasi dan porsi tulang septum bersamaan dengan spur dan celah
dan memasang kembali sesuai posisi yang tepat pada garis tengah wajah.
Septoplasti diindikasikan pada deviasi septum yang menyebabkan
gangguan fungsi pernafasan. Indikasi septoplasti harus diperhatikan pada
anak anak dan remaja yang berusia di bawah15-17 tahun, harus dilakukan
pendekatan konserfatif dalam memilih pasien. Perlakuan yang salah pada
pasien yang lebih muda dapat merusak pertumbuhan tulang septum yang
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4
% penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis
dalam jangka waktu 12 bulan. Dari survei yang dilakukan, diperkirakan
angka prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar
antara 13-16 %, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS
mengidap rinosinusitis kronik. Dengan demikian rinosinusitis kronik
menjadi salah satu penyakit kronik yang paling populer di AS melebihi
penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan sefalgia. Kennedy
melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah kunjungan
pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun
antara tahun 1989 dan 1992. Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka
prevalensi rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding
pria yaitu 6 berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita).
Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun
1996, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis
kronik.
Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis
kronis di bagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun
2006 2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita
(57,6%) dan perempuan 50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering
terlibat adalah maksilaris 68 kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20
kasus (16,9%) dan 13 kasus (11%) etmoidalis, rinosinusitis unilateral 77
kasus (65,3%) dominasi
dektra; dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak
ditemukan adalah obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus
(55,1%), dan rinorea sebanyak 34 kasus (28,8%)
Pada penelitian lainnya seperti El fahmi (2001) pada penelitiannya
terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur
terbanyak adalah (35-44 tahun) sebanyak 30%. Jenis kelamin perempuan
Laboratorium
o Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu
diagnosis sinusitis akut
Imaging
o Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan mukosa, airfluid level, dan perselubungan.Pada sinusitis maksilaris, dilakukan
pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.
o CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis
akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang
mengalami infeksi pernafasan atas dan 40% pada pasien yang
asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya
sinusitis.
o MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan
lunak yang menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk
Kriteria Mayor :
-
Batuk
sinus
2.
Kriteria Minor :
-
Sakit kepala
Edem periorbital
Nyeri di wajah
Sakit gigi
Nafas berbau
Demam
Ultrasound
BAB III
PEMBAHASAN
Pada anamnesis pasien Nn. BS usia 24 tahun datanng ke RSUD
Karanganyar dengan keluhan hidung mampet sejak 1 tahun yang lalu, terutama
hidung sebelah kanan. Mampet dirasakan setiap saat, disertai pilek yang dirasakan
setiap hari. Pasien mengaku sering bersin di pagi hari dan hidung mengeluarkan
cairan jernih dan tidak berbau, cairan dirasakan lebih banyak keluar terutama pada
malam hari. Saat pilek dirasa memberat (disertai demam, pusing, bersin-bersin)
cairan yang keluar disertai bercak darah. Keluhan lain, pasien sering merasakan
pusing terutama di bagian kepala dan sekitar mata. Keluhan telinga tidak ada.
Pasien merasa tenggorokan kering.
Hidung mampet merupakan keluhan yang paling sering dirasakan pada
septum deviasi. Hal tersebut dikarenakan pada septum deviasi terdapat konka
yang hipotrofi pada sisi deviasi dan konka yang hipertrofi pada sisi lainnya
sebagai mekanisme kompensasi.
Pasien mengatakan bahwa keluhan hidung mampet seringkali disertai
pilek. Selain manifestasi dari adanya septum deviasi, keluhan hidung mampet
pada pasien dapat dicurigai karena adanya rinitis. Rinitis merupakan proses
inflamasi mukosa hidung akibat infeksi, alergi, atau iritasi. Rinitis alergi adalah
inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita atopi yang
sebelumnya sudah pernah tersensitasi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior pasien
ini terlihat adanya konka yang livid disertai sekret encer yang merupakan tanda
khas pada rinitis alergi.
Pasien mengeluh adanya pusing di kepala dan daerah sekitar mata. Dari
keluhan tersebut dapat dicurigai adanya sinusitis (diperkuat dengan gambaran
rontgen yang menunjukkan adanya penebalan mukosa sinus maxillaris dexter).
Septum deviasi juga memberikan manifestasi pusing di kepala dan daerah sekitar
mata.
Gambaran rontgen sinus maxillaris dexter menunjukkan adanya penebalan
mukosa sinus, sehingga dicurigai adanya sinusitis. Deviasi septum dapat
menyumbat ostium sinus sehingga menjadi faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu
mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami udem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh
tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior: Tampak adaya konka yang udem
berwarna pucat (livid). Hal ini menunjukkan adanya proses inflamasi di mukosa
hidung atau rinitis. Adanya konka yang livid mengarah kepada gejala khas pada
rinitis alergi, karena pasien memiliki riwayat atopi. Adanya konka yang hipertrofi
dapat menyebabkan penyumbatan pada muara sinus paranasal (KOM) terutama
sinus maxillaris, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sinusitis karena
clearance sinus terganggu. Selain proses pembersihan sinus terganggu dapat pula
memberikan keluhan tenggorokan kering. Hal tersebut dikarenakan salah satu
fungsi sinus paranasal adalah untuk melembabkan udara pernafasan yang masuh
ke paru-paru, sehingga apabila sinus tersumbat maka proses pelembaban udara
terganggu.
Berdasarkan permasalahan yang ada pada pasien serta pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, dapat ditegakkan diagnosis septum deviasi dengan
sinusitis.
Terapi post-Op yang digunakan pada pasien ini adalah : Inj amoxicillin 1
gr/ 12 jam, Inj asam tranexamat 500 mg/ 8 jam, Inj ketorolac 30 mg/ 8 jam, Inj
methil prednisolon 62,5 mg/ 12 jam, OS: amoxicillin 3x500mg, methil
prednisolon 2x4mg, antalgin 3x500mg.
Injeksi ketorolac 30 mg/8 jam digunakan sebagai analgetik. Ketorolac
merupakan obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal
dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu
golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri). Mekanisme kerja
NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan
COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim cyclooxygenase ini berperan dalam memacu
pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin
DAFTAR PUSTAKA
Binfaralkes.
2014.
Antalgin
500mg.
Kementrian
Kesehatan
RI.