PENDAHULUAN
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONIUM
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding rongga abdomen dan
peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang
terdapat diantara dualpisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa
kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga
peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor)
banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi
hati, kurvaturan minor, dna lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium
usus halus. Fungsi peritoneum :
1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis
2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling
bergesekan
3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen
4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.
B. PENGERTIAN PERITONITIS
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau
penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis. Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer
(peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab
tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen
dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi peritonitis relative
sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah
spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis
sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens. Penyebab iatrogenic umumnya
berasal dari trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang
juga dapat terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab
tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden
peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit
inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10%
terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses
makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi kolon, kontaminasi peritoneal,
syok perioperatif, dan transfuse yang pasif.
C. ETIOLOGI
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis
sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites
terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi translokasi bakteri munuju dinding
perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia
dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko
terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen
asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%,
Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram
positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan
Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder
yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam
dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari
saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ,
pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu
juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia,
misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organorgan dalam (Misalnya penyakit Crohn).
D. TANDA DAN GEJALA KLINIS
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan
nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas
lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam
tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar
untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita
dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi
(misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan
penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric.
E. PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga bdomen sebagai akibat
dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadinya proliferasi bacterial, terjadinya
edema jaringan dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi
keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respons segera dari
saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik disertai akumulasi udara dan cairan dalam
usus.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSITIK
Drainase panduan CT-Scan dan USG
Pembedahan
G. KOMPLIKASI
Eviserasi Luka
Pembentukan abses
H. PENATALAKSANAAN
Penggantian cairan, koloid dan elektroli adalah focus utama. Analegesik diberikan untuk mengatasi nyeri
antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal
atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan napas
dan bantuk ventilasi diperlukan. Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotic, terapi
hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau
abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau
hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa-tanda-tanda
sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi
terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoniummaka tindakan laparotomi diperlukan. Prolaps visera,
tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdaat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum,
adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi
melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada
pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah
dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani
wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif
ditempat ruang operasi.
2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian
atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse
(IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas
hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya
sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan
evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas
yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen
anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase
ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.
I. DIAGNOSA YANG MUNCUL
1. Infeksi risiko tinggi berhubungan dengan trauma jaringan
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
3. Nyeri akut berhuungan dengan agen cidera kimia pasca operasi
4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu dalam
mencerna makanan.
5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh
7. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan medikasi
8. Hipertermi berhubungan dengan medikasi atau anastesia.
B. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya
misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus
obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b.
Appendisitis yang meradang dan perforasi
c.
Tukak peptik (lambung/dudenum)
d.
Tukak thypoid
e.
Tukan disentri amuba/colitis
f.
Tukak pada tumor
g.
Salpingitis
h.
Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
1. Secara langsung dari luar.
a. Operasi yang tidak steril
b.
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
c.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
d.
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan
bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus
atau pnemokokus.
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan
peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada
pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi
bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran
hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena
ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%,
spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu
Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus
3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling
sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam
dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang
berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang
setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari
kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena
iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses
inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana
intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir
dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
D. Manifestasi klinik
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan
peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati
bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai
hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada
setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif
berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen)
dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin
lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan
infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi,
dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum
maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina
bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaanpemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi
(misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan
penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau
penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
E. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
a. Septikemia dan syok septic.
b.
Syok hipovolemik.
c.
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
d.
Abses residual intraperitoneal.
e.
Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
a.
Adhesi.
b.
Obstruksi intestinal rekuren.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Test laboratorium
a. Leukositosis
b.
c.
d.
2.
a.
b.
c.
a.
b.
c.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100
ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan
atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan
dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH
=7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi, yaitu :
Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal
proyeksi anteroposterior.
Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi
anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum
terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada
foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran.
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding
usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level
dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi,
sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah
adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan
step ladder appearance.
G. Penatalaksanaan
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang
lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur
keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis
yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi.
Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke
seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan
diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi
tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi
maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terusmenerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat
apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan
pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat
biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik
diberikan bersamaan.
H. pathway
I.
1.
2.
3.
4.
5.
J. Intervensi keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.
Tujuan: Nyeri klien berkurang
Kriteria hasil :
a. Laporan nyeri hilang/terkontrol
b. Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi.
c. Metode lain untuk meningkatklan kenyamanan
Tindakan/Intervensi
Mandiri:
1.
Selidiki laporan nyeri, catat
lokasi, lama, intensitas (skala 0-10)
dan karakteristiknya (dangkal,
tajam, konstan)
Pertahankan posisi semi Fowler
sesuai indikasi
Berikan tindakan kenyamanan,
contoh pijatan punggung, napas
dalam, latihan relaksasi atau
visualisasi.
Berikan perawatan mulut dengan
sering. Hilangkan rangsangan
lingkunagan yang tidak
menyenangkan
Kolaborasi:
Berikan obat sesuai indikasi:
1.
Analgesik, narkotik
2.
Antiemetik, contoh
hidroksin (Vistaril)
3.
Antipiretik, contoh
asetaminofen (Tylenol)
Rasional
Perubahan pada
lokasi/intensitas tidak umum tetapi
dapat menunjukkan terjadinya
komplikasi. Nyeri cenderung menjadi
konstan, lebih hebat, dan menyebar ke
atas, nyeri dapat lokal bila terjadi abses.
2.
Memudahkan drainase
cairan/luka karena gravutasi dan
membantu meminimalkan nyeri karena
gerakan.
3.
Meningkatkan relaksasi dan
mungkin meningkatkan kemampuan
koping pasien denagn memfokuskan
kembali perhatian.
4.
Menurunkan mual/muntah yang
dapat meningkatkan tekanan atau nyeri
intrabdomen.
1.
Intervensi
Keperawatan
Tindakan Intervensi
Rasional
Mandiri:
Mempengaruhi pilihan
1.
Catat faktor risiko individu 1.
intervensi
contoh trauma abdomen, apendisitis
akut, dialisa peritoneal.
Tanda adanya syok septik, endotoksin
sirkulasi menyebabkan vasodilatasi,
2.
Kaji tanda vital dengan
sering, catat tidak membaiknya atau kehilangan cairan dari sirkulasi, dan
berlanjutnya hipotensi, penurunan rendahnya status curah jantung.
tekanan nadi, takikardia, demam, Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis
dapat menyebabkan penyimpangan
takipnea.
status mental.
3.
Catat perubahan status
Hangat, kemerahan, kulit kering
mental (contoh bingung, pingsan). 4.
adalah tanda dini septikemia.
Catat warna kulit, suhu,
Selanjutnya manifestasi termasuk
kelembaban.
dingin, kulit pucat lembab dan sianosis
Awasi haluaran urine.
sebagai tanda syok.
Pertahankan teknik aseptik ketat
5.
Oliguria terjadi sebagai akibat
pada perawatan drein abdomen,
penurunan
perfusi ginjal, toksin dalam
luka insisi/terbuka, dan sisi invasif.
sirkulasi mempengaruhi antibiotik.
Bersihkan dengan Betadine atau
6.
Mencegah meluas dan
larutan lain yang tepat kemudia
membatasi penyebaran organisme
bilas dengan PZ.
infektif/kontaminasi silang.
Observasi drainase pada luka.
Pertahankan teknik steril bila pasien Memberikan informasi tentang status
dipasang kateter, dan berikan
infeksi.
perawatan kateter/ atau kebersihan 8.
Mencegah penyebaran,
perineal rutin.
membatasi pertumbuhan bakteri pada
9.
Awasi/batasi pengunjung
traktus urinarius.
dan staf sesuai kebutuhan. Berikan Menurunkan resiko terpajan
perlindungan isolasi bila
pada/menambah infeksi sekunder pada
diindikasikan.
pasien yang mengalami tekanan imun.
Kolaborasi:
Mengidentifikasikan
1.
Ambil contoh/awasi hasil 1.
mikroorganisme dan membantu dalam
pemeriksaan seri darah, urine,
mengkaji keefektifan prigram
kultur luka.
antimikrobial.
2.
Bantu dalam aspirasi
2.
Dilakukan untuk membuang
peritoneal, bila diindikasikan.
cairan
dan
untuk mengidentifikasi
Berikan antibiotik, contoh
gentacimin (Garamycyin), amikasin organisme infeksi sehingga tetapi
(amikin), Klindamisin (Cleocin). antibiotik yang tepat dapat diberikan.
3.
Terapi ditujukan pada bakteri
Lavase pritoneal/IV
Siapkan untuk intervensi bedah bila anaerob dan basil aerob gram
negatif.Lavase dapat digunakan untuk
diindikasikan
membuang jaringan nekrotik dan
mengobati inflamasi yang
terlokalisasi/menyebar dengan buruk.
4.
Pengobatan pilihan (kuratif)
pada peritonitis akut atau lokal, contoh
untuk drainase abses lokal, membuang
eksudat peritoneal, membuang
rupturapendiks/kandung empedu,
mengatasi perforasi ulkus, atau reseksi
usus.
2. Risiko tinggi
infeksi berhubungan
dengan trauma
jaringan.
Tujuan:
Mengurangi infeksi
yang
terjadi,
meningkatkan
kenyamanan pasien.
Kriteria
hasil:
a. Meningkatnya
penyembuhan pada
waktunya,
bebas
drainase
purulen
atau eritema, tidak
demam.
b. Menyatakan
pemahaman
penyebab individu /
faktor resiko.
Intervensi
Keperawatan:
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul kembali dan status
nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil:
a. Status nutrisi terpenuhi
b. Nafsu makan klien timbul kembali
c. Berat badan normal
d. Jumlah Hb dan albumin normal
Intervensi Keperawatan :
Tindakan Intervensi
Rasional
Mandiri:
1.
Awasi haluan selang NG, dan 1.
Jumlah besar dari aspirasi
catat adanya muntah atau diare.
gaster dan muntah atau diare diduga
terjadi obstruksi usus, memerlukan
2.
Timbang berat badan tiap
evaluasi lanjut.
hari.
Kehilangan atau peningkatan
Auskultasi bising usus, catat bunyi 2.
dini menunjukkan perubahan hidrasi
tak ada atau hiperaktif.
tetapi kehilangan lanjut diduga ada
Catat kebutuhan kalori yang
defisit nutrisi.
dibutuhkan.
5.
Monitor Hb dan albumin
3.
Meskipun bising usus sering
tak
ada,
inflamasi atau iritasi usus
Kaji abdomen dengan sering untuk
dapat
menyertai
kembali ke bunyi yang lembut,
hiperaktivitas
usus,
penurunan
penampilan bising usus normal, dam
absorpsi air dan diare.
kelancaran flatus.
4.
Adanya kalori (sumber
energi) akan mempercepat proses
penyembuhan.
5.
Indikasi adekuatnya protein
untuk sistem imun.
6.
Menunjukan kembalinya
fungsi usus ke normal
Kolaborasi:
1.
Kolaborasi pemasangan NGT
jika klien tidak dapat makan dan
minum peroral.
2.
Kolaborasi dengan ahli gizi
dalam diet.
1.
Agar nutrisi klien tetap
terpenuhi.
2.
Tubuh yang sehat tidak
mudah untuk terkena infeksi
(peradangan).
3.
Berikan informasi tentang
zat-zat makanan yang sangat
penting bagi keseimbangan
metabolisme tubuh
4. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen
dan menghindari nyeri.
Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan saturasi O2 normal.
Kriteria Hasil:
a. Pernapasan tetap dalam batas normal
b. Pernapasan tidak sulit
c. Istirahat dan tidur dengan tenang
d. Tidak menggunakan otot bantu napas
Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi
Rasional
Mandiri:
Indikator hipoksemia;
1.
Pantau hasil analisa gas darah 1.
dan indikator hipoksemia: hipotensi, hipotensi, takikardi, hiperventilasi,
gelisah, depresi SSP, dan sianosis
takikardi, hiperventilasi, gelisah,
penting untuk mengetahui adanya
depresi SSP, dan sianosis.
syok akibat inflamasi (peradangan).
Auskultasi paru untuk mengkaji
2.
Gangguan pada paru (suara
ventilasi dan mendeteksi komplikasi nafas tambahan) lebih mudah
pulmoner.
dideteksi dengan auskultasi.
5. Ansietas
3.
Pertahankan pasien pada
3.
Posisi membantu
berhubungan dengan
posisi semifowler.
memaksimalkan ekspansi paru dan
perubahan
status
4.
Berikan O2 sesuai program menurunkan upaya pernafasan,
ventilasi maksimal membuka area
kesehatan.
atelektasis dan meningkatkan gerakan Tujuan: Mengurangi
sekret kedalam jalan nafas besar
ansietas klien
untuk dikeluarkan.
Kriteria hasil:
4.
Oksigen membantu untuk
a. Mengakui dan
bernafas secara optimal.
mendiskusikan
masalah
b. Penampilan wajah tampak rileks
c. Mampu menerima kondisinya
Intervensi:
Tindakan/Intervensi
1.
Evaluasi tingkat pemahaman
klien/orang terdekat tentang
diagnosa.
2.
Akui rasa takut/masalah klien
dan dorong mengekspresikan
perasaan.
Berikan kesempatan untuk bertanya
dan jawab dengan jujur. Yakinkan
bahwa klien dan perawat mempunyai
pemahaman yang sama.
4.
Terima penyangkalan klien
tetapi jangan dikuatkan.
Catat komentar perilaku yang
menunjukkan menerima dan/atau
mengurangi strategi efektif menerima
situasi
6.
Libatkan klien/orang terdekat
dalam perencanaan perawatan.
Berikan waktu untuk menyiapkan
pengobatan.
Berikan kenyamanan fisik klien
8.
Pasien dan orang terdekat
mendengar dan mengasimilasi
informasi baru yang meliputi
perubahan ada gambaran diri dan
pola hidup.
9.
Dukungan memampukan
klien mulai membuka/menerima
kenyataan infeksi peritonium dan
pengobatannya. Klien mungkin perlu
waktu untuk mengidentifikasi
perasaan maupun
mengekspresikannya.
10.
Membuat kepercayaan dan
menurunkan kesalahan
persepsi/interpretasi terhadap
informasi.
Rasional
1.
Bila penyangkalan ekstem
atau ansietas mempengaruhi
kemajuan penyembuhan,
menghadapi itu klien perlu dijelaskan
dan membuka cara penyelesaiannya.
2.
Takut/ansietas menurun klien
mulai menerima secara positif
kenyataan dan memiliki kemauan
untuk hidup lagi.
3.
Dapat membantu
memperbaiki beberapa perasaan
kontrol/kemandirian pada klien yang
merasa tak berdaya dalam menerima
diagnosa dan pengobatan
4.
Klien sulit berfikir dengan
baik bila berada dalam kondisi yang
K. Daftar pustaka
1. http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35844-Kep%20Pencernaan-Askep
%20Peritonitis.html diakses pada tanggal 27 Desember 2013