Anda di halaman 1dari 19

SUSU FERMENTASI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU
Disusun oleh:
Nama

: Yusefta Clarencia Rizky Andhika


NIM : 13.70.0095
Kelompok C1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2016
1. TOPIK DAN TUJUAN PRAKTIKUM
Praktikum Teknologi Pengolahan Susu dengan topik Susu Fermentasi dilakukan pada
hari Rabu, 25 Mei 2016 pukul 15.00 dan dilanjutkan pada hari Kamis, 26 Mei 2016
1

2
untuk melakukan pengamatan produk. Praktikum ini berlangsung di Laboratorium Rekayasa Pangan,
Jurusan Teknologi Pangan, Unika Soegijapranata dan didampingi oleh asisten dosen Tjan, Ivana
Chandra dan Beatrix Reastiani. Sebelum memulai praktikum, asisten dosen memberikan penjelasan
singkat serta pengarahan mengenai prosedur yang harus dilakukan. Produk susu fermentasi yang diolah
pada praktikum kali ini adalah yoghurt oleh kelompok C1 dan C2, kefir oleh kelompok C3 dan C4,
serta acidophilus milk oleh kelompok C5. Bahan yang digunakan adalah susu sapi segar, susu skim,
kultur inokulum untuk membuat yoghurt, kefir, dan acidophilus milk, serta plain yoghurt dan plain
kefir. Dalam pembuatan yoghurt digunakan kultur segar dan plain yoghurt komersial, pada pembuatan
kefir digunakan kultur segar dan plain kefir komersial, dan pada pembuatan acidophilus milk hanya
digunakan kultur segar saja. Kultur segar yang akan digunakan untuk membuat susu fermentasi telah
disiapkan oleh asisten dosen, sehingga praktikan dapat melakukan inokulasi secara langsung pada
bahan susu. Setelah dilakukan inokulasi, sampel susu diinkubasi selama semalam pada suhu tertentu,
kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengamatan kekentalan, derajat keasaman, dan hasil jadi
produk tersebut. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui prinsip pembuatan yoghurt dan kefir
dengan tipe inokulum berbeda, yaitu menggunakan kultur segar (fresh culture bacteria) dan
menggunakan plain yoghurt komersial. Selain itu juga untuk mengetahui cara kerja pembuatan
acidophilus milk, mengetahui karakteristik (kekentalan dan derajat keasaman) yoghurt, kefir, dan
acidophilus milk yang dihasilkan dengan menggunakan tipe inokulum yang berbeda, serta untuk
mengetahui perbedaan karakteristik yoghurt, kefir, dan acidophilus milk.

2.
3. HASIL PENGAMATAN
3.1. Foto Produk

Gambar 1. Produk susu fermentasi kloter C


Keterangan: urut dari ujung kiri ke ujung kanan, yaitu produk susu fermentasi kelompok C1 hingga
kelompok C5.
3.2. Tabel Pengamatan
Hasil pengamatan produk susu fermentasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel hasil pengamatan susu fermentasi
Kel

Jenis Yoghurt

Kekentalan

C1

Yoghurt dengan inokulum fresh


culture
Yoghurt dengan inokulum plain
yoghurt komersial
Kefir dengan inokulum
fresh culture
Kefir dengan inokulum plain
yoghurt komersial
Achidophilus Milk dengan inokulum
fresh culture

+++

Derajat
Keasaman
4,5

++++

4,5

+++

4,5

++

++

C2
C3
C4
C5

Keterangan :
Kekentalan :
+
: encer
++
: kurang kental
+++ : kental
++++ : sangat kental

Hasil:

Hasil

: produk berhasil
: produk gagal

Dari Tabel 1 dapat diketahui beberapa produk susu fermentasi dengan menggunakan kultur inokulum
berbeda serta sifat karakteristik dari produk yang dihasilkan (kekentalan dan derajat keasaman).
Kelompok C1 dan C2 membuat yoghurt, kelompok C3 dan C4 membuat kefir, dan kelompok C5
menggunakan acidophilus milk. Pada produk yoghurt, dapat diketahui bahwa yoghurt dengan inokulum

4
fresh culture memiliki karakteristik kental dengan pH sebesar 4,5. Sedangkan pada yoghurt dengan
inokulum plain yoghurt komersial memiliki karakteristik sangat kental dengan pH sebesar 4,5. Pada
produk kefir, diketahui bahwa kefir dengan inokulum fresh culture memiliki karakeristik kental dengan
pH sebesar 4,5. Sedangkan kefir dengan inokulum plain yoghurt komersial memiliki karakteristik
kurang kental dengan pH sebesar 4. Pada produk acidophilus milk menunjukkan bahwa susu dengan
inokulum fresh culture memiliki karakteristik kurang kental dengan pH sebesar 5 dan hasilnya gagal.
Apabila dibandingkan ketiganya, susu fermentasi yang paling kental adalah yoghurt, diikuti dengan
kefir dan acidophilus milk. Pada karakteristik derajat keasaman, kefir memiliki nilai pH paling rendah,
sedangkan acidophilus milk memiliki nilai pH paling tinggi.

4.
5. PEMBAHASAN
Susu merupakan produk pangan berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan
diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1994). Menurut Estiasih dan Ahmadi dalam Cahyono
et al. (2013), susu memiliki nilai gizi yang tinggi karena mengandung unsur-unsur kimia yang
dibutuhkan oleh tubuh, terutama protein dan lemak yang kadarnya tinggi. Komponen utama susu
adalah air sebesar 87,90 %, protein sebesar 3,50 %, lemak sebesar 3,50 - 4,20 %, serta vitamin dan
mineral sebesar 0,85 %. Maitimu et al. (2012) menambahkan bahwa tingginya kandungan gizi dalam
susu membuat susu menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga susu
merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable). Apabila susu disimpan pada suhu
kamar, maka beberapa bakteri, seperti Lactobacillus sp. dan Streptococcus sp. akan cepat mengubah
susu menjadi asam. Namun bakteri yang terdapat dalam susu tersebut merupakan jenis bakteri
pembentuk asam laktat yang progresif. Produk susu fermentasi mulai terungkap keberadaannya dan
populer dalam masyarakat pada abad ke-20. Pada awalnya susu fermentasi dihasilkan di Timur Tengah
lalu mulai menyebar dengan cepat ketika dibawa ke Eropa (Potter & Hotchkiss, 1995).
Fermentasi merupakan cara tertua selain pengeringan yang dilakukan untuk tujuan pengawetan dalam
proses pengolahan pangan. Penelitian di bidang fermentasi pangan telah mengungkap bahwa melalui
proses fermentasi, bahan pangan akan mengalami perubahan fisik dan kimia yang menguntungkan,
seperti memberi cita rasa dan aroma yang khas, membentuk tekstur, meningkatkan daya cerna dan daya

5
simpan produk. Fermentasi susu merupakan salah satu bentuk pengolahan susu yang melibatkan
aktivitas satu atau beberapa spesies mikroorganisme untuk menghasilkan produk yang dikehendaki.
Proses fermentasi tersebut dapat mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa sehingga lebih
mudah dicerna, sehingga dapat membantu penderita lactose intolerance untuk mengkonsumsi produk
susu. Fermentasi juga akan menghasilkan asam laktat, alkohol, dan senyawa lain yang dapat memberi
aroma, rasa, dan tekstur yang khas dan relatif lebih baik, serta dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain yang tidak tahan asam atau tidak tahan alkohol (Brian dalam Gianti & Herly,
2011).
Susu fermentasi memiliki beberapa kelemahan, dimana bahan baku harus bebas antibiotik atau residu
dari senyawa lain karena dapat menghambat perkembangan starter kultur yang digunakan dalam
pembuatan produk. Terhambatnya perkembangan starter ini akan menyebabkan terbentuknya
karakteristik asam dan aroma yang kurang baik. Kondisi pemeraman harus benar-benar diperhatikan
karena kondisi yang kurang sesuai dapat mempengaruhi perkembangan starter dan menghasilkan
produk dengan kualitas yang rendah. Kondisi asam yang dihasilkan dari proses fermentasi merupakan
kondisi yang baik bagi pertumbuhan bakteri koliform, sehingga akan dihasilkan gas dengan cepat dan
aroma yang tidak sedap. Oleh sebab itu, produk hasil fermentasi harus segera disimpan pada suhu
rendah (sekitar 4oC) untuk menghentikan proses fermentasi (Sudarmadji & Kuswanto dalam Gianti &
Herly, 2011). Pada penyimpanan suhu tersebut, daya simpan susu fermentasi dapat mencapai dua
minggu, namun derajat keasaman akan semakin meningkat sehingga flavor susu akan mengalami
perubahan. Pada penyimpanan suhu 5C, susu fermentasi dapat disimpan selama sepuluh hari,
sedangkan pada suhu 10C susu fermentasi dapat bertahan hanya selama 3 hari (Rogers dalam Gianti &
Herly, 2011).
Pada praktikum kali ini akan dibuat tiga jenis produk susu fermentasi, yaitu yoghurt, kefir, dan
acidophilus milk. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Gianti & Herly (2011) bahwa
terdapat beberapa produk susu fermentasi, seperti yoghurt, yakult, dan kefir dimana sebagian besar
mikroorganisme yang digunakan sebagai starter adalah bakteri penghasil asam laktat. Yoghurt
merupakan produk susu yang mengalami fermentasi oleh bakteri asam laktat pada suhu 37-45C.
Yoghurt sangat bermanfaat bagi tubuh, baik untuk memperoleh nilai nutrisi dan memberikan manfaat
kesehatan terutama bagi pencernaan dimana bakteri yoghurt yang masuk akan menyelimuti dinding

6
usus, sehingga dinding usus menjadi asam dan kondisi ini menyebabkan mikroba patogen tidak dapat
berkembang biak. Jenis susu dan bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter menentukan
kualitas yoghurt, terutama jumlah mikroba hidup dan keasaman yoghurt. Sedangkan pertumbuhan
bakteri asam laktat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan kandungan nutrisi media pertumbuhan (Zakaria et
al., 2013).
Kefir merupakan kumpulan dari bakteri dan khamir yang sangat banyak kadar strainnya. Di Indonesia,
kefir dikenal dengan nama dagang kristal alga Jepang. Kefir merupakan produk fermentasi yang
mengandung alkohol 0,5-1,0 % dan asam laktat 0,9-1,11 %. Terdapat 2 jenis fermentasi kefir, yaitu
kefir susu dan kefir air. Kefir lebih encer dibandingkan yoghurt, namun gumpalan susunya lebih lembut
dan mengandung gas CO2. Kefir susu terbuat dari susu sapi, susu kambing, atau susu domba yang
ditambahkan starter kefir berupa granula kefir atau biji kefir, sedangkan kefir air terbuat dari campuran
air, buah-buahan kering, seperti kismis, potongan kecil dari lemon, dan gula pasir (Michael et al.,
2012). Suhartanti dan Muhammad (2014) menambahkan bahwa kefir adalah minuman fermentasi yang
memiliki kemampuan probiotik. Asam laktat sebagai penghambat bakteri patogen yang dihasilkan oleh
kefir pada saat proses fermentasi adalah berasal dari laktosa yang terkandung dalam susu sebagai
medium fermentasi. Penggunaan susu yang berbeda maka akan menghasilkan kefir yang berbeda dan
kemampuan penghambatan yang berbeda pula. Selain itu, kefir juga mengandung CO2, diasetil,
asetaldehida, hidrogen peroksida, dan bakteriosin atau senyawa protein yang menunjukkan aktivitas
antibakteri terhadap bakteri sejenis.
Astawan & Astawan (1998) mengungkapkan bahwa acidophilus milk termasuk dalam jenis susu
tradisional yang dibuat dari susu skim dan difermentasi dengan Lactobacillus acidophilus sebagai
strain dengan golongan intestinal implantable, yaitu sangat aktif ketika ditanam dalam saluran
pencernaan manusia. Menurut Eti et al. (2004), acidophilus milk mengandung asam laktat sebanyak
1,32-1,50%, protein 4-5%, lemak 1%, dan tidak terdapat kandungan alkohol. Lactobacillus acidophilus
dapat menghasilkan asam laktat pada produk susu, peroksida hidrogen, dan by products lain. Menurut
Antono et al., (2012), Lactobacillus acidopilus merupakan probiotik yang selama bertahun-tahun
banyak digunakan karena aman dan tidak menimbulkan resiko infeksi berupa bakterimia. Lactobacillus
acidophillus dapat menghambat partumbuhan bakteri patogen, seperti Salmonella thypimurium, yaitu
bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi saluran cerna yang dikenal dengan nama

7
salmonellosis. Selama berada dalam pencernaan, Lactobacillus acidophilus dapat membantu produksi
niasin, cuka folic, dan pyridoxine. Selain itu, bakteri ini juga membantu empedu deconjugation,
memisahkan amino yang asam dari cuka empedu, sehingga dapat didaur ulang oleh tubuh.
Lactobacillus acidophilus pertama kali diisolasi dari feses bayi dan dinamakan Bacillus acidophilus.
Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang, termasuk famili Lactobacillaceae, dan
genus Lactobacillus. Bakteri ini tergolong bakteri gram positif dan tidak membentuk spora (Buchanan
& Gibbons, 1974).
Pada proses pembuatan yoghurt kali ini, inokulum yang digunakan adalah Streptococcus thermophilus
dan Lactobacillus delbrueckii subsp bulgaricus. Sebelum dilakukan proses pembuatan yoghurt,
inokulum telah dipersiapkan terlebih dahulu dengan cara mengaktifkan masing-masing kultur
menggunakan media MRS broth cair yang inkubasi selama 2-3 hari. Penggunaan media MRS broth
sesuai dengan pernyataan Merck & Darmstadt (1998) yang menyatakan bahwa de Man Ragosa Shape
(MRS) adalah suatu medium yang dapat digunakan untuk memanen dan mengisolasi seluruh spesies
sp. dan bakteri asam laktat lainnya yang berfungsi dalam pembuatan produk susu asam. Keuntungan
penggunaan media MRS adalah tersedianya kondisi pertumbuhan untuk seluruh sepesies Lactobacillus
yang terdiri dari substansi yang dikenal sebagai faktor pertumbuhan Lactobacillus, seperti polisorbat,
asetat, magnesium dan mangan. Pertumbuhan Lactobacillus distimulasi dengan keberadaan CO2. Media
ini juga mengandung beberapa substansi seperti polisorbat, asetat, magnesium, dan mangan yang
diketahui sebagai faktor petumbuhan untuk Lactobacilli. Setelah 2-3 hari, maka akan dihasilkan
endapan pada media. Lalu media dibuang hingga hanya tertinggal endapan kultur. Setelah itu dicuci
dengan garam fisiologis 0,85% (food grade). Proses persiapan inokulum ini dilakukan untuk fresh
culture, sedangkan untuk kultur komersial tidak perlu melalui proses tersebut.
Pembuatan yoghurt dapat dilakukan dengan memanaskan susu skim dan susu cair segar hingga susu
mencapai suhu 85oC dan jangan sampai mendidih selama 2 menit. Hal ini bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme kontaminan serta mendenaturasi enzim penghambat yang akan menghambat
fermentasi yoghurt berikutnya. Setelah itu, susu skim sebanyak 110 ml dicampurkan dengan susu segar
sebanyak 115 ml sehingga dihasilkan volume total susu adalah 225 ml, perbandingan tersebut
dilakukan supaya kekentalan yang dihasilkan sedang. Sesuai dengan teori Winarno (1993), yoghurt ini
dibuat dengan menggunakan susu sapi. Astawan & Astawan (1988) menambahkan bahwa di beberapa

8
negara seperti Turki, Hongaria, Armenia, dan Libanon, yoghurt dapat dibuat dari susu kambing, susu
kerbau dan susu kuda, serta susu full cream, kacang kedelai (disebut soyghurt), maupun susu skim.
Susu krim masih banyak mengandung semua jenis lemak susu dan sebagian laktosa serta protein susu,
sedangkan susu skim mengandung semua nutrisi dari susu kecuali lemak dan vitamin larut lemak.
Pencampuran susu skim pada pembuatan yoghurt ini bertujuan untuk meningkatkan kekentalan, aroma,
keasaman, protein, serta mengurangi aroma langu pada produk akhirnya (Potter, 1987). Okoro (2009)
menambahkan bahwa penambahan susu skim akan meningkatkan total padatan di dalam susu dan akan
berkontribusi terhadap rasa dan tekstur akhir yang dihasilkan.
Setelah itu, susu dimasukkan ke dalam kaleng kaca, lalu didinginkan dan ditambahkan kultur starter
sebanyak 10%, yaitu 25 ml (kelompok C1 menggunakan kultur segar dan C2 menggunakan plain
yoghurt komersial) dan diaduk dengan batang pengaduk kaca secara aseptis. Hal ini sesuai dengan teori
Kosikowski (1977) yang mengatakan bahwa yoghurt dapat dibuat dengan kultur segar maupun kultur
komersial. Metode pembuatan kedua jenis yoghurt ini sama, hanya saja kultur yang digunakan berbeda.
Fellows (1990) menjelaskan bahwa persyaratan utama bagi tiap kultur starter laktat adalah
mengandung jenis-jenis mikroorganisme yang diinginkan, mampu berkembang dalam kondisi yang
diberikan, serta menghasilkan perubahan yang diinginkan dan bebas dari kontaminasi. Penambahan
inokulum dilakukan pada suhu 42-44oC supaya mikroorganisme kontaminan tidak dapat tumbuh
(Potter, 1987). Perlakuan aseptis bertujuan supaya biakan murni maupun media tidak terkontaminasi
dari mikroorganisme yang tidak diinginkan (Hadioetomo, 1993). Tahap selanjutnya adalah menutup
kaleng kaca dengan penutupnya untuk meminimalkan kontaminasi yang mungkin terjadi, kemudian
diinkubasikan pada suhu 42-44oC selama 1 hari tanpa dibuka dan diaduk hingga konsistensi custard
yang diinginkan tercapai. Selanjutnya apabila sudah terbentuk gumpalan, diaduk secara perlahan
supaya kekentalannya merata, hal ini sesuai dengan teori Eskin (1990). Metode yang praktikan lakukan
sesuai dengan teori Sharma & Caralli (1988) dan Fellows (1990). Kemudian diukur kekentalan, jumlah
total bakteri, dan derajat keasaman pada produk yoghurt.
Setelah yoghurt jadi, dapat disimpan di refrigerator apabila diinginkan dengan suhu 5oC sehingga dapat
bertahan hingga 1-2 minggu. Hal ini sesuai dengan teori Winarno (1993) yang mengatakan bahwa
pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme dengan setiap penurunan suhu 8oC
dan membuat kecepatan reaksi berkurang menjadi kira-kira setengahnya. Pendinginan dapat

9
mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung dari macam bahan
pangannya. Ini berarti, pada suhu 5oC di refrigerator, masih ada pertumbuhan bakteri karena bakteri
tersebut tidak mati, namun hanya terhambat pertumbuhannya. Ketika temperaturnya meningkat, bakteri
akan tumbuh dengan normal kembali. Oleh sebab itu, makanan masih dapat rusak meskipun telah
disimpan di dalam refrigerator. Sharma & Caralli (1988) mengatakan bahwa pertumbuhan
Streptococcus thermophilus pada awalnya akan lebih cepat dibandingkan dengan Lactobacillus
bulgaricus, ditandai dengan timbulnya sedikit rasa asam pada susu oleh asam asetat, diasetil, dan asam
format yang dihasilkan. Hal ini akan terus berlangsung hingga mencapai pendinginan 3:1 akibat asam
yang tinggi, sehingga Streptococcus thermophilus terhambat pertumbuhannya. Namun setelah itu,
Lactobacillus bulgaricus akan tumbuh lebih cepat dan akan memberikan rasa asam yang lebih kuat
pada susu karena sifatnya yang dapat tumbuh dengan baik di lingkungan yang berasam tinggi dan akan
memproduksi asam laktat dan asetaldehid. Keduanya akan bersama-sama memfermentasikan hampir
seluruh laktosa menjadi asam laktat dan memberikan aroma pada yoghurt oleh senyawa tersebut dan
memberikan rasa khas pada yoghurt.
Eskin (1990) menyatakan bahwa Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus saling
membutuhkan karena Lactobacillus bulgaricus akan menyediakan asam amino esensial bagi
perkembangan Streptococcus thermophilus, sedangkan Streptococcus thermophilus akan menyediakan
asam format dan komponen lain bagi pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Asam yang terbentuk
oleh fermentasi ini akan mendestabilisasi membran kasein sehingga menyebabkan koagulasi dari
protein susu dan membentuk gel yogurt.
Sebelum kultur Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus diinkubasikan, perlu
dilakukan pasteurisasi. Pasteurisasi merupakan suatu proses pemanasan yang menggunakan suhu
rendah di bawah suhu 100oC. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan menggunakan suhu antara 60-80oC
selama beberapa menit untuk mengurangi jumlah bakteri (Jay, 2000). Proses pasteurisasi ini tidak dapat
membunuh spora bakteri, terutama spora yang tahan terhadap suhu tinggi atau bersifat termoresisten
(Sabil, 2015). Pada praktikum ini, dilakukan pasteurisasi selama 2 menit dengan suhu 85oC.
Pasteurisasi ini termasuk ke dalam HTST (High Temperature Short Time) karena dilakukan dengan
temperature tinggi dengan waktu yang relatif singkat. Susu segar pada praktikum ini tidak disterilisasi
untuk pembuatan yoghurt karena sterilisasi dilakukan menggunakan suhu yang sangat tinggi dengan

10
waktu yang sangat singkat, yaitu dengan sistem UHT (Ultra High Temperature) pada suhu 137-140oC
selama 2-5 detik. Ketika disterilisasi, maka seluruh bakteri, baik yang bersifat patogen maupun
pembusuk akan mati, termasuk juga bakteri yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Apabila
menggunakan sterilisasi, produk yoghurt tidak akan jadi karena tidak adanya mikroba yang
menstimulasi terjaidnya fermentasi. Oleh karena itu, pembuatan yoghurt, kefir maupun acidophilus
milk menggunakan metode pasteurisasi, dimana bakteri asam laktat masih dapat tumbuh pada susu dan
melakukan proses fermentasi (Eskin, 1990).
Chirlaque (2011) menambahkan bahwa pada sterilisasi, pemanasan yang digunakan sangat tinggi, yaitu
di atas 100oC selama 15-40 menit. Bahkan pada UHT (Ultra High Temperature) yang menggunakan
suhu 140oC dalam waktu 4 detik. Meskipun semua mikroorganisme mati dan susu menjadi steril, serta
umur simpannya lebih panjang dibandingkan dengan susu pasteurisasi, namun kandungan nutrisi susu
akan hilang sebagian besar, aroma, dan rasanya juga akan mengalami perubahan yang signifikan.
Sedangkan pasteurisasi yang hanya menggunakan suhu di bawah titik didih, yaitu dengan metode LTLT
(Long Temperature Long Time) pasteurization yang merupakan metode pasteurisasi dengan suhu 63oC
selama 30 menit maupun HTST (High Temperature Short Time) pasteurization yang merupakan
metode pasteurisasi pada suhu 72-75oC selama 15-30 detik tidak memberikan efek signifikan terhadap
nilai gizi susu. Selain itu juga, aroma dan rasa susu masih tetap dapat dipertahankan (Sabil, 2015).
Pada pembuatan kefir digunakan susu sapi segar. Hal ini sesuai dengan teori Fardiaz (2003) yang
mengatakan bahwa kefir dapat dibuat dengan susu sapi, domba, maupun kerbau. Untuk pembuatan
kefir, pertama-tama susu segar dipanaskan hingga suhunya 85-95oC selama 2 menit. Tujuannya adalah
untuk membunuh mikroorganisme kontaminan dan mendenaturasi enzim penghambat fermentasi
berikutnya. Setelah itu sebanyak 230 ml susu yang telah dipanaskan dituangkan ke dalam kaleng kaca
dan didinginkan. Susu kemudian ditambahkan kultur starter sebanyak 8% (20 ml), yaitu Lactobacillus
delbrueckii subsp bulgaricus, Streptococcus lactis, dan Saccharomyces cerevisiaeatau dan diaduk
menggunakan pengaduk kaca. Kelompok C3 menggunakan kultur segar dan C4 menggunakan plain
kefir komersial. Hal ini sesuai dengan teori Kosikowski (1977) yang mengatakan bahwa kefir juga
dapat dibuat dengan kultur segar maupun kultur komersial. Metode pembuatan kedua jenis kefir ini
sama, hanya saja kultur yang digunakan berbeda. Kemudian kaleng ditutup dengan penutupnya untuk
meminimalkan kemungkinan kontaminasi. Kemudian diinkubasikan pada suhu 20-25oC dan didiamkan

11
selama semalam tanpa gangguan hingga konsistensi custard yang diinginkan tercapai. Selanjutnya
apabila sudah terbentuk gumpalan, diaduk secara perlahan supaya kekentalannya merata, hal ini sesuai
dengan teori Eskin (1990). Metode yang praktikan lakukan sesuai dengan teori Sharma & Caralli
(1988) dan Fellows (1990). Kemudian diukur kekentalan, jumlah total bakteri, dan derajat keasaman
pada produk kefir.
Pada pembuatan acidophilus milk, digunakan bahan baku susu skim. Susu skim merupakan susu yang
kandungan lemaknya telah dikurangi hingga mencapai kurang dari 0,5% dengan padatan susunya tidak
kurang dari 9% (Astawan & Astawan, 1988). Cara pembuatan acidophilus milk adalah susu skim
dipanaskan hingga suhu mencapai 85oC selama 2 menit. Hal ini bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme kontaminan serta mendenaturasi enzim penghambat yang akan menghambat
fermentasi acidophilus milk berikutnya. Setelah itu, susu skim sebanyak 245 dimasukkan ke dalam
kaleng kaca, lalu didinginkan dan ditambahkan kultur starter sebanyak 2%, yaitu 5 ml dan diaduk
dengan batang pengaduk kaca. Penambahan inokulum dilakukan pada suhu 42-44oC supaya
mikroorganisme kontaminan tidak dapat tumbuh (Potter, 1987). Tahap selanjutnya adalah menutup
kaleng kaca dengan penutupnya untuk meminimalkan kemungkinan kontaminasi, kemudian
diinkubasikan pada suhu 37oC selama semalam tanpa dibuka dan diaduk hingga konsistensi custard
yang diinginkan tercapai. Selanjutnya apabila sudah terbentuk gumpalan, susu diaduk secara perlahan
suapaya kekentalannya merata. Setelah acidophilus milk jadi, dapat disimpan di refrigerator apabila
diinginkan dengan suhu 5oC sehingga dapat bertahan hingga 1-2 minggu, hal ini sesuai dengan teori
Eskin (1990). Kemudian praktikan mengukur derajat keasaman, kekentalan, dan jumlah total bakteri
akhir (CFU/ml) dari acidophilus milk tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui sifat karakteristik dari produk fermentasi susu yang
dihasilkan, yaitu kekentalan dan derajat keasaman. Kelompok C1 dan C2 membuat yoghurt, kelompok
C3 dan C4 membuat kefir, dan kelompok C5 menggunakan acidophilus milk. Pada produk yoghurt,
dapat diketahui bahwa yoghurt dengan inokulum fresh culture memiliki karakteristik kental dengan pH
sebesar 4,5. Sedangkan pada yoghurt dengan inokulum plain yoghurt komersial memiliki karakteristik
sangat kental dengan pH sebesar 4,5. Menurut Sumner & Hutkins (1990), terbentuknya gumpalan
dalam yoghurt menyebabkan tekstur yoghurt menjadi kental. Hal ini disebabkan karena yoghurt tidak
digerakkan maupun diaduk-aduk selama penyimpanan dan inkubasi. Semakin banyak gumpalan yang

12
terbentuk, maka semakin kental tekstur pada yoghurt. Herschdoefer (1986) menambahkan bahwa
gumpalan dalam yoghurt terbentuk dari tingginya kadar padatan dalam bahan baku, yang dalam hal ini
adalah susu segar dan susu skim. Menurut Ressang & Nasution dalam Diastari & Kadek (2013), susu
segar mengandung hampir semua zat gizi yang dibutuhkan manusia, meliputi protein, karbohidrat,
lemak, vitamin, mineral, serta unsur logam seperti kalium, natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi,
seng, tembaga, fosfor, dan kobalt. Selain itu Potter (1987) menambahkan bahwa pencampuran susu
skim pada pembuatan yoghurt juga dapat meningkatkan kekentalan yoghurt.
Pada hasil pengamatan derajat keasaman yoghurt, dilakukan pengukuran nilai pH dengan
menggunakan kertas lakmus. Derajat keasaman yoghurt yang dihasilkan pada praktikum ini telah
sesuai dengan teori dari Kosikowski (1977) yang mengatakan bahwa yoghurt merupakan produk
fermentasi susu hasil pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilusyang
memiliki pH antara 4-4,5. Jika menginginkan produksi yoghurt yang tidak terlalu asam, inkubasi dapat
dilakukan pada suhu di atas 43oC sehingga pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus akan lebih banyak
dibandingkan dengan Streptococcus thermophilus. Sedangkan apabila menginginkan produk yoghurt
yang lebih asam, inkubasi dapat dilakukan di bawah suhu 43oC sehingga ertumbuhan Streptococcus
thermophilus akan lebih banyak dibandingkan dengan Lactobacillus bulgaricus. Streptococcus
thermophilus berperan sebagai penghasil asam dalam pembuatan yoghurt (Kosikowski, 1982).
Koagulasi atau penggumpalan susu dalam pembuatan yoghurt disebabkan karena asam yang diproduksi
oleh bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus karena keduanya termasuk
bakteri asam laktat (BAL) yang akan memfermentasi laktosa menjadi asam laktat, sehingga pH susu
akan turun dan terjadi penggumpalan kasein, selain itu, perlakuan panas juga dapat menggumpalkan
protein susu, karena terjadinya denaturasi (Chirlaque, 2011).
Pada produk kefir, diketahui bahwa kefir dengan inokulum fresh culture memiliki karakeristik kental
dengan pH sebesar 4,5. Sedangkan kefir dengan inokulum plain yoghurt komersial memiliki
karakteristik kurang kental dengan pH sebesar 4. Menurut Gaware et al (2011), kefir mengandung
alkohol sebesar 0,5-2,5% yang dihasilkan oleh ragi atau yeast. Terbentuknya alkohol selama fermentasi
inilah yang membuat tekstur kefir menjadi lebih encer dibandingkan dengan yoghurt. Sama seperti
yoghurt, terbentuknya gumpalan dalam kefir menyebabkan tekstur kefir menjadi terlihat kental. Hal ini
disebabkan karena kefir tidak digerakkan maupun diaduk-aduk selama penyimpanan dan inkubasi

13
(Sumner & Hutkins, 1990). Selama fermentasi pada kefir, terjadi perubahan biokimia dari substrat
akibat aktivitas bakteri asam laktat heterofermentasi dan kamir alkoholik, sehingga keasaman kefir
meningkat dari 0,85% menjadi 1,0% akibat asam laktat, sedangkan pH akan semakin menurun daripada
sebelumnya. Selain itu, karbondioksida juga terbentuk, sehingga produk mempunyai rasa karbonat.
Perubahan ini akan membentuk cita rasa kefir yang diinginkan (Fardiaz, 2003). Derajat keasaman kefir
yang dihasilkan telah sesuai dengan pendapat Gaware et al (2011) yang mengatakan bahwa pH kefir
pada umumnya adalah 4,6. Kefir berasa asam karena Streptococcus sp dan Lactobacillus berperan
dalam menghasilkan asam laktat dan komponen flavor, dengan kandungan asam laktat sebanyak 0,81,1%.
Pada produk acidophilus milk menunjukkan bahwa susu dengan inokulum fresh culture memiliki
karakteristik kurang kental dengan pH sebesar 5 dan hasilnya gagal. Apabila dibandingkan ketiganya,
susu fermentasi yang paling kental adalah yoghurt, diikuti dengan kefir dan acidophilus milk. Menurut
Dewi & Ulfah (2011), achidophilus milk memiliki kekentalan 1,13 dpas yang berarti memiliki tekstur
encer. Hal ini menunjukkan bahwa acidophilus milk yang dihasilkan telah sesuai dengan teori, yaitu
memiliki tekstur yang kurang kental dan cenderung encer. Terdapatnya gumpalan dalam produk
disebabkan karena selama inkubasi, acidophilus milk tidak dilakukan pengadukan maupun gerakan
apapun (Sumner & Hutkins, 1990). Selain itu, derajat keasaman acidophilus milk diukur dengan
menggunakan kertas lakmus dan diperoleh hasil adalah 5. Hal ini kurang sesuai dengan teori Banina et
al. (1988) yang mengatakan bahwa setelah susu skim yang ditambahkan kultur Lactobacillus
acidophilus diinkubasikan selama 6 jam dengan suhu 37oC, maka pH acidophilus milk menjadi 4,53.
Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena proses fermentasi tidak berjalan secara optimal, sehingga
asam yang dihasilkan oleh Lactobacillus acidophilus menjadi lebih sedikit daripada yang seharusnya.
Tamime & Marshall (1997) menyatakan bahwa strain intestinal implantable merupakan
mikroorganisme yang dapat hidup di usus manusia dan termasuk bakteri probiotik. Probiotik
merupakan suplemen makanan yang mengandung mikroba hidup yang memberi efek menguntungkan
bagi organisme induk dengan memperbaiki keseimbangan mikroba usus. Probiotik mampu mencegah
konstipasi, meningkatkan metabolisme mineral terutama kalsium serta mengurangi bakteri
Helicobacter pylori yang menyebabkan infeksi berkepanjangan. Intestinal implantable adalah usus
implant, sehingga mikroorganisme tersebut dapat tumbuh dalam saluran pencernaan. Bakteri instetinal

14
yaitu bakteri yang dapat hidup dalam saluran pencernaan. Terdapat beragam jenis bakteri yang mampu
berhabitat pada daerah saluran pencernaan manusia, terutama pada usus besar. Kelompok bakteri yang
mendominasi usus besar manusia pada umumnya adalah bakteri asam laktat yang merupakan bakteri
gram positif dan kelompok enterobacter yang merupakan bakteri gram negatif. Mikroorganisme ini
hidup secara anaerobik dan mampu melekat pada permukaan saluran pencernaan manusia. Oleh karena
itu tidak semua bakteri termasuk dalam human intestinal implantable, karena tidak semua bakteri dapat
tahan terhadap pH asam dalam saluran pencernaan manusia, sehingga hanya bakteri yang tahan
terhadapt pH asam yang dapat mampu hidup dalam saluran pencernaan manusia (Pelczar & Reid,
1958). Antono et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri asam laktat merupakan probiotik yang paling
banyak memberikan efek menguntungkan pada saluran pencernaan manusia. Baktei ini merupakan
gram-positif yang hidup pada kondisi non-aerob, tetapi juga dapat hidup dalam keadaan aerob.
Bakteri yang digunakan sebagai probiotik merupakan bakteri dengan golongan aman untuk
dikonsumsi, seperti Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus,
Bifidobacterium longum, dan Bifidobacterium bifidum (Fuller, 1992). Tidak semua bakteri yang
tergolong probiotik dan bakteri asam laktat merupakan intestinal implantable, misalnya saja
Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang tergolong probiotik dan bakteri asam
laktat (BAL), namun kedua bakteri ini tidak tahan terhadap asam empedu, sehingga tidak dapat
dikategorikan sebagai intestinal implantable. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa bakteri intestinal
implantable termasuk dalam bakteri probiotik namun tidak sebaliknya, dimana bakteri probiotik belum
tentu termasuk dalam bakteri human intestinal implantable (Kailasapathy & Chin, 2000).
Lactobacillus acidophilus merupakan strain yang termasuk intestinal implantable karena bakteri ini
ditemukan menjadi sangat aktif ketika berada di saluran pencernaan manusia. Hal ini ditunjukan oleh
berkurangnya aktivitas enzim maupun bakteri fecal yaitu glukoronidase dan nitroreduktase ketika kita
mengkonsumsi bakteri ini, sehingga produksi fecal akan berkurang. Selain itu, bakteri ini dapat
mencegah kanker karena enzim maupun bakteri fecal berpotensi menimbulkan efek karsinogenik
dalam saluran usus, sehingga ketika aktivitasnya berkurang, maka keaktifan sel kanker juga akan
berkurang (Goldin & Gorbac, 1984). Kailasapathy & Chin (2000) menambahkan bahwa bakteri
Lactobacillus acidophilus memenuhi syarat untuk menjadi intestinal implantable karena dapat bertahan
hidup pada kondisi asam, yaitu antara pH 1-4, tahan terhadap garam empedu, dapat mendegradasi

15
enzim-enzim pencernaan yang ada dalam susu, serta dapat mengurangi aktivitas penghasilan metabolit
yang bersifat toksik seperti fenol yang dihasilkan selama pencernaan.
6.
7. KESIMPULAN

Yoghurt merupakan produk fermentasi susu pasteurisasi oleh kultur bakteri Lactobacillus
bulgaricus dan Streptococcus thermophilus pada pH 4-4,5, teksturnya mirip bubur dengan rasa

agak asam.
Kefir merupakan susu pasteurisasi yang difermentasi, dapat dibuat dengan campuran bibit kefir

dengan susu, sehingga menghasilkan aroma alkohol dari fermentasi yeast.


Acidophilus milk merupakan susu yang terbuat dari susu skim dan difermentasi dengan

Lactobacillus acidophilus sehingga memiliki rasa asam.


Yoghurt dapat dibuat dengan kultur segar maupun kultur komersial.
Yoghurt yang dibuat dengan kultur komersial lebih baik dalam hal kekentalan dan derajat keasaman

dibandingkan yoghurt yang dibuat dengan kultur segar.


Asam asetat, diasetil, asam format, asam laktat dan asetaldehid akan membentuk flavor khas pada

yoghurt.
Lactobacillus bulgaricus bekerja sama dengan Streptococcus thermophilus dalam fermentasi

pembentukan yoghurt.
Lactobacillus bulgaricus akan menyediakan asam amino esensial bagi perkembangan

Streptococcus thermophilus.
Streptococcus thermophilus akan menyediakan asam format dan komponen lain untuk pertumbuhan

Lactobacillus bulgaricus.
Pasteurisasi adalah pemanasan susu di bawah titik didih untuk membunuh bakteri patogen.
Susu tidak disterilisasi karena sterilisasi akan merusak nutrisi dan cita rasa susu.
Koagulasi atau penggumpalan susu disebabkan karena asam dan pemanasan.
Pada pembuatan kefir terjadi fermentasi asam laktat dan fermentasi alkohol.
Pada pembuatan acidophilus milk terjadi fermentasi asam.
Derajat keasaman yoghurt adalah 4-4,5.
Derajat keasaman kefir pada umumnya 4,6.
Derajat keasaman acidophilus milk adalah 4,53.
Susu fermentasi yang paling kental adalah yoghurt, diikuti dengan kefir dan acidophilus milk.
Intestinal implantable adalah bakteri yang menjadi sangat aktif ketika berada di saluran pencernaan

manusia.
Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus termasuk kelompok probiotik.

16

Lactobacillus acidophilus merupakan intestinal implantable.

Semarang, 2 Juni 2016


Praktikan kelompok C1,

Asisten Dosen,
- Tjan, Ivana Chandra

Yusefta Clarencia R.A.

- Beatrix Restiani

13.70.0095
8.
9. DAFTAR PUSTAKA

Antono, Agil; Dike Bagus Pamuji; Sugiyartono; Isnaeni. (2012). Daya Hambat Susu Hasil Fermentasi
Lactobacillus Acidhopillus terhadap Salmonella Thypimurium. Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga, Surabaya. Pharma Scientia, Vol.1, No.2, Desember 2012. Diunduh pada tanggal 31
Mei 2016 pukul 20.56.
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1998). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV
Akademika Pressindo. Jakarta.
Banina; Vulkasinovic M; Brankovic S; Fira D; Kojic M; dan Topisirovic L. (1988). Characterization of
natural isolate Lactobacillus acidophilus BGRA43 useful for acidophilus milk production.Faculty
of Technology and Metallurgy, Karnegijeva, Belgrade, Yugoslavia.
Buchanan, R. E. & N. E. Gibbons. (1974). Bergeys Manual of Determinative Bacteriology 8th Edition.
The William and Walkins Company Inc. California.
Cahyono, Dwi; Masdiana Ch. Padaga; dan Manik Eirry Sawitri. (2013). Kajian Kualitas Mikrobiologis
(Total Plate Count, Enterobacteriaceae, dan Staphylococcus aureus) Susu Sapi Segar di
Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo. Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya, Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Hal 1-8 Vol. 8, No. 1
ISSN : 1978 0303.
Chirlaque, Raul Alcazar. (2011). Factors Influencing Raw Milk Quality and Dairy
Products.Universidad Politecnica de Valencia, Escuela Politecnica Superior de Gandia,
Licenciado en Ciencias Ambientales.Gandia.
Dewi, Intan dan Ulfah. (2011). Viabilitas Lactobacillus achidophilus pada Susu Fermentasi yang
Diperkaya dengan Tepung Pisang (Musa paradisiaca).Fakultas teknologi pangan. Universitas
Brawijaya.

17
Diastari, I Gusti Ayu Fitri dan Kadek Karang Agustina. (2013). Uji Organoleptik dan Tingkat
Keasaman Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar. Indonesia Medicus Veterinus 2013 2(4) :
453 460. ISSN : 2301-7848 453.
Eskin, N. A. M. (1990). Biochemistry of Foods 2nd ed. Academic Press, Inc. California.
Eti, S.; R. Setyaningsih; A. Susilowati. (2004). Pembuatan Minuman Probiotik dari Susu Kedelai
dengan Inokulum Lactobacillus casei, Lactobacillus plantarum, dan Lactobacillus acidophilus.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Fardiaz, S. (2003). Kefir, Susu Asam Berkhasiat. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fellows, P. (1990).Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis Horwood Limited.
New York.
Fuller, R. (19920. History and Development of Probiotic : Probiotic the Scientific Basic. Chapman &
Hall. London.
Gaware, et al. (2011). The Magic of Kefir : A Review. Department of Pharmaceutical chemistry
Pharmacologyonline 1: 376-386.
Gianti dan Herly Evanuarini. (2011). Pengaruh Penambahan Gula dan Lama Penyimpanan terhadap
Kualitas Fisik Susu Fermentasi. Universitas Islam Kediri dan Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Maret 2011, Hal 28-33 Vol. 6, No. 1
ISSN : 1978 - 0303 28. Diunduh pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 21.04.
Goldin, B. R. & S. L. Gorbach. (1984). The Effect of Milk and Lactobacillus Feeding on Human
Intestinal Bacterial Enzyme Activity. The American Journal of Clinical Nutrition Vol. 39 : 756761. USA.
Hadioetomo, R. S., (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.
Hadiwiyoto, S. (1994). Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Herschdoefer, S. M. (1986). Quality Control in the Food Industry Volume 3.Academic Press. Toronto.
Jay, J. M. (2000). Modern Food Microbiology Third Edition. Van Nostrand Reinhold Company, Inc.
New York. USA.
Kailasapathy, K. & J. Chin. (2000). Survival and Therapeutic Potential of Probiotic Organisms with
Reference to Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium spp. Immunology and Cell Biology
Vol. 78 : 80-88. New South Wales, Australia.
Kosikowski, F. V. (1977). Cheese and Fermented Foods.F. V. Kosikowski and Associates. New York.
Maitimu, Centhya Victorin; Anang M. Legowo; Ahmad N. AlI Baarr. (2012). Parameter Keasaman
Susu Pasteurisasi dengan Penambahan Ekstrak Daun Aileru (Wrightia caligria). Fakultas

18
Pertanian Universitas! Pattimura Ambon dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
Semarang. Vol. 1 No. 1, 2012 Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.
Merck, E. & Darmstadt. (1998). Handbook of microbiology1st Suplement. Federal Republic Germany.
Michael, B. Boy Rahardjo Sidharta, L. M. Ekawati Purwijantiningsih. (2012). Potensi Kefir Sebagai
Anti Bakteri Propionibacterium acnes. Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. Diunduh pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 21.16.
Okoro, L. (2009). Profitable Investment in Yoghurt Production. Diakses tanggal 31 Mei 2016 pukul
21.46.
Pelczar, M. J. & R. D. Reid (1958). Microbiology. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York,
London.
Potter, N. N & J. H. Hotchkiss. (1995). Food Science 5th Edition. Chapman & Hall, Inc. New York.
Potter, N. N. (1987). Food Science. The Avi Publishing Company, Inc. USA.
Sabil, Syahriana. (2015). Pasteurisasi High Temperature Short Time (HTST) Susu terhadap Listeria
Monocytogenes pada Penyimpanan Refrigerator. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Sharma, J. L & Caralli, S. (1998). A Dictionary of Food and Nutrition.CBS Publishers and Distributors.
New Delhi.
Suhartanti, Dwi dan Muhammad Iqbal. (2014). Perbandingan Aktivitas Antibakteri Kefir Susu Sapi dan
Kefir Susu Kambing terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus. Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal
EKOSAINS, Vol. VI, No. 1, Maret 2014. Diunduh pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 20.45.
Sumner, S & R. Hutkins. (1990). Making Yogurt at Home.University of Nebraska, Institute of
Agriculture and Natural Resources.USA. Electronic version issued September 1996.
Tamine, A. Y. & V. M. E. Marshall. (1997). Microbiology and Technology of Fermented Milks. In
Microbiology and Biochemistry of Cheese and Fermented Milk. Blackie. Acad. Prof. London.
Winarno, F. G. (1993). Ilmu Pangan dan Gizi, Teknologi dan Konsumsi.PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Zakaria, Yusdar; Yurliasni; Mira Delima; dan Ely Diana. (2013). Analisa Keasaman dan Total Bakteri
Asam Laktat Yoghurt Akibat Bahan Baku dan Persentase Lactobacillus casei yang Berbeda.
Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala. Agripet Vol. 13 No. 2 : 31-35. Diunduh pada tanggal
31 Mei 2016 pukul 20.30.

10.
11. LAMPIRAN

19

11.1. Abstrak Jurnal


11.2. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai