Analisis
Analisis
LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
Laporan Akhir
Jakarta, 2007
Daftar Isi
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................................... 1
1 PENDAHULUAN ........................................................................................................................................... 2
2 TINJAUN UMUM .......................................................................................................................................... 4
2.1 PROVINSI MALUKU UTARA ....................................................................................................................... 4
2.2 PROVINSI MALUKU................................................................................................................................... 5
2.3 PROVINSI IRIAN JAYA BARAT ..................................................................................................................... 6
2.4 PROVINSI PAPUA ....................................................................................................................................... 6
3 POTENSI TANAH LONGSOR ..................................................................................................................... 7
3.1 METODOLOGI ........................................................................................................................................... 7
3.1.1 Sumber Data................................................................................................................................ 8
3.1.2 Pemodelan Stability Index Mapping ............................................................................................. 8
3.1.3 Pemodelan Spasial Potensi Tanah Longsor ................................................................................ 11
Nilai Fuzzy Variabel .............................................................................................................................. 13
1 Pendahuluan
Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam
yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia merupakan Negara
kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu: lempeng Indo-Australia, Eurasia
dan Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai
wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempaan yang cukup tinggi. Lebih dari itu,
proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga telah membentuk relief permukaan bumi yang
khas dan cukup bervariasi, dari wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya yang curam dan
seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi hingga wilayah yang landai sepanjang pantai dengan
potensi ancaman banjir, penurunan tanah dan tsunaminya (Sadisun, 2005-2006). Berbagai potensi
bencana alam yang mungkin timbul sudah sebaiknya harus kita kenal agar karakter bahaya alam
tersebut dapat kita minimalkan dampaknya.
Selain itu, potensi bencana alam ini telah diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang muncul
di tanah air kita yang memicu peningkatan kerentanannya. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat
tinggi merupakan salah satu contoh nyata, sehingga akan banyak membutuhkan kawasan-kawasan
hunian baru yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus berkembang dan menyebar
hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak selayaknya dihuni. Tidak tertib dan tepatnya
perencanaan tata guna lahan, sebagai inti dari permasalahan ini merupakan faktor utama yang
menyebabkan adanya peningkatan kerentanan. Peningkatan kerentanan ini akan lebih diperparah
bila masyarakat sama sekali tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana alam di
daerahnya. Pengalaman memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian bencana alam selama ini telah
banyak menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan
bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang
komprehensif untuk mengurangi resiko bencana alam, antara lain yaitu dengan melakukan kegiatan
migitasi.
Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas komponen bahaya (hazard) yang
berupa fenomena alam/buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak
lain. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kapasitas/kemampuan yang lebih rendah
dibanding dengan tingkat bahaya yang mungkin terjadi padanya. Misalnya, letusan G. Merapi dan
bahaya lainnya gempa bumi, banjir, gerakan tanah, dan lainnya tidak akan sertamerta menjadi
bencana apabila komunitas memiliki kapasitas mengelola bahaya.
Bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin
rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak
aman (unsave conditions) yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan
dinamis internal maupun eksternal (dynamic pressures), misalnya di komunitas institusi lokal tidak
berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Tekanan dinamis terjadi karena terdapat akar
permasalahan (root causes) yang menyertainya. Akar permasalahan internal umumnya karena
komunitas tidak mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan, sedang secara eksternal
karena sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat. Oleh karenanya penanganan bencana perlu
dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan menangani akar permasalahan
untuk mereduksi resiko secara total.
Siklus penanggulangan bencana yang perlu dilakukan secara utuh. Upaya pencegahan (prevention)
terhadap munculnya dampak adalah perlakuan utama. Tsunami tidak dapat dicegah. Pencegahan
dapat dilakukan pada bahaya yang manusia terlibat langsung maupun tidak langsung. Pada tsunami
misalnya. Pencegahan dapat dilakukan rakyat dengan membuat bendung penahan ombak, bangunan
panggung tahan ombak, penataan ruang dan sebagainya. Agar tidak terjadi jebolnya tanggul, maka
perlu disusun save procedure dan kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah
dilakukan, sementara peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi
2
(mitigation), yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Ada 2
bentuk mitigasi yang lazim dilakukan yaitu mitigasi struktural berupa pembuatan infrastruktur
pendorong minimalisasi dampak, serta mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturanperaturan, pengelolaan tata ruang dan pelatihan.
Dalam kaitannya dengan pekerjaan ini, jenis bencana yang akan dilakukan analisis potensi hanya
terbatas kepada beberapa bencana alam yang sifat destruktif nya sangat besar dan sangat berdampak
terhadap kehidupan masyarakat dan memiliki potensi sering terjadi. Jenis bencana alam tersebut
adalah:
1. Tanah Longsor
2. Banjir
3. Gempa Bumi
4. Tsunami
Untuk mengetahui potensi dari setiap bencana tersebut, pendekatan yang digunakan haruslah
berdasarkan sifat dan karakteristiknya. Setiap jenis bencana mempunyai pemicu yang berbeda-beda,
untuk itu dalam melakukan analisis potensi haruslah berdasarkan variabel-variabel yang memiliki
pengaruh terhadap bencana tersebut.
2 Tinjaun Umum
Secara umum, analisis potensi bencana alam dilakukan pada daerah Papua dan Maluku sebagai
wilayah kajian, yang terdiri dari 4 (empat) Provinsi, yaitu:
1. Provinsi Maluku Utara
2. Provinsi Maluku
3. Provinsi Irian Jaya Barat, dan
4. Provinsi Papua
Pulau yang tergolong relatif besar adalah Pulau Halmahera (18.000 km 2). Pulau yang ukurannya
relatif sedang yaitu Pulau Cibi (3.900 km 2), Pulau Talabu (3.195 km2), Pulau Bacan (2.878 km2), dan
Pulau Morotai (2.325 km2). Pulau-pulau yang relatif kecil antara lain Pulau Ternate, Makian, Kayoa,
Gebe dan sebagainya.
Secara geografis Provinsi Maluku Utara berada pada 3o Lintang Utara hingga 3o Lintang Selatan dan
124o hingga 129o Bujur Timur. Wilayah ini dilintasi khatulistiwa, tepatnya di Halmahera Tengah,
yang memberi efek penting pada pemanasan air laut yang bergerak dari Samudera Indonesia ke
Pasifik.
Batas-batas yang mengitari wilayah Maluku Utara semuanya adalah laut. Sebelah timur berbatasan
dengan Laut Halmahera. Sebelah barat dengan Laut Maluku. Sebelah utara ada Samudera Pasifik,
dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram.
Secara topografis wilayah Maluku Utara sebagian besar bergunung-gunung dan berbukit-bukit.
Banyak dijumpai pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian lainnya merupakan
dataran biasa. Pulau Halmahera mempunyai banyak pegunungan yang rapat mulai dari Teluk Kao,
Teluk Buli, Teluk Weda, Teluk Payahe dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung
yang merapat ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar Teluk Buli (di timur) sampai Teluk Kao (di
utara), pesisir barat mulai Teluk Jailolo ke utara dan Teluk Weda ke selatan dan utara ditemui daerah
daratan yang luas. Pada bagian lainnya terdapat deretan pegunungan yang melandai dengan cepat ke
arah pesisir. Pulau-pulau yang relatif sedang (Obi, Morotai, Taliabu, dan Bacan) umumnya memiliki
dataran luas yang diselingi pegunungan yang bervariasi.
Dilihat dari iklimnya, wilayah Maluku Utara memang unik. Wilayah ini dipengaruhi oleh iklim laut
tropis dan iklim musim. Oleh karena itu iklim di Maluku Utara sangat dipengaruhi oleh lautan
(termasuk luas perairan) dan bervariasi antara tiap bagian wilayah. Dikenal ada empat daerah iklim;
Halmahera Utara, Halmahera Tengah/Barat, Bacan dan Kepulauan Sula. Temperatur rata-rata
tahunan yang diukur dari stasiun Duma Galela, Ternate dan Tobelo antara 25,6oC 26,1oC dengan
curah hujan rata-rata tahunan antara 2.138 mm - 3.693 mm.
Tanah yang terdapat di daerah Maluku Utara menunjukkan sifat-sifat yang berbeda, mulai dari
Morotai bagian utara sampai Sulawesi di selatan. Perbedaan ini disebabkan faktor iklim (curah hujan
dan suhu) yang tinggi. Selain itu, yang membedakan sifat-sifat tanah adalah tipe batuan/bahan induk
dan kemiringan lereng yang berkorelasi dengan kedalaman efektif perakaran serta vegetasi di tanah
tempatnya berkembang. Selain iklim dan vegetasi, kompleks geologi Provinsi Maluku Utara sangat
4
erat hubungannya dengan penyebaran sifat-sifat tanah. Keadaan geologi dibarengi pula dengan
proses pelapukan dan pencucian pada kondisi suhu dan curah hujan yang bervariasi. Maka tanah di
daerah Maluku Utara berada dalam suatu perkembangan dan kedalaman yang bervariasi dengan
drainase baik, tekstur tanah halus, kesuburan yang relatif rendah. Pada daerah-daerah perbukitan dan
pegunungan yang berlereng curam sampai sangat curam dengan penutupan vegetasi yang jarang,
secara relatif juga mempengaruhi erosi permukaan. Oleh karena itu sering ditemukan tanah-tanah
dengan kedalaman solum dangkal sampai sedang dengan tingkat perkembangan lemah dan sedang.
2.2 PROVINSI MALUKU
Provinsi Maluku merupakan daerah Kepulauan dengan jumlah pulau yang diperkirakan sekitar 559
buah. Letak Provinsi Maluku diantara 230' - 9 Lintang Selatan, 124 - 136 Bujur Timur.
Disebelah Utara berbatasan dengan Lautan Seram, sebelah selatan dengan Lautan Indonesia/Laut
Arafura, sebelah Barat dengan Pulau Sulawesi dan sebelah Timur dengan Pulau Irian/Provinsi Irian
Jaya. Luas Provinsi Maluku adalah sekitar 581.376 km terdiri dari luas lautan sekitar 527.191 km
dan luas daratan sekitar 54.185 km. Luas daratan yang sekitar 54.185 km terdiri dari 4 Kabupaten
yaitu Kabupaten Maluku Tenggara Barat seluas 15.033 km, Maluku Tenggara seluas 9.934 km,
Maluku Tengah seluas 19.594 km dan P. Buru seluas 9.247 km, serta satu Kota Ambon seluas 377
km.
Dari segi kedudukan pusat Wilayah Administrasi Pemerintahan, ibukota Provinsi Maluku
berkedudukan di Kota Ambon. Sedangkan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat
berkedudukan di kota Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara berkedudukan di kota Tual,
ibukota Kabupaten Maluku Tengah berkedudukan di kota Masohi, ibukota Kabupaten P. Buru
berkedudukan di kota Namlea dan ibukota Kota Ambon berkedudukan di kota Ambon.
Jumlah penduduk Provinsi Maluku, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1999
adalah sebanyak 1.016.663 orang, yang terdiri dari 497.908 laki-laki dan 518.755 perempuan dengan
kepadatan pendudukan sekitar 19 jiwa per km. Penyebaran penduduk di Provinsi Maluku sangat
tidak merata. Bila jumlah penduduk per Kabupaten/Kota dibandingkan dengan Luas Wilayahnya,
maka akan terlihat bahwa di Kota Ambon jumlah penduduknya sedikit, namun kepadatannya sangat
tinggi yakni sekitar 726 jiwa per km. Hal ini berbeda dengan kabupaten lain seperti Kabupaten
Maluku Tengah dimana penduduknya cukup banyak tetapi kepadatannya sangat rendah sekitar 17
jiwa per km. Penduduk di Provinsi Maluku ini pada umumnya bekerja pada sektor Pertanian yaitu
sekitar 47,46 %. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar penduduk Provinsi Maluku masih
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sementara penduduk lainnya lebih banyak bekerja
dalam bidang Perdagangan dan Jasa-jasa masing-masing sekitar 20,12 % dan 16,99 %.
Mengingat kondisi geografis di Wilayah Maluku memiliki luas lautan lebih besar dari daratan,
sehingga hubungan antar pulau di Provinsi Maluku lebih banyak menggunakan sarana angkutan laut.
Sementara sarana angkutan darat dan udara juga tidak kalah pentingnya. Prasarana angkutan laut
yang ada di Provinsi Maluku tercatat ada 27 buah pelabuhan umum dan 22 buah pelabuhan khusus.
Dua puluh dua buah pelabuhan khusus terdiri dari 3 pelabuhan khusus kehutanan, 1 pelabuhan
khusus penelitian, 1 pelabuhan khusus pertambangan, 2 pelabuhan khusus perikanan mutiara, 7
pelabuhan khusus pertamina dan 8 pelabuhan khusus perikanan udang. Prasarana angkutan darat
pada tahun 2000 tercatat 1.475,44 km, terdiri dari jalan Nasional sepanjang 251,33 km, jalan Provinsi
sepanjang 1.224,11 km. Prasarana angkutan udara di Wilayah Maluku pada tahun 1999 tercatat ada
11 buah pelabuhan udara.
Dari sisi perekonomian, laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Maluku pada tahun 2000 tercatat
sekitar 15,33 %, dengan jumlah pendapatan regional perkapita sebesar 2.007.960 rupiah. Sektor
ekonomi yang sangat mempengaruhi perekonomian Provinsi Maluku adalah sektor Pertanian,
Perdagangan, Hotel dan Restoran, Jasa-jasa serta sektor Industri Pengolahan.
5
Ibukota provinsi Irian Jaya Barat terletak di Manokwari, merupakan tempat pusat sejarah di Papua.
Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di
sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan
dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih,
bagian selatan dengat Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan Provinsi Papua.
Provinsi ini mempunyai potensi yang sangat luar biasa, baik itu pertanian, pertambangan, hasil hutan
maupun pariwisata. Mutiara dan rumput laut dihasilkan di kabupaten Raja Ampat sedangkan satusatunya industri tradisional tenun ikat yang disebut kain Timor dihasilkan di kabupaten Sorong
Selatan. Sirup pala harum dapat diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya.
Selain itu, wisata alam juga menjadi salah satu andalan Irian Jaya Barat, seperti Taman Nasional
Teluk Cenderawasih yang berlokasi di kabupaten Teluk Wondama. Taman Nasional ini
membentang dari timur Semenanjung Kwatisore sampai utara Pulau Rumberpon dengan panjang
garis pantai 500 km, luas darat mencapai 68.200 ha, luas laut 1.385.300 ha dengan rincian 80.000 ha
kawasan terumbu karang dan 12.400 ha lautan.
2.4 PROVINSI PAPUA
Wilayah Provinsi Papua sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan baik yang ditimbulkan oleh
Pembangunan maupun kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat itu sendiri. Pembangunan baik
kecil maupun besar pasti memberikan dampak positif dan dampak negatif. Provinsi Papua Barat
terletak di Papua bagian Barat. Provinsi ini terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten, 1 (satu) Kota Madya,
dan terdiri dari 105 (seratus lima) Kecamatan/Distrik, 48 (empat puluh delapan) kelurahan dan 1.164
(seribu seratus enam puluh empat) kampung/desa, dengan jumlah penduduk 723.433 jiwa. Mata
pencaharian sebagian besar warga adalah petani dan nelayan selain itu ada pula yang bekerja sebagai
pegawai negeri sipil, dan perekonomian Provinsi Irian Jaya Barat didominasi oleh hasil pengusahaan
sumberdaya alam seperti hasil hutan, peternakan, perikanan dan untuk perkebunan yang ada
hanyalah perkebunan rakyat yang dikembangkan melalui beberapa proyek pemerintah dengan jenis
tanaman perkebunan kopi dan coklat.
Pit FillDem
Flow Direction
Slope
Contributing Area
Lokasi Kejadian
Longsor
Stability
Index
Tutupan
Lahan
Jenis Batuan
(Lithology)
Potensi Tanah
Longsor
Potensi Tanah Longsor
Jenis data yang digunakan untuk kebutuhan analisis potensi tanah longsor ini adalah:
1. DEM (Digital Elevation Model), menggunakan DEM dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)
yang memiliki resolusi 90 m.
2. Tutupan Lahan, sumber: Departemen Kehutanan & penyesuaian dengan hasil interpretasi citra
Landsat tahun 2000 2003.
3. Litologi (Jenis batuan) sekala 1:250.000.
4. Curah Hujan, sumber: Badan Meteorologi & Geofisika dari tahun 1996 2001.
Stability Index Mapping merupakan metodologi yang diarahkan kepada pemodelan tentang stabilitas
lereng (e.g. Hammond et al., 1992; Montgomery and Dietrich, 1994). Stability Index Mapping ini lebih
diarahkan kepada klasifikasi stabilitas bentuk medan yang berasal dari kondisi topografis lereng pada
catchment area tertentu serta dari parameter-paramaeter kuantitatif material dan iklim (hydrologic wetness
parameter). Setiap parameter tersebut akan dideliniasikan pada nilai grid numerik di daerah studi.
Variavel-variabel topografis secara otomatis akan dihitung dari digital elevation model (DEM) data.
Nilai dari Stability Index (SI) ini didefinisikan sebagai kemungkinan bentuk yang stabil dan seragam
pada suatu lokasi, dengan klasifikasi sebagai berikut:
Sumber: A Stability Index Approach to Terrain Stability Hazard Mapping, Utah State University et al
Secara umum, kondisi tingkat kestabilan secara morfologi pada suatau wilayah akan dapat diketahui
tingkatannya. Pada tahap ini, pemodelan stability index mapping ini merupakan tahap untuk mengukur
indikator awal dari kestabilan sebuah lereng sesuai dengan kemiringannya. Pemodelan terhadap
lereng ini juga akan mengikut sertakan variabel-variabel dari model hidrologi berupa flow direction, flow
accumulation pada unit DAS (Daerah Aliran Sungai), dengan asumsi bahwa tingkat kestabilitasan
sebuah lereng sangat dipengaruhi oleh daur hidrologi yang kita temui setiap hari. Model ini juga akan
lebih akurat jika disertai dengan adanya data yang berupa lokasi-lokasi yang pernah terjadi longsoran
sebelumnya untuk mengetahui karakteristik stablitas lereng pada daerah tertentu.
Berikut dijabarkan beberapa metode yang diikutsertakan dalan penentuan nilai stability index untuk
wilayah sampel studi seperti diperlihatkan pada gambar berikut.
1. Pit filling correction; melakukan koreksi terhadap kemungkinan adanya lubang-lubang pada nilai
elevasi yang tinggi dari sebuah dem. Seperti terlihat pada gambar berikut.
2. Slope dan Flow Direction; penurunan data dem menjadi lereng (slope) dalam satuan tertentu dan
penurunan data arah aliran (flow direction) untuk mengetahui arah aliran air pada sebuah topografis.
Slope
Flow Direction
3. Contributing Area; penurunan untuk membuat deliniasi dari wilayah yang memiliki kontribusi
(contributing area) terhadap daur hidrologis pada daerah lainnya.
5. Stability Index; model akhir untuk mengetahui tingkat kestabilan sebuah topografis berdasarkan
daur hidrologis tertentu.
Hasil dari nilai Stability Index ini pada wilayah kajian diperlihatkan pada peta berikut ini.
10
Secara umum, model Stability Index ini jika dibandingkan pengaruhnya pada sebuah lereng di luasan
daerah tertentu diperlihatkan pada grafik berikut ini.
Sumber: A Stability Index Approach to Terrain Stability Hazard Mapping, Utah State University et al
Pada tahap ini, variabel-variabel pengaruh lainnya yang berpotensi akan diikutsertakan, seperti;
Stability Index, Tutupan Lahan dan Jenis Batuan.
Metode yang digunakan untuk melakukan pemodelan potensi tanah longsor ini adalah
menggunakan Fuzzy Logic, yaitu teknik yang sangat fleksibel dalam melakukan pemodelan spasial
yang melibatkan banyak/beberapa tematik sebagai input datanya (Bonham-Carter, 19xx).
Persamaan dari Fuzzy Logic adalah sebagai berikut:
Fuzzy Logic = SumTotal Product(1- ) , dimana:
SumTotal = 1 Sum1,2,3..j;
Sum1,2,3..j = Sum1Sum2Sum3Sumj;
Sum1 = 1 Peta1; Peta2 = 1 Peta2; Peta3 = 1 Peta3; Peta(x) = 1 Peta(x);
Product = Peta1Peta2Peta3Petax;
11
Model alir dari formula Fuzzy Logic tersebut diperlihatkan berikut ini.
Map 3
Map 2
Map 1
Dalam hubungannya dengan nilai fuzzy logic ini, nilai klasifikasi stability index sebelumnya akan
dilakukan konversi ke nilai fuzzy logic ini, seperti terlihat berikut;
STABILITY CLASS
1.5 to 10
1.25 to 1.5
1.0 to 1.25
0.5 to 1.0
0.001 to 0.5
0
Stable
Moderately Stable
Quasi-Stable
Lower Threshold
Upper Threshold
Defended
Sehingga hasilnya akan berupa peta potensi tanah longsor dalam format grid berdasarkan tingkat
klasifikasi potensinya (tinggi, sedang, rendah, dll). Berikut digambarkan bagan alir dalam melakukan
pemodelan tanah longsor.
12
13
Untuk mendapatkan klasifikasi dari potensi tanah longsor nilai fuzzy logic tersebut, digunakan
kategori klasifikasi Natural Breaks (Jenks) dalam 4 (empat) kelas, yaitu;
0 = Tidak Berpotensi
14
Berikut diperlihatkan distribusi Potensi Tanah Longsor yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas
potensi, yaitu; Rendah, Sedang dan Tinggi dengan potensi total berkisar antara 21 s/d 28 % dari
masing-masing luas total Provinsinya (Lihat Tabel Berikut dan Peta 8-Potensi Tanah Longsor). Pada
tingkat klasifikasi Sedang merupakan persentase tertinggi yang berada di 3 (tiga) provinsi, yaitu;
Maluku Utara, Maluku dan Irian Jaya Barat. Sedangkan untuk Provinsi Papua, tingkat potensi
Tinggi merupakan persentase tertinggi yang terdistribusi pada daerah pegunungan tengah.
No
PROVINSI
LUAS TOTAL
PADA UNIT
ANALISIS (Ha)
RENDAH
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
TINGGI
(Ha)
(%)
TOTAL
POTENSI
TANAH
LONGSOR
(%)
Maluku
Utara
3,131,176.00
171,763.77
5.49%
407,369.19
13.01%
302,554.76
9.66%
28.16%
Maluku
4,658,664.00
228,823.95
4.91%
530,822.89
11.39%
218,474.78
4.69%
21.00%
Irian Jaya
Barat
9,651,955.64
319,467.78
3.31%
962,585.19
9.97%
845,765.25
8.76%
22.05%
Papua
31,710,148.48
1,049,712.39
3.31%
2,705,238.83
8.53%
2,959,761.15
9.33%
21.18%
15
Pengaruh kegiatan industri besar juga memberikan kontribusi terhadap adanya potensi tanah
longsor, seperti kegiatan pertambangan besar yang mampu merubah bentuk topografis serta
penggunaan tanah. Berikut diperlihatkan wilayah potensi tanah longsor pada salah satu kegiatan
Pertambangan di pegunungan tengah.
Pada gambar di atas, terlihat daerah kerja dari sebuah pertambangan besar dengan tipe Open-Pit
dengan struktur pit melingkar dan berlereng curam. Terlihat dominasi potensi tanah longsor yang
tinggi pada daerah ini.
16
METODOLOGI
Jenis data yang diperlukan untuk melakukan pemodelan guna mengetahui potensi banjir diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. DEM (Digital Elevation Model), menggunakan DEM dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)
yang memiliki resolusi 90 m (Peta 1. Wilayah Ketinggian).
2. Tutupan Lahan, sumber: Departemen Kehutanan & penyesuaian dengan hasil interpretasi citra
Landsat tahun 2000 2003 (Peta 3. Tutupan Lahan).
3. Litologi (Jenis batuan) sekala 1:250.000 (Peta 4. Jenis Batuan).
4. Curah Hujan, sumber: Badan Meteorologi & Geofisika dari tahun 1996 2001 (Peta 5. Curah
Hujan Rata-rata Tahunan).
17
Tahapan yang dilakukan pada tahap ini adalah dititikberatkan kepada penurunan algoritma tentang
hidrologi dan geomorfologi yang berupa:
1. Sink; merupakan bagian yang sering terdapat pada lembah yang sempit di mana lebar lembah
tersebut lebih kecil dari ukuran sel
2. Flow Direction; merupakan arah di mana air mengalir ke luar dari sebuah sel dem (Meijerink et al.,
1994). Seperti terlihat pada gambar berikut.
3. Flow Accumulation; untuk mengetahui ke mana arah air akan mengalir, sehingga dapat
digambarkan daerah apa yang mempunyai kelebihan air yang mengalir melaluinya dibandingkan
dengan daerah lain. Seperti terlihat pada gambar berikut.
4. Stream Channel.
5. Stream Link Seperti terlihat pada gambar berikut.
18
Proses penurunan model hidrologis tersebut diatas diperlihatkan bagan alir berikut ini.
DEM
Sink
Ada
Tidak
Hilangkan
Flow Direction
Stream Link
Accumulation
Flow Accumulation
Deliniasi DAS
Stream Chanel
Persamaan ketersediaan air untuk limpasan atau aliran permukaan digunakan untuk menghitung
jumlah air yang tersedia bagi limpasan permukaan berdasarkan kejadian hujan tertentu pada tipe atau
kondisi tanah dan jenis penutupan lahan di suatu lokasi
Dengan informasi ini, jumlah air yang tersedia untuk limpasan pada setiap sel dalam DAS dapat
diduga, dan kemudian diakumulasikan untuk suatu permukaan arah aliran
19
Salah satu metode untuk menduga aliran permukaan ini yaitu metode Soil Conservation Service (SCS)
yang mengembangkan indeks yang disebut Runoff Curve Number atau CN (nilai kurva limpasan).
CN ini berkisar antara 0 100 dan menyatakan pengaruh terhadap tanah, keadaan hidrologi, dan
kandungan air sebelumnya pada kondisi II (Bras, 1990; Wanielista, 1990; Arsyad, 2000).
Pada wilayah studi, nilai CN yang dihasilkan diperlihatkan pada tabel berikut.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
TUTUPAN LAHAN
Airport
Belukar Rawa
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Mangrove Primer
Hutan Mangrove Sekunder
Hutan Rawa Primer
Hutan Rawa Sekunder
Hutan Tanaman Keras
Pemukiman
Perkebunan
Pertambangan
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering Campur
Rawa
Savana
Sawah
Semak/Belukar
Tambak
Tanah Terbuka
Transmigrasi
Tubuh Air
A
79
100
25
25
100
100
100
100
25
79
62
62
51
51
100
30
59
29
59
30
59
100
KELOMPOK
HIDROLOGI TANAH
B
C
86
90
100
100
55
70
55
70
100
100
100
100
100
100
100
100
55
70
86
90
71
78
71
78
67
76
67
76
100
100
58
71
70
78
57
70
70
78
58
71
74
82
100
100
D
92
100
77
77
100
100
100
100
77
92
81
81
80
80
100
78
81
77
81
78
86
100
Untuk mendapatkan kriteria kelompok hidrologi tanah, digunakan peta jenis batuan dengan
pertimbangan bahwa tema jenis batuan ini sebagai batuan induk penyusunnya. Kriteria kelompok
hidrologi tanah ini lebih dititikberatkan untuk mengetahui tingkat infiltrasi maupun runoff. Arti dari
klasifikasi tersebut adalah:
1. Kelompok A: Infiltrasi Tinggi [Runoff Rendah]
2. Kelompok B: Infiltrasi Sedang [Runoff Sedang]
3. Kelompok C: Infiltrasi Rendah [Runoff Sedang sampai Tinggi]
4. Kelompok D: Infiltrasi Sangat Rendah [Runoff Sangat Tinggi]
Hasil dari kelompok hidrologi tanah dan Nilai Kurva Limpasan (CN) pada peta diperlihatkan
berikut ini.
20
21
di mana,
Q
Untuk menduga volume limpasan permukaan ini, minimal diperlukan 2 jenis peta yaitu peta curah
hujan dan peta CN. Setiap peta dalam bentuk raster ini dapat dimasukan persamaan SCS yang
menghasilkan peta atau layer yang menunjukkan ketersediaan air untuk aliran permukaan pada setiap
lokasi dalam DAS. Selanjutnya perintah akumulasi aliran dengan peta aliran permukaan sebagai
pembobotnya akan mengakumulasikan nilai aliran permukaan pada masing-masing piksel.
Dengan asumsi bahwa perubahan lahan (terutama ke arah negatif atau degradasi lahan)
menghasilkan aliran permukaan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya, maka dapat dibuat
beberapa skenario perubahan lahan.
Hasil peta Q (Aliran Permukaan) diperlihatkan berikut ini.
Dari skenario ini diharapkan suatu hasil yang dapat menggambarkan hubungan antara
kerusakan/degradasi yang terjadi dengan akumulasi aliran pada titik-titik konsentrasi aliran terutama
pada outlet DAS. Diagram alir tahap ini dapat dilihat pada gambar berikut dengan menganggap
tidak terjadi perubahan pada CH dan kondisi tanah (kelompok hidrologi tanah).
22
Grup
Hidrologi
Tanah
Nilai Kurva
Lim pasan
(CN)
Combine
Penutupan/
Penggunaan
Lahan
C u ra h
H u ja n
Ketersediaan
Air untuk
Limpasan
DTM
Fill
Filled DTM
(Sink dihilangkan)
Akumulasi Aliran
A ra h
A lira n
Akumulasi
Ketersediaan
Air untuk
Limpasan
Peta dari Akumulasi Ketersediaan Air Untuk Limpasan diperlihatkan berikut ini.
23
Wetness Index (WI) adalah indeks kebasahan yang dapat digunakan sebagai indikator dari suatu
kawasan yang mempunyai potensi banjir. Indeks ini diturunkan dari peubah-peubah permukaan,
sehingga untuk mengetahui jumlah limpasan air yang tersedia ataupun tinggi suatu genangan air
dalam tiap sel/area maka diperlukan informasi dari perhitungan limpasan permukaan. Wetness index
dihitung dengan persamaan berikut :
Wi = ln(As / tan B)
dimana :
As = Luas Area, jika dilakukan pendekatan raster maka As adalah Akumulasi Ketersediaan Air Untuk
Limpasan / flow accumulation
B = Kemiringan lahan (dalam derajat)
Alur dalam Model Builder untuk mendapatkan nilai Wetness Index diperlihatkan berikut.
24
Potensi Banjir
Peta Potensi Banjir diperoleh perdasarkan hasil re-klasifikasi nilai dari peta Wetness Index tersebut di
atas. Klasifikasi yang digunakan adalah menggunakan metode Quantile yang menggambarkan tingkat
potensi banjir dan dibagi kedalam 4 (empat) kelas, yaitu:
0.00 13.57
= Tidak Berpotensi
13.57 15.63
= Potensi Rendah
15.63 17.27
= Potensi Sedang
17.27 34.40
= Potensi Tinggi
25
No
1
2
3
4
PROVINSI
Maluku
Utara
Maluku
Irian Jaya
Barat
Papua
LUAS TOTAL
PADA UNIT
ANALISIS (Ha)
POTENSI BANJIR
SEDANG
RENDAH
(Ha)
(%)
TINGGI
(Ha)
(%)
TOTAL
POTENSI
BANJIR
(%)
(Ha)
(%)
3,131,176.00
1,222,555.44
39.04%
572,728.56
18.29%
209,016.42
6.68%
64.01%
4,658,664.00
1,376,568.73
29.55%
993,876.26
21.33%
482,089.89
10.35%
61.23%
9,651,955.64
3,036,607.76
31.46%
2,523,212.55
26.14%
1,755,427.15
18.19%
75.79%
31,710,148.48
5,589,941.90
17.63%
5,469,711.81
17.25%
6,711,459.32
21.17%
56.04%
Secara geomorfologi, potensi banjir Tinggi di Provinsi Papua merupakan persentase tertinggi yang
terdistribusi pada dataran rendah bagian selatan yang secara geomorfologi berupa Alluvial Plain.
Sedangkan di Provinsi Irian Jaya Barat potensi Tinggi lebih banyak terdapat pada wilayah Teras-teras
rendah yang berlereng 2-8% yang berupa dan juga terdistribusi pada Lembah Alluvial, Dataran
Alluvial dan Dataran. Sedangkan di Provinsi Maluku Utara dan Maluku, Potensi Banjir yang tinggi
terdistribusi pada wilayah Dataran Rendah, Dataran Alluvial serta Lembah Alluvial
26
Patahan-patahan besar juga merupakan penyebab gempa yang dahsyat. Misalnya patahan Semangko
yang membujur membelah pulau Sumatera, patahan Palu-Koro di Sulawesi, patahan berarah LautBarat Daya dan Barat Laut Tenggara yang merajam Jawa dan juga patahan Sorong di Kepala
Burung Irian. Patahan-patahan tersebut merupakan zona lemah yang mudah oleh gempa tektonik.
Pusat gempa itu sendiri begitu banyak dan mengerombol. Menyebabkan Indonesia ini banyak
memiliki potensi bencana gempa. Antara lain Aceh, Padang, Bengkulu, Sukabumi, Wonosobo,
Maluku dan Irian Jaya.
Adapaun Skala Richter untuk magnitudo gempa bumi adalah sebagai berikut.
<2
8 9,0 Gempa dahsyat, getaran sangat kuat dan meluluh lantakkan bangunan
Pada wilayah penelitian, gempa tektonik merupakan potensi besar yang mungkin terjadi setiap saat.
Hal ini diperkuat oleh adanya patahan-patahan aktif di dasar laut yang menjadi tempat pertemuan
lempeng Australia di bagian selatan dan Pasifik di sebelah utara. Adanya patahan-patahan ataupun
Trench pada zone subduksi tersebut menunjukkan bahwa pergerakan dari pertemuan lempeng pada
wilayah ini selalu aktif sepanjang tahun. Patahan-patahan yang terdapat pada wilayah ini adalah
berupa Trench (New Guinea Trench, Manokwari South New Guinea, Seram, Talaud Trench,
27
Phillipine Trench, Java Trench) dan Transform Fault (Sorong Fault) menyebabkan instensitas
gempa tektonik yang terjadi sangat tinggi, sehingga wilayah ini sangat berpotensi berada dalam
tingkat bahaya kegempaan yang sangat tinggi.
Maluku
Jalur tabrakan lempeng benua dari Timor menerus dan melengkung berlawanan arah jarum jam
melingkari Laut Maluku. Di jalur batas lempeng ini sudah terjadi sebanyak 10x gempa berpotensi
tsunami dalm seratus tahun terakhir dengan kekuatan M>7.5. Lebih jauh lagi, catatan sejarah kuno
menyebutkan bahwa pada tahun 1674 di wilayah Pulau Buru-Seram terjadi gempa sangat besar
disertai tsunami sangat dahsyat dengan ketinggian gelombang maximum mencapai 70 meter!.
Melihat frekuensi yang tinggi dan rata-rata kekuatan gempa yang besar tersebut di wilayah Maluku
maka sangat penting untuk mengkaji dengan seksama potensi bencana gempa dan tsunaminya di
masa depan (Danny Hilman).
Irian Jaya
Wilayah Irian Jaya didominasi oleh tiga jalur besar gempa bumi, yakni: Zona konvergensi lempeng
Pasifik dan Pulau Papua New Guinea yang kompleks, jalur Sesar Sorong, dan Jalur Sesar AidunaTarairua (Lihat Gambar di bawah). Dengan kecepatan gerak relatif lempeng Pasifik yang sekitar 120
mm/tahun, maka bisa diterka bahwa wilayah ini mempunyai potensi bencana gempa sekitar dua-kali
lipat lebih besar dibandingkan wilayah Sumatra-Jawa yang pergerakan lempengnya hanya 50 - 70
mm/tahun. Faktanya, sudah sangat sering gempa-gempa besar terjadi di masa lalu, misalnya gempatsunami di Biak (Mw8.3) yang memakan korban ribuan jiwa dan gempa yang tiga kali terjadi di
wilayah Nabire tahun 2004 dengan kekuatan Mw7.1 sampai Mw7.6. Memang sekarang ini populasi
penduduk di wilayah Irian Jaya masih sedikit demikian juga infrastrukturnya masih terbelakang
sehingga walaupun hazard-nya paling tinggi di wilayah Indonesia tapi risk-nya masih tidak terlalu
tinggi. Namun perlu dingat bahwa faktor resiko bencana ini akan terus naik sejalan dengan laju
populasi dan pembangunan, yang kalau tidak mengindahkan faktor bencana akan terus mengisi
daerah-daerah yang rawan bencana (Danny Hilman)
Peta tektonik aktif dan sejarah gempa bumi dari wilayah Indonesia Timur
28
5.1 METODOLOGI
Hasil yang diharapkan pada kajian kegempaan disini lebih dititikberatkan untuk mengetahui wilayahwilayah yang memiliki potensi tingkat bahaya yang tinggi dari pergerakan tanah yang dihasilkan pada
saat gempa terjadi.
5.1.1 Sumber Data
5.1.2 Seismisitas
Peta seismisitas adalah peta yang menunjukkan aktifitas gempa bumi. Aktifitas gempa bumi bisa
ditinjau dari bermacam cara, diantaranya adalah dengan peta distribusi gempa bumi. Setiap gempa
bumi melepaskan energi gelombang seismik, sehingga kumpulan gempa bumi pada periode tertentu
pada suatu area juga suatu cara untuk menggambarkan konsentrasi aktifitas gempa bumi
Dalam kaitannya pada penelitian ini, untuk mengetahui potensi gempa bumi di Papua dan Maluku
dilakukan dengan menggunakan data gempa bumi yang berasal dari katalog gempa NEIC USGS
(United State Geological Survey) di daerah studi pada kurun waktu periode tertentu. Data gempa bumi
dipilih dengan magnitudo >= 5 skala Richter. Karena memang pada sekala ini dampak yang
ditimbulkan mulai terasa.
Pada wilayah penelitian, jumlah kejadian gempa yang terekam dari tahun 1973 s/d Agustus 2007
tercatat 18.504 kejadian dengan rentang kekuatan berkisar antara 2.9 8.3 M. Pada rentang tahun ini
pernah terjadi 2 (dua) kali gempa dengan kategori sangat kuat, yaitu diatas 8 M seperti terlihat pada
gambar berikut ini.
Sedangkan peta seismisitas yang menggambarkan distribusi gempa dari tahun 1973 2007
diperlihatkan berikut ini.
29
Distribusi episentrum gempa bumi yang terjadi pada kurun waktu tersebut penyebarannya bisa
dikatakan mengelompok. Berikut diperlihatkan Peta Kepadatan episentrum dalam satuam mB/Km2.
Hasil dari perhitungan Pattern Analysis dengan menggunakan metode Average Nearest Neighbor,
sebaran episentrum tersebut berada pada Z Score = -86.662684 dan Nearest Neighbor Ratio =
0.654407, sehingga dapat disimpulkan bahwa tipe dari sebaran episentrum tersebut adalah
Mengelompok. Seperti diperlihatkan pada ilustrasi berikut.
30
Besaran energi dinyatakan dalam logaritma momen energi yang berkisar antara 1020 erg sampai 1030
erg. Persamaan di atas menunjukkan bahwa perubahan satu skala magnitudo sebanding dengan
perubahan momen energi sebesar 102.383 atau sekitar 242 kali magnitudo di bawahnya. Untuk log
Mo=26.8 atau Mo= 1026.8 sebanding dengan mB=7 setara dengan 242 gempa bumi dengan mB = 6
atau setara dengan sekitar 58884 gempa dengan mB = 5 skala Richter.
Distribusi Momen Energi setiap gempa yang terjadi diperlihatkan pada peta berikut ini.
31
Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika kita lihat waktu yang diperlukan untuk
perpindahan tersebut, maka kita bisa tahu kecepatan materi tersebut. Sedangkan percepatan adalah
parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan
tertentu. Pada bangunan yang berdiri di atas tanah memerlukan kestabilan tanah tersebut agar
bangunan tetap stabil. Percepatan gelombang gempa yang sampai di permukaan bumi disebut juga
percepatan tanah, merupakan gangguan yang perlu dikaji untuk setiap gempa bumi, kemudian
dipilih percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) untuk dipetakan agar bisa
memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi. Efek primer
gempa bumi adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung perumahan rakyat,
gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan infrastruktur lainnya, yang diakibatkan
oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi
tergantung dari kekuatan dan kualitas bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan,
dan percepatan tanah di lokasi bangunan akibat dari getaran suatu gempa bumi. Faktor yang
merupakan sumber kerusakan dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data PGA
akibat getaran gempa bumi pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko
gempa bumi di suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai PGA yang pernah terjadi di suatu tempat,
semakin besar resiko gempa bumi yang mungkin terjadi.
Formula yang digunakan dalam menghitung nilai PGA adalah menggunakan Formula Murphy
OBrein, yaitu:
32
dimana;
PGA = Peak Ground Acceleration
I = Intensitas standard MMI
M = Magnitude gempabumi
d = jarak antara lokasi dengan sumber gempabumi
Peta jarak antara lokasi dengan sumber gempa bumi terdekat diperlihatkan berikut ini.
Perhitungan nilai PGA akan menghasilkan Peta Potensi Bahaya Gempa Bumi seperti terlihat berikut
ini. Peta PGA itu sendiri merupakan hasil dari 10% kemungkinan kejadian dalam 50 tahun dan 475
tahun periode ulang gempa. Peta PGA yang dihasilkan tersebut merupakan modifikasi dari peta
Global Seismic Hazard Map oleh Global Seismic Hazard Assessment Program (GSHAP).
Penyesuaian yang dilakukan adalah melakukan interpolasi pada grid yang lebih kecil (resolusi lebih
tinggi) menjadi 500 x 500 m yang disesuaikan dengan ukuran wilayah penelitian. Nilai PGA yang
dihasilkan akan dikategorikan menjadi tingkat bahaya kegempaan dengan mengikuti standar
klasifikasi dari GSHAP yang dikelompokkan kedalam 4 (empat) kelas, yaitu; Rendah Sedang
Tinggi Sangat Tinggi, seperti diperlihatkan pada peta berikut ini.
33
No
1
2
3
4
PROVINSI
Maluku
Utara
Maluku
Irian Jaya
Barat
Papua
LUAS TOTAL
PADA UNIT
ANALISIS
(Ha)
TINGKAT BAHAYA
RENDAH
(Ha)
SEDANG
(%)
(Ha)
TINGGI
(%)
(Ha)
TOTAL
TINGKAT
BAHAYA
(%)
SANGAT TINGGI
(%)
(Ha)
(%)
3,099,331
2,777,948
89.63%
321,383
10.37%
100%
4,611,411
230,572
5.00%
1,439,528
31.22%
1,957,714
42.45%
983,598
21.33%
100%
9,597,242
2,425,120
25.27%
7,172,121
74.73%
100%
31,679,016
4,446,172
14.04%
16,244,257
51.28%
9,747,358
30.77%
1,241,229
3.92%
100%
34
Lihat peta berikut untuk mengetahui Tingkat Bahaya Kegempaan yang ditumpangtindihkan dengan
administrasi Kabupaten.
35
Gempa bumi dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun
Lokasi sesar (rupture area) di lautan yang dalam (kolom air dalam).
Morfologi (bentuk) pantai biasanya pantai terbuka dan landai atau berbentuk teluk.
Secara umum, peta rawan tsunami ini menggambarkan pantai-pantai di daerah studi (Papua dan
Maluku) yang rawan terhadap bahaya tsunami. Kerawanan terhadap tsunami disusun berdasarkan
peta tektonik Indonesia, dimana zona-zona subduksi dan zona busur dalam (back arc thrust)
merupakan sumber gempa bumi dangkal di laut. Dengan demikian pantai yang menghadap kedua
kondisi tektonik tersebut merupakan pantai yang rawan tsunami.
6.1
METODOLOGI
36
Tabel berikut memperlihatkan kriteria penentuan bahaya tsunami berdasarkan parameter elevasi dan
pengelompokan morfologi pantai.
BAHAYA
ZONE
Open Coast
Costal
Estuary
Bay
Uplands
DESKRIPSI
Dalam radius 2 km dari
garis pantai
Wilayah bertopografi datar
dan rendah dari lembah &
dasar sungai
Wilayah yang berbentuk
teluk
Wilayah pedalaman dan
jauh dari pantai terbuka
Tinggi
Sedang
Rendah
Tidak
Beresiko
03m
3 10 m
10 30 m
> 30 m
0 1,5 m
1,5 6 m
6 15 m
> 15 m
0 1,5 m
1,5 3 m
35m
>5m
Semua
Ketinggian
Sumber: GIS based relative tsunami hazard maps, Humboldt State University Geology Dept.
Melihat kejadian Mega Tsunami yang melanda Aceh dan Nias pada tanggal 26 Desember 2004
dengan kekuatan gempa 9.0 M, dari beberapa hasil penelitian di daerah tersebut, diperoleh
kesimpulan wilayah-wilayah dengan tingkat kerusakan tertentu, seperti diperlihatkan pada table
berikut ini
Sumber: Tsunami Effect in Nanggroe Aceh Darussalam and North Sumatra Provinces, Indonesia, BPPT 2005
Dari kedua variabel tersebut di atas, maka dibuat kriteria khusus untuk wilayah kajian ini yang
disesuaikan dengan unit analisis tingkat Propinsi. Tabel kriteria tersebut adalah sebagai berikut.
BAHAYA
RADIUS
TINGGI
SEDANG
RENDAH
TIDAK
BERESIKO
2 km
05m
5 10 m
10 35 m
> 35 m
2 5 km
0 1,5 m
1,5 5 m
5 15 m
> 15 m
> 5 km
Semua
Ketinggian
37
Berikut diperlihatkan bagan alir dalam melakukan analisis untuk mendapatkan zonasi bahaya
tsunami.
Model /
Simulasi
Tsunami
Garis Pantai
Terkena
Tsunami
Kriteria untuk
setiap zona
bahaya
6.2
90 m
DEM
Zonasi
Elevasi
Data
historis
Tsunami
Elevasi grid
(DEM)
digunakan untuk
menentukan
wilayah
ketinggian
Wilayah Elevasi
yang
disesuaikan
dengan jarak
perkiraan dari
lautan terbuka
Penggunaan
data historis
kejadian &
bahaya tsunami
Kriteria
GARIS
PANTAI
BAHAY
A
Pengecekan
model
sebelumnya
WILAYAH
BAHAYA
TSUNAMI
Pembuatan
Wilayah
Genangan
akibat Tsunami
HASIL ANALISIS
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan bahwa terdapat sekitar 110 lokasi gempa yang berpotensi
terjadinya gelombang Tsunami. Jumlah tersebut diperoleh dari lokasi gempa berpotensi tsunami dan
lokasi gempa historis yang pernah terjadi tsunami. Kriteria yang diambil adalah:
Gempa bumi dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun
Distribusi lokasi-lokasi gempa yang berpotensi Tsunami tersebut diperlihatkan pada peta berikut ini.
38
Untuk mendapatkan garis pantai yang berpotensi terkena dampak tsunami, dilakukan pembuatan
simulasi model gelombang tsunami pada lokasi-lokasi gempa tertentu yang mewakili wilayah
penelitian. Model tsunami yang dihasilkan menggunakan SiTProS (Siam Tsunami Propagation
Simulator). Lokasi dari sampel yang digunakan diperlihatkan pada peta berikut ini.
39
Berikut diperlihatkan hasil simulasi gelombang Tsunami pada sampel-sampel tersebut serta garis
pantai yang terkena gelombang tersebut.
1. Biak
Tahun: 1996
Lokasi
T = 0 menit
T = 20
T = 40
T = 60
T = 80
2. Manokwari
Tahun: 1864
Depth: - km
Magnitude: 7.8
Lokasi
T = 0 menit
T = 20
T = 40
T = 60
T = 80
40
3. Japen
Tahun: 1914
Lokasi
T = 0 menit
T = 10
T = 20
T = 40
T = 60
4. Papua Barat
Tahun: 1978
Lokasi
T = 0 menit
T = 20
T = 30
T = 60
T = 60
41
5. Halmahera
Tahun: 1994
Lokasi
T = 0 menit
T = 10
T = 20
T = 40
T = 60
Depth: - km
Magnitude: 7
Lokasi
T = 0 menit
T = 10
T = 20
T = 40
T = 60
42
7. Seram
Tahun: 1977
Depth: 33 km Magnitude: 6
Lokasi
T = 0 menit
T = 10
T = 20
T = 40
T = 60
8. Omba-Papua
Tahun: 1995
Lokasi
T = 0 menit
T = 10
T = 20
T = 40
T = 60
43
9. Kepulauan Aru
Tahun: 1988
Lokasi
T = 0 menit
T = 10
T = 20
T = 40
T = 60
Depth: 25 km Magnitude: 8
Lokasi
T = 0 menit
T=5
T = 10
T =30
T = 60
Dari hasil simulasi tersebut di atas, maka diperoleh segmen garis pantai yang terkena dampak
tsunami pada wilayah penelitian. Seperti diperlihatkan berikut ini.
44
Dengan perhitungan panjang segmen garis pantai yang terkena tsunami tersebut adalah sebagai
berikut:
Dampak dari gelombang tsunami yang menghantam pantai akan membuat wilayah-wilayah
genangan di daratan, terutama daerah-daerah yang dekat dengan pantai. Wilayah-wilayah genangan
tersebut dapat dipetakan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan di atas. Secara umum, elevasi
menjadi variabel utama dalam memetakan wilayah genangan tersebut. Hasil dari pengregionan
wilayah genangan tersebut dapat diperlihatkan pada peta berikut ini.
45
Sedangkan tingkat bahaya yang terjadi pada wilayah genangan tersebut dikelompokkan ke dalam 3
(tiga) kelas, yaitu; Rendah Sedang Tinggi, seperti terlihat pada peta berikut ini.
46
Luas dan persentase tingkat bahaya genangan terhadap luas setiap Provinsi tersebut diperlihatkan
pada table berikut ini.
No
PROVINSI
Maluku
Utara
LUAS TOTAL
PADA UNIT
ANALISIS (Ha)
TINGKAT BAHAYA
RENDAH
SEDANG
(Ha)
(%)
(Ha)
3,131,176.00
264,401
8.44%
51,363
4,658,664.00
399,420
8.57%
9,651,955.64
334,310
31,710,148.48
372,668
TINGGI
(%)
TOTAL
POTENSI
GENANGAN
(%)
(Ha)
(%)
1.64%
6,242
0.20%
10.28%
123,424
2.65%
22,482
0.48%
11.71%
3.46%
38,183
0.40%
11,244
0.12%
3.98%
1.18%
62,593
0.20%
9,626
0.03%
1.40%
Maluku
2
3
Irian Jaya
Barat
Papua
47
menggunakan metode fuzzy logic untuk mendapatkan gambaran nilai potensi yang bersifat lebih
objektif, seperti terlihat pada alur berikut ini.
Peta Rawan
Longsor
Peta Rawan
Banjir
Peta Rawan
Gempa
Peta Bahaya
Tsunami
Sum
48
No
PROVINSI
Maluku
Utara
2
3
4
Maluku
Irian Jaya
Barat
Papua
LUAS TOTAL
PADA UNIT
ANALISIS (Ha)
TINGKAT BAHAYA
RENDAH
(Ha)
SEDANG
(%)
(Ha)
TINGGI
(%)
(Ha)
(%)
TOTAL
BAHAYA
(%)
2,996,511.78
1,368,533
45.67%
1,380,593
46.07%
247,386
8.26%
100.00%
4,001,548.65
1,075,245
26.87%
2,179,191
54.46%
747,113
18.67%
100.00%
9,423,466.95
2,124,021
22.54%
4,496,484
47.72%
2,802,962
29.74%
100.00%
31,539,050.00
12,152,100
38.53%
15,708,300
49.81%
3,678,650
11.66%
100.00%
49
Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola
pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan ruang disusun untuk
mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non
budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan
pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan. Pemanfaatan
ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada
rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan.
Berdasarkan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di atas, batasan penelitian yang dilakukan hanya
sebatas mengeluarkan informasi/fakta dari hasil tumpang tindih peta Rencana Umum Tata Ruang
Nasional/Provinsi (RUTR) dengan peta-peta potensi bencana alam. Informasi tersebut bisa berupa:
Persentase & luasan pemanfaatan ruang yang telah digariskan terhadap potensi bencana alam dalam
bentuk tabel & grafik
Peta rawan bencana alam pada tata ruang yang telah ada, dengan tujuan sebagai bahan untuk
memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan agar bisa memperhatikan kembali
pemanfaatan ruang yang telah ada sehingga bisa dikendalikan pemanfaatan ruangnya pada kawasan
rawan bencana alam tersebut.
Peta Potensi
Bencana Alam
RUTR
Overlay
Prosentase pemanfaatan
ruang existing terhadap
kawasan rawan bencana
alam
8.1
SUMBER DATA
yang diyakini akan mampu mengatasi ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, maka
mempertegas bahwa penaatan ruang merupakan bagian penting dalam mengarahkan pembangunan
daerah. Dalam pelaksanaan Substansinya yang diterapkan pada perundangan ini yaitu memberikan
kewenangan seluas-luasnya bagi daerah untuk dapat menentukan kebijakan dan pembangunan
secara mandiri dan bertanggung jawab.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang
terbagi dalam beberapa tingkatan kedalam yang sesuai dengan wilayah yang akan direncanakan. Pada
wilayah nasional, rencana tersebut adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), tingkat
wilayah provinsi terdapat Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RTRWP), dan pada tingkatan
wilayah kabupaten/kota adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).
Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) di Tanah Papua merupakan penjabaran dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), dan bersifat sinergi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi Tanah Papua dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Barat,
dengan tujuan Rencana Tata Ruang (RTR) di Tanah Papua dapat diwujudkan ruang wilayah Tanah
Papua yang mampu mengakomodasikan yang terkait antar kawasan kabupaten/kota untuk dapat
mewujudkan perekonomian dan lingkungan yang berkelanjutan.
Berdasarkan konsepsi tata ruang yang telah dirumuskan, lebih lanjut dirumuskan Rencana Tata
Ruang (RTR) di Tanah Papua, yang terdiri dari:
1) Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya
Rencana pemanfaatan ruang wilayah ini berfungsi untuk memberikan arahan dalam menetapkan
lokasi kegiatan yang sesuai dengan fungsi dominan dari setiap kawasan yang direncanakan. Materi
yang diatur adalah kriteria, lokasi dan luas serta pengaturan masing-masing kawasan sesuai dengan
fungsi dominannya, kawasan tersebut meliputi Kawasan Lindung (Kepres. Nomor 32 Tahun 1990)
dan kawasan budidaya, dengan rincian sebagai berikut:
Sempadan pantai
Sempadan sungai
Kawasan Suaka Alam (cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, perlindungan
plasma nutfah, dan daerah pengungsian satwa)
4. Kawasan Bencana
b) Pengembangan Kawasan Budidaya
Kawasan Peternakan
Kawasan Industri
Kawasan Pertambangan
Kawasan Pariwisata
Kawasan Khusus
Berikut diperlihatkan Peta Rencana Tata Ruang (RTR) Tahun 2007 s/d 2027 di tanah Papua,
52
Jika ditinjau hanya pada kategori tingkat bahaya Tinggi, Agroforestry memiliki persentase yang
tinggi (42.18%) di Provinsi Irian Jaya Barat, sedangkat di Provinsi Papua, RTR untuk Pertambangan
berada pada persentase tertinggi yaitu sebesar 30.55% yang tentunya berada pada bahaya Tanah
Longsor.
Berikut diperlihatkan rekapitulasi luas dan persentase dari Tingkat Bahaya Bencana Alam terhadap
masing-masing polygon Rencana Tata Ruang.
53
PROVINSI / RTR
Irian Jaya Barat
2,089,811
22.25%
4,506,749
47.97%
2,797,668
29.78%
9,394,228
100.00%
264,838
15.67%
712,643
42.15%
713,093
42.18%
1,690,575
18.00%
5,441
63.88%
3,015
35.40%
62
0.73%
8,518
0.09%
(Ha)
(%)
Agroforestry
Hutan Lindung
332,693
35.26%
478,892
50.75%
132,022
13.99%
943,607
10.04%
361,907
15.50%
1,205,915
51.64%
767,322
32.86%
2,335,144
24.86%
Kawasan Konservasi
396,832
22.02%
712,831
39.55%
692,856
38.44%
1,802,519
19.19%
Perkebunan
436,846
37.08%
559,612
47.50%
181,714
15.42%
1,178,172
12.54%
Pertambangan
Pertanian Lahan
Basah
Pertanian Lahan
Kering
53,065
39.16%
45,198
33.35%
37,248
27.49%
135,511
1.44%
2,356
7.57%
24,239
77.91%
4,517
14.52%
31,112
0.33%
235,832
18.58%
764,404
60.23%
268,835
21.18%
1,269,071
13.51%
12,009,641
38.11%
15,853,968
50.31%
3,648,924
11.58%
31,512,533
100.00%
2,374,349
30.84%
3,712,914
48.23%
1,610,620
20.92%
7,697,883
24.43%
8,843
29.59%
17,602
58.90%
3,441
11.51%
29,886
0.09%
8
9
Papua
1
Agroforestry
Hutan Lindung
2,867,960
46.94%
3,069,669
50.24%
172,362
2.82%
6,109,991
19.39%
1,203,155
34.33%
1,798,733
51.33%
502,532
14.34%
3,504,420
11.12%
Kawasan Konservasi
2,933,162
42.43%
3,117,320
45.10%
861,689
12.47%
6,912,171
21.93%
Perkebunan
1,942,375
46.13%
2,019,621
47.96%
249,073
5.91%
4,211,069
13.36%
Pertambangan
Pertanian Lahan
Basah
Pertanian Lahan
Kering
84,805
21.69%
186,712
47.76%
119,413
30.55%
390,930
1.24%
327,438
61.91%
182,642
34.53%
18,836
3.56%
528,916
1.68%
267,555
12.58%
1,748,755
82.21%
110,959
5.22%
2,127,268
6.75%
8
9
54
DAFTAR PUSTAKA
1.
Badan Meteorologi dan Geofisika. 2006. Aplikasi Sistem Informasi Untuk Peta Bencana Alam Indonesia.
Jakarta
2.
BAPPEDA Provinsi Papua, 2006-200. Laporan Akhir Sementara Rencana Tata Ruang (RTR) di Tanah Papua
2007 - 2026
3.
Chapman, Martin. 2006. Prediction and GIS Mapping of Ground Motion and Site Response in Charleston, SC
and Two Neighboring Counties. USGS
4.
Handika Putra, Erwin. 2006. Estimasi Daerah Rawan Bencana Banjir Menggunakan Metode Pendekatan
Topographic Wetness Index. Manado
5.
Hilman, Danny. 2007. Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan Sumber Gempa dan Tsunami. LIPI
6.
Irsyam, Masyhur et al. Usulan Revisi Peta Hazard Kegempaan Wilayah Indonesia. Bandung
7.
Latief, Hamzah. 2005. Tsunami Aceh 2004. Tsunami Research Group, Institut Teknologi Bandung. Bandung
8.
Long, B.G., Hamdani, Agustiar., Andrews, G., Courboules, J., Ibros, Z., Sinaga, M., Scott, P.J.B, Siregar, A., and
Mansyur, K. 2006. Aceh Nearshore Atlas and Draft Marine Zonation Plan. Marine and Coastal Resources
Management Project [Asian Development Bank Loan No. 1770-INO (SF)] Department of Fisheries, Jl M.T.
Haryono Kav. 52-53, Jakarta Selatan, INDONESIA
9.
Maidment. R, David et al. Hydrologic Modelling. Center for Research in Water Resources University of Texas at
Austin
10. Najoan, Th.F., Soeroso, D. dan Rukhijat, S. 1996. Peta Zona Gempa Dan Cara Penggunaannya Sebagai
Usulan Dalam Perencanaan Bangunan Pengairan Tahan Gempa. Jurn. Litbang Air, no. 36, Th.II-KW1 (1996).
11. R.T. Pack, Terratech Consulting Ltd. A Stability Index Approach to Terrain Stability Hazard Mapping, SINMAP
Users Manual. Utah State University.
12. Risdiyanto, Idung. Aplikasi SIG dan RS Untuk Pemodelan Hidrologi
13. Sadisun. A, Imam. 2004. Manajemen Bencana: Strategi Hidup di Wilayah Berpotensi Bencana. Departemen
Teknik Geologi, ITN. Bandung
14. Sadisun. A, Imam. 2007. Peta Rawan Bencana: Suatu Informasi Fundamental Dalam Program Pengurangan
Resiko Bencana. Pusat Migitasi Bencana, ITB. Bandung
15. Sadisun. A, Imam. 2005. Usaha Pemahaman Terhadap Stabilitas Lereng dan Longsoran Sebagai Langkah
Awal Dalam Mitigasi Bencana Longsoran. Workshop Penanganan Bencana Gerakan Tanah. Bandung
16. Shofiyati, Rizatus. Dimyati Dewanti, Ratih. Kristijono, Agus. Wahyunto. 2005. Tsunami Effect in Nanggroe Aceh
Darussalam and North Sumatra Province Indonesia. Published in Asian Journal of Geoinformatics, Volume 5,
No. 2
17. Zbinden, Andreas. Ruettener, Erik. Geissbuehler, Peter. Spranger, Michael. 2003. Probabilistic Hazard Modeling
With ArcGIS: A Competitive Approach. Paper # 1055. Zurich
55
56