Anda di halaman 1dari 28

DISKUSI TOPIK

EPILEPSI

Pembimbing:

dr.Maysam Irawati, Sp.S

Disusun oleh:
Ayu Reskianingsih
1111103000092

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah diskusi topik iniyang
berjudul Epilepsi.
Makalah diskusi topik ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih


kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
danpenyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Maysam Irawati, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik
ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah diskusi topik
ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala
kritik

dan

saran

yang

membangun

guna

penyempurnaan

makalah diskusi topik ini sangat kami harapkan.


Demikian, semoga makalah presentasi kasus ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta
ilmu pengetahuan kita,terutama dalam bidang neurologi.
Jakarta, 14 April
2015
Penyusun

BAB I
STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Tn.A
Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia
: 38 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Status nikah : Menikah
Suku bangsa : Sunda
Alamat
: Depok
Tanggal pemeriksaan : 9 April 2015

1.2 Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis kepada pasien dan istrinya.
Keluhan Utama
Kejang sejak 7 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik Saraf RSUP Fatmawati dengan keluhan kejang
sejak 7 tahun yang lalu. Kejang terjadi pada seluruh tubuh. Kejang diawali dengan
aura, sakit kepala dan leher, pandangan gelap dan vertigo. Saat kejang seluruh
tubuh kaku kemudian kelojotan, pasien sampai mengigit lidahnya. Setelah kejang,
pasien akan tertidur kurang lebih selama 2 jam. Setelah bangun tidur pasien
merasa lemas dan terkadanga muntah. Pasien kejang selama 1-2 menit. Kejang
muncul setiap setahun 1 kali. Riwayat kejang terakhir 2 minggu yang lalu. Kejang
biasa muncul saat pasien tidur atau ketika pasien merasa lelah.
Selama 7 tahun pasien belum pernah berobat ke dokter. Namun saat ini
pasien ke dokter karena 1 bulan terakhir pasien telah kejang selama 2 kali.
Serangan pertama kali terjadi sekitar awal bulan Maret. Saat itu pasien
habis
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan yang sama disangkal
Kejang demam disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat sakit berat disangkal
Riwayat bicara pelo disangkal
Riwayat infeksi disangkal
Sering pingsan disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat kejang di keluarga disangkal.
1.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Sikap
Kooperasi
Keadaan gizi
Tekanan darah
Nadi
Suhu

: Tampak sakit ringan


: Compos Mentis (GCS : E4, M6, V5 = 15)
: duduk
: kooperatif
: cukup
: 130/80mmHg
: 85x/menit
: 36,5c

Pernapasan

: 20x/menit

b. Keadaan lokal
Trauma stigmata
: (-)
Pulsasi arteri karotis : reguler, cukup, equal kanan dan kiri
Perdarahan perifer
: capillary refill time < 2 detik
KGB
: tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Columna vertebralis : letak lurus di tengah, skoliosis (-), lordosis (-)
Genitalia eksterna
: tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis teraba di ICS V pada 2 jari medial linea midclavicula
sinistra
Perkusi

:
Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri : ICS V I jari medial linea midklavikularis

Auskultasi

sinistra
Pinggang jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
: BJ I dan II reguler; gallop (-), murmur (-)

Pemeriksaan Paru
Inspeksi
: simetris saat statis dan dinamis
Palpasi
: ekspansi dada normal, vokal fremitus kanan kiri sama
Perkusi
: sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
: suara napas vesikuler, ronkhi -/- wheezing -/Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: datar
Palpasi
: supel, hati dan limpa tidak teraba; nyeri tekan (-)
Perkusi
: timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior
: akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/Inferior
: akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/-

c. Pemeriksaan Neurologis
Rangsang Selaput Otak
Kaku kuduk
: (-)
Laseque
: kanan > 70o kiri > 70o
Kerniq
: kanan > 135o kiri > 135o

Brudzinsky I
Brudzinsky II

: kanan(-)
: kanan(-)

kiri(-)
kiri(-)

Saraf kranialis

N.I
N.II

: normosmia kanan dan kiri

Acies Visus
Visus Campus
Lihat warna
Funduskopi

: baik/ baik
: baik/ baik
: baik/ baik
: tidak dilakukan

N. III,IV dan VI
Kedudukan bola mata
: Ortoposisi/ortoposisi
Pergerakan bola mata
: bebas ke segala arah
Nasal
: +/+
Temporal
: +/+
Nasal atas
: +/+
Temporal atas: +/+
Nasal bawah
: +/+
Temporal bawah
: +/+
Eksoftalmus
: -/Nistagmus
: -/Pupil
Bentuk
: Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm
Refleks cahaya langsung
: +/+
Refleks cahaya konsensual
: +/+
Refleks akomodasi
: +/+
Refleks konvergensi
: +/+
N.V
Cabang motorik
: baik/ baik
Cabang sensorik oftalmikus : baik/ baik
Cabang sensorik maksilaris : baik/ baik
Cabang sensorik mandibularis : baik/ baik
N.VII
Motorik orbitofrontal
: baik/ baik
Motorik orbikularis
: baik/ baik
Pengecapan lidah
: baik/ baik
N.VIII
Vestibular
Vertigo
: (-)
Nistagmus
: (-)
Koklearis

Tuli konduktif
Tuli perspektif
N.IX ; N.X

: -/: -/-

Motorik
Sensorik

: arcus faring simetris, uvula di tengah


: baik

N.XI
Mengangkat bahu
Menoleh
N.XII
Pergerakan lidah
Atrofi
Fasikulasi
Tremor

: baik/ baik
: baik/ baik
: baik, tidak ada deviasi
: (-)
: (-)
: (-)

Sistem motorik

Ekstremitas atas proksimal distal


Ekstremitas bawah proksimal distal

: 5555/5555
: 5555/5555

Gerakan involunter

Tremor
Chorea
Atetose
Mioklonik
Tics

Trofik
Tonus

: Eutrofik
: Normotonus

Sistem sensorik

Propioseptif : Baik
Eksteroseptif : Baik

Fungsi serebelar

Ataxia
:Tes Romberg
:Disdiadokokinesia
:Jari-jari
: -/Jari-hidung
: -/Tumit-lutut
:Rebound phenomenon: Hipotoni
: -/-

Fungsi luhur

Astereognosia
Apraksia
Afasia

: -/: -/: -/: -/: -/-

:::-

Fungsi otonom

Miksi
Defekasi
Sekresi keringat

Refleks fisiologis

Kornea
Biseps
Triseps
Radius
Patella
Tumit

Refleks patologis

Hoffman tromer
Babinsky
Chaddok
Gordon
Schaefer
Klonus lutut
Klonus tumit

: -/: -/: -/: -/: -/: -/: -/-

Keadaan Psikis

Intelegensia
Tanda regresi
Demensia

: baik
::-

: baik
: baik
: baik

: +/+
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2

1.4 Resume
Pasien datang ke poliklinik Saraf RSUP Fatmawati dengan keluhan
kejang sejak 7 tahun yang lalu. Kejang terjadi pada seluruh tubuh. Kejang
diawali dengan aura, sakit kepala dan leher, pandangan gelap dan vertigo.
Kejang kelojotan dan menggigit lidah. Setelah kejang, pasien akan tertidur
kurang lebih selama 2 jam. Pasien kejang selama 1-2 menit. Kejang muncul
setiap setahun 1 kali. Riwayat kejang terakhir 2 minggu yang lalu. Kejang

biasa muncul saat pasien tidur atau ketika pasien merasa lelah. Riwayat
berobat ke dokter belum pernah. Namun saat ini pasien ke dokter karena 1
bulan terakhir pasien telah kejang selama 2 kali.
Pemeriksaan fisik dan neurologis tidak terdapat kelainan.
1.5 Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis
Diagnosis etiologi
Diagnosis topik

: kejang generalisata tipe tonik-klonik


: idiopatik
: korteks/subkorteks

1.6 Tata Laksana


Fenitoin 1 x 200 mg po
1.8 Rencana Pemeriksaan

Laboratorium
CT Scan Kepala
EEG

1.9 Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam

: bonam
: bonam
: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Bangkitan
epilepsi adalah (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh
aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron.
Manifestasi ini datang tiba-tiba dan sementara dalam bentuk perubahan perilaku
stereotipik yang dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik,
gangguan psikis, gangguan sensorik, dan gangguan otonom.
2.2 Epidemiologi
Dari berbagai hasil penelitian, didapatkan bahwa diantara 1000 orang
penduduk didapatkan 5-20 orang penderita epilepsy. Dengan perkataan lain:
angka kejadian atau prevalensi epilepsy adalah 5-20 per 1000 penduduk. Sampai
saat ini belum ada penelitian mengenai prevalensi epilepsy di Indonesia.
Tingginya angka kejadian epilepsy di Negara berkembang diduga juga
dipengaruhi oleh beberapa factor, misalnya: perawatan ibu hamil, keadaan waktu
melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi.
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50
pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka
kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. Kematian dapat
berhubungan lengsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangan kejang
tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar atau jika terjadi cedera
akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada
penderita epilepsi (sudden unexplained death in epilepsi, SUDEP) diasumsikan
berhubungan dengan aktifitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi
kardiorespirasi.

2.3 Klasifikasi
Menurut Commision of Classification and Terminology of International
League Against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai
berikut:

a.
1.

I. Kejang Parsial (fokal, lokal)


Kejang parsial sederhana; kejang parsial dengan kesadaran tetap normal.
Dengan gejala motorik
Fokal motorik tidak menjalar: kejang sebatas pada satu

bagian tubuh saja.


Fokal motorik menjalar: kejang dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga

epilepsi Jackson
Versif: gejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
Postural: kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku

dalam sikap tertentu


Disertai gangguan fonasi: kejang disertai arus bicara yang

terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.


2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; kejang
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera
dan bangkitkan yang disertai vertigo.
Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuktusuk jarum
Visual: terlihat cahaya
Auditoris: terdengar sesuatu
Gustatoris: terkecap sesuatu
Disertai vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piroleksi, dilatasi
pupil)
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku

kata, kata atau bagian kalimat


Demensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak
pernah mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu,

merasa melihatnya lagi


Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah
Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut
Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih
kecil atau lebih besar.

Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang


bicara musik, melihat statu fenomena tertentu dan lain-lain.

b.

Kejang parsial kompleks; kejang ini disertai gangguan kesadaran.


1.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.

Dengan gejala parcial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti

pada golongan A1-A4 diikuti menurunya kesadaran


Timbul automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan,
perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya dengan
gerakan mengunyah-nguyah, menelan-nelan, wajah muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu,
memegang-megang kancing baju, berjalan, mengembara tak
menentu, berbicara, dll.

2.

Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran


sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan serangan.

Hanya
dengan
penurunan

kesadaran
Dengan automatisme.

c. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik1.


2.

klonik, tonik, klonik)


Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang generalisata
Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang generalisata
3. Kejang parsial sederhana yang menjadi kejang parsial
kompleks lalu berkembang menjadi kejang generalisata.

a.

II. Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif)


1. Kejang lena (Absence)
Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan terhenti,
muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas,
tidak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya serangan ini
berlangsung selama -1/2 menit dan biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran

Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya


dijumpai pada kelompok mata atas, sudut mulut, atau otot-otot

lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak

mengulai.
Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat

mengetul atau mengedang


Dengan automatisme
Dengan komponen autonom
Gejala-gejala diatas dapat berdiri sendiri atau kombinasi.
2. Kejang lena tidak khas, dapat disertai:

b.

Gangguan tonus yang lebih jelas


Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

Kejang mioklonik
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemas sebagian otot atau semua otot-otot,
sesekali atau berulang-ulang. Kejang ini dapat terjadi pada semua
umur.
c.

Kejang klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang klojot. Dijumpai terutama pada anak.

d.

Kejang tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku, juga terdapat pada anak.
e.

Kejang tonik-klonik
Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan
aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu kejang. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang

kaku berlangsung kira-kira -1/2 menit diikuti kejang klojot di


seluruh badan.
Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas
menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah
ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa kerena hembusan
nafas. Mungkin pula pasien miksi ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tertidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f.

Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau
menurun sebentar. Kejang ini terutama tejadi pada anak-anak.

III. Kejang tak tergolongkan


Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sementara.
2.4 Etiologi
Penyebab dari epilepsi dikategorikan menjadi 3:
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik dan
diperkirakan mempunyai predisoposisi genetik serta berhubungan dengan
usia pada umumnya
2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui
3. Simtomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural
pada otak seperti cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi
desak ruang, gangguan perdarahan darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.
2.5 Patogenesis
Secara umum, epilepsi terjadi kerena menurunnya potensial membran sel
saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik, atau toksik, yang
selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut.
Fenomena pemicu epilepsi adalah depolarisasi paroksismal pada neuron
tunggal (pergeseran depolarisasi paroksismal (PDS)). Hal ini disebabkan oleh

pengaktifan kanal Ca2+. Ca2+ yang masuk mula-mula akan membuka kanal kation
yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi yang berlebihan, yang
akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan Cl- yang diaktifasi oleh Ca2+. Kejang
epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah yang
cukup.
Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron disekitarnya
ditingkatkan oleh sejumlah mekanisme selular: dendrit sel piramidal mengandung
kanal Ca2+ bergerbang voltase yang akan membuka pada saat depolarisasi
sehingga meningkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron akan lebih banyak kanal
Ca2+ yang diekspresikan. Kanal Ca2+ dihambat oleh Mg2+, sedangkan
hipomagnesemia akan meningkatkan aktivitas kanal ini. Peningkatan konsentrasi
K+ ekstrasel akan mengurangi efluks K+ melalui kanal K+. Hal ini berarti K+
memiliki efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu yang bersamaan
meningkatkan pengaktifan kanal Ca2+
Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps
eksitatorik. Glutamat bekerja pada kanal kation yang tidak permeabel terhadap
Ca2+ (AMPA) dan pada kanal yang permeabel terhadap Ca2+ (kanal NMDA).
Kanal NMDA normalnya dihambat oleh Mg2+. Akan tetapi depolarisasi yang
dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA menghilangkan penghambatan Mg2+ (kerja
sama dari kedua kanal). Jadi, defisiensi Mg2+ dan depolarisasi memudahkan
pengaktifan kanal NMDA.
Potensial membran neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K +. Syarat
untuk hal ini adalah gradien K+ yang melewati membran sel harus adekuat.
Gradien ini dihasilkan oleh Na+/K+-ATPase. Kekurangan senergi (misalnya akibat
kekurangan O2 atau hipoglikemia) akan menghambat Na+/K+-ATPase sehingga
memudahkan depolarisasi.
Depolarisasi normalnya

dikurangi

oleh

neuron

inhibitorik

yang

mengaktifkan kanal K+ dan/ atau Cl- yang diantaranya melalui GABA. GABA
dihasilkan oleh glutamat dekarboksilase (GD), yakni enzim yang membutuhkan
piridoksin (vitamin B6) sebagai kofaktor. Defisiensi vitamin B6 atau
berkurangnya afinitas enzim terhadap vitamin B6 (kelainan genetik) memudahkan
terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi neuron talamus dapat meningkatkan kesiapan
kanal Ca2+ tipe-T untuk diaktifkan sehingga memudahkan serangan absans.

2.6 Diagnosis
Cara mendiagnosis epilepsi adalah memastikan terlebih dahulu apakah
kejadian tersebut merupakan bangkitan epilepsi, lalu menentukan tipe bangkitan
berdasarkan klasifikasi ILAE 1981 dan etiologi, sindrom, atau penyakit epilepsi
apa yang diderita pasien berdasarkan klasifikasi ILAE 1989. Diagnosis epilepsi
sendiri ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berualng (minimum 2
kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada
EEG.

Anamnesis
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan

Keadaan pasien saat bangkitan: duduk / berdiri / berbaring / tidur /

berkemih
Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest
Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk bangkitan):
gerakan tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah

tergigit, pucat, berkeringat, deviasi mata


Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,

gaduh gelisah, Todds paresis


Factor pencetus: alkohol, kurang tidur, stress, hormonal
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan atau terdapat

perubahan pola bangkitan


b. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang maupun riwayat
penyakit neurologic, dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bnagkitan, interval terpanjang antar
bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi)
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologic lain, penyakit psikiatrik,
atau sistemik
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi
atau anak
h. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP, dll.

Pemeriksaan fisik
A. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan umum tanda-tanda vital dan tanda-tanda yang
berhubungan dengan epilepsi.Tanda-tanda yang berhubungan dengan
epilepsi adalah trauma kepala, infeksi telinga atau sisus, gangguan
kongenital, kecanduan alkohol atau obat trelarang, kelainan pada kulit
(neurofakomatosis), kanker, dan defisit neurologik fokal atau difus.
B. Pemeriksaan neurologis

Hasil pemeriksaan neurologis bergantung pada interval antara saat


dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir
a. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan
maka akan tampak tanda pascaiktal terutama tanda fokal seperti
Todds paresis, transient aphasic symptoms, yang tidak jarang
dapat menjai petunjuk lokalisasi
b. Jika dilakukan beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda
disfungsi sistem saraf permanen (epilepsi simtomatik) dan
walaupun jarang apakah ada tanda-tanda peningkatan intrakranial
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan disesuaikan dengan keadaan
apakah memungkinkan atau tidak.pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat
berupa electro-encephalography (EEG) dan pencitraan otak (brain imaging).
Rekaman EEG akan membantu menunjang diagnosis, menentukan jenis
bangkitan maupun sindorm epilepsi, menentukan prognosis serta perlu tidaknya
pengobatan dengan AED. Pemeriksaan CT scan dan MRI membantu mendeteksi
lesi epileptogenik di otak secara non-invasif seperti meningioma, neoplasma otak,
AVM, abses otak, dan ensefalitis herpes. Pada pemeriksaan dengan MRI
beresolusi tinggi dapat diperoleh hasil medial temporal sclerosis, glioma,
ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial
tumor) yang dapat menambah pilihan terapi pada epilepsy yang refrakter terhadap
OAE.
Functional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),
Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT), dan Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam menyediakan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan

adalah

pemeriksaan

hematologik dan pemeriksaan kadar OAE. Pemeriksaan hematoogik yang


dibutuhkan antara lain hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, apusan darah
tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar, gula, fungsi hati,
ureum, dan kreatinin. Pemeriksaan hematologic ini dilakukan pada awal

pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik, dan rutin
setahun sekali.
Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat target level setelah
tercapai steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan

ini

diulang

setiap

tahun

untuk

memonitor

kepatuhan

pasien.Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan muncul, bila terdapat gejala
toksisitas, bila sedang kombinasi dengan obat lain, atau bila terdapat perubahan
fisiologi tubuh seperti kehamilan, luka bakar, dan gangguan fungsi ginjal.
2.7 Terapi
Terapi epilepsi bertujuan untuk mengupayakan tercapainya kualitas hidup
optimal sesuai perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental pasien.
Pasien diharapkan bebas bangkitan tanpa efek samping sehingga
diupayakan untuk menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan
tanpa efek samping atau dengan efek samping minimal, serta menurunkan angka
kesakitan dan kematian.

Prinsip terapi farmakologi


Obat Anti Epilepsi (AOE) diberikan bila:

Diagnosis epilepsi sudah dipastikan


Dipastikan menghindari faktor pencetus
Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
Penyandang dan/atau keluarga sudah mengetahui tujuan dan efek samping
pengobatan

Terapi awal yang diberikan adalah monoterapi yang menggunakan OAE


pilihan sesuai jenis bengkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai
dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau
timbul efek samping. Jika pada dosis efektif bangkitan tidak terkontrol, maka
pemeriksaan kadar obat dalam plasma perlu ditentukan. Bila dengan dosis
maksimum OAE bangkitan tidak terkontrol, perlu ditambahkan OAE kedua. Bila
OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
(tapering off) perlahan-lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan jika

bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE
pertama.
Pada penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi bila:

Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG


Ditemukan lesi yang berkorelasi dengan bangkitan pada CT scan atau MRI
Ditemukan kelainan yang mengarah pada kerusakan otak pada

pemeriksaan neurologik
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orangtua)
Riwayat bangkitan simtomatik
Terdapat sindrom epilepsi berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic

Epilepsy)
Riwayat trauma kepala terutama disertai penurunan kesadaran, stroke, dan

infeksi SSP
Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Strategi untuk mencegah efek samping:

Pengobatan

kerugiannya
Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil

diberikan

dengan

meperhitungkan

keuntungan

dan

Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan


OAE

Phenytoin
Carbamazepine
Vaproic Acid
Phenobarbital
Gabapentin
Lamotrigine
Topiramate
Zonisamide
Leveti acetam
Oxcarbazepine

Bangkitan

Bangkitan

Bangkitan

Bangkitan

Bangkitan

fokal

Umum

Tonik

Lena

Mioklonik

Sekunder
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

Klonik
+
+
+
+
?+
+
+
?+
?+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
0
0
+
?
?+
?+
-

+
?+
?+?+
?+
?+
-

Dosis OAE untuk dewasa


OAE

Carbamazepine

Dosis

Dosis

Jumlah

Titrasi

Waktu

Waktu

awal
(mg/hari)

rumatan
(mg/hari)

dosis

OAE

paruh

tercapainya

400-600

400-1600

2-3x
(untuk

Mulai

plasma
(jam)
15-25

steady state
(hari)
2-7

10-80

3-15

12-18

2-4

per hari

yang
CR 2x)

100/200
mg/hari
sampai
target
dalam 14

Phenytoin

200-300

200-400

1-2x

minggu
Mulai
100
mg/hari
sampai
target
dalam 3-

Valproic acid

500-1000

500-2000

2-3x

7 hari
Mulai
500
mg/hari

bila

perlu
setelah 7
hari

OAE

Phenobarbital

Dosis awal
(mg/hari)

50-100

Dosis

Jumlah

Titrasi

Waktu

Waktu

rumatan
(mg/hari)

dosis

OAE

paruh

tercapainya

50-200

1x

Mulai

plasma
(jam)
50-170

steady state
(hari)
8-30

per hari

30-50
mg
malam
hari

bila
perlu
setelah
10-15
Clonazepam
Clobazam

1
10

4
10-30

1 atau 2
1-2x

hari
20-60
Mulai 10 10-30

2-10
2-6

mg/hari
bila
perlu

sampai
20
mg/hari
setelah
1-2
Oxcarbazepine

600-900

600-3000

2-3x

minggu
Mulai

8-15

2-4

6-8

300
mg/hari
sampai
target
dalam 13
Levetiracetam

1000-2000

1000-3000

2x

minggu
Mulai

5001000
mg/hari
bila
perlu
setelah 2
Topiramate

100

100-400

2x

minggu
Mulai 25 20-30

2-5

mg/hari
25-50
mg/hari
tiap
Gabapentine

900-1800

900-3600

2-3x

minggu
Mulai

5-7

300-900
mg/hari
sampai
target
dalam 5Lamotrigine

50-100

50-200

1-2x

10 hari
Mulai 25 15-35

2-6

mg/hari
selama 2
minggu
sampai
50
mg/hari
selama 2
minggu

50

mg/2
Zonisamid

100-200

100-400

1-2x

minggu
Mulai

60

7-10

200-400
mg/hari
sampai
1-2
Pregabalin

50-75

50-600

2-3x

minggu
-

6,3

1-2

Mekanisme kerja dan efek samping obat anti epilepsi

Carbamazepin
o Blok Na-channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine, dan asetilkolin
o Anemia aplastik, hepatotoksik, SJS, lupuslike syndrome
Phenytoin
o Blok Na-channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
dan nneurotransmitter yang voltage dependent
o Anemia aplastik, gangguan fungsi hati, SJS, lupuslike syndrome,

pseudolyphome
Phenobarbital
o Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan eksibilitas
glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium, dan kalsium
o Hepatotoksik, gangguan jaringan ikat dan sumsum tulang, SJS
Valproic acid
o Diduga aktivitas GABA glutaminergik menurunkan ambang
konduktan kalsium dan kalium
o Hepatotoksik, niperamonemia,

leukopenia,

trombositopenia,

pankreatitis
Levetiracetam
o Belum diketahui mekanisme kerjanya
o Mual, nyeri kepala, dizziness (yang mengancam jiwa belum
diketahui)
Gabapentin
o Modulasi Ca-channel tipe N, aktivitas GABAergik
o Teratogenik
Lamotrigine

o Blok konduktan natrium yang voltage dependent


o SJS, gangguan hepar akut, kegagalan multi organ, teratogenik

Oxcarbazepine
o Blok N-channel, menignkatkan konduktan kalium, modulasi
aktivitas Ca-channel
o Ruam, teratogenik
Topiramate
o Blok N-channel, meningkatkan influx GABA-mediated chloride,
modulasi efek reseptor GABA, bekerja pada reseptor AMPA
o Batu ginjal, hipohidrosis, gangguan fungsi hati, teratogenik
Zonisamide
o Blok Na, K, Ca channel, inhibisi glutamat
o Batu ginjal, hipohidrosis, anemia aplastik, skin rash
Pregabalin
o Belum diketahui mekanisme kerjanya
o Peningkatan berat badan

Penghentian OAE
Setelah beberapa lama bangkitan terkontrol, OAE dapat dihentikantanpa
kekambuhan pada 60% pasien.Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap
dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan.
Syarat umum penghentian OAE:

Penghentian OAE didiskusikan dengan penyandang epilepsi atau

keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan


Gambaran EEG normal
Harus dilakukan bertahap, pada umumnya 25% dosis semula setiap bulan

dalam jangka waktu 3-6 bulan


Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari OAE
yang bukan utama

Terapi pada epilepsi refrakter

Epilepsi refrakter adalah epilepsi dengan bangkitan berulang meskipun


telah dicapai kadar terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan.
Bangkitan tersebut benar-benar akibat kegagalan OAE mengontrol fokus
epileptikus, bukan karena dosis yang tidak tepat, ketidaktaatan minum OAE, atau
kesalahan pemberian formulasi pengobatan.
Penanganan epilepsi refrakter mencakup:

Terapi bedah
Stimulasi nervus vagus
Modifikasi tingkah laku
Relaksasi
Mengurangi dosis OAE
Kombinasi OAE

Terapi bedah
Kriteria terapi bedah:

Sindrom epilepsi fokal dan simtomatik yang refrakter terhadap OAE


IQ > 70
Tidak ada kontraindikasi pembedahan
Usia < 45 tahun
Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas

Indikasi terapi bedah


Epilepsi refrakter
Menganggu kualitas hidup
Manfaat operasi lebih besar dari risiko operasi

2.8 Status epileptikus


Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit,
atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana di antara bangkitan tersebut tidak
terdapat pemulihan kesadaran.SE merupakan kegawatdaruratan yang memerlukan
menanganan terapi segera untuk menghentikan bangkitan (dalam waktu 30

menit). Dikatakan pasti jika pemberian benzodiazepine awal tidak efektif dalam
menghentikan bangkitan.
Klasifikasi SE:

SE konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik)


SE non-konvulsif (bangkitan bukan tonik-klonik)

Pemberian benzodiazepine rektal merupakan terapi utama selama perjalanan


menuju rumah sakit.
Penanganan SE konvulsivus

Stadium I (0-10 menit)


o Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
o Memperbaiki jalan napas, pemberian oksigen, resusitasi jika perlu
Stadium II (1-60 menit)
o Pemeriksaan status neurologic
o Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
o Monitor status metabolik, AGC, dan status hematologi
o Pemeriksaan EKG
o Memasang infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl 0,9%.
Bila digunakan 2 macam OAE, pakai 2 jalur infus.
o Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan laboratorium
(AGD, glukosa, fungsi hati dan ginjal, kalsium, magnesium, DPL,
waktu pembekuan, kadar AED, dll)
o Pemberian OAE emergency (diazepam 0,2 mg/kgBB dengan
kecepatan pemberian 5 mg/menitIV dapat diulang bila kejang
masih berlangsung setelah 5 menit)
o Memasukkan glukosa 50% 50 cc pada keadaan hipoglikemia
o Pemberian thiamin 250 mg intravena pada penyandang

alkoholisme
o Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 menit)
o Menentukan etiologi
o Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian lorazepam, beri
fenitoin IV 15-20 mg/kgBB dengan kecepatan kurang dari sama
dengan 50 mg/menit (monitor tekanan darah dan EKG pada saat
pemberian) bila kejang masih berlangsung dapat diberi fenitoin
tambahan

5-10

mg.kgBB.

Bila

kejang

berlanjut

berikan

fenobarbital 20 mg/kgBB dengan kecepatan 50-75 mg/menit

monitor respirasi pada saat pemberian). Dapat diulang 5-10

mg/kgBB.
o Memulai terapi dengan vasopressor (domapin) jika perlu
o Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit)
o Bila kejang tetap tidak teratasi selam 30-60 menit, kaa pindahkan
penyandang epilepsi ke ICU, beli propofol (2 mg/kgBB bolus IV
diulang bila perlu) atau midazolam (0,1 mg/kgBB dengan
kecepatan pemberian 4 mg/menit) atau tiopenton (100-250 mg
bolus IV pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50
mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinik atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan
tapering off
o Memonitor bangkitan dan EEG, tekanan intrakranial, memulai
pemberian OAE dosis rumatan

2.9 Komplikasi
a. Kecelakaan akibat kejang sering menyebabkan cedera , seperti cedera
kepala , luka patah tulang dan luka bakar .
b. Gangguan kecemasan dan depresi sering terjadi pada pasien epilepsi
c. Pada penelitian menyebutkan bahwa epilepsi pada wanita meningkatkan
risiko terjadinya fraktur, osteoporosis dan osteomalasia.
d. Terjadinya Sudden unexpected death in epilepsy
2.10

Prognosis

a. Remisi kemungkinan menjadi kurang


b. Faktor menunjukkan prognosis yang lebih buruk termasuk kombinasi
kompleks parsial dan tonikklonik, kejang, pengelompokan kejang, tandatanda fisik yang abnormal dan adanya kesulitan belajar .

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer AS, dkk. Kapita Selekta Kedokteran.

Jilid 2. Ed III. Fakultas

Kedokteran UI: Media Aesculapius.


Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2000
Utama H. Antiepilepsi dan antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). Pedoman tata laksana epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi; 2011
Lumbanntobing SM. Epilepsy (ayan). Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
Mumenthaler M, Mattle H. Neurology. New York: Thieme; 2004
Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Patophysiology. New York; Thieme; 2000

Anda mungkin juga menyukai