Anda di halaman 1dari 11

Kewajiban Buruh Dalam Islam

By Ammi Nur Baits Oct 5, 2012


0
607

Share on Facebook
Tweet on Twitter

Menyikapi Demo Buruh dengan Bijak


Bismillah was shalatu was salamu ala Rasulillah, wa badu:
Maraknya demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh dalam menuntut
haknya perlu ditanggapi dengan bijak. Permasalahan ini harus dilihat dari
dua sisi; dari sisi pemilik usaha atau majikan dan dari sisi pegawai atau
buruh. Dalam tulisan sebelumnya kami telah membahas permasalahan ini
dari sudut pandang kewajiban para pelaku usaha terhadap para pekerja atau
buruh mereka, berikut ini adalah pembahasan dari sisi kewajiban para
pegawai atau buruh.
Kaidah baku yang menjadi acuan dalam hal ini adalah sebuah hadis
Nabi shallallahu alaihi wa sallam :


Setiap muslim harus menyesuaikan diri dengan kesepakatan yang dia
setujui. Kecuali kesepakatan yang mengharakan yang halal atau
menghalalkan yang haram. (HR. at-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir).
Seorang mukmin dalam berinteraksi dengan sesama, tidak bisa lepas dari
dua aturan: aturan syariat dan aturan yang dibuat bersama. Keduanya
mengikat, dan tidak boleh saling bertentangan. Jika sampai terjadi
pertentangan, maka aturan syariat, lebih diunggulkan. Sebaliknya, ketika di
sana tidak ada aturan syariat yang mengikat, kedua belah pihak boleh
membuat aturan lainnya sesuai dengan kesepakatan.
Agar lebih mudah dipahami, berikut bebarapa contoh terkait penerapan
kaidah di atas.
Dalam perusahaan X, ditetapkan aturan bahwa setiap karyawan wajib masuk
jam 08.00, pulang jam 16.00. Anda jangan bertanya, mana dalil aturan ini?
Karena jelas, aturan ini tidak ada dalam Alquran dan sunah. Meskipun
demikian, setiap karyawan yang sepakat dengan aturan ini, wajib
mentaatinya. Karena aturan ini, 100% tidak mengandung unsur
menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan apa yang
dihalalkan.
Di belahan bumi yang lain, ada perusahaan Z. Perusahaan ini punya aturan,
setiap karyawati wajib melepas jilbab. Jelas aturan ini bertentangan dengan
syariat, karena termasuk menghalalkan apa yang Allah haramkan. Di bagian
inilah, karyawan boleh menuntut perusahaan. Dan jika pihak perusahaan
tidak mengindahkan, tetap memaksa karyawati untuk lepas jilbab, maka dia
wajib keluar dari perusahaan tersebut.
Terkait hak dan kewajiban dalam berinteraksi dengan orang lain, terkadang
ada model manusia yang hanya semangat dalam menuntut hak, tapi malas
dalam menunaikan kewajiban. Perbuatan ini diistilahkan dengan tathfif,
orangnya disebut muthaffif.

Model manusia semacam ini telah Allah singgung dalam Alquran, melalui
firman-Nya:
( 2) ( 1)
Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli barang
yang ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al-Mutaffifin: 1
3).
Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat mereka,
selanjutnya Allah memberi ancaman keras kepada mereka. Allah ingatkan
bahwa mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan pembalasan
setiap kezaliman.
Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat mutaadi.
Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas untuk kasus
jual beli. Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang melibatkan hak
dan kewajiban. Setiap orang yang hanya bersemangat dalam menuntut hak,
namun melalaikan kewajibannya, maka dia terkena ancaman tathfif di ayat
ini. (Simak Tafsir As-Sadi, hal. 915).
Seorang atasan yang hanya bisa menuntut kewajiban pegawai atau
buruhnya, sementara malas dalam memberikan hak mereka, maka dia
terkena ancaman tathfif. Sebaliknya, pegawai atau buruh yang hanya
semangat menuntut haknya, sementara malas dalam menunaikan
kewajibannya, maka dia terancam dengan ayat ini.
Mungkin Anda pernah atau bahkan sering menjumpai ada pegawai, buruh,
dan pekerja lainnya yang ketika bekerja nuansanya malas, datangnya telat,
pulangnya lebih cepat, banyak nganggur sementara pekerjaan menumpuk,
mengolor waktu istirahat, dst. namun di saat musim gaji, tidak boleh telat,
harus tepat waktu, tidak boleh ada yang kurang, harus penuh, harus ada
bonus, harus ada tunjangan ini, itu, harusharus dst siapa pun dia, baik

pegawai swasta, pns, dimanapun berada, jika semangat semacam ini yang
dia miliki, berhati-hatilah, bisa jadi dia terkena ancaman tathfif.
Selanjutnya Anda bisa memahami bahwa disamping Anda berhak untuk
mendapatkan apa yang menjadi hak Anda, perlu juga Anda ingat bahwa
Anda punya kewajiban. Baik kewajiban terkait aturan kerja, kewajiban terkait
kuantitas kerja, maupun kualitas pekerjaan Anda. Semua aturan yang
diterapkan di perusahaan Anda, selama tidak melanggar aturan syariat,
itulah kewajiban yang harus Anda penuhi.
Jika Anda menuntut mereka untuk menjadi majikan yang baik, tuntutlah diri
Anda sendiri untuk menjadi pegawai yang baik. Semoga Allah memberkahi
kita semua.
Allahu alam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina KonsultasiSyariah.com)
https://konsultasisyariah.com/14190-kewajiban-buruh-dalam-islam.html

Hak Buruh dalam Islam


By Ammi Nur Baits -

Oct 3, 2012
0
1592

Share on Facebook

Tweet on Twitter

Penghargaan Islam Terhadap Buruh dan Pekerja


Bismillah was shalatu was salamu ala rasulillah, wa badu
Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam, sangat memperhatikan hak
asasi manusia, sekalipun dia seorang budak. Para sahabat yang pernah
membantu Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik budak maupun orang
merdeka, semua merasa puas dengan sikap baik yang beliau berikan. Inilah
potret ideal yang bisa dijadikan contoh muamalah antara majikan dengan
pembantunya, antara pimpinan dengan pekerjanya.
Sebelumnya kita perlu membedakan antara budak dengan pembantu atau
buruh. Budak, jiwa dan raganya milik majikannya, sehingga apapun yang
dimiliki budak ini, menjadi milik majikannya. Dia tidak bisa bebas melakukan
apapun, kecuali atas izin si majikan. Seratus persen berbeda dengan
pembantu. Hubungan seorang pembantu dengan majikan, tidak ubahnya
seperti pekerja yang sedang melakukan tugas untuk orang lain, dengan gaji
sebagaimana yang disepakati. Muamalah antara pembantu dengan majikan
adalah ijarah(sewa jasa). Sehingga seharusnya, beban tugas yang diberikan
dibatasi waktu dan kuantitas tugas. Lebih dari batas itu, bukan kewajiban
pembantu atau buruh.
Mohon maaf, di tulisan ini kami menggunakan kata majikan dan pembantu
atau buruh. Meskipun istilah ini kurang bisa mewakili struktur tugas antara

bawahan dengan atasan, namun kami kesulitan untuk mendapatkan


padanannya.
Ada beberapa hadis yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap hak
masyarakat pekerja. Sebagian besar hadis itu konteksnya adalah berbicara
tentang budak. Sehingga kita bisa menyimpulkan, bahwa jika budak saja
diperlakukan sangat indah oleh Islam, tentu pembantu dan buruh yang
bukan budak, posisinya jauh lebih terhormat.

Hak Buruh dalam Islam


Pertama, Islam memposisikan pembantu sebagaimana saudara majikannya.
Dari Abu Dzarradhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka dibawah
kekuasaan kalian. (HR. Bukhari no. 30)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebut pembantu sebagaimana saudara
majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.
Kedua, beliau shallallahu alaihi wa sallam melarang memberikan beban
tugas kepada pembantu melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus
dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya.
Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:

Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian memberikan
tugas kepada mereka, bantulah mereka. (HR. Bukhari no. 30)
Ketiga, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan para majikan untuk
memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari
Abdullah bin Umar radhiallahu anhu Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:



Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya. (HR. Ibn
Majah dan dishahihkan al-Albani).
Keempat, Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang
menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadis qudsi dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu, Nabishallallahu alaihi wa sallam meriwayatkan,
bahwa Allah berfirman:



Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: orang
yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun
dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai). (HR. Bukhari 2227 dan Ibn
Majah 2442)
Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh kepada ampunan Allah,
tetapi justru Allah menjadi musuhnya.
Kelima, Islam memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai
dan pembantunya. Dari Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:

Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu, maka itu menjadi pahala
di timbangan amalmu. (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya dan sanadnya
dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
Keenam, Islam memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu
yang berwibawa dengan buruh dan pembantunya. Dari Abu Hurairah,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Bukan orang yang sombong, majikan yang makan bersama budaknya, mau
mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau mengikat

kambing dan memerah susunya. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 568,
Baihaqi dalam Syuabul Iman 7839 dan dihasankan al-Albani).
Ketujuh, Islam menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada
bawahan. Seorang utusan Allah, yang menguasai setengah dunia ketika itu,
tidak pernah main tangan dengan bawahannya. Aisyah menceritakan:


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul dengan
tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula budak. (HR. Muslim
2328, Abu Daud 4786).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah menjumpai salah seorang
sahabat yang memukul budak lelakinya. Tepatnya ia sahabat Abu Masud AlAnshari. Seketika itu, Nabishallallahu alaihi wa sallam mengingatkan sahabat
itu dari belakang:

Ketahuilah wahai Abu Masud, Allah lebih kuasa untuk menghukummu
seperti itu, dari pada kemampuanmu untuk menghukumnya.
Ketika Abu Masud menoleh, dia kaget karena ternyata Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Spontan beliau langsung membebaskan budaknya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallammemujinya:

Andai engkau tidak melakukannya, niscaya neraka akan melahapmu. (HR.
Muslim 1659, Abu Daud 5159, Tumudzi 1948 dan yang lainnya).
Bukan manusia yang pemberani ketika dia hanya bisa menzalimi
bawahannya. Bersikap keras kepada bawahan justru merupakan tanda
bahwa dia tidak berwibawa.
Potret Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama pembantunya

Anas bin Malik radhiallahu anhu, adalah diantara daftar pernah menjadi
pembantu Nabishallallahu alaihi wa sallam. Selama hampir 9 tahun lamanya,
sejak di usia 10 tahun, beliau melayani Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Berikut testimoni sahabat Anas :
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik
akhlaknya. Suatu hari (sewaktu aku masih kanak-kanak), beliau menyuruhku
untuk tugas tertentu. Aku bergumam: Aku tidak mau berangkat. Sementara
batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikan perintah Nabi Allah. Aku
pun berangkat, sehingga melewati gerombolan anak-anak yang sedang
bermain di pasar. Aku pun bermain bersama mereka. Tiba-tiba
Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam memegang tengkukku dari belakang.
Aku lihat beliau, dan beliau tertawa. Beliau bersabda: Hai Anas,
berangkatlah seperti yang aku perintahkan. Ya, saya pergi sekarang ya
Rasulullah. Jawab Anas. Beliau memberi kesan:
: . :

!
Demi Allah, aku telah melayani Nabi shallallahu alaihi wa sallam selama 7
atau 9 tahun. Saya belum pernah sekalipun beliau berkomentar terhadap apa
yang aku lakukan: Mengapa kamu lakukan ini?, tidak juga beliau
mengkritik: Mengapa kamu tidak lakukan ini? (HR. Muslim 2310 dan Abu
Daud 4773).
Dalam cuplikan sejarah beliau yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam sangat perhatian terhadap kebutuhan pembantunya. Bahkan sampai
pada menyemangati untuk menikah. Dari Rabiah bin Kab al-Aslami, beliau
menceritakan:
Saya pernah menjadi pelayan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau
menawarkan: Wahai Rabiah, kamu tidak menikah? Aku jawab: Tidak ya
Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya dana yang cukup
untuk menanggung seorang istri, dan saya tidak ingin disibukkan dengan
sesuatu yang menghalangiku untuk melayani Anda. Rasulullahshallallahu
alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Setelah itu beliau bertanya lagi:
Wahai Rabiah, kamu tidak menikah? Aku pun menjawab dengan jawaban
yang sama: Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak

punya .dst. Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam kemudian berpaling


dariku. Kemudian aku ralat ucapanku, aku sampaikan: Ya Rasulullah, Anda
lebih tahu tentang hal terbaik untukku di dunia dan akhirat. Aku bergumam
dalam hatiku: Jika beliau bertanya lagi, aku akan jawab: Ya.
Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam tanya lagi untuk yang ketiga
kalinya: Wahai Rabiah, kamu tidak menikah? Aku langsung menjawab:
Ya, perintahkan aku sesuai yang Anda inginkan. Selanjutnya,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mendatangi
keluarga fulan, salah seorang dari suku Anshar (HR. Ahmad 16627, Hakim
2718 dan at-Thayalisi 1173).
Tidak hanya bersikap baik dalam urusan dunia, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam juga memperhatikan urusan akhirat pembantunya. Beliau pernah
memiliki seorang pemabntu yang masih remaja beragama Yahudi. Suatu
ketika si Yahudi ini sakit keras. Nabi pun menjenguknya dan
memperhatikannya. Ketika merasa telah mendekati kematian,
Nabishallallahu alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di samping
kepalanya. Beliau ajak anak ini untuk masuk Islam. Si anak spontan melihat
bapaknya, seolah ingin meminta pendapatnya. Si bapak mengatakan: Taati
Abul Qosim (nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Dia pun masuk Islam.
Setelah itu ruhnya keluar. Nabi shallallahu alaihi wa sallammeninggalkan
rumahnya dengan mengucapkan:

Segala puji bagi Dzat Yang telah menyelamatkannya dari neraka. (HR.
Bukhari 1290).
Demikianlah, betapa indahnya adab yang diajarkan dalam Islam ketika
bermuamalah dnegan pembantu. Sayangnya, banyak kaum muslimin yang
kurang memahami esensi ini, sehingga mereka justru menutupi keindahan
ajaran agamanya sendiri.
Disadur dari http://Islamstory.com, oleh Dr. Raghib As-Sirjani

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan


Pembina KonsultasiSyariah.com)
https://konsultasisyariah.com/14145-hak-buruh-dalam-islam.html

https://pengusahamuslim.com/3577-tenaga-kerja-dan-upah-dalam-1823.html

Anda mungkin juga menyukai