DI PERGURUAN TINGGI
MELALUI COGNITIVE COACHING
Oleh
Eri Kurniawan
NIM: 993845
Mengetahui,
Pembantu Rektor III
Universitas Pendidikan Indonesia,
Dalam proses penyelesaian karya tulis ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Bachrudin Mushtafa, M.A., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris UPI, yang telah membuka cakrawala penulis mengenai konsep yang
disajikan dalam karya tulis ini.
2. Drs. Wachyu Sundayana, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris UPI, yang telah memfasilitasi penulis dalam penyelesaian karya tulis
ini.
3. Kedua orang tua yang tercinta yang senantiasa memanjatkan do’a demi
keberhasilan setiap aktivitas yang penulis lakukan.
4. Seluruh mahasiswa bahasa Inggris UPI dan warga ASPA I Sangkuriang yang
telah memberikan dorongan baik berupa materi maupun non-materi kepada
penulis.
Akhirul Kalam, penulis sadar bahwa karya tulis ini masih belum layak dikatakan
sempurna sehingga saran dan kritik konstruktif akan senantiasa diharapkan demi
perbaikan dan peningkatan penyusunan karya tulis lainnya di masa mendatang.
Semoga karya tulis ini mampu memberikan kontribusi signifikan bagi
pengembangan pengajaran MKDU bahasa Inggris dan pengajaran keterampilan
berpikir kritis di perguruan tinggi.
Eri Kurniawan
ABSTRACT
The focal point of this paper is Developing Critical Thinking Skills in Higher
Education through Cognitive Coaching (The Latest Approach to Teaching English
for non-English Students and Critical Thinking Instruction in Higher Education).
The issue is raised since the writer observed the phenomena of English instruction
for non-English students in higher education, which tends to simply focus on
specialized students’ course. Meanwhile, the method of its instruction has not got
sufficient attention especially in enhancing students’ critical thinking. Therefore,
this study is undertaken to explore ways to develop a method of instructing
critical thinking through cognitive coaching in teaching English subject for non-
English students in higher education.
The result of the present study yields two main points: 1) Critical thinking is of
importance for all students to encounter globalized world, and 2) Cognitive
coaching can be systematically integrated in teaching English for non-English
students in higher education to enhance their critical thinking.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBARAN PENGESAHAN ………………………………………….. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………… ii
ABSTRACT ……………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………..
1.2 Pembatasan Masalah …………………….
1.3 Perumusan Masalah ……………………..
1.4 Tujuan Penulisan ………………………..
BAB II TELAAH PUSTAKA ……………………….
BAB III METODE PENULISAN …………………….
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Sekilas Potret Pengajaran MKDU Bahasa Inggris di
Perguruan Tinggi …………………
4.2 Sekilas Potret Pengajaran Berpikir Kritis ..
4.3 Konsep Pemanduan Berpikir Kritis (Cognitive
Coaching) …….………………….
4.4 Desain Pengajaran Cognitive Coaching …
4.5 Prosedur Pengajaran Cognitive Coaching .
4.6 Prospek dan Kendala Implementasi Cognitive
Coaching ………………………….
4.7 Simpulan …………………………………
4.8 Rekomendasi …………………………….
4.9 Penutup ………………………………….
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
Gerbang abad ke-21 yang juga disebut milenium ketiga sudah nyata-nyata berada
di hadapan kita. Telah datang suatu periodeyang akan banyak dihiasi oleh sistem
komunikasi yang canggih dan meluas ke seluruh penjuru dunia, menipisnya batas-
batas kenegaraan suatu bangsa dan akan tercipta suatu sistem interaksi antar
manusia dalam jagat raya yang lebih intensif dalam dimensi yang lebih luas.
Perluasan interaksi antar manusia bukan hanya dalam bentuk jaringan kerja sama
yang akan semakin luas, tetapi juga dalam bentuk persaingan yang akan semakin
ketat dan berat.
Dengan adanya kesepakatan AFTA yang mulai diberlakukan pada tahun 2003 dan
adanya kesepakatan APEC untuk berbaur dalam perdagangan bebas dunia pada
2020. Kesepakatan-kesepakatan, menurut Ekawahyu Kasih (1999), yang dibuat
ini paling tidak akan mendatangkan dan memperkuat tiga dimensi, yaitu:
1. meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global;
2. persaingan sumber daya manusia yang ketat; dan
3. semakin besarnya kemungkinan terjadinya ekploitasi negara yang lebih
maju dan lebih siap bersaing terhadap negara-negara yang tidak mampu
atau belum siap bersaing.
Dari deskripsi di atas, kita bisa melihat bahwa satu-satunya cara untuk
mengantisipasi luapan informasi hanyalah penguasaan keterampilan berpikir
kritis. Karena hanya dengan penguasaan keterampilan tersebutlah kita mampu
menyeleksi mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah serta bisa
menentukan sikap apakah yang sesuai untuk menyikapi luapan informasi itu.
Hal ini didukung oleh Bachrudin Mushtafa (2000) yang menyebutkan bahwa
perubahan yang cepat, kompleksitas tinggi serta interdependensi yang kian
meningkat dalam dunia yang global menjadikan keterampilan berpikir kritis salah
satu prasyarat bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi dan sosial suatu bangsa.
Berpikir kritis ini memang sebuah keniscayaan yang mutlak dikuasai oleh setiap
warga negara karena hanya dengan keterampilan berpikir kritis inilah bangsa yang
adil dan beradab bisa terwujud. Masyarakat yang mampu dengan sehat dan cerdas
bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah terpengaruh oleh
gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak yang saling berebut
kepentingan. Realitas negara kita hari ini mengindikasikan kecenderungan
mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok atau golongan, suku, ras, atau
bahakn agama yang tersulut hanya karena masalah-masalah sepele.
Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi termasuk
pendidikan, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika kita
mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang tengah
kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi
permasalahan tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan suatu bangsa
untuk bertahan dalam persaingan global, seperti yang ditegaskan oleh oleh de
Bono (2000), “…the quality of our thinking will depend directly, and solely, on
the quality of our thinking.” Karena itu, upaya strategis dan taktis untuk
membudayakan keterampilan berpikir kritis akan membuahkan perubahan yang
mendasar.
Nampaknya sudah bisa diterima bahwa keterampilan berpikir kritis tidak ada
dengan sendirinya. Memang potensi berpikir dimiliki oleh setiap manusia dan
merupakan anugerah Tuhan namun potensi ini akan mandul dan bahkan hildang
manakal tidak diasah atau digunakan dengan optimal. Dengan demikian,
keterampilan berpikir kritis harus ditransformasikan melalui proses pendidikan.
Dengan keterampilan seperti ini, masyarakat akan terbina untuk bersikap selektif
dalam menerima dan memahami setiap persoalan serta bersikap lebih berhati-hati
dalam bertindak dan berperilaku.
1.2 Peran Perguruan Tinggi di Era Globalisasi
Peradaban baru yang dijanjikan oleh abad baru ke-21 ini menuntut kemampuan
lulusan perguruan tinggi untuk bertahan dan berkembang mencapai aktualisasi
keunggulan kemampuan optimal. Sehingga, perguruan tinggi dalam hal ini harus
mampu menciptakan strategi pendidikan baru yang mampu mengoptimalisasikan
keunggulan kemampuan manusia tersebut.
Di sini jelas terlihat peran dan fungsi perguruan tinggi dalam pengembangan dan
pembinaan kualitas sumber daya manusia yang salah satu kompetensinya adalah
kompetensi kognitif (kemampuan berpikir). Sehingga, perguruan tinggi harus
meredefinisi dan mereorientasi fungsi pendidikan dalam rangka pengembangan
kualitas nalar mahasiswanya. Peran ini dinilai strategis untuk membantu
pemerintah dalam uapayanya mencerdaskan kehidupan bangsa yang dijadikan
salah satu tujuan mulya pendidikan nasional kita.
Melalui latihan, dapat ditanamkan pada siswa kecenderungan berpikir kritis atau
dispositions of critical thinking, yakni:
1. mencari kejelasan tesis atau masalah dan alasan serta alternatif;
2. ingin tahu dan menyebutkan sumber handal serta berpikiran terbuka;
3. melihat persoalan secara keseluruhan tanpa menyimpang dari inti
persoalan;
4. mengambil dan mengubah sikap karena bukti dan alasan; dan
5. sadar akan perasaan, tingkat pengetahuan, dan derajat kecanggihan orang
lain (Alwasilah, 1992).
Permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ini akan mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1. Latar belakang diperlukannya penerapan metode pemanduan berpikir kritis
(cognitive coaching) di perguruan tinggi dalam pembelajaran MKDU bahasa
Inggris.
2. Desain pengajaran cognitive coaching.
3. Prosedur pengajaran cognitive coaching dalam pengajaran MKDU bahasa
Inggris di PT
4. Prospek dan kendala penerapan cognitive coaching.
5. Perintisan cognitive coaching dalam pembelajaran mata kuliah Reading
Comprehension di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan
Indonesia.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Berpikir kita lakukan untuk menghadapi dan memahami realitas dengan menarik
kesimpulan dan meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal
dan internal. Sehingga, mengenai hal ini, Taylor (1977) mendefiniskan berpikir
sebagai proses penarikan kesimpulan.
Secara etimologis, kata ‘kritis’ berasal dari bahasa Yunani yakni “kritikos (yang
berarti mencerna penilaian) dan “kriterion” (yang berarti standar). Sehingga, kritis
berarti mencerna penilaian berdasarkan standar. Jika dipadukan dengan kata
‘berpikir’, maka kita dapat mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir yang
secara eksplisit dilatari oleh penilaian yang beralasan dan berdasarkan standar
yang sesuai dalam rangka mencari kebenaran, keuntungan, dan nilai sesuatu
(Paul, et al, 1995).
Berpikir kritis ini memiliki karakter antara lain, seperti dikemukakan Moore dan
Parker (1994), sikap berhati-hati dan bersengaja ketika memutuskan untuk
menerima, menolak atau menangguhkan sikap (judgement).
Menurut Alwasilah (1992) berpikir kritis artinya mampu melihat bias, mengenal
dan menganalisa propaganda, mengindentifikasi kekeliruan logika, memahami
agenda terselubung, membuat perbandingan, menyimpulkan asumsi dasar, dan
memecahkan masalah.
BAB III
METODE PENULISAN
Sebuah karya tulis baru dianggap ilmiah ketika paparan yang dituangkan
didukung oleh data atau informasi yang absah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu, penulis mencoba untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data atau
informasi untuk memperkuat gagasan yang ditawarkan.
Adapaun metode pengumpulan data dalam penulisan karya tulis ini adalah:
1. Studi Literatur (Library Research)
Penulis membaca dan mengkaji buku, artikel, jurnal, dan hasil penelitian
sebagai referensi. Studi Literatur ini memang merupakan penelitian
berdasarkan rujukan atau hasil penelitian terdahulu (Brown, 1988).
2. Penjelajahan Dunia Internet
Untuk memperoleh data yang relevan dengan cepat, praktis, efektif, dan
efisien, penulis menggunakan fasilitas search engine dalam dunia internet.
3. Observasi dan Wawancara
Pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara penulis lakukan untuk
memperoleh deskripsi objektif dan data lain yang diperlukan.
Data yang diperoleh dibedakan ke dalam data kualitattif dan kuantitatif. Data
kualitatif penulis oleh dengan menggunakan standar atau kriteria tertentu yang
telah dibuat oleh penulis. Maka kesimpulan ditarik berdasar kriteria yang telah
ditentukan tersebut.
Oleh karena simpulan ditarik berdasarkan data yang diperoleh, maka penarikan
kesimpulan dilakukan sejalan dengan proses pengolahan data.
BAB IV
PEMBAHASAN
Karena itu, perlu ada reorientasi fungsi dan pemutakhiran metode agar mahasiswa
bisa menguasai bahasa Inggris (menguasai kaidah dan mengaplikasikannya dalam
dunia komunikasi nyata). Untuk menyikapi fenomena di atas, sejumlah pakar dan
praktisi pendidikan telah menguras keringat untuk memikirkan cara pengajaran
MKDU bahasa Inggris yang lebih efektif. Salah satu diantaranya, Sundayana
(1996) telah berupaya dengan kolega-koleganya untuk membuat metode dan
modul pengajaran MKDU bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Indonesia.
Beliau menyatakan bahwa, seyogianya MKDU itu didesain sebagai kelanjutan
bahasa Inggris di SMP dan SMU, dengan karakteristik sebagai berikut:
1. materi perkuliahan diberikan dalam kurang lebih 14 pertemuan.
2. materi ajar berorientasi pada bidang studi mahasiswa, yakni mengikuti
English for Specific Purpose-based approach;
3. perkuliahan dimaksudkan untuk membantu mahasiswa menguasai
keterampilan akademik (study skills), khususnya kemampuan membaca
dna menulis untuk mengembangkan profesionalisme; dan
4. dalam materi perkuliahan, komponen kosakata jauh lebih penting untuk
disajikan daripada komponen tata bahasa dan ejaan.
Karena itu, perkuliahan MKDU bahasa Inggris bisa dijadikan media untuk
pengembangan dan pemanfaatan alat pikir. Sehingga, nantinya lulusan-lulusan
perguruan tinggi mempunyai kualitas kognitif yang tinggi dengan dibekali
keterampilan berpikir kritis sebagai tiket masuk peradaban global.
Tantangan ini bisa segera dijawab dengan meramu pengajaran MKDU bahasa
Inggris dengan pengajaran keterampilan berpikir kritis. Pengajaran bahasa
nantinya diupayakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis selain
tentunya penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan berbahasa.
4.2 Sekilas Potret Pengajaran Berpikir Kritis dalam Dunia Pendidikan Kita
Pengajaran bahasa secara makro pada saat ini masih diwarnai dengan pendekatan-
pendekatan yang menitikberakan pada hapalan (rote learning). Siswa atau peserta
didik dijejali dengan berjubel materi berkaitan dengan kaidah tata bahasa yang
harus dihapal. Alhasil, siswa terdidik untuk mengetahui dan menguasai kaidah tata
bahasa tanpa pernah tahu cara pengaplikasiannya. Padahal, dalam kerangka
persaingan global pengajaran bahasa semestinya diorientasikan untuk menguasai
keterampilan berpikir kritis. Karenanya, pengajaran bahasa (dalam hal ini bahasa
Inggris) seharusnya ditujukan untuk pengasahan kemampuan berpikir kritis.
Sudah tiba waktunya kita meyakinkan para pengajar dan perumus kurikulum
bahasa bahwa bahasa merupakan alat berpikir sehingga pengajaran bahasa harus
diorientasikan dalam framework berpikir yang memuat keterampilan berpikir
kritis yakni kemampuan menghasilkan alternatif kemungkinan, analisa,
perbandingan, mengambil kesimpulan dan interpretasi, evaluasi dan metakognisi
(Alwasilah, 2002).
Sekarang ini, banyak sekali metoda maupun teknik pengajaran bahasa yang
mengasah keterampilanberpikir kritis diantaranya berbicara di hadapan publik,
berdebat, bermain peran, mempresentasikan makalah, menulis esei, dan lain
sebagainya. Namun, belum ada suatu metode pengajaran tertentu yang khusus
didesain untuk pemanduan berpikir kritis sekaligus mengefektifkan pengajaran
bahasa khususnya bahasa Inggris.
Deskripsi di atas merupakan fenomena nyata yang menantang para pakar dan
praktisi pendidikan untuk sesegera mungkin menemukan sebuah metode
pengajaran bahasa termutakhir yang mampu menciptakan suasana pembelajaran
bahasa yang kondusif dan efektif serta bisa memandu pengembangan kemampuan
berpikir kritis.
Sejauh ini, data atau hasil riset termutakhir yang tersedia menyarankan bahwa
cognitive coaching ini dapat diintegrasikan dalam pengajaran bahasa. Dalam hal
ini, penulis mencoba mengkaji penerapan cognitive coaching dalam pembelajaran
bahasa Inggris secara umum terutama bahasa Inggris untuk mahasiswa non-
bahasa Inggris.
4.4.1 Tujuan
Tujuan dari penerapan cognitive coaching ini secara umum adalah untuk
mencetak pembelajar mandiri (independent learners) yang memiliki kemampuan
nalar kritis yang tinggi, mempunyai fleksibilitas dan kepercayaan diri dalam
memecahkan segala persoalan, dan mempunyai kecerdasan dan kebanggan diri.
Pun, mereka menemukan sendiri strategi-strategi pemecahan masalah sehingga
mereka tidak lagi perlu disuapi penjelasan-penjelasan rinci mengenai materi
pelajaran. Dengan kata lain, mereka dibentuk menjadi pembelajar strategis
(strategic learners).
4.4.2 Silabus
Dalam metode cognitive coaching ini, tidak ada silabus tertentu yang
diperuntukkan khusus untuk pengajaran bahasa Inggris karena metode ini
hanyalah memandu guru dan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran dan
memperoleh hasilnya secara maksimal disertai dengan penguasaan keterampilan
berpikir kritis. Jadi, pada intinya guru atau pengajar bisa menggunakan silabus
model manapun atau bahkan silabus karya pribadi yang disesuaikan dengan
kurikulum yang ada.
Cakupan ragam aktivitas yang sesuai dengan metode cognitive coaching sangatlah
luas, asalkan dapat membantu pembelajar menggunakan kemampuan atau
kapasitas kognitifnya (berpikir) secara maksimal.
Secara umum, aktivitas ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian: aktivitas
lisan dan aktivitas tulisan.
1. Aktivitas Lisan
Ihwal aktivitas lisan ini, dalam metode cognitive coaching mencakup
beberapa aktivitas yang antara lain:
a. Mencapai Kesepakatan (Reaching a Consencus)
Dalam aktivitas ini, siswa harus mencapai suatu kesepakatan setelah
melalui diskusi tertentu. Tugas belum dianggap selesai sampai mereka
membuat kesepakatan bersama.
b. Diskusi (Discussion)
Dalam aktivitas ini, guru meminta siswa untuk mengemukakan
gagasannya secara lancar tentang suatu topik atau permasalahan sulit yang
sedang dibahas. Kemudian siswa lain ikut bergabung dengan menanggapi
atau menambahkan gagasan, kemudian seluruh siswa terlibat dalam
diskusi yang hidup.
c. Topik Kontroversial (Controversial Topics)
Pernyataan-pernyataan kontroversial sangatlah baik untuk merangsang
adanya diskusi. Siswa diberi artikel atau pernyataan yang bertolak
belakang dengan prinsip mereka atau mereka diminta menentukan sikap
atas suatu permasalahan.
d. Permainan Komunikasi
Permainan ini didasarkan pada prinsip information gap. Siswa dihadapkan
pada situasi yang mengharuskan mereka menggunakan bahasa untuk
melakukan tugas tertentu seperti mencari perbedaan, menggambarkan dan
menjelaskan, dan merekonstruksi cerita.
e. Penyelesaiaan Masalah (Problem Solving)
Aktivitas ini mendorong siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau
permasalahan secara bersama-sama. Misalnya, siswa dihadapkan pada
suatu situasi sulit dimana mereka harus memikirkan benda-benda yang
tersedia untuk bertahan hidup ketika mereka terdampat di daerah yang
sangat terpencil.
f. Simulasi dan Main Peran (Simulation and Role Play)
Simulasi di sini berarti menciptakan pretensi situasi kehidupan nyata
dalam ruang kelas. Kita bisa meminta mereka untuk berpura-pura berada
di bandara. Slain itu, kita bisa meminta siswa untuk bermain peran dengan
memerankan suatu karakter. Setelah semua aktivitas selesai, guru dan
siswa membahas simulasi dan bermain peran yang telah dilakukan.
2. Aktivitas Tulis
Dalam aktivitas ini, siswa diharuskan memberikan istruksi tertulis pada siswa
lain. Aktivitas yang terlibat diantaranya mengarahkan (giving directions),
menulis perintanh (writing commands), menulis laporan dan iklan (writing
reports and advertisements), menulis kelompok (cooperative writing),
rekonstruksi cerita (story reconstruction), bertukar surat (exchanging letter),
dan menulis jurnal (writing journals).
Dalam sebuah kelas, pembelajar berperan aktif dalam pembelajaran. Guru dan
pembelajar bekerja sama dalam suatu kemitraan (partnership). Strategi untuk
mewujudkan itu semua adalah melalui negosiasi. Negosiasi antara guru dan
pembelajar akan membuahkan pengalaman belajar yang akan mengakamodasi
kebutuhan, minat, dan kemampuan tertentu si pembelajar.
Peran pembelajar adalah sebagai negosiator antara diri, proses belajar, dan objek
pembelajaran. Ia pun harus berinteraksi dengan peran negosiator bersama dalam
kelompok. Ia sendirilah yang nantinya akan menentukan keberhasilan dan
kegagalan proses belajarnya.
Bahan ajar merupakan suatu hal yang substansial dalam mempengaruhi kualitas
interaksi kelas dan penggunaan bahasa. Bahan ajar ini akan membantu guru dan
pembelajar dalam mengoptimalkan penggunaan bahasa di dalam kelas. Bahan ajar
yang biasanya terlibat dalam proses pembelajaran adalah bahan ajar tekstual
(seperti buku, jurnal, laporan penelitian, dan sebagainya) bahan ajar tugas (seperti
bermain peran, simulasi, dan aktivitas lainnya yang berupa tugas), dan realia
(bahan-bahan otentik dari kehidupan nyata seperti majalah, iklan, peta, bagan, dan
lain-lain).
Prosedur Umum
Prosedur Operasional
Ada sejumlah kategori yang dikemukakan oleh Richard Paul (1994) untuk
menimbang respon kritis pembelajar (mahasiswa) dalam pelaksanaan aktivitas
pembelajaran yakni:
1. kemampuan memahami secara akurat inti proposisi seperti yang
dikemukakan oleh pengarang (AU = Accurate Understanding of Core
Propositions);
2. kemampuan mempertanyakan asumsi (CA = Challenging Assumptions);
3. kemampuan mempertimbangkan peran konteks (SC = Sensitivity to
Context);
4. kemampuan mempertanyakan keberlakuan satu proposisi bagi konteks
yang lain (QC = Questioning Contextual Validity); dan
5. kemampuan memunculkan dan mengeksplorasi alternatif (GA =
Generating Alternative Solutions).
Correcting propositions
Prosedur Operasional Implementasi Cognitive Coaching
Di samping itu, diskursus yang tengah bergulir pada saat ini berkenaan dengan
kurikulum berbasis kompetensi yang tentu saja penekanan pada penguasaan
sejumlah kompetensi oleh pembelajar. Cognitive coaching dalam hal ini mampu
membantu guru dalam mengembangkan kompetensi kognitif pembelajar karena
melalui metode ini mahasiswa dipandu untuk melewati berbagai proses penerapan
proses berpikir kritis. Nantinya, mahasiswa diharapkan dapat mempunyai
kompetensi kognitif yang berkualifikasi dengan penguasaan keterampilan berpikir
kritis sehingga ia bisa ikut bersaing dalam percaturan peradaban global.
Prospek ini pun ditopang oleh beberapa keunggulan cognitive coaching yang
antara lain:
- adanya internalisasi dan eksternalisasi pemahaman mahasiswa terhadap
materi atau konsep yang dipelajari;
- adanya peningkatan ketajaman mahasiswa dalam merespon atau mengkritisi
proposisi atau pernyataan yang bermasalah;
- pembelajar lebih termotivasi untuk belajar karena teks yang akan mereka
pelajari telah disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan bidang studi mereka
memalui proses negosiasi dengan guru;
- adanya kesamaan tujuan yang dipegang oleh guru dan pembelajar;
- adanya evaluasi performansi yang sinambung; dan
- adanya hubungan simbiosme mutualistis, dimana guru mempelajari
kesalahan konsep berpikir mahasiswa dan pengamatan siswa mengenai
strategi yang diterapkan sementara siswa mempelajari pengalaman guru
dalam menerapkan strategi-strategi tersebut.
Selain itu, kendala yang ada diwarnai dengan sejumlah kelemahan cognitive
coaching yang diantaranya:
- metode ini hanya menitikberatkan pada pengajaran dan pemenuhan potensi
kognitif siswa sementara potensi afektif, psikomotorik, dan kreatifnya kurang
begitu diberdayakan;
- pengulangan metode ini secara sinambung sebagai langkah pembiasaan
berpikir kritis membuat proses pembelajaran menjadi monoton sehingga
diperlukan alternatif strategi untuk membangkitkan kembali semangat belajar
siswa.
Language Skills
Problem
MKDU BHS INGGRIS
Solving
Independent Learner
MAHASISWA
Strategic Learner
COGNITIVE
Decision
COACHING Making
Critical Thinking Skills
Visualisasi Implementasi Cognitive Coaching dalam
Pengajaran MKDU Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi
Metode pemanduan keterampilan berpikir kritis atau cognitive coaching ini telah
berhasil dirintis oleh sejumlah dosen perkuliahan membaca atau Extensive
Reading 1. Dengan bobot dua SKS, kedua mata kuliah tersebut menjadi muara
mata kuliah membaca lainnya dengan tujuan akhir membina minat membaca.
4.7 Simpulan
4.8 Rekomendasi
4.9 Penutup
Dalam memasuki abad ke-21 dimana dunia sudah mengglobal dan banjir
informasi sudah mulai melanda seluruh kawasan dunia mengharuskan setiap
negara untuk menyiapkan diri dengan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Perguruan tinggi mengemban amanah yang besar dalam peningkatan
sumber daya manusia ini dengan berusaha menyediakan proses pembelajaran
yang mampu mencetak lulusan-lulusan yang bernalar kritis.
Bahasa yang memegang peran strategis dalam percaturan komunikasi global harus
mulai diintegrasikan dengan pengajaran keterampilan berpikir kritis. Sehingga,
pembelajar dapat menguasai kaidah bahasa, menerapkannya dalam komunikasi,
dan sekaligus mampu menguasai dan mengaplikasikan kaidah-kaidah berpikir
kritis.
DAFTAR PUSTAKA