Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah
atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis yang kemudian
menyerang seluruh tubuh terutama paru-paru. Mycobacterium tuberculosis telah
menginfeksi hampir 2 miliar orang atau sepertiga dari total penduduk dunia. Tidak
berhenti sampai di situ, WHO memperkirakan hingga tahun 2020 jumlah orang
yang terinfeksi TB paru akan bertambah 1 miliar orang lagi. Dengan kata lain,
terjadi pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta orang setiap tahunnya.
Angka ini sangat memprihatinkan karena berarti ada 2-4 orang yang terinfeksi
M.tuberculosis setiap detik dan hampir 4 orang meninggal setiap menit karena TB
paru.1
Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia. Menurut
WHO dalam Global TB Report 2012, prevalensi TB di Indonesia pada tahun
2011 adalah 244/100.000 penduduk. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan
jumlah terbanyak keempat di dunia yakni 5,8% setelah India 21,1%, Cina 14,3%
serta Afrika Selatan. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia
dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera dengan angka
prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Bali dan Jawa
dengan angka prevalensi TB tertinggi yaitu 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah
Indonesia Timur dengan angka prevalensi tertinggi yaitu 210 per 100.000
penduduk (Departemen Kesehatan RI, 2008).1
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 didapatkan data bahwa
prevalensi Tuberkulosis paru klinis yang tersebar di seluruh Indonesia adalah
1,0%. Tujuh belas provinsi diantaranya mempunyai angka prevalensi di atas
angka nasional, yaitu provinsi NAD, Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Banten, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan

Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua


Barat dan Papua. Secara umum prevalensi yang tertinggi di Papua Barat yaitu
2.5% dan terendah di provinsi Lampung yaitu 0,3% (Kemenkes RI, 2011).2
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Selatan, pada
2011, penderita penyakit menular ini mencapai 8.939 kasus. Angka ini meningkat
signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya 7.783 kasus. Kabupaten
Takalar menduduki peringkat pertama dalam jumlah kasus dengan pertumbuhan
penderita TBC di atas 109 %, menyusul Pare-pare 79%,Pinrang 75 %,disusul
Makassar 70% dan terendah Kabupaten Luwu 33 % serta Jeneponto 36 % .2
Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang
Bina Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota
Makassar, jumlah kasus TB Paru klinis di Puskesmas dan RS sebanyak 900 kasus
dan kasus baru TB BTA (+) yang ditemukan pada tahun 2012 sebanyak 1.819
kasus (puskesmas dan rumah sakit) meningkat dibandingkan tahun 2011 dimana
dilaporkan jumlah penderita TB Paru Klinis di Puskesmas dan Rumah Sakit
sebanyak 511 Jumlah penderita TB Paru Klinis, TB BTA+ sebanyak 1608
penderita (Puskesmas dan Rumah Sakit).
Prevalensi penderita TB paru di Puskesmas Jumpandang Baru tahun 2015
dalam 3 bulan terakhir adalah 33 pasien dengan rincian tipe pasien : 30 kasus
baru, 3 kasus kambuh, 0 kasus pindahan.
TB paru juga merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit pernapasan akut. Dibandingkan dengan penyakit
menular lainnya seperti HIV/AIDS dan Demam Berdarah Dengue (DBD), TB
paru merupakan pembunuh dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia.3
Pengendalian Tuberkulosis Paru kemudian menjadi masalah kesehatan
global dan nasional. Maka tak heran bila salah satu indikator derajat kesehatan
masyarakat dalam visi Indonesia Sehat adalah angka kesembuhan TB Paru BTA+.
Berbagai program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka
penemuan dan angka kesembuhan dengan berlandaskan pada strategi Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan
berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) walaupun tercatat
2

angka putus obat masih tinggi mencapai 50-85 % . Sejak tahun 2000 strategi
DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan
dasar.1
Menurut George Enggel pendekatan dalam pelayanan medis tidak hanya
berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi aspek psikososial.
Karena itu interaksi antara komunitas sosial dan keluarga dengan bantuan
lingkungan komunitasnya sangat membantu tidak hanya dalam menyelesaikan
masalah klinis saja tetapi juga masalah psikososial.3
Oleh karena itu sejalan dengan program DOTS di layanan primer maka
pendekatan diagnostik holistik pada pasien TB Paru juga dapat menjadi salah satu
penunjang dalam mendukung upaya pencapaian sasaran strategi nasional
pengendalian TB yang mengacu pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
2009-2014.2
1.2 Rumusan Masalah
Apa faktor yang mengakibatkan terjadinya Tuberkulosis Paru pada Ny. S?
Apakah dengan hygiene yang kurang dapat menjadi salah satu faktor

resiko penyebab infeksi Tuberkulosis Paru ?


Bagaimanakah tingkat pengetahuan keluarga dalam menyikapi penyakit

Tuberkulosis Paru ?
Bagaimanakah hasil dari terapi yang telah diberikan kepada penderita
Tuberkulosis Paru ?

1.3 Aspek Disiplin Ilmu yang Terkait Manajemen Tuberkulosis Paru secara
holistic dan komprehensif dengan menggunkan pendekatan kedokteran
keluarga.
Untuk pengendalian permasalahan Tuberkulosis Paru pada tingkat individu
dan masyarakat secara komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka mahasiswa program profesi
dokter Universitas Muslim Indonesia melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada
bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer
(Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi yang dilandasi oleh
3

profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri, serta


komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan berupa
pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis,
dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian

secara individual,

masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik moral dan
peraturan perundangan.
1.3.2. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis , sosial dan
budaya sendiri dalam penangan Tuberkulosis Paru, melakukan rujukan
bagi kasus Tuberkulosis Paru, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
1.3.3. Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian Tuberkulosis Paru.
1.3.4. Pengelolaan

Informasi

(Kompetensi

4)

Mahasiswa

mampu

memanfaatkan teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan


dalam praktik kedokteran.
1.3.5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian Tuberkulosis Paru secara holistik
dan komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas
berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang
optimum.
1.3.6. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah Tuberkulosis Paru dengan

menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan


keselamatan orang lain.
1.3.7. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat
secara

komprehensif,

holistik,

koordinatif,

kolaboratif

dan

berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer


1.4 TUJUAN DAN MANFAAT STUDI KASUS
Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana
masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri
dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih
berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence
based medicine).
1.4.1 Tujuan Umum:
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan manajemen penderita Tuberkulosis Paru dengan pendekatan
kedokteran keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine
(EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis
serta prinsip penatalaksanaan penderita Tuberkulosis Paru dengan pendekatan
kedokteran keluarga di Puskesmas Tamalate tahun 2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
-

Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta

mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis Tuberkulosis Paru.


Untuk melakukan prosedur tatalaksana Tuberkulosis Paru sesuai standar
kompetensi dokter Indonesia.

Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan Masyarakat


dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam

pengendalian Tuberkulosis Paru.


Untuk dapat menggunakan dan menjelaskan epidemiologi, etiologi dan

patogenesis Tuberkulosis Paru.


Untuk memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian ilmiah dari

data di lapangan, untuk melakukan pengendalian Tuberkulosis Paru.


Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada level
individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian Tuberkulosis
Paru.
1.4.3 Manfaat Studi Kasus
1.4.3.1 Bagi Institusi pendidikan.
Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
1.4.3.2 Bagi Penderita (Pasien).
Menambah wawasan akan Tuberkulosis Paru yang meliputi proses
penyakit dan penanganan menyeluruh Tuberkulosis Paru sehingga dapat
memberikan keyakinan untuk menghindari faktor pencetus.
1.4.3.3 Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya
mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita Tuberkulosis Paru.
1.4.3.4 Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidence based dan
pendekatan diagnosis holistik Tuberkulosis Paru serta dalam hal penulisan
studi kasus.
1.5 INDIKATOR KEBERHASILAN TINDAKAN
Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan
penderita Tuberkulosis Paru dengan pendekatan diagnostik holistik, berbasis
kedokteran keluarga dan evidence based medicine adalah:
1.5.1. Kepatuhan penderita dengan datang berobat di layanan primer (Puskesmas
Tamalate)
6

1.5.2. Perbaikan gejala dapat dievaluasi setelah pengobatan first-line therapy dan
dengan dilakukannya pencegahan terhadap penyakit Tuberkulosis Paru.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan
tindakan pengobatan didasarkan atas berkurangnya gejala klinis pasien terhadap
penyakit yang diderita yaitu Tuberkulosis Paru,seperti keluhan batuk-batuk yang
disertai bercak darah sudah tidak ada lagi, keringat malam yang tidak ada, serta
status gizi yang membaik dengan adanya peningkatan berat badan yang bermakna.
Yang terpenting adalah dilakukan pengecekan sputum SPS ketika sudah 2 bulan
pertama fase intensif pengobatan TB, dan diharapkan terdapat perubahan hasil
yang lebih baik.

BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1 KERANGKA TEORITIS
Gambaran Penyebab Tuberkulosis Paru

Penjamu peka

Mycobacterium tuberculosis

MEKANISME

Faktor resiko

Tuberkulosis Primer
Penularan melalui Inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei
Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
TUBERKULOSIS PARU

Pendekatan Konsep Mandala


Gaya Hidup

Ling. Psiko-Sosio-Ekonomi

Tingkat pendidikan dan pendapatan


yang rendah, kecemasan penyakit
TUBERKULOSIS memburuk, serta kekhawatiran
penyakit akan menular.

Kebutuhan Primer merupakan


Prioritas Utama

Perilaku Kesehatan

PENDERITA
PARU

PHBS sangat kurang, sehinnga


Status Generalis
: Gizi Kurang
KELUARGA
rentan untuk terjangkit infeksi
Batuk
darah,
keringat
malam,
Penurunan
berat
Badanyang
signifikan dalam beberapa bulan
terakhir disertai nafsu makan yang
berkurang.Riwayat
Keluarga
Penderita TB dalam 1 lingkungan
rumah
sedaqng
dalam
proses
pengobatan Tuberkulosis Paru

Ling. Kerja
Beresiko
untuk
menjadi
sumber penularan jika tidak
ada upaya preventif pada
orang
sehat
dan
penatalaksanaan bagi pasien

Pelayanan
Kesehatan
Jarak rumah dengan
PKM mudah dijangkau

Lingkungan Fisik

Faktor Biologi
Seluruh anggota keluarga yang
tinggal serumah beresiko tinggi
terkena Tuberkulosis Paru (Suami dan
ketiga anaknya)

Komunitas

Rumah dengan
buruk
dan
mendukung
m.tuberculosis

ventilasi yang
kelembaban,
infeksi

Pemukiman yang Padat


Masih sangat kurangnya
PHBS

2.2 Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di


Layanan Primer
Pengertian

holistik

adalah

memandang

manusia

sebagai

mahluk

biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai mahluk biologis manusia


adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya.
Diagnosis holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan menentukan
dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta kegawatan yang
diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat penyakit pasien,
pemeriksaan

fisik,

hasil

pemeriksaan

penunjang,

penilaian

risiko

internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta keluarganya.


Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan Nasional 2004,
maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan sebagai pelaku pelayanan
pertama (layanan primer).

Tujuan Diagnostik Holistik :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat


Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
Pembatasan kecacatan lanjut
Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam kehidupannya)
Jangka waktu pengobatan pendek
Tercapainya percepatan perbaikan fungsi sosial
Terproteksi dari resiko yang ditemukan
Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah
Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan terapi,

tujuannya yakni
1.
2.
3.
4.
5.

Menentukan kedalaman letak penyakit


Menentukan kekuatan serangan pathogen penyakit
Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi organ
Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi yang akan dipilihnya
Menentukan interfal kunjungan terapi. (Modul Pelatihan dan Sertifikasi
ASPETRI Jateng 2011)
Diagnosis Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :

1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi (penerimaan,


pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien.
Melakukan pemeriksaan sarinagn (Triage), data diisikan dengan lembaran
3.
4.
5.
6.

penyaring
Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
Melakukan anamnesis
Melakukan pemeriksaan fisik
Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,

prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi


7. Menentukan resiko individual diagnosis klinis sangat dipengaruhi faktor
individual termasuk perilaku pasien
8. Menentukan pemicu psikososial dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
9. Menilai aspek fungsi sosial.
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga
di layanan primer antara lain :

10

1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya


promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai bagian
dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation)

dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation)

dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang disediakan
dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang melaksanakan
pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus menerus demi kesehatan
pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal.
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Comprehensive care and holistic approach


Continuous care
Prevention first
Coordinative and collaborative care
Personal care as the integral part of his/her family
Family, community, and environment consideration
Ethics and law awareness
Cost effective care and quality assurance
Can be audited and accountable care

11

Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien


adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
I.
II.

Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.


Aspek Klinis: Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup dengan

III.

diagnosis kerja dan diagnosis banding.


Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,

IV.
V.

pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.


Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
DerajatFungsi Sosial :
o Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
o Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
o Derajat3: Ada beberapa kesulitan, perawatan
diri masih bisa
dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.
o Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja, tergantung
pada keluarga.
o Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

2.3 TUBERKULOSIS PARU


2.3.1 DEFINISI
Tuberkulosis paru merupakan suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru
yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone
infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer
dari Ghon.Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuhlainnya.3,4
2.3.2. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis

termasuk

salah

satu dari

limaspecies

Mycobacterium yaitu M. tuberculosis, M. canetti, M. africanum, M. pinnipedii.


Mycobacterium tuberculosismerupakan agen kompleks penyebab infeksi terutama
di daerah tropis.9
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab tuberkulosis dan patogen
manusia yang sangat penting.Kuman tuberkulosis berbentuk batang dengan
12

ukuran 2-4 x 0,2-0,5m, dengan bentuk uniform, tidak berspora dan tidak
bersimpai. Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan
khusus agar dapat terjadi penetrasi zat warna.Pewarnaan yang lazim digunakan
adalah pewarnaan Ziehl-Nielsen.Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan
kuman TB sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap kerja bakterisidal
antibiotika.M. tuberculosis mengandung beberapa antigen dan determinan
antigenik yang dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan reaksi
silang. Sebagian besar antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.8,9,10

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis8

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena dibatukkan atau dibersinkan


keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana yang lembab
dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.3
2.3.3. EPIDEMIOLOGI
2.3.3.1 Trias Epidemiologi
a. Agent
Tuberkulosis Paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri
gram positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic.
Karakteristik alami dari agen TB hampir bersifat resisten terhadap disifektan
kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk
jangka waktu yang lama.Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal
sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Pathogenesis hamper
rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat
13

resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan


kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru
.Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang
terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung,
serta transmisi congenital yang jarang terjadi .3,6

b. Host (Penjamu)
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TB. Terdapat 3 puncak
kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua
penderita b) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c).
Puncak sedang pada usia lanjut .Dalam prkembangannya, infeksi pertama semakin
tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria
dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari risiko
infeksi .Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.
Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TB
sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan
dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TB, tetapi mungkin
mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat
resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan
dalam infeksi TB, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian Status gizi,
kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai
mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik
dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit
untuk dievaluasi.3,6
c. Enviroment
Distribusi geografis TB mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian
yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun
14

berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis .Keadaan sosialekonomi merupakan hal penting pada kasus TB. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TB dengan kelas sosial yang
mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan
tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi
dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga
fisik, pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TB dapat
juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini .Pada
lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan
hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya .3,6
2.3.3.2 Variabel Epidemiologi
2.3.3.2.1 Distribusi Menurut Orang (Person)
a. Distribusi Menurut Umur
Penyakit TB Paru dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria,
wanita, tua, muda, anak-anak, kaya dan miskin serta dimana saja. Sebagian besar
penderita TB Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun.Data WHO
menunjukkan bahwa kasus TB di Negara berkembang banyak terdapat pada umur
produktif 15-29 tahun,Sejalan dengan penelitian Rizkiyani (2008) yang
menunjukkan jumlah penderita baru TB Paru positif 87,6% berasal dari usia
produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut ( 55 tahun).
b. Distribusi Menurut Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak,laki-laki dan
perempuan.TB Menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. Serupa
dengan WHO yang menunjukkan lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia
tertular oleh kuman TB dan satu juta di antaranya meninggal setiap tahun.
c. Distribusi Menurut Etnik

15

Suku bangsa atau golongan etnik adalah sekelompok manusia dalam suatu
populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat biologis yang sama. Walaupun
klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit dilakukan baik secara praktis
maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam
frekuensi dan beratnya penyakit diantara suku bangsa maka dibuat klasifikasi
walaupun kontroversi. Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku
bangsa berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya:
(Penyakit sickle cell anemia, Hemofilia dan Kelainan biokimia sperti glukosa 6
fosfatase).
2.3.3.2.2 Distribusi Menurut Tempat (Place)
Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang di
tularkan melalui udara.Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran TBC salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor .Penderita
TB Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan
yang kumuh dan kotor.

Kondisi Sosial Ekonomi


Sebagai Penderita TB Paru adalah dari kalangan Miskin.Data WHO yang

menyatakan bahwa angka kematian akibat TB sebagai besar berada di Negara


berkembang yang relative miskin

Wilayah
Resiko mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis penyakit TB Paru

bergantung pada keberadaan infeksi dalam masyarakat misalnya Imigran dari


daerah prevalensi tinggi TB, Ras yang beresiko tinggi dan kelompok etnis
minorias(misal

Afrika,Amerika,Amerika

Indian,Asli

Alaska,Asia,Kepulauan

Pasifik dan Hispanik)


2.3.3.2.3

Distribusi Menurut Waktu (Time)

Penyakit TB Paru dapat menyerang siapa saja,dimana saja dan Kapan saja
tanpa mengenal waktu,Apabila Kuman telah masuk ke dalam tubuh maka pada

16

saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya penyakit
TB Paru.
2.3.4. PATOGENESIS
1. Tuberkulosis primer :
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Mycobacterium
tuberculosis. Setelah melalui barrier mukosilier saluran napas, basil TB akan
mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, disebut focus
Ghon. Melalui aliran limfe, basil mencapai kelenjar limfe hilus.Focus Ghon dan
limfadenopati hilus membentuk kompleks primer.Melalui kompleks primer basil
dapat menyebar melalui pembuluh darahke seluruh tubuh.Respons imun
seluler/hipersensistivitas tipe lambat terjadi 4-6 minggu setelah infeksi primer.
Banyaknya basil TB serta kemampuan daya tahan tubuh host akan menentukan
perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan kasus, respons imun tubuh
dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil menjadi kuman dorman.
Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk, respons imun tidak dapat
menghentikan multiplikasi kuman sehingga akan menjadi sakit pada beberapa
bulan kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal
sebagai berikut:3,9,10
i.
Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad
ii.
iii.

integrum)
Sembuh dengan meninggalkan bekas (sarang Ghon, fibrotik, perkapuran)
Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya.Sebagai contoh adalah
pembesaran kelenjar limfe di hilus, sehingga menyebabkan penekanan
bronkus lobus medius, berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis, hal
ini disebut sebagai epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di
leher, dapat menjadi abses disebut scrofuloderma. Penyebaran ke
pleura menyebabkan efusi pleura.Penyebaran bronkogen ke paru
bersangkutam atau paru sebelahnya. Atau tertelan bersama dahak
sehingga terjadi penyebaran di usus.3
b. Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain seperti
tuberculosis milier, meningitis, ke tulang, ginjal, genitalia.3
2. Tuberkulosis post primer
17

Terjadi setelah periode laten (beberapa bulan / tahun) setelah infeksi primer.
Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi.Reaktivasi terjadi akibat kuman
dorman yang berada pada jaringan selama beberapa bulan/tahun setelah infeksi
primer, mengalami multiplikasi.Hal ini dapat terjadi akibat daya tubuh yang
lemah.Reinfeksi diartikan adanya infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya
pernah mengalami infeksi primer. TB post primer umumnya menyerang paru,
tetapi dapat pula di tempat lain di seluruh tubuh umumnya pada usia dewasa.
Karakteristik TB post primer adalah dahak BTA positif, pada lobus atas,
umumnya tidak terdapat limfadenopati intratoraks.3,10
Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini umumnya pada segmen
apical lobus superior atau lobus inferior. Awalnya berbentuk sarang pneumonik
kecil. Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan sebagai berikut : 3
1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa jaringan
fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan
keju dan bila dibatukkan menimbulkan kaviti.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju, yang bila dibatukkan
akan menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding tipis kemudian
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti akan mengalami:3
a. Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
b. Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan sembuh, tapi dapat aktif kembali dan mencair
menimbulkan kaviti kembali.
c. Menyembuh dan disebut open healed cavity, atau menyembuh dengan
membungkus diri, akhirnya mengecil. Kaviti dapat menciut dan
tampak sebagai bintang (stellate shape).
2.3.5

GEJALA KLINIS
Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus

yangtimbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secaraklinik.3,4

18

1. Respiratorik : batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih,batuk darah,


nyeridada, sesak napas
2. Sistemik
: demam, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise.
Diagnosis TB pada anak berdasarkan sistem skoring yang ditegakkan oleh
dokter.Pada anak, gejala klinik :
1. Respiratorik
2. Sistemik

: batuk selama 3 minggu, sesak napas


: demam, berat badan menurun, pembesaran kelenjar limfe,

aksila,inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang


Penderita (dewasa) dengan gejala tersebut dianggap sebagai curigai TB dan
harus diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (pagi-sewaktupagi/SPS) dengan cara pewarnaan. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan
gejala, TB paru dapat terdeteksi adanya kontak dengan pasien TB paru dewasa.
Kira-kira 30-50% anak yangkontak dengan penderita TB paru dewasa
memberikan hasil uji tuberkulin positif.Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang
tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa dengan BTA positif,
dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.3
2.3.6. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:
1)
Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput
2)

paru) dan kelenjar pada hilus.2


Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.2

Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TBparu.


b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,keaadan ini
terutama ditujukan pada TB Paru:2
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2/3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
19

b. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dadamenunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
d. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:2
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Catatan:
1. Pasien TB paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat diklasifikasikan
sebagai BTA negatif, dicatat sebagai pemeriksaaan dahak tidak dilakukan.
2. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB
paru.
3. Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagaitipe
pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif.2
2) Kasus yang sebelumnya diobati
a. Kasus kambuh (Relaps)
20

Adalah

pasien

tuberkulosis

yang

sebelumnya

pernah

mendapatpengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau


pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).2
b.

Kasus setelah putus berobat (Default )


Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.2

c. Kasus setelah gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
ataukembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.2
3) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya.2
4) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang:
a. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
b. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
c. kembali diobati dengan BTA negatif.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.2
2.3.7. DIAGNOSIS
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
1. Anamnesis (Diagnosis klinis)
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau
tidaknya gejala pada pasien.Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalahbatuk
berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
21

tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan.2,11
2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan turun.Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan
dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan
yang didapatkan tergantung luas kelainan struktur paru. Tanda fisik penderita TB
tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru
lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur
paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara
napas bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura didapatkan gerak napas
tertinggal, keredupan dan suara napas menurun sampai tidak terdengar. Bila
terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di
daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.3,11
3.

Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik. Pada kasus baru akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih
dibawah normal. LED mulai meningkat.1,3
b) Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan
diagnosis.Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebro
spinalis, bilasan lambung, bronkoalveolar lavage, urin, dan jarigan biopsi.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskopik dan biakan.1
Pemeriksaan dahak untuk menentukan basil tahan asam merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan pada seseorang yang diurigai menderita
tuberculosis atau suspek.Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu /
22

pagi / sewaktu), dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun


Gabbet.Interpretasipembacaan

didasarkan

skala

IUATLD

atau

bronkhorst.Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan


asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis.

Hasil

pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak


ditemukan BTA (+).1,3
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-PagiSewaktu (SPS):
a.

S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada

b.

saat

pulang,

suspek

membawa

sebuah pot

dahak

untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.3


P(Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Unit Pelayanan

c.

Kesehatan.3
S(Sewaktu):
Dahak dikumpulkan di Unit Pelayanan Kesehatan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.3
Bila hanya satu spesimen positif, perlu pemeriksaan foto thoraks atau
SPS ulang.bila foto thoraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB
paru BTA (+). Bila foto thoraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan
pemeriksaan SPS ulang.bila SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan
penderita TB. Bila SPS positif berarti penderita TB BTA (+). Bila foto
toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif, maka diagnsis adalah
TB paruBTA negatif rontgen positif.3

4. Pemeriksaan Radiologi
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak. Secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.Namun
23

pada kondisi tertentupemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan


indikasi sebagai berikut:2
a. Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus
ini pemeriksaanfoto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis
TB paru BTA positif.
b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. (lihat bagan alur)
c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis
berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto thoraks tidak
diperlukan lagi. Pada berapa kansus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto
thoraks bila :3
a. Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
b. Hemoptisis berulang atau berat
c. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA(+).
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif/primer :3
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura.
Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif/laten/lama :3
a. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah
b. Kalsifikasi
c. Penebalan pleura.

24

Gambar 2. Foto thoraks8

Keterangan : Terdapat kavitas dikelilingi bayangan opak berawan.


5.

Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin (tuberculin skin test/TST) merupakan alat diagnostik yang

sampai saat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi untuk
mendiagnosis adanya infeksi tuberkulosis. Pertama kali Robert Koch membuat
filtrat dari kulturMycobacterium tuberculosis dengan tujuan sebagai terapi. Pada
penerapannya, tenyata pemberian tuberkulin yang bertujuan menyembuhkan
menimbulkan reaksi sistemik seperti demam, nyeri otot, mual dan muntah
sedangkan mereka yang tidak sakit tidak menunjukkan reaksi tersebut. Akhirnya
pada perkembangannya tuberkulin digunakan sebagai alat diagnostik dengan
mengaplikasikannya secara lokal untuk mencegah reaksi sistemik.1,9

Gambar 3.Uji Tuberkulin8


25

Cara Melakukan Uji Tuberkulin Metode Mantoux (tes Mantoux):1


1.

Siapkan 0,1 ml PPD ke dalam disposable spuit ukuran 1 ml (3/8 inch 26-27
gauge)

2. Bersihkan permukaan lengan volar lengan bawah menggunakan alcohol


pada daerah 2-3 inch di bawah lipatan siku dan biarkan mengering
3. Suntikkan PPD secara intrakutan dengan lubang jarum mengarah ke atas.
Suntikan yang benar akan menghasilkan benjolan pucat, pori-pori tampak
jelas seperti kulit jeruk, berdiameter 6-10 mm
4. Apabila penyuntikan tidak berhasil (terlalu dalam atau cairan terbuang
keluar) ulangi suntikan pada tempat lain di permukaan volar dengan jarak
minimal 4 cm dari suntikan pertama.
5. Jangan lupa mencatat lokasi suntikan yang berhasil tersebut pada rekam
medis agar tidak tertukar saat pembacaan. Tidak perlu melingkari benjolan
dengan pulpen/spidol karena dapat mengganggu hasil pembacaan.1
Interpretasi Tes Mantoux:
Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm.
Kemungkinan yang perlu dipikirkan pada anak dengan hasil tersebut. Terinfeksi
tuberkulosis secara alamiah.Infeksi TB mencakup infeksi TB laten, sakit TB aktif,
atau pasca terapi TB. Pernah mendapat imunisasi BCG (pada anak dengan usia
kurang dari 5 tahun).Pada pasien usia kurang dari 5 tahun dengan riwayat
vaksinasi BCG kecurigaan ke arah infeksi alamiah TB bila hasil uji Mantoux > 15
mm.1
2.3.8 DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus.12
26

Bronkitis kronis secara klinis terjadi bila terdapat batuk produktifyang


persisten minimal selama tiga bulan berturut-turut sampai dua tahun..12
Faktor-fakor penyebab tersering pada bronkitis kronis adalah: asap rokok
(tembakau), debu dan asap industri, polusi udara. Disebutkan pula bahwa
bronkitis kronis dapat dipicu oleh paparan berbagai macam polusi industri dan
tambang, diantaranya: batubara, fiber, gas, asap las, semen, dan lain-lain.12
2. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi kronik bronkus
dan bronkiolus ukuran sedang (kira-kira generasi percabangan keempat sampai
kesembilan). Terdapat dua bentuk anatomis yang lazim: sakular dan silindris. 12
Bronkiektasis timbul apabila dinding bronkus melemah akibat perubahan
peradangan kronik yang mengani mukosa serta lapisan otot.12
Gambaran klinis utama dari bronkiektasis adalah batuk kronik yang jarang,
bersifat produktif dengan banyak sputum mukopurulen yang berbau busuk.Batuk
semakin berat kalau pasien berubah posisi.12
3. Asma
Istilah

asma

berasala

dari

kata

Yunani

yang

artinya

terengah-

engah.Sekarang istilah ini digunakan untuk keadaan-keadaan yang menunjukkan


respons abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan napas yang meluas.12
Manifestasi klinis asma mudah dikenali. Setelah pasien terpajan allergen
penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dyspnea. Pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha penuh menggerahkan tenaga
untuk bernapas.Kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi.Akan timbul mengi
pada ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien
berusaha memaksakan udara keluar. 12
2.3.9

PENATALAKSANAAN

27

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah


kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. 1,2
Jenis dan Dosis Oat :
1. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.Obat ini sanat efektif terhadap
kuman

dalam

keadaan

metabolik

aktif

yaitu

kuman

yang

sedang

berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB,sedangkan untuk


pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant ( persister ) yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu.
3. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam.Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB,sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
4. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama
penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk
berumur 60tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
5. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik.Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg/BB.
Prinsip pengobatan:1,2
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

28

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosisi tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan

dengan

pengawasan

langsung

(DOT=Direcly

Observed

Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO).


Tahap awal (intensif)
1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secaralangsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasienmenular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangkawaktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegahterjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan

OAT

yang

digunakan

oleh

Program

Nasional

PengendalianTuberkulosis di Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE):
a. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
b. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat diIndonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitupirazinamid and
etambutol.

29

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk


paketberupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiridari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnyadisesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satupaket untuk satu pasien.
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan

tujuan

untuk

memudahkan

pemberian

obat

dan

menjamin

kelangsungan(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu


(1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis

obat

dapat

disesuaikan

dengan

berat

badan

sehingga

menjaminefektifitas obat dan mengurangi efek samping.


2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obatmenjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OATLini Pertama dan Peruntukannya
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1) Pasien baru TB paru BTA positif.
2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
3) Pasien TB ekstra paru
Tabel 1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 12
Berat Badan

30 37 kg

Tahap intensif tiap hari


selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
2 tablet 4KDT

Tahap Lanjutan 3 kali


seminggu selama 16
minggu RH (150/150)
2 tablet 4KDT
30

38 54 kg
55 70 kg
71 kg

3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Tabel 2. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 12


Tahap
pengobatan

Lama
pengobatan

Intensif
Lanjutan

2 bulan
4 bulan

Dosis per hari / kali


Kaplet
Tablet
Rifampisin Pirazinamid
@450 mgr
@ 500 mgr

Tablet
Isoniazid
@ 300
mgr
1
2

1
1

3
-

Tablet
Etambuto
l @250
mgr
3
-

Jumlah
hari/kali
menelan
obat
56
48

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 22
Berat
Badan

Tahap Intensif tiap hari RHZE


(150/75/400/275) + S

30 37 kg
38 54 kg
56 70 kg

71 kg

Selama 56 hari
2 tab 4KDT
+ 500 mg Sterptomisin inj.
3 tab 4KDT
+ 750 mg Sterptomisin inj.
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Sterptomisin
inj.
5 tab 4KDT
+ 1000 mg Sterptomisin
inj.

Selama 26 hari
2 tab 4KDT
3 tab 4KDT
4 tab 4KDT

5 tab 4KDT

Tahap Lanjutan 3
kali seminggu RH
(150/150) + E (400)
Selama 20 minggu
2 tab 2KDT + 2 tab
Etambutol
3 tab 2KDT + 3 tab
Etambutol
4 tab 2KDT + 4 tab
Etambutol
5 tab 2KDT + 5 tab
Etambutol

Tabel 4. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 22


Tahap
Pengobatan

Lama
Pengobatan

Kaplet
Rifampisin
@450 mgr

2 bulan
1 bulan

Tablet
Isoniazid
@300
mgr
1
1

1
1

Kaplet
Pirazinamid @
500 mgr
3
3

Tahap
Intensif
(dosis
harian)
Tahap
Lanjut :
R/ 3x

4 bulan

Etambutol
Tablet
Tablet
@250
@400
mgr
mgr
3
3
-

Sterpto
-misin
injeksi
0.75 gr
-

Jumlah
hari/x
mnelan
obat
56
28

60

31

per
minggu

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobatisebelumnya:
1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu denganmenambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4 ml. (1ml = 250mg).
c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 5. Dosis KDT untuk Sisipan2
Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
71 kg

Tabel 6. Dosis OAT Kombipak Untuk Sisipan2


Tahap
Pengobatan

Lamanya
Pengobatan

Tablet
Isoniasid
@mgr

Kaplet
Rifampisin
@450mgr

Tablet
Pirazinamid
@500mgr

Tablet
Etambuto
l
@250mgr

Jumlah
hari/kali
menelan
obat

Tahap
intensif
(dosis
harian)

1 bulan

28

Penggunaan

OAT

lini

kedua

misalnya

golongan

aminoglikosida

(misalnyakanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada


pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih

32

rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Pengobatan TB pada Anak
Skor 6

Beri OAT
selama 2 bulan dan
dievaluasi

Respons (+)
Terapi TB diteruskan

Respons (-)
Teruskan terapi TB sambil mencari
Penyebabnya

Gambar 4. Alur tatalaksana pasien TB anak


ada unit pelayanan kesehatan dasar.2

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan
anak.
Tabel 7. Dosis OAT Kombipak pada anak2
Jenis Obat
Isoniazid
Rifampicin

BB < 10 kg
50 mg
75 mg

BB 10 19 kg
100 mg
150 mg

BB 20 32 kg
200 mg
300 mg
33

Pirasinamid

150 mg

300 mg

600 mg

Tabel 8. Dosis OAT KDT pada anak2


Berat badan (kg)

2 bulan tiap hari RHZ 4 bulan tiap hari RH


(75/50/150)
(75/50)
1 tablet
1 tablet
2 tablet
2 tablet
3 tablet
3 tablet
4 tablet
4 tablet

5-9
10-14
15-19
20-32
Keterangan:
a.
b.
c.
d.
e.

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh ataudigerus
sesaat sebelum diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) Tuberkulosis untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan

penderita

TB

dengan

BTA

positif,

perlu

dilakukan

pemeriksaanmenggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan sistem


skoring didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan
dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan
pencegahan selesai.2
Efek Samping Obat dan Penatalaksanaannya.
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan
gejala.9
Tabel 9.Efek samping ringan OAT2
Efek Samping
Penyebab
Tidak ada nafsu makan, Rifampisin

Penatalaksanaan
Semua OAT diminum

mual, sakit perut


Nyeri sendi
Kesemutan
s/d

sebelum tidur
Beri aspirin
Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg

terbakar di kaki

Pirazinamid
rasa INH

malam

per hari
34

Warna kemerahan pada air Rifampisin

Tidak perlu diberi apa-apa, tapi

seni (urine)

perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 10.Efek samping berat OAT2


Efek Samping
Gatal dan kemerahan kulit

Penyebab
Semua jenis OAT

Penatalaksanaan
Ikuti

Tuli

Streptomisin

penatalaksanaan dibawah *).


Streptomisin
dihentikan,

Gangguan keseimbangan

Streptomisin

ganti Etambutol.
Streptomisin
dihentikan,

Hampir

ganti Etambutol.
semua Hentikan semua OAT sampai

OAT
muntah- Hampir

ikterus menghilang.
semua Hentikan semua OAT, segera

Ikterus tanpa penyebab lain


Bingung

dan

petunjuk

muntah (permukaan ikterus OAT

lakukan tes fungsi hati

karena obat)
Gangguan penglihatan
Purpura dan renjatan (syok)

Hentikan Etambutol
Hentikan Rifampisin

Etambutol
Rifampisin

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping Gatal dan kemerahan kulit.


Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu antihistamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.
Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit.Bila keadaan seperti ini, hentikan
semua OAT.Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.Jika gejala efek
samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
Alur Diagnosis TB Paru 2,3

35

Gambar 5. Alur Diagnosis TB3

Keterangan :
a. Jika dari ketiga spesimen dahak SPS hasilnya positif maka pasti didiagnosis
TB.
b. Jika hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus
ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis
TB paru BTA positif. (lihat bagan alur)
c. Jika ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelahpemberian antibiotika non OAT. (lihat bagan alur)

36

Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar2,3


Diagnosis TB dgn pemeriksaan selengkap mungkin (skor >6)

Beri OAT 2 bulan terapi

Ada perbaikan klinis

Tdk ada perbaikan klinis

Terapi TB diteruskan
Terapi
sampai
TB diteruskan
6 bulan
Untuksambil
RS fasilitas
mencari
terbatas
penyebabnya
rujuk ke RS dengan fasilitas leb

Keterangan :
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelahpemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk
menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata
walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT
tetap dihentikan.
Tabel 11.Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB untuk diagnosis
TB2
Parameter
Kontak TB

0
Tidak jelas

Uji tuberkulin
Negatif
Berat
badan/

Bawah

2
3
Laporan
BTA
keluarga,
positif
BTA
negatif
atau tidak
tahu, BTA
tidak jelas

Jumlah

Positif (10
37

keadaan gizi

garis
merah
(KMS)
atau BB/U
<80%

Demam tanpa
sebab jelas
Batuk
Pembesaran
kelenjar limfe
koli,
aksila,
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks
Normal/tidak
jelas
Jumlah

2 minggu

mm, atau
5
mm
pada
keadaan
imunosupresi

3 minggu
1
cm,
jumlah>1,
tidak nyeri
Ada
pembengk
akan
Kesan TB

Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosistuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel
badan badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.

2.3.10 KOMPLIKASI

38

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan


menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut :1
a. Komplikasi Dini :
1) Efusi pleura/pleuritis eksudativa
2) Emfisema
3) Laringitis
b. Komplikasi Lanjut
Sindrom
Obstruksi

Pasca

Tuberculosis,

kerusakan

parenkim

beratSOPT/fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindroma


gagal napas (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.2
Komplikasi berikut sering terjadi pada stadium lanjut: Hemoptisis berat
(perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian
karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas. Kolaps dari lobus akibat
retraksi bronkhial. Bronkiektasis dan fibrosis pada paru. Pneumotoraks spontan:
kolaps spontan akibat kerusakan jaringan paru. Penyebaran infeksi ke organ lain
seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya. Insufisiensi kardio
pulmoner

(Cardio

Pulmonary

Insufisiency).

Penderita

yang

mengalami

komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit. Penderita TB paru dengan
kerusakan jaringan yang lebih luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa
mengalami batuk darah. Keadaan ini sering kali dikeluhkan oleh kasus kambuh.
Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup
diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk
ke unit spesialistik.8
2.3.11. PENCEGAHAN
Untuk mencegah tuberkulosis, digunakan vaksin BCG di seluruh dunia.
Namun, catatan terakhir penggunaan vaksin BCG tidak direkomendasikan untuk
bayi. Selain penggunaan BCG diharapkan untuk melakukan konsultasi dengan
ahli paru yang ada.8
Program-program kesehatan masyarakat sengaja dirancang untuk deteksi
dini dan pengobatan kasus dan sumber infeksi secara dini.Menurut hukum, semua

39

orang dengan TB tingkat 3 atau tingkat 5 harus dilaporkan ke departemen


kesehatan. Tujuan mendeteksi dini seseorang dengan infeksi TB adalah untuk
mengidentifikasikan siapa saja yang akan memperoleh keuntungan dari terapi
pencegahan untuk menghentikan perkembangan TB yang aktif secara klinis.
Program pencegahan ini memberikan keuntungan tidak saja untuk seseorang yang
telah terinfeksi namun juga untuk masyarakat pada umumnya.Karena itu,
penduduk yang sangat berisiko terkena TB harus dapat diidentifikasi dan prioritas
untuk menentukan program terapi obat harus menjelaskan risiko versus manfaat
terapi.
Eradikasi TB meliputi penggabungan kemoterapi yang efektif, identifikasi
kontak dan kasus serta tindak lanjut yang tepat, penanganan orang yang terpajan
pada pasien dengan TB infeksius, dan terapi kemoprofilaktik pada kelompokkelompok populasi yang berisiko tinggi.8
2.3.12. PROGNOSIS
Tergantung dari luas proses,saat mulai pengobatan, kepatuhan penderita,
mengikuti aturan penggunaan, dan cara pengobatan yang digunakan.1

BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS

40

3.1

Metode Studi Kasus


Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari

hubungan antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan
memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian
mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek
dalam masing-masing kelompok yang mengalami efek penyakit atau masalah
kesehatan untuk melakukan penerapan pelayanan dokter layanan primer secara
paripurna dan holistik terutama tentang penatalaksanaan penderita Tuberkulosis
Paru dengan pendekatan kedokteran keluarga di Puskesmas Tamalate pada tahun
2016.
Cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dan pengamatan
terhadap pasien dan atau keluarganya dengan cara melakukan home visit untuk
mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.
3.2

Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus

3.2.1

Lokasi Studi Kasus


Studi kasus bertempat di Puskesmas Tamalate Kota Makassar.

3.2.2

Waktu Studi Kasus


Studi kasus dilakukan pertama kali saat penderita datang berobat di
puskesmas Tamalate pada tanggal 14 Maret 2016. Selanjutnya dilakukan
home visit untuk mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.

3.3

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

3.3.1

Keadaan Geografis

41

Puskesmas Tamalate Kota Makassar berdiri sejak tahun 1972 merupakan


Puskesmas Non Perawatan yang berlokasi di Jalan Dg. Tata I BTN Tabaria Blok
GV No.8 Kelurahan Parang Tambung.
Berdasarkan Peraturan Walikota Makassar Nomor 41 Tahun 2012 Tentang
pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas
( UPTD ) Puskesmas Pada Dinas Kesehatan Kota Makassar maka puskesmas
Tamalate mengalami pemekaran puskesmas yaitu puskesmas Maccini Sombala
sehingga Wilayah kerja Puskesmas Tamalate menjadi 2 ( dua ) Kelurahan , 26
ORW dan 165 ORT dengan luas wilayah 3,56 Km 2, dengan batas wilayah sebagai
berikut :
3

Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Mariso

Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa

Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Mangasa Kecamatan Tamalate

Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Maccini Sombala.

6.3.2
7

Keadaan Demografis
Adapun jumlah Penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Tamalate pada
tahun 2013 adalah 52.474 jiwa dengan jumlah Rumah Tangga sebanyak
11.559 Rumah Tangga.

NO

KELURAH

LUAS

JUMLAH

JUMLAH

JUMLA

RATA-

KEPADATA

AN

WILAYA

RW

POSYAN

PENDUD

RATA

DU

UK

RUMAH

JIWA/RUM

PENDUDU

(km2)

TANGG

AH

1,38

A
8,194

TANGGA
4,37

per km2
25,704

RT

Parang
Tambung

10

16

13

35,795

42

Balang
Baru
JUMLAH

1,18

54

10

16,679

3,365

4,96

2,595

2,56

16

26

22

52,474

11,559

9,325

28,299

Tabel 1: Luas Wilayah, Jumlah desa/kelurahan, jumlah penduduk, jumlah


rumah tangga, dan kepadatan penduduk meurut kelurahan Puskesmas
Tamalate tahun2015.
Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian

7.3.2

Tingkat pendidikan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Tamalate


bervariasi mulai dari tingkat Perguruan Tinggi, SLTA, SLTP, tamat SD, tidak
tamat SD, hingga tidak sekolah. Adapun mata pencaharian penduduk sebagian
besar berturut-turut adalah pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta,
wiraswasta, TNI, petani dan buruh.
7.3.3

Upaya Kesehatan
Puskesmas Tamalate sebagai unit teknis Dinas Kesehatan Kota Makassar

yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah


kerjanya. Puskesmas Tamalate berperan menyelenggarakan upaya kesehatan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Dengan demikian Puskesmas berfungsi sebagai pusat penggerak
pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan
masyarakat serta pusat pelayanan kesehatan strata pertama.
Dengan fungsi tersebut maka Upaya Kesehatan di Puskesmas Tamalate
terbagi atas 2 ( dua ) Upaya Kesehatan Yaitu :
1. Upaya Kesehatan Wajib, meliputi :
a. Upaya Promosi Kesehatan ( Promkes )

43

b. Upaya Kesehatan Lingkungan ( Kesling )


c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA ) dan Keluarga Berencana
(KB)
d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat.
e. Upaya Pencegahan Penyakit Menular ( P2M )
f. Upaya Pengobatan
2. Upaya Kesehatan Pengembangan, meliputi :
a. Upaya Kesehatan Sekolah
b. Upaya Kesehatan Olahraga
c. Upaya Kesehatan kerja
d. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
e. Upaya Kesehatan Jiwa
f. Upaya Kesehatan Mata
g. Upaya Kesehatan Usia lanjut
h. Pembinaan Pengobatan Tradisional
i. Perawatan Kesehatan Masyarakat
Puskesmas Tamalate memiliki beberapa ruangan yang terdiri dari :
1. Ruangan pengambilan kartu/loket
2. Ruang pemeriksaan dokter/kamar periksa
3. Ruang pemeriksaan gigi dan mulut
4. Ruang KIA dan KB
5. Ruangan suntik/UGD
6. Ruang P2M dan laboratorium
7. Ruang imunisasi dan PKL
8. Ruang pengambilan obat/apotek
9. Ruang tata usaha
10. Ruang administrasi/ruang rapat
11. Ruang kepala puskesmas
12.
44

7.3.4

Visi dan Misi Puskesmas Tamalate

3.3.5.1 Visi Puskesmas Tamalate


Dalam menetapkan Visinya Puskesmas Tamalate berpedoman dan
memperhatikan Visi Kemetrian Kesehatan Republik Indonesia yaitu
Masyarakat Sehat Mandiri, dan Berkeadilan serta Visi Dinas Kesehatan
Kota Makassar yaitu Makassar Sehat Menuju Kota Dunia Bahwa
sebagai upaya penjabaran Visi Kementrian Kesehatan RI dan Visi Dinas
Kesehatan Kota Makassar, maka Visi Puskesmas Tamalate adalah :
MEWUJUDKAN MASYARAKAT TAMALATE HIDUP SEHAT

3.3.5.2

Misi Puskesmas Tamalate


Demi terwujudnya masyarakat Tamalate hidup sehat yang merupakan
bagian tercapaianya Makassar Sehat Menuju Kota Dunia harus ditunjang
Misi Puskesmas yang dapat diukur serta tidak terpisahkan dari Visi
Puskesmas.
Berdasarkan hal tersebut Puskesmas Tamalate mempunyai Misi
sebagai berikut :
a. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan
Masyarakat beserta lingkungannya.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
c. Peningkatan kerjasama Lintas Sektor dan Lintas Program.
d. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.

7.3.5

10 Penyakit Utama Untuk Semua Golongan Umur Di Kota Makassar


45

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas


Kesehatan Kota Makassar diperoleh gambaran 10 penyakit utama untuk semua
golongan umur di Kota Makassar sebagai berikut :
1. ISPA
2. Dermatitis atau eksim
3. Tuberkulosis Paru
4. Diabetes Melitus
5. Hipertensi
6. Artritis Rematoid
7. Gastritis
8. Diare
9. Cephalgia
10. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
3.3.7

Organisasi Puskesmas Tamalate


Struktur Organisasi Puskesmas Tamalate berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar Nomor :800/1682/SK/IV/2010
Tanggal 21 April 2010 terdiri atas :

Kepala Puskesmas

Kepala Subag Tata Usaha

Unit Pelayanan Teknis Fungsional Puskesmas

Unit Kesehatan Masyarakat

Unit Kesehatan Perorangan

Unit Jaringan Pelayanan Puskesmas


-

Unit Puskesmas Pembantu ( Pustu )

Unit Puskesmas Keliling ( Puskel )

Unit Bidan Komunitas

a. Sarana Kesehatan

46

Sarana kesehatan milik Pemerintah, Swasta dan partisipasi masyarakat yang


terdapat dalam wilayah kerja Puskesmas Tamalate turut berperan dalam
peningkatan status derajat kesehatan masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas
Tamalate.
Jenis sarana kesehatan yang terdapat diwilayah kerja Puskesmas Tamalate
tahun 2014 terdiri dari :

Rumah Sakit Umum

: 2 buah

Rumah Sakit Bersalin

: 1 buah

Puskesmas

: 1 buah

Puskesmas Pembantu

: 1 buah

Balai / Klinik Pengobatan

: 0 buah

Dokter Praktek

: 11 orang

Bidan Praktek Swasta ( BPS )

: 5 orang

Apotek

: 9 buah

Posyandu

: 22 buah

b. Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Tamalate tahun 2015
sebanyak 23 orang dengan berbagai spesifikasi, yang terdiri dari

Dokter Umum

: 4 orang

Dokter Gigi

: 2 orang

Perawat

: 8 orang

47

3.3.8

Bidan

: 3 orang

Sanitarian

: 1 orang

Nutrisionis

: 2 orang

Pranata Laboratorium

: 1 orang

Asisten Apoteker

: 1 orang

Perawat Gigi

: 2 orang

Rekam Medik

: 1 orang

Sarjana Kesehatan Masyarakat :


-

Epidemiologi

: 1 orang

Promkes

: 1 orang

AKK

: 1 orang

Alur Pelayanan Puskesmas Tamalate


Berikut adalah alur pelayanan rawat jalan di Puskesmas Tamalate :
Pasien

Loket

Kamar Periksa
-

Poli Umum
Poli Gigi
Poli KIA/KB

Ruang
Tindakan

Rujuk

Pasien

Laboratoriu
m

48

Apotik

Pasien

Gambar 7. Bagan alur pelayanan Puskesmas Tamalate

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL STUDI KASUS
4.1.1 PASIEN
4.1.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Umur

: 34 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Bangsa/suku

: Makassar

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Jln. Dg Tata Raya

Tanggal Pemeriksaan : 14 Maret 2016


4.1.1.2 ANAMNESIS

49

Seorang

perempuan 34 tahun,

14 Maret 2016 datang ke Puskesmas

Tamalate dengan keluhan batuk darah. Dialami pasien kurang lebih selama 1
bulan terakhir sebelum datang ke Puskesmas Tamalate. Batuk disertai lendir
berwarna putih namun dalam 3 hari terakhir ditemukan bercak warna merah
dalam lendir. pasien juga mengeluhkan sering demam sejak 2 minggu terakhir dan
selalu keringat ketika malam hari tanpa sebab hingga harus selalu mengganti
bajunya. Riwayat penurunan berat badan 5 kg dalam 2 bulan terakhir yang
disertai dengan penurunan nafsu makan. Tidak mual, tidak muntah, dan tidak ada
nyeri ulu hati.
BAB : biasa, berwarna kuning , darah tidak ada, warna hitam tidak ada.
BAK : biasa, berwarna kuning dan lancar.

4.1.1.2.1. Riwayat Penyakit Dahulu


-

Riwayat hipertensi (-)


Riwayat OAT sebelumnya (-)
Riwayat hepatitis (-)

Riwayat DM (-)
Riwayat malaria (-)

4.1.1.2.2. Riwayat Penyakit Keluarga


Pada keluarga terdapat 2 dari 4 anaknnya yang juga menderita Tuberculosis paru
dan sekarang dalam masa pengobatan.
4.1.1.2.3. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang istri yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dengan
pekerjaa suami (Tn.S) sebagai buruh harian dan ibu sebagai Ibu rumah tangga
dengan rata-rata pendapatan Rp. 1.000.000- /bulan. Sosial ekonomi keluarga ini
termasuk keluarga dengan sosial ekonomi menengah ke bawah.
4.1.1.2.4. Riwayat Kebiasaan
-

Ny. S mengakui mempunyai pola makan yang baik dengan makan


makanan yang cukiup bergizi dengan langsung membeli di pasar dan
50

memasaknya, tetapi diakui bahwa dalam keseharian olahraga sangat jarang


-

dilakukannya.
Ny.S mengakui masih kurangnya perhatiannya dan orang-orang
sekitarnya tentang perilaku hidup bersih dan sehat.

4.1.1.2.5. Riwayat Pengobatan


Pasien belum pernah berobat sebelumnya di tempat lain.
4.1.1.2.6. Riwayat Alergi
-

Alergi obat atau makanan tidak diketahui.


Riwayat alergi orang tua pasien tidak diketahui

4.1.1.3.

PEMERIKSAAN FISIS

4.1.1.3.1. STATUS PRESENT


Sakit Sedang / Gizi Kurang / Sadar
BB
= 42 kg
TB
= 161 cm = 1,61 m
IMT
= 16,20 kg/m2 Gizi Kurang

Tanda vital :
Tekanan Darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit reguler, kuat angkat

Pernapasan

: 20 x/menit, Tipe : Thoraco abdominal

Suhu

: 36,7 oC (axilla)

4.1.1.3.2. PEMERIKSAAN FISIS


Kepala
Ekspresi

: Biasa
51

Simetris muka

: simetris kiri = kanan

Deformitas

: (-)

Rambut

: Hitam lurus, alopesia (-)

Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus

: (-)

Gerakan

: ke segala arah

Tekanan bola mata

: dalam batas normal

Kelopak Mata

: edema palpebra (-)

Konjungtiva

: anemis (-)

Sklera

: ikterus (-)

Kornea

: jernih

Pupil

: bulat, isokor 2,5mm/2,5mm


Reflex cahaya +/+

Telinga
Pendengaran
Tophi
Nyeri tekan di prosesus mastoideus
Hidung
Perdarahan
Sekret
Mulut
Bibir
Lidah
Tonsil
Faring
Gigi geligi
Gusi
Leher
Kelenjar getah bening

: dalam batas normal


: (-)
: (-)
: (-)
: (-)
: pucat (-), kering (-)
: kotor (-) tremor (-) hiperemis (-)
: T1 T1, hiperemis (-)
: hiperemis (-),
: caries (-)
: perdarahan gusi (-)
: tidak ada pembesaran
52

Kelenjar gondok
DVS
Kaku kuduk
Tumor
Dada
Inspeksi
:
Bentuk
Pembuluh darah
Buah dada
Sela iga
Paru
Palpasi
:

: tidak ada pembesaran


: R-2 cm H2O
: (-)
: (-)

: normochest, simetris kiri = kanan


: tidak ada kelainan
: simetris kiri = kanan
: tidak ada pelebaran

Nyeri tekan

: (-/-)

Massa tumor

: (-/-)

Perkusi
:
Paru kiri
Paru kanan
Batas paru-hepar

: sonor
: sonor
: ICS V dextra

Batas bawah paru belakang kanan : setinggi CV Th X dextra


Batas bawah paru belakang kiri : setinggi CV Th XI sinistra
Auskultasi
:
Bunyi pernapasan
: Bronkovesikuler
Bunyi tambahan
: Rh +/+ pada bagian apeks kedua
paru
Wh -/

Jantung
Inspeksi
Palpasi

: ictus cordis tidak tampak


: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: dalam batas normal

batas atas jantung


batas kanan jantung
batas kiri jantung
Auskultasi

: ICS II sinistra
: ICS III-IV linea parasternalis dextra
: ICS V linea midclavicularis sinistra
: bunyi jantung I/II murni regular,
bunyi tambahan (-)

Perut
Inspeksi

: datar, ikut gerak napas


53

Auskultasi

: Peristaltik (+), kesan normal

Palpasi
Hepar
Lien
Ginjal

: NT (-) MT (-)
: tidak teraba
: tidak teraba
: tidak teraba

Perkusi

: Tympani (+) kesan normal

Alat kelamin

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Edema -/-

4.1.1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pewarnaan Basil Tahan Asam

Sputum Sewaktu
Sputum Pagi
Sputum Sewaktu

: BTA +3
: BTA +3
: BTA +3

(BTA) : 14 dan 15 Maret 2016

54

4.1.1.5.

PENATALAKSANAAN
Short OAT Fase Intensif 1 x 3 tab 4 FDC

4.1.1.6. ANJURAN
-

Selama masa pengobatan fase intensif dianjurkan pasien memakai masker,

untuk mencegah penularan bagi orang-orang disekitarnya.


Memeriksakan seluruh anggota keluarga atau orang-orang yang hamper
setiap hari berkontak langsung pad pasien juga melacak kemungkinan

ditemukan pasien baru.


Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter dan petugas

kesehatan
Memperbaiki status gizi dengan makan makanan yang bergizi dan

seimbang, guna meningkatkan imunitas tubuh


Memperbaiki hyginie dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar
Setelah proses pengobatan dilakukan, diharapkan pasien tetap ke dokter
guna mengetahui perkembangan kesehatannya apakah pengobatan yang
dilakukan sudah berhasil atau tidak.

4.1.2. KELUARGA
4.1.2.1 Profil Keluarga
Pasien Ny. S merupakan istri dari Tn.S yang sudah menikah sejak 22 tahun
yang lalu. Dikarunia 3 putri dan 1 putra. Masing Putrinya berumur 21 tahun, 19
tahun, dan yang bungsu 6 tahun. Sementara putranya berumur 18 tahun. Mereka
semua masih tinggal dalam satu rumah di daerah Tamalate.
4.1.2.2.

N
o

Nama

Karakteristik Demografi Keluarga


a. Identitas Kepala keluarga
: Tn. S
b. Identitas Pasangan
: Ny. S
c. Alamat
: Jl. Dg Tata Raya
d. Bentuk Keluarga
: Nuclear Family
Kedudukan
dalam
keluarga

Gende
r

Umur

Pendidika
n

Pekerjaan

1.

Tn. S

Kepala

37 th

SMA

Pekerja swasta

Keluarga
2.

Ny. S

Istri

34 th

SMA

Ibu Rumah

3.

Nn. N

Anak

21 th

SMA

Tangga
-

4.

Nn.D

Anak

19 th

SMA

5.

An.T

Anak

18 th

SMA

Pelajar

6.

An. S

Anak

6 th

SD

Pelajar

Tabel 13 Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah

4.1.2.3.

Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup

Status kepemilikan rumah : milik sendiri


Daerah perumahan : padat
Karakteristik Rumah dan Lingkungan
Luas rumah : 15 x 10 m 2
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 6 orang
Luas halaman rumah : Tidak bertingkat
Lantai rumah dari : semen
Dinding rumah dari : tembok kombinasi papan
tripleks
Jamban keluarga : ada
Tempat bermain : tidak ada
Penerangan listrik : 450 watt
Ketersediaan air bersih : ada
Tempat pembuangan sampah : ada

Kesimpulan
Keluarga Tn. S tinggal di rumah
dengan

kepemilikian

sendiri.

Ny.S

tinggal

rumah

yang

sehat

milik
dalam
dengan

lingkungan rumah yang padat


dan ventilasi yang memadai
yang dihuni oleh 6 Orang.
Dengan penerangan listrik 450
watt. Air PAM umum sebagai
sarana air bersih keluarga.

Tabel 14. Lingkungan Tempat Tinggal

4.1.2.4 Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


- Jenis tempat berobat
: Puskesmas
- Asuransi / Jaminan Kesehatan
: Jamkesmas

4.1.2.5.

Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Faktor
Keterangan
Kesimpulan
Cara mencapai pusat Keluarga
menggunakan Letak Puskesmas tidak jauh dari
pelayanan kesehatan

Kendaraan pribadi berupa tempat tinggal pasien, sehingga


motor atau naik angkutan untuk
umum

Tarif
kesehatan
Kualitas
kesehatan

untuk

menuju

mencapai

ke keluarga

puskesmas

pasien

puskesmas.
menggunakan sarana angkutan
pelayanan Menurut keluarga tidak ada
umum atau membawa sepeda
biaya pelayanan kesehatan
motor pribadi. Untuk biaya
yang dilakukan di puskesmas
pengobatan diakui oleh keluarga
pelayanan Menurut keluarga kualitas
pasien yaitu setiap kali datang
pelayanan kesehatan yang
berobat tidak dipungut biaya dan
didapat memuaskan.
pelayanan
Puskesmas
pun
dirasakan

keluarga

memuaskan pasien.
Tabel 15. Pelayanan Kesehatan

4.1.2.6.

Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga

Pekerjaan sehari-hari orang tua pasien adalah seorang pekerja di perusahaan


swasta dan Ibunya hanya ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga Orang tuanya
setiap bulannya cukup dan bisa untuk membiayai kebutuhan sehari-hari
keluarganya dan biaya sekolah anaknya. Pasien ini tinggal di rumah pribadi yang
terletak di Cendrawasih Rumah pasien dalam kondisi baik, tertata rapi serta
terawat. Rumah terdiri dari 3 kamar dan 1 kamar mandi. Sekitar rumah yaitu
bagian samping kiri dan kanannya berbatasan dengan rumah tembok, dan berada
di lingkungan perumahan yang cukup padat.
4.1.2.7.

dapat

Pola Konsumsi Makanan Keluarga

Kebiasaan makan

: Keluarga Tn. S dan Ny. S memiliki kebiasaan makan

antara 2-3 kali dalam sehari dengan bahan-bahan baku dibeli langsung dari pasar
disekitar rumahnya dan mengelolah bahan-bahan tersebut di dapurnya.

pasien

4.1.2.8.
Pola Dukungan Keluarga
4.1.2.8.1. Faktor Pendukung Terselesaikannya Masalah dalam Keluarga
Komunukasi, rasa kasih sayang serta kebersamaan sangat tercipta
dilingkungan keluarga ini. Sehingga terlihat walaupun dibeberapa
aspek keluarga ini terdapat kekurangan.
4.1.2.8.2. Faktor Penghambat Terselesaikannya Masalah dalam Keluarga
Walaupun suasana kekeluargaan dalam keluarga ini sudah baik, namun
kurangnya keterbukaan salah satu anak (Anak Pertama) yang juga
menderita penyakit yang sama dengan penderita, membuat orang
tuanya menyimpan beberapa kekecewaan kepada anak pertama dalam
keluarga ini. Serta kurangnya pengetahuam keluarga tentang penyakit
yang diderita sehingga masih kurangnya upaya pencegahan factor
pencetus penyebab tuberculosis paru.
4.1.2.9. Analisa Kedokteran Keluarga (Family Assesment Tools)
4.1.2.10.1 Fungsi Fisiologis (APGAR)
Fungsi fisiologis adalah suatu penentu sehat tidaknya suatu keluarga yang
dikembangkan oleh Rosan, Guyman dan Leyton, dengan menilai 5 Fungsi pokok
keluarga, antara lain:
1.
2.

Adaptasi :

Tingkat

kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang dibutuhkan


Partnership
:
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap komunikasi dalam mengambil
keputusan dan menyelesaikan masalah

3.

Growth

Tingkat

kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan keluarga dalam


mematangkan pertumbuhan dan kedewasaan semua anggota keluarga
4.
Affection :

Tingkat

kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi emosional


yang berlangsung
5.

Resolve

Tingkat

kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi waktu,


kekayaan dan ruang atas keluarga
Penilaian

Hampir Selalu
Kadang-kadang
Hampir tidak pernah

= skor 2
= skor 1
=0

Total Skor
8-10

= Fungsi keluarga sehat

4-7

= Fungsi keluarga kurang sehat

0-3

= Fungsi keluarga sakit


Penilaian

No

1.

Hampir
Selalu
(2)

Pertanyaan

KadangKadang
(1)

Adaptasi
Saya puas dengan keluarga saya karena
masing-masing anggota keluarga sudah

menjalankan kewajiban sesuia dengan


2.

seharusnya
Partnership (Kemitraan)
Saya puas dengan keluarga saya karena

dapat membantu memberikan solusi


3.

terhadap permasalahan yang saya hadapi


Growth (Pertumbuhan)
Saya puas dengan kebebasan yang
diberikan

keluarga

saya

untuk

mengembangkan kemampuan yang saya


4.

miliki
Affection (Kasih Sayang)
Saya puas dengan kehangatan/kasih

5.

sayang yang diberikan keluarga saya


Resolve (Kebersamaan)
Saya

puas

dengan

waktu

yang

disediakan keluarga untuk menjalin


kebersamaan

Hampir
Tidak
Pernah
(0)

Total Skor

Tabel 5. Penilaian Fungsi Fisiologis (APGAR) Keluarga Penderita Tuberkulosis Paru

Dari tabel APGAR diatas total Skor adalah 7 ini menunjukkan fungsi
keluarga kurang sehat
4.1.2.10.2 Fungsi Patologis (SCREEM)
Aspek sumber daya patologi
1.
2.

Sosial

: Pasien dapat hidup bermasyarakat,

hidup bertetangga dengan baik, rukun, dan tidak terdapat masalah.


Cultural : Keluarga pasien percaya akan
adanya hal-hal gaib.

3.

Religious : Keluarga pasien rajin melakukan


sholat 5 waktu.

4.

Economy : Keluarga pasien merasa kebutuhan


ekonomi tercukupi.

5.

Education : Tingkat pendidikan tertinggi di


keluarga pasien yaitu SMA.

6.

Medication : Pasien dan keluarga menggunakan


sarana pelayanan kesehatan dari Puskesmas dan memilki asuransi kesehatan
Jamkesda.

4.1.2.10.3. Fungsi Keturunannya (Genogram)


Menggambarkan adanya penyakit menular Tuberkulosis Paru dalam
keluarga.
4.1.2.10.3.1 Bentuk keluarga
Bentuk keluarga ini adalah keluarga kecil yang terdiri dari Tn. S sebagai
kepala keluarga dan Ny. S sebagai seorang istri dan ibu dari anaknya. Dari hasil
pernikahan Tn. B dan Ny. N mereka dikarunai 3 orang anak perempuan, dua
diantaranya sudah tamat SMA dan seorang putra yang sekarang masih sekolah.
Seluruh anggota keluarga ini tinggal dalam satu rumah.
4.1.2.10.3.2. Tahapan siklus keluarga

Ny.S yang merupakan istri dari Tn.N diakui sebelumnya belum pernah
menderita Tuberkulosis Paru sebelumnya, padahal sudah dilakukan pengecekan
ketika 2 orang anaknya menderita Tuberkulosis Paru dan sekarang masih dalam
proses pengobatan.kedua putrinya yang menderita yakni Nn.N dan Nn.D.
4.1.2.10.3.3. Family Map
Bentuk keluarga ini merupakan keluarga inti.

Gambar 5. Genogram Pasien Penderita TB


Keterangan :
: Kepala keluarga (Suami penderita)
: isteri (penderita TB)
: Anak ke-1 (Anak Penderita, juga Penderita TB)
: Anak ke-2 (Anak Penderita, juga Penderita TB)
: Anak ke-3
: Anak ke-4

4.2 PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis secara holistic
dan komprehensif yaitu, dari berbagai aspek personal (penderita) serta dari
berbagai aspek dalam kelurga dengan pendekatan kedokteran keluarga.
4.2.1. Analisis Kasus
Pendekatan Kedokteran Keluarga pada penderita tuberculosis paru.

Skoring Kemampuan Penyelesaian Masalah dalam Kelurga.


Masalah
No
1.

Skor

Fungsi Biologis
Seluruh
keluarga
tinggal
beresiko

Awal
2

Upaya
5

anggota

mengenai

yang

penyakit

serumah

dan

pencegahannya

tinggi

melalui

terkena
Tuberkulosis Paru

Penyelesaian
Edukasi

penyuluhan
Meningkatkan

Skor

Akhir Perbaikan
Terselenggara

Akhir
4

penyuluhan
Adanya
Kenaikan

Berat

Badan

yang

bermakna

dari

penderita,

serta

system

berkurangnya

kekebalan

keluhan

tubuh

dalam

seluruh

anggota
7

Resume Hasil

keluarga.
Skrining

selama
masa

pengobatan.
10 Dilaksanakannya
dini

skrining TB pada

semua anggota

anggota keluarga

keluarga yang

yang

dicurigai

beresiko

beresiko

tinggi

tertular.

2.

Fungsi
dan

Ekonomi
Pemenuhan

Kebutuhan

Kecemasan

penyakit

memburuk
Tingkat

Pendapatan dan
Pendidikan yang
masih rendah.

Pengobatan

Keluhan
4

yang adekuat.

berkurang

Motivasi untuk

Istri

KK

menambah

(Penderita)

dan

penghasilan

anak

dengan

berniat

memanfaatkan

memanfaatkan

waktu luang.

waktu

sulung

luang

untuk

memperoleh

Kekhawatiran

penghasilan.

penyakitnya

akan menular
2

Memakai
masker
bagi

Pemakaian

semua

masker

penderita yang

semua

penderita

sementara

dalam

keluarga

oleh

menjalani

terutama

pengobatan.

beraktifitas
(ketika

3.

Fungsi

Perilaku

pentingnya PHBS keluarga

Keluarga

di

kurang,

sangat
sehingga

rentan

rumah

untuk

masker)

secara

untuk mulai

mencegah
2

aktif

masih tersedia.
tentang Semua
anggota

Kesehatan
PHBS

4.

Edukasi

ketika

mengaplikasikan

berbagai penyakit dengan baik PHBS


infeksi

yang di lingkungan rumah

terjangkit infeksi

menular

mereka

Lingkungan

Memperbaiki

Pintu rumah sudah

Rumah

ventilasi

Rumah

dengan

ventilasi

yang

buruk

rumah dibuka pada pagi dan

dengan membuka siang hari, namun


2

dan

pintu dan jendela beberapa


yang

ada

jendela

pada rumah sulit dibuka

kelembaban,

pagi dan siang hari karena kaca melekat

mendukung infeksi

serta

permanen, sehingga

m.tuberculosis

menggunakan

kondisi

kipas angin yang masih


rutin dibersihkan

ventilasi
kurang

ditambah lagi kipas


angin yang belum
dibersihkan

Total Skor
Rata-rata skor

13
2,1

22
3,67

Tabel 14. Skoring Kemampuan Penyelesaian Masalah dalam Keluarga

Klasifikasi skor kemampuan menyelesaikan masalah


Skor 1 : Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi.
Skor 2 : Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber (hanya
keinginan); penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya oleh provider.

Skor 3 : Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang belum
dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan sebagian besar oleh provider.
Skor 4 : Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada
upaya provider.
Skor 5 : Dapat dilakukan sepenuhnya keluarga.
4.2.2 Anamnese Pendekatan Diagnosa Holistik
4.2.2.1 Aspek Personal
Pasien datang dengan keluhan utama batuk darah yang dialami kurang lebih
selama 1 bulan terakhir sebelum datang ke Puskesmas Tamalate. Batuk disertai
lendir berwarna putih namun dalam 3 hari terakhir ditemukan bercak warna merah
dalam lendir. pasien juga mengeluhkan sering demam sejak 2 minggu terakhir dan
selalu keringat ketika malam hari tanpa sebab hingga harus selalu mengganti
bajunya. Riwayat penurunan berat badan 5 kg dalam 2 bulan terakhir yang
disertai dengan penurunan nafsu makan.. Kekhawatiran, Takut sakit paru-paru,
Takut penyakitnya menular, Takut penyakitnya akan bertambah parah. Harapan:
dapat sembuh tanpa menularkan kepada orang lain.

4.2.2.2 Aspek Klinik


- selama 1 bulan terakhir sebelum datang ke Puskesmas Tamalate. Batuk
disertai lendir berwarna putih namun dalam 3 hari terakhir ditemukan
-

bercak warna merah dalam lender


pasien juga mengeluhkan sering demam sejak 2 minggu terakhir dan selalu
keringat ketika malam hari tanpa sebab hingga harus selalu mengganti

bajunya.
. Riwayat penurunan berat badan 5 kg dalam 2bulan terakhir yang
disertai dengan penurunan nafsu makan

4.2.2.3 Aspek Faktor Resiko Internal

Kurangnya pengetahuan tentang bahaya penularan Tuberkulosis Paru

Mengidentifikasi anngota keluarga yang lain untuk mengeliminasi tidak


ada lagi yang tertular Tuberkulosis Paru.

Kurang baiknya ventilasi rumah, sehingga mendukung suasaca bagi


mycobacterium tuberculosis untuk bertahan hidup.
4.2.2.4 Aspek Faktor Resiko Eksternal
Anggota keluarga kurang mengetahui penyebab Tuberkulosis Paru
4.2.2.5 Aspek Psikososial Keluarga
Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat
menghambat dan mendukung kesembuhan pasien. Di antara
faktor-faktor yang dapat menghambat kesembuhan pasien yaitu,
kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita
pasien sehingga tidak ada upaya pencegahan faktor pencetus
penyebab Tuberkulosis Paru pasien. Sedangkan faktor yang dapat
mendukung kesembuhan pasien yaitu adanya dukungan dan
motivasi dari semua anggota keluarga baik secara moral dan
materi.

4.2.2.6 Aspek Fungsional


Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih mampu dalam
hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di luar rumah.
4.2.2.7 Derajat Fungsional
Ny.S masih dapat beraktifitas dengan baik tanpa bantuan siapapun (derajat 1
minimal)
4.2.2.8 Rencana Pelaksanaan (Plan Of Action)
- Pertemuan ke-1: Puskesmas Tamalate, 14 Maret pukul 11.00 WITA.

- Pertemuan ke-2: Rumah pasien Jl. Dg Tata Raya pada 22 Maret pukul 10.00
WITA.

Aspek Menginformasi-

Pasien

Saat

Hasil yang
diharapkan
Pasien dapat

perso

kan kepada

dan

pasien

sembuh dengan

nal

keluarga pasien

keluargn

ke

sempurna dan

baik kepada Ny. S

ya

PKM

dapat melakukan

untuk meminum

dan

aktifitas sehari-

obat yang sudah

saat

hari dengan baik

diberi sesuai

home

tergantung dari

anjuran dokter

visit

keberhasilan

puskesmas.

ke

pengobatan

Disamping itu

rumah

nanti.

rutin

pasien

Aspek

Kegiatan

Sasaran

Waktu

Biaya

Ket.

Tidak

Tidak

ada

menolak

memeriksakan
An.S dan An. T
serta Tn. S untuk
screening TB Paru
ke PKM Tamalate,
dan selam proses
pengobatan
seluruh keluarga
yang menjalani
pengobatan
(Ny,S,Nn D,dan
Nn.D) wajib
menggunakan
masker.
Aspek Menganjurkan
klinik

Pasien

- Saat

Tuberkulosis

Tidak

Tidak

pasien

pasien

Paru pasien

ada

menolak

memperhatikan

ke

dapat sembuh

secara khusus

PKM
- Saat

keadaan pasien,

home

meminumkan obat

visit

secara teratur, dan

ke

control kembali di

rumah

PKM jika keluhan


belum membaik.
Aspek - Memberi

pasien
Pasien

Saat

Untuk menjaga

Tidak

Tidak

ada

menolak

risiko

informasi kepada

pasien

agar penyakit

intern

pasien agar pasien

ke

yang diderita

al

selalu istirahat

PKM

pasien tidak

yang cukup di

dan

kambuh lagi dan

rumah,

saat

menjaga

meminumkan obat

home

higienitas

yang teratur,

visit

pasien.

memperbaiki

ke

status gizi pasien

rumah

dengan

pasien

mengkonsumsi
makanan yang
bergizi dan
seimbang
Aspek Memberi

Pasien

Saat

Untuk menjaga

Tidak

Tidak

risiko

informasi kepada

dan

datang

agar penyakit

ada

menolak

extern

pasien dan

keluarga

ke

yang diderita

al

keluarganya

PKM

pasien tidak

tentang penyebab

dan

menular lagi dan

Tuberkulosis Paru

saat

menjaga

dan cara

home

higienitas

penularan serta

visit

pencegahan

ke

pasien.
Menjaga
keluarga tetap

Tuberkulosis Paru

rumah

sehat
mengurangi

Tidak

Tidak

ada

menolak

Saat

sehat.
Agar kondisi

Tidak

Tidak

ada

menolak

Aspek Menganjurkan

Seluruh

pasien
Saat

psikos seluruh anggota

Keluarga

home

faktor-faktor

osial

keluarga pasien

visit

yang dapat

keluar

mengubah

ke

memperberat

ga

kebiasaannya,

rumah

keadaan klinis

terutama perilaku

pasien

pasien.
Menjaga

hidup bersih dan

keluarga tetap

sehat
Aspek Menganjurkan

Pasien

fungsi

agar setelah

home

tubuh anak tetap

onal

sembuh pasien

visit

sehat dan

dapat melakukan

ke

membuat anak

aktifitas seperti

rumah

lebih aktif.

seperti biasa dan

pasien

tentu
memperhatikan
kesehatan dirinya
dan keluarganya.
Tabel 6. Rencana Pelaksanaan (plan Of Action)

4.2.2. Diagnosa Holistik, Tanggal Intervensi, dan Pelaksanaan Selanjutnya


Pertemuan ke 1 : 14 Maret 2016
Saat kedatangan yang pertama dilakukan beberapa hal yaitu :
1. Memperkenalkan diri dengan pasien.
2. Menjalin hubungan yang baik dengan pasien.
3. Menjelaskan maksud kedatangan dan meminta persetujuan pasien
4. Menganamnesa pasien, mulai dari identitas sampai riwayat psiko-sosioekonomi dan melakukan pemeriksaan fisik.
5. Memastikan pasien telah mengerti tujuan prosedur pemeriksaan.

6. Meminta persetujuan pemeriksaan kepada pihak pasien.


7. Membuat diagnostik holistik pada pasien.
8. Mengevaluasi pemberian penatalaksaan farmakologis
4.2.3

Pemeriksaan Fisik
Tinggi Badan : 161 cm, Berat Badan : 42 kg Tanda Vital :Tekanan Darah:

100/70 mmHg, Nadi : 80 x/menit, Pernapasan : 20 x/menit, Suhu : 36,7 oC (axilla)


4.2.4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis (Sewaktu, Pagi, Sewaktu) pada 14 dan

15 Maret 2016
Sputum Sewaktu
Sputum Pagi
Sputum Sewaktu
4.2.5

: BTA +3
: BTA +3
: BTA +3

Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)


Diagnose Klinis: Tuberkulosis Paru
Diagnose Psikososial: Kecemasan akan penyakit pasien memburuk,
kekhawatiran penyakit tersebut akan menularkan ke orang lain.

4.2.6

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga
pasien).

4.2.6.4 Pencegahan Primer


Promosi kesehatan dengan pendekatan perilaku hidup sehat
Meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara makan

makanan bergizi, olahraga teratur, istirahat yang cukup.


Meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan terutama perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS)

4.2.6.2 Pencegahan Sekunder


1. Pengobatan farmakologi berupa:
- Short OAT Fase Intensif 1 x 3 tab 4 FDC
2. Pengobatan non farmakologis berupa:
- Menggunakan masker selama proses pengobatan
- Mengidentifikasi ulang kembali seluruh keluarga (terutama suaminya
Tn.S, An.T, dan An.S) untuk memastikan mereka tidak tertular
-

Tuberkulosis Paru.
Memperbaiki status gizi dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi

dan seimbang, serta olahraga yang teratur.


Menerapkan dengan baik perilaku hidup bersih dan sehat

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus Tuberkulosis Paru yang dilakukan di
layanan primer (Puskesmas Tamalate)

mengenai manajemen penderita

Tuberkulosis Paru dengan secara holistic dan komprehensif dengan


menggunakan pendekatan kedokteran keluarga , dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1

Berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

dan

pemeriksaan

penunjang pasien didiagnosa menderita Tuberkulosis Paru


2

Permasalahan dalam keluarga yang didapat ditinjau dari beberapa


fungsi diantaranya :

Fungsi Biologis yaitu seluruh anggota keluarga yang tinggal

serumah beresiko tinggi terkena infeksi Tuberkulosis Paru.


Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan yaitu adanya
kecemasan

penyakitnya

memburuk,

kekhawatiran

akan

melurakan, dan masih rendahnya tingkat pendapatan dan

pengetahuan dalam keluarga ni.


Faktor Perilaku Kesehatan dalam Keluarga yaitu sangat
kurangnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam

keluarga ini sehingga sangat rentan terjangkit penyakit infeksi.


Lingkungan Rumah yaitu ventilasi yang buruk dan

kelembaban, mendukung infeksi m.tuberculosis.


Diagnosis Holistik (multiaksial) :
-

Aspek personal yaitu pasien berharap dengan datang berobat ke


Puskesmas maka keluhan yang dideritanya akan sembuh.

Aspek klinik yaitu Tuberkulosis Paru

Aspek resiko internal yaitu kurangnya pengetahuan tentang


bahaya penularan Tuberkulosis Paru, mengidentifikasi dan
mengeliminasi tidak ada lagi anggota keluarga yang tertular,
kondisi

ventilasi

rumah

yang

buruk

sehingga

makin

mendukung bakteri untuk bertahan hidup.


-

Aspek psikososial keluarga yaitu kurangnya pengetahuan


keluarga tentang penyakit yang diderita pasien, kurangnya
kesadaran keluarga untuk hidup sehat, dan keadaan rumah

pasien yang kurang sehat.


Aspek Fungsional yaitu Derajat 1 dimana pasien tidak ada
kesulitan dan masih merasa mampu dalam hal fisik dan mental
untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di luar rumah.

5.2. Saran
1

Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien dan keluarga pasien adalah


sebagai berikut :
-

Aspek personal

Menganjurkan kepada pasien untuk rajin kontrol kesehatan dan


mengambil obat ke Puskesmas apabila obat yang tersedia sudah
mau habis. Menjelaskan kepada pasien agar selalu rutin meminum
obatnya dan jangan sampai terjadi putus obat. Hasil yang

diharapkan adalah pasien rutin untuk kontrol ke Puskesmas dan


-

minum obat secara teratur.


Aspek klinik :
Memberikan OAT kategori I kepada pasien. Hasil yang diharapkan
adalah menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.

Aspek resiko internal :


Menganjurkan kepada pasien aktif mencari informasi tentang
bahaya infeksi Tuberkulosis Paru, memperbaiki ventilasi rumah
agar sehingga merusak suasana m.tuberculosis untuk bertahan
hidup, serta menganjurkan semua anggota keluarga yang tidak
dalam pengobatan untuk skrining tuberculosis guna mendeteksi dan
melakukan penatalaksaan secara dini jika memang ditemukan.
Penderita selama massa pengobatan sangat dianjurkan memakai

masker untuk mencegah penularan.


Aspek psikososial keluarga :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang penyakit yang
diderita pasien, menjelaskan kepada pasien dan keluarganya
tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Hasil yang diharapkan
adalah pasien dan keluarganya dapat memahami dengan baik
tentang penyakit yang

sedang diderita pasien sehingga dapat

mengupayakan pencegahan untuk penyakit tersebut.


Aspek Fungsional :
Menganjurkan pasien untuk meningkatkan system kekebalan tubuh
dengan memperbaiki status gizi dan aktif melakukan olahraga yang
taratur dan terukur. Hasil yang diharapkan adalah kondisi pasien
lebih sehat dan prima dan dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien.

Diperlukan kerja sama antara anggota keluarga dengan petugas


pelayanan kesehatan dalam menyelesaikan semua permasalahan yang
ditemukan. Pasien dan keluarganya agar lebih terbuka kepada pemberi
pelayanan kesehatan jika ingin mengetahui tentang penyakitnya.

Perlunya pelayanan kesehatan yang lebih menyeluruh, komprehensif,


terpadu dan kesinambungan. Diperlukan suatu rekam medis yang

benar dan teratur, serta terkomputerisasi untuk menunjang pelayanan.


Perlunya mengedukasi pasien Tuberkulosis Paru untuk meminum obat
teratur hingga pengobatan tuntas dan kontrol secara rutin tiap bulan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Zulkifli, Bahar Asril.Tuberkulosis Paru Ilmu Penyakit DalamJilid III
Edisi V.Indonesia :Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Aditama Tjandra Yoga, Kamso Sudijanto, Basri Carmelia, Surya Asik, editors.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Indonesia :Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
3. Helmia Hasan, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya
:Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair. 2012.
4. Zumla Alimuddin, dkk. Tuberculosis. England : The New England Journal of
Medicine. 2013. Vol. 368;8 21 February 2013
5. Putz, R & Pabst, R.Atlas Anatomi Manusia Sobotta.Edisi 22. 2007, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem.Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.
7. Eroschenko, Victor P. Atlas Histologi

diFiore

dengan

Korelasi

FungsionalEdisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006


8. Thomas E Herchline. Tuberculosis. [online]. 2013 Nov 4 [cited 2014 Feb 2];
Available from: URL: http://www.emedicine.medscape.com
9. Luisa Jordao, Vieira V. Tuberculosis. Portugal: International Jurnal Of Cell
Biology. 2011. Volume 2011
10. Robert, LS. Pathophysiology and Microbiology of Pulmonary Tuberculosis.
2013. Sudan: South Sudan Medical Journal. Vol. 6 No.1 February 2013.
11. American Lung Association. Tuberculosis[online]. 2014Feb5 [cited 2014
Maret10]; Available from: URL: http://www.lungusa.org

12. Sylvia P. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6 ed.Jakarta :


EGC; 2006.
13. Benjamin, Palgunadi, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian Ilmu
Penyakit Paru. 3 ed. Surabaya : Unair.

Anda mungkin juga menyukai