SUSU FERMENTASI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU
Disusun Oleh :
Maria Wirani 13.70.0190
Kelompok C2
2016
2. HASIL PENGAMATAN
2.1. Foto Produk
Jenis Yoghurt
Kekentalan
C1
C2
C3
C4
C5
Hasil
+++
++++
Derajat
Keasaman
4,5
4,5
+++
++
4,5
4
++
Keterangan :
Hasil : beri tanda centak bila produk berhasil, silang bila gagal
Kekentalan :
+
: encer
++
: kurang kental
+++ : kental
++++ : sangat kental
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat hasil pengamatan setiap kelompok dengan jenis
yoghurt yang berbeda, diketahui bawa pada parameter kekentalan, kelompok C1 dan C3
produk yang didapatkan kental, kelompok C2 produk yang dihasilkan sangat kental,
serta untuk kelompok C4 dan C5 produk yang dihasilkan kurang kental. Pada parameter
derajat keasaman diketahui kelompok C1, C2, C3 sebesar 4,5; kelompok C4 nilai yang
didapat adalah 4 dan C5 nilai yang didapat syaitu 5. Hasil yang didapatkan untuk
kelompok C1-C5 pruduk yang dibuat berhasil, namum pada kelompok C5 produk yang
dibuat gagal.
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan percobaan pembuatan yoghurt, kefir dan acidophilus milk
yang merupakan produk susu fermentasi. Sejak abad 20, produk susu fermentasi mulai
populer di kalangan masyarakat. Bahan dasar utama dalam pembuatan yoghurt, kefir,
dan acidophilus milk ini adalah susu yang dalam percobaan ini digunakan susu sapi
segar dan susu skim. Susu merupakan makanan yang memiliki kandungan gizi yang
lengkap yaitu terdiri dari 87,1% air, 3,9% lemak, 3,4% protein, 4,8% laktosa, dan 0,72%
abu (Moehyi, 1992).
Yoghurt adalah suatu minuman yang dibuat dari susu sapi dengan cara fermentasi oleh
bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Bakteri tersebut tidak
berbahaya bagi kesehatan manusia (Kosikowski, 1982). Sebagian besar bakteri ini
masih hidup ketika yoghurt dikonsumsi.
Pembuatan yoghurt dilakukan oleh kelompok C1 dan C2, proses yang dilakukan
awalnya yaitu sebanyak 110 ml susu skim dan 115 ml susu cair segar. Menurut Santoso
(1994) penggunaan susu skim dalam pembuatan yoghurt, ditujukan untuk meningkatkan
kekentalan, aroma, keasaman, protein, serta mengurangi aroma langu pada produk
akhir. Selanjutnya dipanaskan hingga suhu 85oC selama 2 menit yang bertujuan agar
membunuh mikroorganisme kontaminan, juga akan mendenaturasi enzim penghambat
yang menghambat fermentasi yoghurt berikutnya. Proses pemanasan ini biasa disebut
dengan proses pasteurisasi susu. Proses pada praktikum ini sesuai dengan pendapat dari
Hayes (1995) yaitu proses pemanasan ini umumnya dilakukan untuk membunuh
mikroorganisme yang berpotensi merusak susu, karena produk susu merupakan salah
satu jenis bahan yang mudah terkontaminasi. Hal ini sesuai pendapat yang diutarakan
oleh Fellows (1990) yaitu tujuan proses pemanasan adalah untuk menghancurkan
mikroorganisme serta menghilangkan kestabilan kasein. Selain itu, Buckle et al. (1987)
juga menambahkan bahwa proses pemanasan menurunkan potensi redoks campuran
tersebut, menghasilkan faktor-faktor dan kondisi yang menguntungkan untuk
perkembangan bakteri yang dimasukkan sebagai inokular, menyebabkan denaturasi
sifat-sifat protein whey dan perubahan kasein yang memberi konsisitensi yang lebih
baik dan lebih seragam pada produk akhir. Pada tahap sebelum dilakukan pasteurisasi
biasanya susu mengalami homogenisasi. Tujuan dari homogenisasi ini adalah
meningkatkan konsistensi dan stabilitas fisik dengan menghasilkan dadih susu yang
seragam dan kuat (Buckle et al., 1987). Pada proses ini susu tidak dilakukan dengan
perlakuan pemanasan suhu sterilisasi, hal tersebut dikarenakan sterilisasi dilakukan pada
suhu 121oC selama 15 menit. Suhu yang tinggi dalam waktu yang lama akan
menyebabkan komponen pada susu menjadi rusak. Menurut Usmiati (2007), sterilisasi
susu merupakan proses pengawetan susu yang dilakukan dengan memanaskan susu
sampai suhunya diatas titik didih sehingga bakteri, kuman dan spora mati. Sterilisasi
membutuhkan peralatan khusus dan biaya mahal. Kerugiannya adalah vitamin larut air
akan hilang seta merusak protein whey pada susu walaupun kandungan lemak, laktosa
dan garam mineral tidak mengalami perubahan. Maka pasteurisasi lebih dianjurkan
dibandingkan sterilisasi mengingat perlakuan pasteurisasi dapat meminimalkan
kehilangan gizi serta mempertahankan sifat fisik dan rasa susu. Hal ini sesuai dengan
teori yang ada bahwa fermentasi susu merupakan pengolahan susu dengan bantuan
mikroba untuk menghasilkan berbagai produk seperti keju, yogurt, kefir, koumis, dan
yakult.
Susu yang sudah dipasteurisasi kemudian dimasukan ke dalam wadah kaca steril dan
ditambahkan dengan 10% kultur starter (25 ml) serta segera ditutup. Kemudian
diinkubasi selama 1 hari (tidak boleh dibuka dan diaduk-aduk). Apabila dalam
pembuatan yoghurt inkubator tidak tersedia, maka penyimpanan dapat dilakukan dalam
suhu kamar bersuhu 25-27C selama 12-14 jam. Selama masa inkubasi atau
penyimpanan, yoghurt harus berada dalam keadaan tertutup rapat. Perlahan-lahan susu
akan menggumpal, hal tersebut dikarenakan terjadinya koagulasi (penggumpalan) dari
protein susu (kasein). Yoghurt yang sudah jadi mempunyai derajat keasaman (pH) 4,6
(Astawan & Astawan, 1988). Begitu pula pada percobaan ini, susu yang telah
diinokulasi diinkubasi pada suhu ruang selama 1 malam. Setelah diinkubasi dan
terbentuk gumpalan, diaduk hingga kental merata. Yoghurt siap dianalisa. Menurut
Blyung, G. (1995) L. bulgaricus memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi karena dapat
memerangkap dan menurunkan aktivitas radikal bebas, sedangkan pada S.
thermophillus dapat menghasilkan sistem proteolitik sehingga memungkinkan dapat
tumbuh dalam susu untuk mendegradasi kasen menjadi peptide dan asam amino bebas.
Reaksi yang menjadi dasar fermentasi asam adalah perubahan laktosa menjadi asam
laktat yang menyebabkan penurunan pH susu. Kultur starter bakteri asam laktat dalam
fermentasi susu dapat didefinisikan sebagai biakan mikroorganisme yang diinginkan
yang menghasilkan perubahan menguntungkan selama proses fermentasi susu.
Persyaratan utama bagi kultur starter laktat antara lain mengandung jenis-jenis
mikroorganisme yang diinginkan, mampu berkembang dalam kondisi yang diberikan
dan menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan, dan bebas dari kontaminasi
(Rahman, 1992).
L. bulgaricus memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi karena dapat memerangkap dan
menurunkan aktivitas radikal bebas, sedangkan pada S. thermophillus dapat
menghasilkan sistem proteolitik sehingga memungkinkan dapat tumbuh dalam susu
untuk mendegradasi kasen menjadi peptide dan asam amino bebas (Blyung, G. 1995).
Produksi yoghurt sangat dipengaruhi oleh pembentukan asam laktat selama
metabolisme bakteri starter, karena asam tersebut mendestabilisasi membran kasein,
menyebabkan koagulasi dari protein susu dan pembentukan gel yoghurt (Eskin, 1990).
Streptococcus thermophillus akan berkembang biak lebih cepat dengan memproduksi
diasetil dan asam laktat, asam asetat, serta asam formiat. Lactobacillus bulgaricus,
memiliki aktivitas protease yang lemah sehingga melepaskan peptida dari protein susu
yang dapat merangsang pertumbuhan bakteri Streptococcus thermophillus.
Peningkatan keasaman yoghurt akan memperlambat pertumbuhan bakteri Streptococcus
thermophillus namun mempercepat pertumbuhan bakteri Lactobacillus bulgaricus yang
secara tidak langsung dirangsang oleh produksi format pada tahap awal. Aroma dan rasa
yang khas dari yoghurt berasal dari pembentukan asam laktat dan asetaldehid serta
diasetil oleh Lactobacillus bulgaricus. Flavor khas yoghurt ini disebabkan karena asam
laktat dan sisa-sisa asetaldehida, diasetil, asam asetat dan bahan-bahan mudah menguap
lainnya yang dihasilkan oleh fermentasi bakteri (Fellows, 1990). Suhu optimum
pertumbuhan dari bakteri yoghurt S. thermophillus dan L. bulgaricus yang merupakan
bakteri termofilik yaitu sekitar suhu 4044oC. Jika suhu terlalu rendah maka bakteri
akan berkembang biak lambat, sedangkan jika suhu terlalu tinggi maka bakteri akan
rusak dan mati (Potter & Hotchkiss, 1995).
Selama masa inkubasi atau penyimpanan, yoghurt harus berada dalam keadaan tertutup
rapat.
Perlahan-lahan
susu
akan
menggumpal
karena
terjadinya
koagulasi
(penggumpalan) dari protein susu (kasein). Yoghurt yang sudah jadi mempunyai derajat
keasaman (pH) 4,6 (Astawan & Astawan, 1988).
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa yoghurt yang menggunakan starter plain
yoghurt komersial kekentalan yang lebih kental dibandingkan dengan fresh culture.
Hal ini mungkin disebabkan karena yogurt komersial sudah mengandung komponen
tambahan sehingga akan menambah partikel-partikel dalam yoghurt. Kekentalan
menunjukkan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Yogurt komersial adalah
yang paling kental karena kultur bekerja maksimal (Fellows, 1990).
Yoghurt merupakan produk yang berbentuk gel lunak (soft gel) yang dibuat dengan
memfermentasikan susu menggunakan kultur bakteri, terutama
Lactobacillus
lactis
menghasilkan
rasa,
Saccharomyces
cereviseae
berfungsi
menghasilkan alkohol sehingga diperoleh susu fermentasi dengan rasa asam dan
beralkohol.
Bakteri berperan menghasilkan asam laktat dan komponen flavor, sedangkan ragi
menghasilkan gas asam arang atau karbondioksida dan sedikit alkohol (Usmiati, 2007).
Yeast mewakili 510% dari populasi mikroba. Produk utama dari kefir adalah asam
laktat (sekitar 0,8%), etil alkohol (sekitar 1%), dan karbondioksida. Rasa yang khas
disebabkan karena perbandingan maksimum (3:1) dari diasetil dan asetaldehid dengan
alkohol kompleks (Kosikowski, 1982). Bakteria memproduksi asam (0,61% asam
laktat), dan yeast memproduksi alkohol (0,51 % alkohol) (Pelczar & Reid, 1958).
Salah satu faktor yang menyebabkan viskositas kefir adalah bakteri asam laktat, yang
memiliki fungsi menimbulkan cita rasa dan juga membantu destabilisasi protein yang
menyebabkan terjadinya penggumpalan serta menciptakan kekentalan tertentu pada
kefir (Fratiwi et al., 2008).
Pada praktikum ini juga dibuat produk Achidophylus milk yang dilakukan ile kelompok
C5. Proses yang dilakukan mula-mula susu skim dan susu segar dipanaskan hingga
mencapai suhu 85oC selama 2 menit jangan sampai mendidih. Hal ni bertujuan untuk
mebunuh mikroorganisme kntaminan, serta akan mendenaturasi enzim penghambat
yang menghambat fermentasi yoghurt berikutnya. Selanjutnya 245 ml susu dimasukan
ke dalam wadah kaca steril dan segera ditutup. Kemudian didinginkan dengan cara
wadah kaca direndam dalam baskom berisi air. Kemudian ditambahkan 1 % kultur
starter (5ml), penambahan dilakukan praktikan didekat api bunsen, serta praktikan
menggunakan masker dan tangan praktikan disemprot alcohol agar terjaga kondisi
aseptis. Kemudian diinkubasi selama 1 hari tanpa gangguan (tidak boleh dibuka dan
diaduk) hingga terbentuk smooth curd. Setelah diinkubasi hasilnya dianalisis. Hasil
pengamatan menunjukan bahwa produk Achidophylus milk tidak berhasil atau gagal.
Hal tersebut dikarenakan proses yang dilakukan kurang aseptis sehingga mengakibatkan
aspek sensori yang berbeda apabila dibandingkan dengan produk komersial.
Lactobacillus acidophilus (L. acidophilus) merupakan salah satu strain bakteri asam
laktat yang telah banyak dimanfaatkan sebagai probiotik. Menurut Mariana E. dan
Hilda Susanti. (2012) Acidophilus milk adalah produk yang dihasilkan dengan
memfermentasi susu dengan kultur murni Lactobacillus acidophilus. Kemampuan L.
acidophilus untuk tumbuh di dalam sistem pencernaan dapat menekan pertumbuhan
bakteri patogen enterik dan memperbaiki keseimbangan mikroflora dalam sistem
pencernaan sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan tubuh. Menrut Amiri
et al., (2010) Acidophilus milk adalah produk fermentasi susu asam yang dihasilkan dari
bakteri asam laktat yang bersifat termofilik. Jenis susu fermentasi acidophilus milk ini
yang dihasilkan oleh pengembangan dalam susu Lactobacillus acidophilus.
Bahan baku yang digunakan dalam praktikum pembuatan yoghurt, kefir dan
acidophilus milk adalah susu sapi dan susu skim. Penggunaan susu skim ditujukan
untuk meningkatkan kekentalan, aroma, keasaman, protein, serta mengurangi aroma
langu pada produk akhir (Santoso, 1994).
Proses pemanasan bertujuan agar membunuh mikroorganisme kontaminan yang dapat
merusak susu, mendenaturasi enzim yang menghambat fermentasi yoghurt berikutnya,
dan menghilangkan kestabilan kasein (Hayes, 1995). Proses pemanasan menurunkan
potensi redoks campuran sehingga menghasilkan faktor-faktor dan kondisi yang
menguntungkan untuk perkembangan bakteri yang dimasukkan sebagai inokular.
Tujuan pasteurisasi ini sebelum diinokulasi adalah mengkondisikan susu agar mudah
ditumbuhi kultur, untuk memastikan produk akhir yang terbentuk kompak, dan
mengurangi resiko pemisahan whey pada produk akhir. Tujuan dari homogenisasi
adalah untuk meningkatkan konsistensi dan stabilitas fisik dengan menghasilkan dadih
susu yang seragam dan kuat (Buckle et al., 1987).
Setelah kondisi menjadi asam akibat penurunan pH, pertumbuhan mikroba terpacu
sampai populasinya seimbang. Kondisi asam ini akan membentuk konsistensi
menyerupai puding yang berfungsi sebagai pengawet. Hal serupa juga dilakukan namun
penambahan kultur starternya menggunakan plain yoghurt komersial. Sebaiknya
penyimpanan yoghurt dilakukan pada suhu rendah seperti difrigerator agar produk tidak
cepat rusak. Menurut Hayes (1995) produk yoghurt disimpan dalam pendingin bersuhu
5C untuk mencegah produksi asam yang berlebih dan penyimpanan suhu rendah
sekaligus keasaman akan menjamin kerusakan karena bakteri non-toleran asam dapat
dicegah. Dari data pengamatan diketahui derajat keasamaan yang didapatkan berbedabeda. Kelompok C1, C2 dan C3 pH 4,5; kelompok C4 pH 4 dan kelompok C5 pH 5.
Perbedaan derajat keasamaan yang diperoleh terjadi karena perbedaan jenis yoghurt
yang diinginkan serta dikarenakan perbedaan starter yang ditambahkan. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Rosiana E., dkk (2013) yang menyatakan tinggi rendahnya
kadar asam laktat dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat,
selain itu juga ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan. Selama proses
inkubasi terjadi penurunan pH, hal tersebut dikarenakan adanya kativitas pertumbuhan
bakteri probiotik L. acidophilus. Hal tersebut sesuai dengan teori Saccaro et al. (2012)
menyatakan bahwa bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar
selama proses metabolismenya sehingga peningkatan konsentrasi asam laktat dalam
medium dan menyebabkan penurunan pH.
Intestinal implantable merupakan mikroba yang dimasukkan dalam saluran pencernaan
manusia, seperti golongan bakteri probiotik. Lactobacillus acidophilus berperan untuk
membunuh bakteri pathogen yang tumbuh dan menimbulkan berbagai macam penyakit
gastroenteritis pada usus besar. Bakteri ini mampu memproduksi berbagai zat metabolit
seperti asam organik, hidrogen peroksida dan berbagai bakteriosin yang dapat
menghambat perkembangan bakeri pathogen (Kanbe, 1992).
Intestinal implantable pada saluran pencernaan akan mengkonversi senyawa yang
bermanfaat bagi manusia. Bakteri Lactobacillus merupakan bakteri asam laktat (BAL)
yang berfungsi sebagai detoksifikasi karsinogenik, mentimulasi sistem imun, dan
menurunkan kadar kolesterol. Namun tidak semua jenis bakteri dapat dimasukkan
dalam human intestinal implantable karena terdapat beberapa jenis bakteri pembusuk
dan pathogen. Selain itu, tidak semua jenis bakteri memiliki sifat yang baik untuk
manusia yang dapat menimbulkan penyakit (Mitzuoka, 1996).
4. DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Blyung, G. (1995). Dairy Processing Handbook. Tetra Pak Processing System. Sweden.
Buckle, K. A.; R. A. Edwards; G. H. Fleet & M. Wooton. (1987). Food Science.
Indonesia University Press. Jakarta.
Eskin, N. A. M. (1990). Biochemistry of Foods 2nd ed. Academic Press, Inc. California.
Fardiaz, S. (2003).Kefir, Susu Asam Berkhasiat.http://www.google.com. Diakses 28
Mei 2016.
Fellows, P. (1990). Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis
Horwood Limited. New York.
Fratiwi et al. (2008). Fermentasi Kefir dari Susu Kacang-Kacangan. Vis Vitalis Vol. 1
No. 2, tahun 2008.
Hayes, P. R. (1995). Food Microbiology and Hygiene. Chapman & Hall, London.
Igoe, R. S. (1989). Dictionary of Food Ingredients. Van Nostrand Reinhold. New York
Kanbe, M. (1992). Uses of Intestinal Lactic Acid Bacteria and Health. In: Nazakawa, Y.
and A. Hosono (Editors). Function of Fermented Milk : Chalenges for The Health
Science. Elsevier Applied Science Publishers. London.
Kosikowski, F. V. (1982). Cheese and Fermented Foods 3rd ed. F. V. Kosikowski & Asc.
New York.
Mariana E. dan Hilda Susanti. (2012). Pengaruh Suplementasi Tepung Terigu Terhadap
Pertumbuhan dan Laju Pengasaman Probiotik Lactobacillus acidophilus. Jurnal
Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.3.Universitas Syiah Kuala,
Darussalam, Banda Aceh.
Mitzuoka, T. (1996). Intestinal Flora and Human Health. Asia Pacific J Clin Nutr (1996)
Vol. 5, No. 1 : 2-9.
Moehyi, S. (1992). Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Bhratara.
Jakarta.
Den
Berg.J.C.T.(2008).
Evaporated
and
Condensed
Milk.
http://whqlibdoc.who.int/monograph/WHO_MONO_48_(p321).pdf. Diakses 28
Mei 2016.
5. LAMPIRAN
5.1. Laporan Sementara
5.2. Abstrak Jurnal