Anda di halaman 1dari 15

1

PRODUK SUSU FERMENTASI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU
Disusun oleh:
Nama

: Regina Septie N.

NIM

: 13.70.0074

Kelompok

: C3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2016

1.

TOPIK DAN TUJUAN PRAKTIKUM

1.1 Topik
Praktikum Teknologi Pengolahan Susu kloter C dengan topik acara Produk Susu
Fermentasi dilaksanakan pada hari Rabu, 25 Mei 2016. Asisten dosen yang bertugas
adalah Tjan, Ivana Chandra, Beatrix Restiani, Rr. Panulu P. M., dan Graytta Intannia.
Praktikum dilaksanakan pukul 15.00 di Laboratorium Rekayasa Pangan. Dalam
praktikum ini ada tiga jenis produk susu fermentasi yang dibuat yaitu yoghurt
(kelompok C1 dan C2), kefir (kelompok C3 dan C4) dan acidophilus milk (kelompok
C5). Bahan dasar yang digunakan adalah susu sapi segar dan susu skim. Susu tersebut
mula-mula dipasteurisasi, lalu diberi tambahan inokulum yang berbeda yaitu inokulum
fresh culture (kelompok C1, C3, dan C5) dan inokulum plain yoghurt komersial
(kelompok C2) dan inokulum plain kefir komersial (kelompok C4). Selanjutnya,
setelah diinkubasi selama 1 hari, produk susu fermentasi yang dihasilkan dianalisa
kekentalan dan derajat keasamannya.

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dilakukannya praktikum ini antara lain untuk mengetahui prinsip pembuatan
yoghurt dan kefir dengan tipe inokulum yang berbeda yaitu menggunakan kultur segar
(fresh culture bacteria) dan plain yoghurt komersial; mengetahui cara kerja
pembuatan acidophilus milk; mengetahui karakteristik yoghurt, kefir dan acidophilus
milk yang dihasilkan dari tipe inokulum yang berbeda (dari segi kekentalan dan derajat
keasaman); serta mengetahui perbedaan karakteristik dari yoghurt, kefir dan acidophilus
milk.

2.

HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan karakteristik produk susu fermentasi yang dihasilkan dari tipe
inokulum yang berbeda dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Produk Susu Fermentasi


Kelompok

Jenis Susu
Fermentasi

Kekentalan

Derajat
Keasaman

Hasil

C1

Yoghurt dengan
inokulum fresh
culture

+++

4,5

C2

Yoghurt dengan
inokulum plain
yoghurt komersial

++++

4,5

C3

Kefir dengan
inokulum fresh
culture

+++

4,5

C4

Kefir dengan
inokulum plain
kefir komersial

++

C5

Acidophilus milk
dengan inokulum
fresh culture

++

Keterangan
Hasil
Kekentalan
+
= encer

:
: beri tanda centang () bila produk berhasil, silang (X) bila gagal
:
; ++
= kurang kental ; +++ = kental ; ++++ = sangat kental

Foto

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa ada tiga jenis produk susu fermentasi yang
dihasilkan yaitu yoghurt, kefir, dan acidophilus milk. Tipe inokulum yang digunakan
adalah fresh culture (kelompok C1, C3 dan C5), plain yoghurt komersial
(kelompok C2), dan plain kefir komersial (kelompok C4). Produk susu fermentasi
yang dihasilkan mempunyai tingkat kekentalan mulai dari kurang kental hingga sangat
kental, dimana produk yang paling kental terdapat pada kelompok C2 yaitu yoghurt
dengan inokulum plain yoghurt komersial. Produk paling asam ada pada kelompok
C4 yaitu kefir dengan inokulum plain kefir komersial dengan pH 4. Proses pembuatan
acidophilus milk dengan inokulum fresh culture oleh kelompok C5 dinyatakan gagal.

3.

PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan pembuatan susu fermentasi. Susu fermentasi ini dibuat
dari susu sapi segar. Susu segar merupakan susu yang didapat dari hasil pemerahan sapi
yang sehat secara kontinyu tanpa adanya penambahan atau pengurangan senyawa
tertentu di dalam susu (Syarif & Harianto, 2011). Susu tersusun atas air (87,9%), protein
(3,5%), lemak (3,5-4,2%), serta vitamin dan mineral (0,85%). Selain itu, susu memiliki
nilai pH antara 6,5-6,6. Tinggi dan lengkapnya komponen gizi pada susu serta pH yang
mendekati netral (pH 6,5-7,5) menyebabkan susu menjadi media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme (Cahyono et al., 2013). Mikroorganisme yang tumbuh di
susu tidak hanya bersifat merugikan atau merusak namun juga dapat bersifat
menguntungkan. Salah satu contoh keuntungan dari mikroorganisme pada susu adalah
dihasilkannya produk fermentasi. Susu fermentasi adalah produk susu yang dihasilkan
dengan cara memfermentasi susu dengan bantuan mikroorganisme yang spesifik
(Chairunnisa et al., 2006). Dalam praktikum ini, fermentasi susu yang dilakukan
bertujuan untuk menghasilkan produk yang diinginkan khususnya produk susu
fermentasi seperti yoghurt, kefir dan acidophilus milk.

Produk susu fermentasi yang pertama adalah yoghurt. Kata yoghurt berasal dari bahasa
Turki jugurt yang artinya mengental atau terkoagulasi (Tamime & Robinson, 1999
dalam Weerathilake et al., 2014). Yoghurt biasanya dibuat dari susu sapi, susu kambing,
susu kerbau, susu domba, dan susu unta. Karakteristik umum dari yoghurt adalah
mempunyai aroma yang segar, tekstur yang lembut dan rasa yang khas yaitu asam dan
manis. Produk yoghurt mengandung paling sedikit 3,25% lemak susu dan 8,25% milk
solid non fat (Weerathilake et al., 2014).

Pada praktikum pembuatan seluruh produk fermentasi, (yoghurt, kefir, dan


achidophillus milk) mula-mula susu skim dan susu sapi segar dipanaskan secara terpisah
dalam panci enamel hingga suhunya mencapai 85C selama 2 menit dan diaduk secara
perlahan. Pemanasan ini tergolong dalam pasteurisasi yang bertujuan untuk mematikan
sebagian mikroorganisme kontaminan yang ada dalam susu dan menginaktivasi enzim
yang dapat menghambat berlangsungnya fermentasi yoghurt. (Weerathilake et al.,

2014). Waktu pasteurisasi yang dilakukan pada praktikum ini kurang sesuai dengan
teori, dimana seharusnya pasteurisasi pada suhu 80-85C dilakukan selama 30 menit.
Waktu pasteurisasi yang singkat ini membuka peluang bagi mikroorganisme
kontaminan untuk tumbuh kembali pada tahap selanjutnya. Meskipun demikian susu
tidak dapat disterilisasi karena komponen susu akan rusak sehingga sistem emulsi pada
susu menjadi tidak stabil sehingga lebih mudah memisah selama penyimpanan
(Rahmawati et al., 2014). Kemudian setelah dipanaskan, 110 ml susu skim dan 115 ml
susu sapi dicampur dalam wadah kaca steril dan ditutup rapat. Kemudian susu yang
berada dalam wadah kaca didinginkan dengan cara direndam dalam baskom berisi air
hingga tidak terlalu panas. Proses pendinginan dilakukan agar suhu susu tidak terlalu
panas karena suhu susu yang terlalu panas dapat membunuh kultur starter. Suhu yang
disarankan adalah 43-45C (Weerathilake et al., 2014). Lalu kemudian susu ditambah
dengan kultur starter sesuai dengan ketentuan per kelompok. Kelompok C1
meggunakan kultur segar untuk yoghurt. Kultur segar yang digunakan biasanya
merupakan kultur campuran atau mixed culture yang berasal dari bakteri asam laktat
yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang bekerja secara
sinergis. Selama proses fermentasi, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus
bulgaricus akan mengubah laktosa menjadi asam laktat. Adanya asam laktat ini akan
menurunkan pH susu yang menyebabkan terjadinya penggumpalan protein susu seiring
dengan dihasilkannya senyawa volatil yang menimbulkan flavor dan aroma yang khas
pada yoghurt (Weerathilake et al., 2014). Sementara itu pada kelompok C2, susu yang
sudah agak dingin ditambah dengan 25 ml plain yoghurt komersial. Plain yoghurt
ini diketahui mengandung kultur aktif yang dapat dijadikan sebagai inokulum untuk
membuat yoghurt. Selanjutnya, wadah ditutup rapat untuk meminimalkan terjadinya
kontaminasi.
Susu yang telah ditambah kultur kemudian diinkubasi pada suhu 42-44C selama 1 hari
sampai terbentuk custard yang diinginkan. Suhu tersebut merupakan suhu optimal
untuk pertumbuhan kultur starter karena Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophilus yang merupakan mikroorganisme termofilik yang tumbuh baik pada suhu
43-46C. Proses inkubasi ini juga akan memberi waktu pada kultur starter untuk
memfermentasi laktosa menjadi asam laktat (Weerathilake et al., 2014). Apabila sudah

terbentuk gumpalan, maka proses inkubasi dihentikan dan susu diaduk perlahan hingga
kental merata sehingga dihasilkan yoghurt.

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa semua yoghurt yang dihasilkan mempunyai


pH 4,5. Hasil pengamatan ini sudah sesuai dengan Weerathilake et al. (2014) bahwa
dalam pembuatan yoghurt komersial, proses inkubasi akan dihentikan ketika pH telah
mencapai 4,5-4,6. Rendahnya pH yoghurt disebabkan karena selama proses fermentasi
dihasilkan asam laktat dari pemecahan laktosa yang menyebabkan pH susu menjadi
turun. Sedangkan dari segi kekentalan, yoghurt dari plain yoghurt komersial lebih
kental daripada yoghurt dari fresh culture. Hal ini dapat terjadi karena protein susu
yang digumpalkan lebih banyak sehingga yoghurt yang dihasilkan lebih kental (Sumner
& Hutkins, 1990).

Produk fermentasi yang kedua adalah kefir. Kefir merupakan produk susu fermentasi
dengan karakteristik flavor asam dan mengandung alkohol kadar rendah yaitu sekitar
1%. Kefir berasal dari daerah pegunungan Caucasian dan biasanya dibuat dari susu
sapi, susu kambing atau susu domba (Lengkey et al., 2013). Pembuatan kefir dilakukan
dengan cara menambahkan starter berupa biji kefir ke dalam susu yang telah
dipasteurisasi. Biji kefir tersusun dari bakteri asam laktat seperti Streptococcus lactis,
Lactobacillus bulgaricus, dan yeast. Jenis yeast yang digunakan ada yang dapat
memfermentasi laktosa seperti Kluyveromyces marxianus dan ada yang tidak dapat
memfermentasi laktosa seperti Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces unisporus
(CODEX, 2003 dalam Agustina et al., 2013). Selama proses fermentasi berlangsung,
bakteri asam laktat akan mengubah laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan pH
susu turun dan menggumpalkan protein susu. Sementara itu, yeast akan memfermentasi
laktosa menjadi alkohol dan gas karbondioksida yang menyebabkan kefir berbau
menyengat. Semakin tinggi konsentrasi starter yang ditambahkan maka kadar asam
laktat dan alkohol yang dihasilkan dalam kefir juga semakin tinggi karena akan semakin
banyak laktosa yang terurai (Abubakar et al., 2000 dalam Agustina et al., 2013).

Pada praktikum ini,susu yang telah dipanaskan diambil sebanyak 230 ml (kelompok C3)
dan 210 ml (kelompok C4) dan dituang ke dalam wadah kaca steril kemudian ditutup

rapat. Susu yang berada dalam wadah kaca didinginkan dengan cara direndam dalam
baskom berisi air hingga tidak terlalu panas. Pendinginan dilakukan karena suhu susu
yang terlalu panas dapat membunuh kultur starter. Suhu yang disarankan untuk
pembuatan kefir adalah 25C (Oner et al., 2010). Selanjutnya pada kelompok C3, susu
yang sudah agak dingin ditambah dengan 8% kultur starter (20 ml) secara steril untuk
mencegah terjadinya kontaminasi pada kultur yang dibiakkan. Sementara itu pada
kelompok C4, susu yang sudah agak dingin ditambah dengan 20 ml plain kefir
komersial. Setelah selesai, wadah ditutup rapat untuk meminimalkan terjadinya
kontaminasi. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 20-25C selama 1 hari sampai
terbentuk custard yang diinginkan. Suhu tersebut merupakan suhu optimal untuk
pertumbuhan kultur starter. Hal ini didukung dengan pernyataan Lengkey et al. (2013)
bahwa kefir dihasilkan dari fermentasi menggunakan bakteri mesofil dan yeast yang
tumbuh optimal pda suhu ruang. Selain itu inkubasi dilakukan untuk memberi waktu
pada kultur starter untuk mengubah laktosa menjadi asam laktat dan alkohol (Agustina
et al., 2013).

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa kefir yang dihasilkan mempunyai rentang pH 44,5. Kefir kelompok C3 memiliki pH 4,5 dan kefir krlompok C4 memiliki pH 4. Hasil
pengamatan ini sudah sesuai dengan Agustina et al. (2013) bahwa produk kefir
komersial umumnya mempunyai pH yang berkisar antara 3,8-4,6. Rendahnya pH kefir
disebabkan karena adanya peningkatan jumlah bakteri asam laktat saat fermentasi,
sehingga produksi asam laktat juga meningkat dan terakumulasi pada kefir. Sedangkan
dari segi kekentalan, kefir dari fresh culture lebih kental daripada kefir dari plain
kefir komersial. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas fermentasi dari fresh
culture lebih baik daripada kefir komersial, sehingga protein susu yang digumpalkan
lebih banyak dan kefir yang dihasilkan lebih kental (Agustina et al., 2013).

Produk fermentasi yang ketiga adalah acidophilus milk. Acidophilus milk adalah produk
susu fermentasi yang mempunyai karakteristik flavor asam. Acidophilus milk dibuat
dengan menggunakan Lactobacillus acidophilus yang bersifat termofilik. Bakteri ini
diketahui mempunyai efek therapeutic yang baik untuk kesehatan. Selain itu strain
bakteri ini tergolong dalam human intestinal implantable atau yang lebih dikenal

dengan probiotik (Amiri et al., 2010). Menurut De Roos & Katan (1998) dalam Amiri et
al. (2010), strain Lactobacillus acidophilus menjadi sangat aktif ketika ditanamkan
dalam saluran pencernaan manusia. Selain strain bakteri tersebut, masih ada bakteri
lainnya yang tergolong dalam human intestinal implantable antara lain dari genus
Lactobacilli, Bifidobacterium, Streptococcus, Bacillus, Pediococcus dan Leuconostoc.
Strain bakteri yang tergolong dalam human intestinal implantable biasanya adalah
bakteri penghasil asam laktat. Hal ini bisa terjadi karena tidak semua bakteri tahan
terhadap pH saluran pencernaan yang bersifat asam, sehingga hanya kelompok bakteri
tertentu saja yang dapat aktif di dalamnya. Selain itu, kelompok bakteri asam laktat juga
dapat digunakan sebagai probiotik. Hal ini didukung oleh Douglas & Sanders (2008)
dalam Amiri et al. (2010) bahwa probiotik umumnya berasal dari kelompok bakteri
penghasil asam laktat, dimana asam laktat yang diproduksi mampu menekan
pertumbuhan mikroorganisme merugikan dalam saluran pencernaan. Aktivitas probiotik
semakin meningkat jika dikombinasikan dengan prebiotik seperti inulin dan madu
karena dapat menstimulasi pertumbuhan strain bakteri menguntungkan di usus (Amiri et
al., 2010).

Pada praktikum pembuatan acidophilus milk, pertama-tama susu skim dipanaskan


hingga suhunya mencapai 85C selama 2 menit. Menurut Harlia et al. (2010), suhu yang
digunakan

sudah

cukup

untuk

mematikan

mikroorganisme

kontaminan

dan

menginaktivasi enzim yang dapat menghambat berlangsungnya proses fermentasi.


Namun menurut Junaid et al. (2013), waktu pasteurisasi yang dilakukan kurang tepat
karena seharusnya susu dipasteurisasi selama 15 menit. Oleh karena itu masih ada
kemungkinan bagi mikroorganisme kontaminan untuk tumbuh kembali pada tahap
selanjutnya. Kemudian 245 ml susu skim yang sudah dipanaskan dimasukkan ke dalam
wadah kaca steril dan ditutup rapat. Kemudian susu yang berada dalam wadah kaca
didinginkan dengan cara direndam dalam baskom berisi air hingga tidak terlalu panas.
Suhu yang disarankan adalah 40-45C (Amiri et al., 2010).

Selanjutnya pada kelompok C5, susu yang sudah agak dingin ditambah dengan 1%
kultur starter (5 ml) secara steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada kultur
yang dibiakkan. Kultur standar yang digunakan untuk pembuatan pada praktikum ini

adalah Lactobacillus acidophilus (Amiri et al., 2010). Setelah selesai, wadah ditutup
rapat untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi. Kemudian dilakukan inkubasi pada
suhu 37C selama 1 hari sampai terbentuk smooth curd. Penggunaan suhu tersebut
sudah sesuai dengan pernyataan Amiri et al. (2010) bahwa acidophilus milk dibuat
dengan cara memfermentasikan susu dibawah kondisi yang mendukung pertumbuhan
bakteri asam laktat yang bersifat termofilik. Selama inkubasi, laktosa akan diubah
menjadi asam laktat yang dapat menyebabkan koagulasi protein susu. Apabila sudah
terbentuk gumpalan, maka proses inkubasi dihentikan dan susu diaduk perlahan hingga
kental merata sehingga dihasilkan acidophilus milk. Gumpalan terbentuk karena adanya
kontak antara protein susu dengan asam laktat yang dihasilkan oleh kultur starter.

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa acidophilus milk yang dibuat tidak berhasil
atau gagal. Derajat keasaman yang terukur sebesar 5. Hasil pengamatan ini tidak sesuai
dengan Junaid et al. (2013) bahwa pH acidophilus milk yang dihasilkan pada hari
pertama fermentasi adalah 4,5 dan akan terus menurun seiring dengan lamanya waktu
penyimpanan. Namun pada acidophilus milk tidak terjadi penurunan pH secara
signifikan. Hal ini dapat disebabkan adanya kontaminasi mikroorganisme lain yang
menghambat kinerja Lactobacillus acidophilus dalam memfermentasi laktosa (Junaid et
al., 2013).

Jika dibandingkan secara keseluruhan produk susu fermentasi yang dibuat pada
praktikum ini, maka yoghurt dari plain yoghurt komersial mempunyai kekentalan
yang paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah dan jenis kultur starter yang
digunakan lebih banyak sehingga laktosa yang dipecah lebih banyak dan kadar asam
laktat yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan produk susu fermentasi lainnya.
Sementara kefir yang menggunakan kultur plain kefir komersial dan achidophilus
milk memiliki kekentalan dan pH paling rendah. Pada kefir yang menggunakan kultur
plain kefir komersial, ada kemungkinan kultur starter yang terinokulasi pada susu
hanya sedikit sehingga tidak semua protein susu dapat terkoagulasi dengan baik
(Agustina et al., 2013). Sementara itu, achidophilus milknya gagal sehingga kurang
kental.

10

Menurut Chairunnisa et al. (2006), kualitas susu fermentasi dipengaruhi oleh total
padatan dalam susu, jenis susu yang digunakan, jenis dan jumlah starter yang
digunakan, tingginya kadar protein, serta ada atau tidaknya pemisahan whey. Jenis susu
yang digunakan, jenis starter dan konsentrasi starter yang berbeda dapat menghasilkan
susu fermentasi dengan kualitas yang berbeda pula. Sedangkan pemisahan whey dalam
pembuatan susu fermentasi sangat dihindari karena dapat menyebabkan curd yang
terbentuk menjadi tidak stabil dan mudah rusak. Pemisahan whey dapat terjadi karena
beberapa hal seperti suhu penyimpanan terlalu tinggi, rendahnya total padatan dalam
susu, serta adanya goncangan selama transportasi.

4.

KESIMPULAN

Beberapa produk yang dihasilkan melalui fermentasi susu adalah yoghurt, kefir dan
acidophilus milk.

Prinsip pembuatan produk susu fermentasi adalah memfermentasi susu dengan


kultur tertentu untuk menghasilkan karakter produk yang diinginkan.

Yoghurt dihasilkan menggunakan kultur campuran bakteri asam laktat yaitu


Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus.

Kefir dihasilkan menggunakan kultur campuran dari bakteri asam laktat dan yeast
seperti Streptococcus lactis, Lactobacillus bulgaricus, dan yeast.

Acidophilus milk menggunakan kultur starter Lactobacillus acidophilus.

Strain bakteri yang tergolong dalam human intestinal implantable menjadi sangat
aktif ketika ditanamkan dalam saluran pencernaan manusia.

Selama proses fermentasi dihasilkan asam laktat yang dapat mengkoagulasi protein
susu, serta menimbulkan flavor dan aroma yang khas pada produk susu fermentasi.

Yoghurt, kefir dan acidophilus milk yang baik mempunyai rentang pH sebesar 44,5.

Yoghurt dengan kultur plain yoghurt komersial memiliki tingkat kekentalan


tertinggi diantara semua produk fermentasi.

Kualitas susu fermentasi dipengaruhi oleh total padatan dalam susu, jenis susu,
jenis dan jumlah starter yang digunakan, serta pemisahan whey.

Semarang, 2 Juni 2016


Praktikan, NIM

Asisten Dosen

Kelompok C3

- Tjan, Ivana Chandra


- Beatrix R. Restiani

Regina Septie N.
13.70.0074

11

5.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, L.; T. Setyawardani dan T. Y. Astuti. (2013). Penggunaan Starter Biji Kefir
dengan Konsentrasi yang Berbeda Pada Susu Sapi Terhadap pH dan Kadar
Asam Laktat. Jurnal Ilmiah Peternakan, Vol. 1 (1): 254-259.
Amiri, Z. R.; P. Khandelwal and B. R. Aruna. (2010). Development of Acidophilus
Milk via Selected Probiotics & Prebiotics Using Artificial Neural Network.
Advances in Bioscience and Biotechnology 1 (2010): 224-231.
Chairunnisa, H.; R. L. Balia dan G. L. Utama. (2006). Penggunaan Starter Bakteri Asam
Laktat pada Produk Susu Fermentasi Lifihomi. Jurnal Ilmu Ternak, Vol. 6 (2):
102-107.
Harlia, E.; L.B. Roosita dan S. Deny. (2010). Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap
Kandungan Residu Abtibiotik Dalam Air Susu Sapi. Jurusan Teknologi Hasil
Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran.
Junaid, M.; I. Javed; M. Abdullah; M. Gulzar; U. Younas; J. Nasir and N. Ahmad.
(2013). Development and Quality Assessment of Flavored Probiotic
Acidophilus Milk. The Journal of Animal & Plant Sciences, Vol. 23 (5): 13421346.
Lengkey, H. A. W.; J. A. Siwi dan R. L. Balia. (2013). The Effect of Various Starter
Dosage on Kefir Quality. Lucrri tiinifice-Seria Zootehnie, Vol. 59, pp. 113116.
Oner, Z.; A. G. Karahan and M. L. Cakmakc. (2010). Effects of Different Milk Types
and Starter Cultures on Kefir. GIDA, Vol. 35 (3): 177-182.
Rahmawati, D.; J. Sumarmono dan K. Widayaka. (2014). Pengaruh Metode Pasteurisasi
dan Jenis Starter yang Berbeda Terhadap pH, Kadar Air dan Total Solid Keju
Lunak Susu Kambing Peranakan Ettawa. Jurnal Ilmu Ternak, Vol. 1 (9): 4651.
Sumner, S. and R. Hutkins. (1990). Making Yoghurt at Home. University of Nebraska,
Institute of Agriculture and Natural Resources. USA.
Waluyo, L. (2008). Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. UMM Press.
Malang.

12

Weerathilake, W. A. D. V.; D. M. D. Rasika; J. K. U. Ruwanmali and M. A. D. D.


Munasinghe. (2014). The Evolution, Processing, Varieties and Health Benefits
of Yogurt. International Journal of Scientific and Research Publications, Vol.
4 (4): 1-10.
Zubaidah, E.; J. Kusnadi dan P. Setiawan. (2010). Studi Keamanan Susu Pasteurisasi
yang Beredar di Kotamadya Malang (Kajian Dari Mutu Mikrobiologis dan
Nilai Gizi). Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 3 (1): 29-34.

13

6.

LAMPIRAN

6.1 Laporan Sementara

6.2 Abstrak Jurnal

14

Anda mungkin juga menyukai