Share on Facebook
Tweet on Twitter
Setiap muslim harus menyesuaikan diri dengan kesepakatan yang dia
setujui. Kecuali kesepakatan yang mengharakan yang halal atau
menghalalkan yang haram. (HR. at-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir).
Seorang mukmin dalam berinteraksi dengan sesama, tidak bisa lepas dari
dua aturan: aturan syariat dan aturan yang dibuat bersama. Keduanya
mengikat, dan tidak boleh saling bertentangan. Jika sampai terjadi
pertentangan, maka aturan syariat, lebih diunggulkan. Sebaliknya, ketika di
sana tidak ada aturan syariat yang mengikat, kedua belah pihak boleh
membuat aturan lainnya sesuai dengan kesepakatan.
Agar lebih mudah dipahami, berikut bebarapa contoh terkait penerapan
kaidah di atas.
Dalam perusahaan X, ditetapkan aturan bahwa setiap karyawan wajib masuk
jam 08.00, pulang jam 16.00. Anda jangan bertanya, mana dalil aturan ini?
Karena jelas, aturan ini tidak ada dalam Alquran dan sunah. Meskipun
demikian, setiap karyawan yang sepakat dengan aturan ini, wajib
mentaatinya. Karena aturan ini, 100% tidak mengandung unsur
menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan apa yang
dihalalkan.
Di belahan bumi yang lain, ada perusahaan Z. Perusahaan ini punya aturan,
setiap karyawati wajib melepas jilbab. Jelas aturan ini bertentangan dengan
syariat, karena termasuk menghalalkan apa yang Allah haramkan. Di bagian
inilah, karyawan boleh menuntut perusahaan. Dan jika pihak perusahaan
tidak mengindahkan, tetap memaksa karyawati untuk lepas jilbab, maka dia
wajib keluar dari perusahaan tersebut.
Terkait hak dan kewajiban dalam berinteraksi dengan orang lain, terkadang
ada model manusia yang hanya semangat dalam menuntut hak, tapi malas
dalam menunaikan kewajiban. Perbuatan ini diistilahkan dengan tathfif,
orangnya disebut muthaffif.
Model manusia semacam ini telah Allah singgung dalam Alquran, melalui
firman-Nya:
( 2) ( 1)
Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli barang
yang ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al-Mutaffifin: 1
3).
Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat mereka,
selanjutnya Allah memberi ancaman keras kepada mereka. Allah ingatkan
bahwa mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan pembalasan
setiap kezaliman.
Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat mutaadi.
Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas untuk kasus
jual beli. Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang melibatkan hak
dan kewajiban. Setiap orang yang hanya bersemangat dalam menuntut hak,
namun melalaikan kewajibannya, maka dia terkena ancaman tathfif di ayat
ini. (Simak Tafsir As-Sadi, hal. 915).
Seorang atasan yang hanya bisa menuntut kewajiban pegawai atau
buruhnya, sementara malas dalam memberikan hak mereka, maka dia
terkena ancaman tathfif. Sebaliknya, pegawai atau buruh yang hanya
semangat menuntut haknya, sementara malas dalam menunaikan
kewajibannya, maka dia terancam dengan ayat ini.
Mungkin Anda pernah atau bahkan sering menjumpai ada pegawai, buruh,
dan pekerja lainnya yang ketika bekerja nuansanya malas, datangnya telat,
pulangnya lebih cepat, banyak nganggur sementara pekerjaan menumpuk,
mengolor waktu istirahat, dst. namun di saat musim gaji, tidak boleh telat,
harus tepat waktu, tidak boleh ada yang kurang, harus penuh, harus ada
bonus, harus ada tunjangan ini, itu, harusharus dst siapa pun dia, baik
pegawai swasta, pns, dimanapun berada, jika semangat semacam ini yang
dia miliki, berhati-hatilah, bisa jadi dia terkena ancaman tathfif.
Selanjutnya Anda bisa memahami bahwa disamping Anda berhak untuk
mendapatkan apa yang menjadi hak Anda, perlu juga Anda ingat bahwa
Anda punya kewajiban. Baik kewajiban terkait aturan kerja, kewajiban terkait
kuantitas kerja, maupun kualitas pekerjaan Anda. Semua aturan yang
diterapkan di perusahaan Anda, selama tidak melanggar aturan syariat,
itulah kewajiban yang harus Anda penuhi.
Jika Anda menuntut mereka untuk menjadi majikan yang baik, tuntutlah diri
Anda sendiri untuk menjadi pegawai yang baik. Semoga Allah memberkahi
kita semua.
Allahu alam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina KonsultasiSyariah.com)
https://konsultasisyariah.com/14190-kewajiban-buruh-dalam-islam.html
Oct 3, 2012
0
1592
Share on Facebook
Tweet on Twitter
Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya. (HR. Ibn
Majah dan dishahihkan al-Albani).
Keempat, Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang
menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadis qudsi dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu, Nabishallallahu alaihi wa sallam meriwayatkan,
bahwa Allah berfirman:
Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: orang
yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun
dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai). (HR. Bukhari 2227 dan Ibn
Majah 2442)
Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh kepada ampunan Allah,
tetapi justru Allah menjadi musuhnya.
Kelima, Islam memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai
dan pembantunya. Dari Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: