EPILEPSI
Pembimbing:
Disusun oleh:
Ayu Reskianingsih
1111103000092
dan
saran
yang
membangun
guna
penyempurnaan
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Tn.A
Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia
: 38 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Status nikah : Menikah
Suku bangsa : Sunda
Alamat
: Depok
Tanggal pemeriksaan : 9 April 2015
1.2 Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis kepada pasien dan istrinya.
Keluhan Utama
Kejang sejak 7 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik Saraf RSUP Fatmawati dengan keluhan kejang
sejak 7 tahun yang lalu. Kejang terjadi pada seluruh tubuh. Kejang diawali dengan
aura, sakit kepala dan leher, pandangan gelap dan vertigo. Saat kejang seluruh
tubuh kaku kemudian kelojotan, pasien sampai mengigit lidahnya. Setelah kejang,
pasien akan tertidur kurang lebih selama 2 jam. Setelah bangun tidur pasien
merasa lemas dan terkadanga muntah. Pasien kejang selama 1-2 menit. Kejang
muncul setiap setahun 1 kali. Riwayat kejang terakhir 2 minggu yang lalu. Kejang
biasa muncul saat pasien tidur atau ketika pasien merasa lelah.
Selama 7 tahun pasien belum pernah berobat ke dokter. Namun saat ini
pasien ke dokter karena 1 bulan terakhir pasien telah kejang selama 2 kali.
Serangan pertama kali terjadi sekitar awal bulan Maret. Saat itu pasien
habis
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan yang sama disangkal
Kejang demam disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat sakit berat disangkal
Riwayat bicara pelo disangkal
Riwayat infeksi disangkal
Sering pingsan disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat kejang di keluarga disangkal.
1.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Sikap
Kooperasi
Keadaan gizi
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernapasan
: 20x/menit
b. Keadaan lokal
Trauma stigmata
: (-)
Pulsasi arteri karotis : reguler, cukup, equal kanan dan kiri
Perdarahan perifer
: capillary refill time < 2 detik
KGB
: tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Columna vertebralis : letak lurus di tengah, skoliosis (-), lordosis (-)
Genitalia eksterna
: tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis teraba di ICS V pada 2 jari medial linea midclavicula
sinistra
Perkusi
:
Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri : ICS V I jari medial linea midklavikularis
Auskultasi
sinistra
Pinggang jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
: BJ I dan II reguler; gallop (-), murmur (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi
: simetris saat statis dan dinamis
Palpasi
: ekspansi dada normal, vokal fremitus kanan kiri sama
Perkusi
: sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
: suara napas vesikuler, ronkhi -/- wheezing -/Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: datar
Palpasi
: supel, hati dan limpa tidak teraba; nyeri tekan (-)
Perkusi
: timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior
: akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/Inferior
: akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/-
c. Pemeriksaan Neurologis
Rangsang Selaput Otak
Kaku kuduk
: (-)
Laseque
: kanan > 70o kiri > 70o
Kerniq
: kanan > 135o kiri > 135o
Brudzinsky I
Brudzinsky II
: kanan(-)
: kanan(-)
kiri(-)
kiri(-)
Saraf kranialis
N.I
N.II
Acies Visus
Visus Campus
Lihat warna
Funduskopi
: baik/ baik
: baik/ baik
: baik/ baik
: tidak dilakukan
N. III,IV dan VI
Kedudukan bola mata
: Ortoposisi/ortoposisi
Pergerakan bola mata
: bebas ke segala arah
Nasal
: +/+
Temporal
: +/+
Nasal atas
: +/+
Temporal atas: +/+
Nasal bawah
: +/+
Temporal bawah
: +/+
Eksoftalmus
: -/Nistagmus
: -/Pupil
Bentuk
: Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm
Refleks cahaya langsung
: +/+
Refleks cahaya konsensual
: +/+
Refleks akomodasi
: +/+
Refleks konvergensi
: +/+
N.V
Cabang motorik
: baik/ baik
Cabang sensorik oftalmikus : baik/ baik
Cabang sensorik maksilaris : baik/ baik
Cabang sensorik mandibularis : baik/ baik
N.VII
Motorik orbitofrontal
: baik/ baik
Motorik orbikularis
: baik/ baik
Pengecapan lidah
: baik/ baik
N.VIII
Vestibular
Vertigo
: (-)
Nistagmus
: (-)
Koklearis
Tuli konduktif
Tuli perspektif
N.IX ; N.X
: -/: -/-
Motorik
Sensorik
N.XI
Mengangkat bahu
Menoleh
N.XII
Pergerakan lidah
Atrofi
Fasikulasi
Tremor
: baik/ baik
: baik/ baik
: baik, tidak ada deviasi
: (-)
: (-)
: (-)
Sistem motorik
: 5555/5555
: 5555/5555
Gerakan involunter
Tremor
Chorea
Atetose
Mioklonik
Tics
Trofik
Tonus
: Eutrofik
: Normotonus
Sistem sensorik
Propioseptif : Baik
Eksteroseptif : Baik
Fungsi serebelar
Ataxia
:Tes Romberg
:Disdiadokokinesia
:Jari-jari
: -/Jari-hidung
: -/Tumit-lutut
:Rebound phenomenon: Hipotoni
: -/-
Fungsi luhur
Astereognosia
Apraksia
Afasia
:::-
Fungsi otonom
Miksi
Defekasi
Sekresi keringat
Refleks fisiologis
Kornea
Biseps
Triseps
Radius
Patella
Tumit
Refleks patologis
Hoffman tromer
Babinsky
Chaddok
Gordon
Schaefer
Klonus lutut
Klonus tumit
Keadaan Psikis
Intelegensia
Tanda regresi
Demensia
: baik
::-
: baik
: baik
: baik
: +/+
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
1.4 Resume
Pasien datang ke poliklinik Saraf RSUP Fatmawati dengan keluhan
kejang sejak 7 tahun yang lalu. Kejang terjadi pada seluruh tubuh. Kejang
diawali dengan aura, sakit kepala dan leher, pandangan gelap dan vertigo.
Kejang kelojotan dan menggigit lidah. Setelah kejang, pasien akan tertidur
kurang lebih selama 2 jam. Pasien kejang selama 1-2 menit. Kejang muncul
setiap setahun 1 kali. Riwayat kejang terakhir 2 minggu yang lalu. Kejang
biasa muncul saat pasien tidur atau ketika pasien merasa lelah. Riwayat
berobat ke dokter belum pernah. Namun saat ini pasien ke dokter karena 1
bulan terakhir pasien telah kejang selama 2 kali.
Pemeriksaan fisik dan neurologis tidak terdapat kelainan.
1.5 Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis
Diagnosis etiologi
Diagnosis topik
Laboratorium
CT Scan Kepala
EEG
1.9 Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam
: bonam
: bonam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Bangkitan
epilepsi adalah (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh
aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron.
Manifestasi ini datang tiba-tiba dan sementara dalam bentuk perubahan perilaku
stereotipik yang dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik,
gangguan psikis, gangguan sensorik, dan gangguan otonom.
2.2 Epidemiologi
Dari berbagai hasil penelitian, didapatkan bahwa diantara 1000 orang
penduduk didapatkan 5-20 orang penderita epilepsy. Dengan perkataan lain:
angka kejadian atau prevalensi epilepsy adalah 5-20 per 1000 penduduk. Sampai
saat ini belum ada penelitian mengenai prevalensi epilepsy di Indonesia.
Tingginya angka kejadian epilepsy di Negara berkembang diduga juga
dipengaruhi oleh beberapa factor, misalnya: perawatan ibu hamil, keadaan waktu
melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi.
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50
pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka
kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. Kematian dapat
berhubungan lengsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangan kejang
tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar atau jika terjadi cedera
akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada
penderita epilepsi (sudden unexplained death in epilepsi, SUDEP) diasumsikan
berhubungan dengan aktifitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi
kardiorespirasi.
2.3 Klasifikasi
Menurut Commision of Classification and Terminology of International
League Against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai
berikut:
a.
1.
epilepsi Jackson
Versif: gejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
Postural: kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku
b.
2.
Hanya
dengan
penurunan
kesadaran
Dengan automatisme.
a.
lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak
mengulai.
Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
b.
Kejang mioklonik
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemas sebagian otot atau semua otot-otot,
sesekali atau berulang-ulang. Kejang ini dapat terjadi pada semua
umur.
c.
Kejang klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang klojot. Dijumpai terutama pada anak.
d.
Kejang tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku, juga terdapat pada anak.
e.
Kejang tonik-klonik
Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan
aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu kejang. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau
menurun sebentar. Kejang ini terutama tejadi pada anak-anak.
pengaktifan kanal Ca2+. Ca2+ yang masuk mula-mula akan membuka kanal kation
yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi yang berlebihan, yang
akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan Cl- yang diaktifasi oleh Ca2+. Kejang
epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah yang
cukup.
Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron disekitarnya
ditingkatkan oleh sejumlah mekanisme selular: dendrit sel piramidal mengandung
kanal Ca2+ bergerbang voltase yang akan membuka pada saat depolarisasi
sehingga meningkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron akan lebih banyak kanal
Ca2+ yang diekspresikan. Kanal Ca2+ dihambat oleh Mg2+, sedangkan
hipomagnesemia akan meningkatkan aktivitas kanal ini. Peningkatan konsentrasi
K+ ekstrasel akan mengurangi efluks K+ melalui kanal K+. Hal ini berarti K+
memiliki efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu yang bersamaan
meningkatkan pengaktifan kanal Ca2+
Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps
eksitatorik. Glutamat bekerja pada kanal kation yang tidak permeabel terhadap
Ca2+ (AMPA) dan pada kanal yang permeabel terhadap Ca2+ (kanal NMDA).
Kanal NMDA normalnya dihambat oleh Mg2+. Akan tetapi depolarisasi yang
dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA menghilangkan penghambatan Mg2+ (kerja
sama dari kedua kanal). Jadi, defisiensi Mg2+ dan depolarisasi memudahkan
pengaktifan kanal NMDA.
Potensial membran neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K +. Syarat
untuk hal ini adalah gradien K+ yang melewati membran sel harus adekuat.
Gradien ini dihasilkan oleh Na+/K+-ATPase. Kekurangan senergi (misalnya akibat
kekurangan O2 atau hipoglikemia) akan menghambat Na+/K+-ATPase sehingga
memudahkan depolarisasi.
Depolarisasi normalnya
dikurangi
oleh
neuron
inhibitorik
yang
mengaktifkan kanal K+ dan/ atau Cl- yang diantaranya melalui GABA. GABA
dihasilkan oleh glutamat dekarboksilase (GD), yakni enzim yang membutuhkan
piridoksin (vitamin B6) sebagai kofaktor. Defisiensi vitamin B6 atau
berkurangnya afinitas enzim terhadap vitamin B6 (kelainan genetik) memudahkan
terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi neuron talamus dapat meningkatkan kesiapan
kanal Ca2+ tipe-T untuk diaktifkan sehingga memudahkan serangan absans.
2.6 Diagnosis
Cara mendiagnosis epilepsi adalah memastikan terlebih dahulu apakah
kejadian tersebut merupakan bangkitan epilepsi, lalu menentukan tipe bangkitan
berdasarkan klasifikasi ILAE 1981 dan etiologi, sindrom, atau penyakit epilepsi
apa yang diderita pasien berdasarkan klasifikasi ILAE 1989. Diagnosis epilepsi
sendiri ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berualng (minimum 2
kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada
EEG.
Anamnesis
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan
berkemih
Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest
Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk bangkitan):
gerakan tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah
Pemeriksaan fisik
A. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan umum tanda-tanda vital dan tanda-tanda yang
berhubungan dengan epilepsi.Tanda-tanda yang berhubungan dengan
epilepsi adalah trauma kepala, infeksi telinga atau sisus, gangguan
kongenital, kecanduan alkohol atau obat trelarang, kelainan pada kulit
(neurofakomatosis), kanker, dan defisit neurologik fokal atau difus.
B. Pemeriksaan neurologis
adalah
pemeriksaan
pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik, dan rutin
setahun sekali.
Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat target level setelah
tercapai steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan
ini
diulang
setiap
tahun
untuk
memonitor
kepatuhan
pasien.Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan muncul, bila terdapat gejala
toksisitas, bila sedang kombinasi dengan obat lain, atau bila terdapat perubahan
fisiologi tubuh seperti kehamilan, luka bakar, dan gangguan fungsi ginjal.
2.7 Terapi
Terapi epilepsi bertujuan untuk mengupayakan tercapainya kualitas hidup
optimal sesuai perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental pasien.
Pasien diharapkan bebas bangkitan tanpa efek samping sehingga
diupayakan untuk menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan
tanpa efek samping atau dengan efek samping minimal, serta menurunkan angka
kesakitan dan kematian.
bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE
pertama.
Pada penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi bila:
pemeriksaan neurologik
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orangtua)
Riwayat bangkitan simtomatik
Terdapat sindrom epilepsi berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic
Epilepsy)
Riwayat trauma kepala terutama disertai penurunan kesadaran, stroke, dan
infeksi SSP
Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Strategi untuk mencegah efek samping:
Pengobatan
kerugiannya
Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil
diberikan
dengan
meperhitungkan
keuntungan
dan
Phenytoin
Carbamazepine
Vaproic Acid
Phenobarbital
Gabapentin
Lamotrigine
Topiramate
Zonisamide
Leveti acetam
Oxcarbazepine
Bangkitan
Bangkitan
Bangkitan
Bangkitan
Bangkitan
fokal
Umum
Tonik
Lena
Mioklonik
Sekunder
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Klonik
+
+
+
+
?+
+
+
?+
?+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
0
0
+
?
?+
?+
-
+
?+
?+?+
?+
?+
-
Carbamazepine
Dosis
Dosis
Jumlah
Titrasi
Waktu
Waktu
awal
(mg/hari)
rumatan
(mg/hari)
dosis
OAE
paruh
tercapainya
400-600
400-1600
2-3x
(untuk
Mulai
plasma
(jam)
15-25
steady state
(hari)
2-7
10-80
3-15
12-18
2-4
per hari
yang
CR 2x)
100/200
mg/hari
sampai
target
dalam 14
Phenytoin
200-300
200-400
1-2x
minggu
Mulai
100
mg/hari
sampai
target
dalam 3-
Valproic acid
500-1000
500-2000
2-3x
7 hari
Mulai
500
mg/hari
bila
perlu
setelah 7
hari
OAE
Phenobarbital
Dosis awal
(mg/hari)
50-100
Dosis
Jumlah
Titrasi
Waktu
Waktu
rumatan
(mg/hari)
dosis
OAE
paruh
tercapainya
50-200
1x
Mulai
plasma
(jam)
50-170
steady state
(hari)
8-30
per hari
30-50
mg
malam
hari
bila
perlu
setelah
10-15
Clonazepam
Clobazam
1
10
4
10-30
1 atau 2
1-2x
hari
20-60
Mulai 10 10-30
2-10
2-6
mg/hari
bila
perlu
sampai
20
mg/hari
setelah
1-2
Oxcarbazepine
600-900
600-3000
2-3x
minggu
Mulai
8-15
2-4
6-8
300
mg/hari
sampai
target
dalam 13
Levetiracetam
1000-2000
1000-3000
2x
minggu
Mulai
5001000
mg/hari
bila
perlu
setelah 2
Topiramate
100
100-400
2x
minggu
Mulai 25 20-30
2-5
mg/hari
25-50
mg/hari
tiap
Gabapentine
900-1800
900-3600
2-3x
minggu
Mulai
5-7
300-900
mg/hari
sampai
target
dalam 5Lamotrigine
50-100
50-200
1-2x
10 hari
Mulai 25 15-35
2-6
mg/hari
selama 2
minggu
sampai
50
mg/hari
selama 2
minggu
50
mg/2
Zonisamid
100-200
100-400
1-2x
minggu
Mulai
60
7-10
200-400
mg/hari
sampai
1-2
Pregabalin
50-75
50-600
2-3x
minggu
-
6,3
1-2
Carbamazepin
o Blok Na-channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine, dan asetilkolin
o Anemia aplastik, hepatotoksik, SJS, lupuslike syndrome
Phenytoin
o Blok Na-channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
dan nneurotransmitter yang voltage dependent
o Anemia aplastik, gangguan fungsi hati, SJS, lupuslike syndrome,
pseudolyphome
Phenobarbital
o Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan eksibilitas
glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium, dan kalsium
o Hepatotoksik, gangguan jaringan ikat dan sumsum tulang, SJS
Valproic acid
o Diduga aktivitas GABA glutaminergik menurunkan ambang
konduktan kalsium dan kalium
o Hepatotoksik, niperamonemia,
leukopenia,
trombositopenia,
pankreatitis
Levetiracetam
o Belum diketahui mekanisme kerjanya
o Mual, nyeri kepala, dizziness (yang mengancam jiwa belum
diketahui)
Gabapentin
o Modulasi Ca-channel tipe N, aktivitas GABAergik
o Teratogenik
Lamotrigine
Oxcarbazepine
o Blok N-channel, menignkatkan konduktan kalium, modulasi
aktivitas Ca-channel
o Ruam, teratogenik
Topiramate
o Blok N-channel, meningkatkan influx GABA-mediated chloride,
modulasi efek reseptor GABA, bekerja pada reseptor AMPA
o Batu ginjal, hipohidrosis, gangguan fungsi hati, teratogenik
Zonisamide
o Blok Na, K, Ca channel, inhibisi glutamat
o Batu ginjal, hipohidrosis, anemia aplastik, skin rash
Pregabalin
o Belum diketahui mekanisme kerjanya
o Peningkatan berat badan
Penghentian OAE
Setelah beberapa lama bangkitan terkontrol, OAE dapat dihentikantanpa
kekambuhan pada 60% pasien.Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap
dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan.
Syarat umum penghentian OAE:
Terapi bedah
Stimulasi nervus vagus
Modifikasi tingkah laku
Relaksasi
Mengurangi dosis OAE
Kombinasi OAE
Terapi bedah
Kriteria terapi bedah:
menit). Dikatakan pasti jika pemberian benzodiazepine awal tidak efektif dalam
menghentikan bangkitan.
Klasifikasi SE:
alkoholisme
o Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 menit)
o Menentukan etiologi
o Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian lorazepam, beri
fenitoin IV 15-20 mg/kgBB dengan kecepatan kurang dari sama
dengan 50 mg/menit (monitor tekanan darah dan EKG pada saat
pemberian) bila kejang masih berlangsung dapat diberi fenitoin
tambahan
5-10
mg.kgBB.
Bila
kejang
berlanjut
berikan
mg/kgBB.
o Memulai terapi dengan vasopressor (domapin) jika perlu
o Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit)
o Bila kejang tetap tidak teratasi selam 30-60 menit, kaa pindahkan
penyandang epilepsi ke ICU, beli propofol (2 mg/kgBB bolus IV
diulang bila perlu) atau midazolam (0,1 mg/kgBB dengan
kecepatan pemberian 4 mg/menit) atau tiopenton (100-250 mg
bolus IV pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50
mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinik atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan
tapering off
o Memonitor bangkitan dan EEG, tekanan intrakranial, memulai
pemberian OAE dosis rumatan
2.9 Komplikasi
a. Kecelakaan akibat kejang sering menyebabkan cedera , seperti cedera
kepala , luka patah tulang dan luka bakar .
b. Gangguan kecemasan dan depresi sering terjadi pada pasien epilepsi
c. Pada penelitian menyebutkan bahwa epilepsi pada wanita meningkatkan
risiko terjadinya fraktur, osteoporosis dan osteomalasia.
d. Terjadinya Sudden unexpected death in epilepsy
2.10
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA