Anda di halaman 1dari 7

I.

TUJUAN PERCOBAAN

Menetukan kecepatan disolusi suatu obat b.


Menggunakan alat kecepatan disolusi suatu zat c.
Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu
zat

II. PRINSIP PERCOBAAN


Berdasarkan kecepatan laju kelarutan suatu zat pada media disolusinya
III. TEORI
Difusi bebas atau transport aktif suatu zat melalui suatu cairan, zat padat
atau melalui membran adalah suatu proses yang sangat penting dalam ilmu
farmasi, pokok dari fenomena transport massa yang diterapkan dalam bidang
farmasi adalah disolusi obat dari tablet, serbuk serta granul, liofulisasi, ultrafiltrasi
dan proses mekanik lainnya, termasuk distribusi molekul obat di dalam jaringan.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan
padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke
dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus
diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti salep, kapsul atau
tablet. Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki
daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang
relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak
sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang
minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin
dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan
ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi. Mengingat
pentingnya disolusi obat dalam bidang farmasi, maka sudah sewajarnya jika
mahasiswa farmasi memahami mengenai kecepatan disolusi suatu obat, termasuk
cara-cara dalam menentukan kecepatan disolusi suatu zat, menggunakan alat
kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi suatu zat. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, alat uji

disolusi ada dua yaitu; alat uji disolusi tipe keranjang (basket) dan alat uji disolusi
tipe dayung (paddle). Namun, dalam percobaan ini yang digunakan adalah alat uji
disolusi tipe keranjang (basket).
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat
pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan
jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan
larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul
obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane
biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan
larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari
permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat
diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat
yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus
menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat
lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang
diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan
laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa
diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya
diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah
pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam
lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur
hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan
bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet (Martin, 1993). Diperkirakan
bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan
mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in

vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk
merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang
diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya
penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia
sebagai obyek bagi penelitian yang nonesensial; dan keharusan menganggap
adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang
digunakan dalam uji.
Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan
secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat,
terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai
metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti
pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan
tes bioavaibilitas in vitro (Ansel, 1989). Ada dua sasaran dalam mengembangkan
uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan (Ansel, 1989):
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan
laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara
klinis Suplemen 3 dari USPXX/NFXV menetapkan bahwa salah satu dari dua alat
yang dicantumkan harus digunakan dalam pada penentuan laju larut (laju
disolusi). Toleransi uji dinyatakan sebagai persen jumlah atau kadar di etiket obat
dari obat yang larut selama batas waktu. Tes kecepatan melarut telah didesain
untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke
dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat
memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari batch satu ke
batch lainnya.
Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya
suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang
sama dan dapat diulangi (Ansel, 1989). Kecepatan disolusi sediaan sangat
berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat.
Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan
obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan

zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat
aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system
terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim,
pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi
zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Anief, 1997). Kecepatan disolusi dalam
berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam
cairan tubuh.
Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua
kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu (Martin, 2008):
1. Zat aktif mula-mula harus larut
2. Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna.
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang
penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi
telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak
tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan
disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien
terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan
informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Martin,
2008).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi
dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan (Martin, 2008):
A. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo
apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
B. Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan
sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
C. Sistem uji disolusi invitro dapat

digunakan

sebagai

prosedur

pengendalian mutu untuk produk akhir.

D. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari


bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan
hayati telah ditetapkan.

E. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi
dan manufaktur.
F. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
G. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara
dekat sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai.
Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat
diberikan dengan penggunaan system. Faktor yang mempengaruhi
Disolusi (Martin, 2008): 1.
H. Suhu Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh
lima persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
I. Medium Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl.
Dalam beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik
yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah
kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi sink sehinggan
kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam
proses disolusi. Untuk mencapai keadaan sink maka perbandingan zat
aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali
lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium
sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena
suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan
melarut.
Kecepatan Perputaran Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat
kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan
di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membedabedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan
perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada
menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya
dihindarkan. 4.
Ketepatan Letak Vertikal Poros Disini termasuk tegak lurusnya poros
putaran dayung atau keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang
yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang

tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam
bejana. 5.
Goyangnya poros Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih
tinggi karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium.
Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap
percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan
dapat lebih mudah dideteksi. 6.
Vibrasi Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi.
Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air
atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi
kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek. 7.
Gangguan pola aliran Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam
bejana disolusi dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil
cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat
merupakan penyebabnya. 8.
Posisi pengambil cuplikan Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan
cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan
permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari
dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang
paling baik pengadukannya.
Formulasi bentuk sediaan Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan
melarut yang aneh tidaklah selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi
beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya
sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel dari zat
berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama
dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur.
Kalibrasi alat disolusi Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan
orang, ternyata hal ini merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa
melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek
alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50
mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau

keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap
enam bulan sekali.
IV. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika II


Makassar: UMI Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik
UGM Press. Yogyakarta. Ansel, Howard C. 1989.

Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI-Press Ditjen POM. 1995.


Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta Ditjen

POM. 1995.
Farmakope Indonesia Edisi IV . Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Gennaro, A. R., et all. 1990.


Remingtons Pharmaceutical Sciensces. Edisi 18th, Marck Publishing

Company, Easton, Pensylvania Moechtar. 1990.


Farmasi Fisika. Yogyakarta: UGM Press Martin, A., Swarbrick, J., &

Cammarata, A. 2008.
Farmasi Fisik 2. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Martin, A., et.all.
1993. Farmasi Fisika Edisi III . Universitas Indonesia Press. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai