Anda di halaman 1dari 29

Kasus Pembunuhan Anak Sendiri

Pendahuluan
Pembunuhan anak sendiri menurut UU di Indonesia adalah pembunuhan yang dilakukan oleh
seorang ibu atas anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama setelah dilahirkan ,
karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak.
Aspek hukum[1]
Pasal 338 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 339 KUHP
Pembunuh an yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya,
atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal
tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya
secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Pasal 340 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima
tahun.
Pasal 353 KUHP
(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama 9
tahun.
Pasal 354 KUHP

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena melakukan
penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun.
Pasal 355 KUHP
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama 15tahun.

Aspek Medikolegal[2]
Kewajiban Dokter Membantu Peradilan
Pasal 133 KUHAP
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut
dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Penjelasan Pasal 133 KUHAP
2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman
disebut keterangan.
Pasal 179 KUHAP
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah

atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenanr-benarnya


menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Bentuk Bantuan Dokter Bagi Peradilan Dan Manfaatnya
Pasal 183 KUHAP
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannnya.
Pasal 184 KUHAP
1) Alat bukti yang sah adalah:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Pertunjuk
- Keterangan terdakwa
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 186 KUHAP
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 180 KUHAP
1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, Hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta
agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum
terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim
memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2)
Sangsi Bagi Pelanggar Kewajiban Dokter
Pasal 216 KUHP
1) Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya. Demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau
memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah,

menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan,


diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda
paling banyak sembilan ribu rupiah.
2) Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan
undang-undang terus-menerus

atau untuk

sementara waktu diserahi tugas

menjalankan jabatan umum.


3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidanya
dapat ditambah sepertiga.
Pasal 222 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 224 KUHP
Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau
jurubahasa, dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut undangundang ia harus melakukannnya:
1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9
bulan.
2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.
Pasal 522 KUHP
Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa,
tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.
Rahasia Jabatan dan Pembuatan Ska/ V Et R

Peraturan Pemerintah No 26 tahun 1960 tentang lafaz sumpah dokter


Saya bersumpah/ berjanji bahwa:
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perkemanusiaan
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai
dengan martabat pekerjaan saya.

Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan karena keilmuan saya sebagai dokter.dst.

Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran.

Pasal 1 PP No 10/1966
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya
dalam lapangan kedokteran.
Pasal 2 PP No 10/1966
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut
dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi
daripada PP ini menentukan lain.
Pasal 3 PP No 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.
Pasal 4 PP No 10/1966
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang
tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri
kesehatan dapat melakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang
tenaga kesehatan.
Pasal 5 PP No 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang
disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakantindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 322 KUHP

1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena


jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah.
2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.
Pasal 48 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

Identifikasi forensik
a. Pemeriksaan terhadap bayi[2]
Lahir Mati atau Lahir Hidup
Pada pemeriksaan mayat baru lahir, harus dibedakan apakah ia lahir mati atau
lahir hidup. Bila bayi lahir mati maka kasus tersebut bukan merupakan kasus
pembunuhan, atau penelantaran anak hingga menimbulkan kematian. Pada kasus
seperti ini, si ibu hanya dapat dikenakan tuntutan menyembunyikan kelahiran dan
kematian orang.
Lahir mati (still birth) adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan dari ibunya, tanpa mempersoalkan usia kehamilan (baik sebelum maupun
sesudah kehamilan berumur 28 minggu dalam kandungan). Kemudian ditandai oleh
janin yang tidak bernapas atau tidak menunjukkan tanda kehidupan lain, seperti
denyut jantung, denyut nadi tali puat atau gerakan otot rangka.
Tanda-tanda maserasi (aseptic decomposition). Merupakan proses pembusukan
intrauterine, yang berlangsung dari luar ke dalam (berlainan dengan proses
pembusukan yang berlangsung dari dalam ke luar). Tanda maserasi baru terlihat
setelah 8-10 hari kematian inutero. Bila kematian baru terjadi 3 atau 4 hari, hanya
terlihat perubahan pada kulit saja, berupa vesikel atau bula yang berisi cairan
kemerahan. Bila vesikel atau bula memecah akan terlihat kulit berwara merah
kecoklatan. Tanda-tanda lain adalah epidermis berwarna putih dan berkeriput, bau
tengik (bukan bau busuk), tubuh mengalami perlunakan sehingga dada terlihat
mendatar, sendi lengan dan tungkai lunak, sehingga dapat dilakukan hiperkestensi,
otot atau tendon terlepas dari tulang. Pada bayi yang mengalami maserasi, organ-

organ tampak basah tapi tidak berbau busuk. Bila janin telah lama sekali meninggal
dalam kandungan, akan terbentuk litopedion.
Dada belum mengembang. Iga masih datar dan diafragma masih setinggi iga ke 3-4.
Sering sukar dinilai bila mayat telah membusuk.
Pemeriksaan makroskopik paru. Paru-paru mungkin masih tersembunyi di belakang
kantung jantung atau telah mengisi rongga dada. Pada 75% kasus paru-prau telah
menngisi rongga dada, baik pada bayi yang lahir mati maupun lahir hidup. Paru-paru
berwarna kelabu ungu merata seperti hati, konsistensi padat tidak teraba derik udara,
dan pleura yang longgar (slack pleura). Berat paru-paru kira-kira 1/70 x berat badan.
Uji apung paru. Uji ini harus dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch
technique), paru-paru tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya
artefak pada sediaan histopatologik jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.
Lidah dikeluarkan seperti biasa di rahang bawah, ujung lidah dijepit dengan
pinset atau klem, kemudia ditarik kea rah ventrokaudal sehingga terdapat palatum
mole. Dengan scalpel yang tajam, palatum mole disayat sepanjang perbatasannya
dengan paratum durum. Faring, laring, esofagus bersama dengan trakea dilepaskan
dari tulang belakang. Esofagus bersama dengan trakea diikat dibawah kartilago
krikoid dengan benang. Pengikatan ini dimaksudkan agar pada manipulasi berikutnya
cauran ketuban, mekonium atau benda asing lain tidak mengalir ke luar melalui
trakea; bukan untuk mencegah masuknya udara ke dalam paru.
Pengeluaran organ dari lidah sampai paru dlakukan dengan forsep atau pinset
bedah dan scalpel, tidak boleh dipegang dengan tangan. Kemudian esofagus diikat
diatas diafragma dan dipotong di atas ikatan. Pengikatan ini dimaksudkan agar udara
tidak masuk ke dalam lambung dan uji apung lambung-usus (uji Breslau) tidak
memberikan hasil yang meragukan.
Setelah semua organ leher dan dada dikeluarkan dari tubuh, lalu dimasukkan
ke dalam air dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Kemudian paru-paru kiri
dan kanan dilepaskan dan dimasukkan kembali ke dalam air, dan dilihat apakah
mengapung atau tenggelam.
Hingga tahap ini, baru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh
karena kemungkinan adanya gas pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung,
diletakkan diantara 2 karton dan ditekan (dengan arah tekanan yang tegak lurus,
jangan bergeser) untuk mengeluarkan gas pembusukan yang terdapat pada jaringan
intersisial paru, lalu masukkan kembali ke dalam air dan diamati apakah masih
mengapung atau tenggelam. Bila masih mengapung berarti paru tersebut berisi udara
residu yang tidak akan keluar.

Kadang-kadang dengan penekanan, dinding alveoli pada mayat bayi yang


telah membusuk lanjut akan pecah juga dan udara residu keluar dan menunjukkan
hasil uji apung paru negatif.
Uji apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan kecil paru
mengingat kemungkinan adanya pernapasa sebagian (partial repiration) yang dapat
bersifat buatan (pernapasan buatan) ataupun alamiah (vagitus uterinus atau vagitus
vaginalis, yaitu bayi sudah bernapas walaupun kepala masih dalam uterus atau dalam
vagina).
Hasil negatif belum berarti pasti lahir mati karena adanya kemungkinan bayi
dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti bernapas meskipun jantung masih berdenyut,
sehingga udara dalam alveoli diresorpsi. Pada hasil uji negatif ini, pemeriksaan
histopatologik paru harus dilakukan untuk memeastikan bayi lahir mati atau lahir
hidup.
Bila sudah jelas terjadi pembusukan, maka uji apung paru kurang dapat
dipercaya, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan. Biasanya paru dengan perangai
maskroskopik lahir mati akan memberikan hasil uji apung paru negatif.
Mikroskopik paru. Setelah paru-paru dikeluarkan dengan teknik tanpa sentuh,
dilakukan fiksasi dengan larutan formalin 10%. Sesudah 12 jam, dibuat irisan-irisan
melintang untuk memungkinkan cairan fiksatif meresap dengan baik ke dalam paru.
Setelah difiksasi selama 48 jam, kemudian dibuat sediaan hhistopatologik. Biasanya
dilakukan pewarnaan HE dan bila perlu telah membusuk digunakan pewarnaan
Gomori atau Ladewig.
Struktur seperti kelenjar bukan merupakan cirri paru bayi yang belum
bernapas, tetapi merupakan cirri paru janin yang nelim mencapai usia gestasi 26
minggu. Tanda khas untuk paru bayi belum bernapas adalah adanya tonjolan
(projection), yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan
bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga tampak seperti gada (club-like).
Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak darah.
Pada paru bayi belum berrnapas yang sudah membusuk, dengan pewarnaan gomori
atau ladewig, tampak serabut-serabut retikulin pada permukaan dinding alveoli
berkelok-kelok seperti rambut yang keriting, sedangkan pada projection berjalan di
bawah kapiler sejajar dengan permukaan projection dan membentuk gelung-gelung
terbuka (open loops).
Serabut-serabut elastin pada dinding alveoli belum terwarnai dengan jelas,
masih merupakan fragmen-fragmen yang tersusun dan belum membentuk sartu

lapisan yang mengelilingi seluruh alveoli. Serabut tersebut tegang, tidak


bergelombang dan tidak terdapat di daerah basis projection.
Pada paru bayi lahir mati mungkin pula ditemukan tanda inhalasi cairan
amnion yang luas karena asfiksia intrauterine, misalnya akibat tertekannya tali pusat
atau solutio plasenta sehingga terjadi pernapasa janin premature (intrauterine
submersion). Tampak sel-sel verniks akibat deskuamasi sel-sel permukaan kulit,
berbentuk persegi panjang dengan inti piknotik berbentuk huruf S, bila dilihat dari
atas samping terlihat seperti bawang (onion bulb). Juga tampak sedikit sel-sel amnion
yang bersifat asidofilik dengan batas tidak jelas dan inti terletak eksentrik dengan
batas yang juga tidak jelas.
Mekonium yang berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua mungkin
terlihat dalam bronkioli dan alveoli. Kadang-kadang ditemukan deskuamasi sel-sel
epitel bronkus yang merupakan tanda dari maerasi dini, atau fagositosis mekonium
oleh sel-sel dinding alveoli. Kolon dapat menggelembung berisi mekoniumm yang
merupakan tanda usaha untuk bernapas (struggle to breath).
Lahir mati ditandai pula oleh ditemukannya

keadaan

yang

tidak

memungkinkan terjadinya kehidupan, seperti trauma persalinan yang hebat,


pendarahan otak yang hebat, dengan atau tanpa robekan tentorium serebeli,
pneumonia intrauterine, kelainan congenital yang fatal seperti anensefalus dan
sebagainya.
Lahir hidup (live birth) adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi yang
lengkap, yang setelah pemisahan, bernapas atau menunjukkan tanda kehidupan lain,
tanpa mempersoalkan usia gestasi, sudah atau belumnya tali pusat dipotong atau uri
dilahirkan.
Pada pemeriksaan ditemukan dada sudah mengembang dan diafragma sudah turun
sampai sela iga 4-5, terutama pada bayi yang telah lama hidup.
Pemeriksaan mikroskopik paru. Paru sudah mengisi rongga dada dan menutupi
sebagian kandung jantung. Paru berwarna merah muda tidak merata dengan pleura
yang tegang (taut pleura), dan menunjukkan gambaran mozaik karena alveoli sudah
terisi udara. Apeks paru kanan paling dulu atau jelas terisi karena halangan paling
minimal. Gambaran marmer terjadi akibat pembuluh darah intersisial berisi darah.
Konsistensi seperti spons, teraba derik udara. Pada pengisian paru dalam air terlihat

jelas keluarnya gelembung udara dan darah. Berat paru bertambah hingga dua kali
atau kira-kira 1/35 kali berat badan karena berfungsinya sirkulasi darah jantung paru.
Uji apung paru memberikan hasil positif. Jika hasil negatif, harus dilanjutkan
dengan pemeriksaan mikroskopik paru. Pemeriksaan mikroskopik paru menunjukkan
alveoli paru yang mengembang sempurna dengan atau tanpa emfisema obstruktif,
serta tidak terlihat adanya projection. Pada pewarnaan Gomori atau Ladewig, serabut
retikulin akan tampak tegang.
Pada pernapasan parsial yang singkat, mungkin hasil uji apung paru negatif
dan mikroskopik memperlihatkan gambaran alveoli yang kolaps dengan dinding yang
berhimpitan atau hampir berhimpit. Kadang-kadang ditemukan edema yang luas
dalam jaringan paru, membrana duktus alveolaris yang tersebar dalam jaringan paru,
yang mungkin berasal dari lemak verniks (membran hialin, yang akan terlihat bila
bayi telah hidup lebih dari 1 jam), atau atelektasis paru akibat obstruksi oleh membran
duktus alveolaris.
Adanya udara dalam saluran cerna dapat dilihat dengan foto rontgen. Udara
dalam duodenum atau saluran yang lebih distal menunjukkan lahir hidup, dan telah
hidup 6-12 jam. Bila dalam usus besar berarti telah hidup 12-24 jam, tetapi harus
diingat kemungkinan adanya pernapasan buatan atau gas pembusukan.

Umur bayi intra dan ekstra-uterine.


Penentuan umur janin/embrio dalam kandungan rumus De Haas, adalah untuk 5 bulan
pertama, panjang kepala-tumit (cm) = kuadrat umur gestasi (bulan) dan selanjutnya =
umur gestasi (bulan) x 5.
Umur
1 bulan

Panjang badan (kepala-tumit)


1 x 1 = 1 cm

2 bulan

2 x 2 = 4 cm

3 bulan

3 x 3 = 9 cm

4 bulan

4 x 4 = 16 cm

5 bulan

5 x 5 = 25 cm

6 bulan

6 x 5 = 30 cm

7 bulan

7 x 5 = 35 cm

8 bulan

8 x 5 = 40 cm

9 bulan

9 x 5 = 45 cm

Perkiraan umur janin dapat pula dilakukan dengan melihat pusat penulangan
(ossification centers) sebagai berikut :
Pusat penulangan pada :
Clavicula

Umur (bulan)
1,5

Tulang panjang (diafisis)

Ischium

Pubis

Calcaneus

5-6

Manubrium sterni

Talus

Akhir 7

Sternum bawah

Akhir 8

Distal femur

Akhir 9 / setelah lahir

Proksimal tibia

Akhir 9 / setelah lahir

Cuboid

Akhir 9 / setelah lahir (bayi wanita lebih cepat)

Pemeriksaan pusat penulangan dapat dilakukan secara radiologis atau pada saat
autopsi dengan cara sebagai berikut :
Calcaneus dan cuboid. Lakukan dorsofleksi kaki dan buat insisi mulai dari antara jari
kaki ke 3 dan ke 4 ke arah tengah tumit. Dengan cara ini dapat dilihat pusat
penulangan pada calcaneus dan cuboid serta talus.
Distal femur dan proksimal tibia. Lakukan fleksi tungkai bawah pada sendi lutut dan
buat insisi melintang pada lutut. Patela dilepas dengan memotong ligamentum patela.
Buat irisan pada femur dari arah distal ke proksimal sampai terlihat pusat penulangan
pada epifisis distal femur (bukan penulangan diafisis). Hal yang sama dilakukan
terhadap ujung proksimal tibia dengan irisan dari proksimal ke arah distal. Pusat

penulangan terletak di bagian tengah berbentuk oval berwarna merah dengan diameter
4-6 mm.
Walaupun dalam undang-undang tidak dipersoalkan umur bayi, tetapi kita haris
menentukan apakah bayi tersebut cukup bulan atau belum cukup bulan (prematur)
ataukah non-viable, karena pada pada keadaan prematur dan nonviable, kemungkinan
bayi tersebut meninggal akibat proses alamiah besar sekali sedangkan kemungkinan
mati akibat pembunuhan anak sendiri adalah kecil.
Viable adalah keadaan bayi/janin yang dapat hidup di luar kandungan lepas dari
ibunya. Kriteria untuk itu adalah umur kehamilan lebih dari 28 minggu dengan
panjang badan (kepala-tumit) lebih dari 35 cm, panjang badan (kepala-tungging) lebih
dari 23 cm, berat badan lebih 1000g, lingkar kepala lebih dari 32 cm, dan tidak ada
cacat bawaan yang fatal. Bayi cukup bulan (matur) bila umur kehamilan >36 minggu
dengan panjang badan kepala-tumit lebih dari 48 cm, panjang badan kepala-tungging
30-33 cm, berat badan 2500-3000g, dan lingkar kepala 33 cm.
Pada bayi cukup bulan, hampir selalu terdapat pusat penulangan distal femur
sedangkan pada proksimal tibia kadang-kadang terdapat atau baru terdapat sesudah
lahir, juga pada tulang cuboid. Pada bayi wanita, pusat penulangan timbul lebih cepat.
Ciri-ciri lain dari bayi cukup bulan adalah : lanugo sedikit, terdapat pada dahi,
punggung, dan bahu; pembentukan tulang rawan telinga telah sempurna (bila daun
telinga dilipat akan cepat kembali ke keadaan semula); diameter tonjolan susu 7 mm
atau lebih; kuku-kuku jari telah melewati ujung-ujung jari; garis-garis telapak kaki
telah terdapat 2/3 bagian depan kaki; testis sudah turun ke dalam scrotum; labia
minora sudah tertutup oleh labia mayora yang telah berkembang sempurna; kulit
berwarna merah muda (pada kulit putih) atau merah kebiruan (pada kulit berwarna),
yang setelah 1-2 minggu berubah menjadi lebih pucat atau coklat kehitam-hitaman;
lemak bawah kulit cukup merata sehingga kulit tidak berkeriput (kulit pada bayi
prematur berkeriput).
Penentuan umur bayi ekstra uterin didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
setelah bayi dilahirkan, misalnya:
Udara dalam saluran cerna. Bila hanya terdapat dalam lambung atau duodenum,
berarti hidup beberapa saat, dalam usus halus berarti telah hidup 1-2 jam, bila dalam

usus besar, telah hidup 5-6 jam, dan bila telah terdapat dalam rektum berarti telah
hidup 12 jam.
Mekonium dalam kolon. Mekonium akan keluar semua kira-kira dalam waktu 24 jam
setelah lahir.
Perubahan tali pusat. Setelah bayi keluar akan terjadi proses pengeringan tali pusat
baik dilahirkan hidup maupun mati. Pada tempat lekat akan terbentuk lingkaran merah
setelah bayi hidup kira-kira 36 jam. Kemudian tali pusat akan mengering menjadi
seperti bendang dalam waktu 6-8 hari dan akan terjadi peneymbuhan luka yang
sempurna bila tidak terjadi infeksi dalam waktu 15 hari. Pada pemeriksaan
mikroskopik daerah yang akan melepas akan tampak reaksi inflamasi yang mulai
timbul setelah 24 jam berupa serbukan sel-sel leukosit berinti banyak, kemudian akan
terlihat sel-sel limfosit dan jaringan granulasi.
Eritrosit berinti akan hilang dalam 24 jam pertama setelah lahir, namun kadangkala
masih dapat ditemukan dalam sinusoid hati.
Ginjal. Pada hari ke 2-4 akan terdapat deposit asam urat yang berwarna jingga
berbentuk kipas (fan-shapped), lebih banyak dalam piramid daripada medula ginjal.
Hal ini akan menghilang setelah hari ke 4 saat metabolisme telah terjadi.
Perubahan sirkulasi darah. Setelah bayi lahir, akan terjadi obliterasi arteri dan vena
umbilikalis dalam waktu 3-4 hari. Duktus venosus akan tertutup setelah 3-4 minggu
dan foramen ovale akan tertutup setelah 3 minggu sampai 1 bulan, tetapi kadangkadang tidak menutup walaupun sudah tidak berfungsi lagi. Duktus arteriosus akan
menutup setelah 3 minggu sampai 1 bulan.
Sudah atau belum dirawat. Pada bayi yang telah dirawat dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
Tali pusat. Tali pusat telah terikat, diputuskan dengan gunting atau pisau lebih kurang
5 cm dari pusat bayi dan diberi obat antiseptik. Bila tali pusat dimasukkan ke dalam
air, akan terlihat ujungnya terpotong rata. Kadang-kadang ibu menyangkal melakukan
pembunuhan dengan mengatakan telah terjadi partus presipiatus (keberojolan). Pada
keadaan ini tali pusat akan terputus dekat perlekatannya pada uri atau pusat bayi
dengan ujung yang tidak rata. Hal lain yang tidak sesuai dengan partus presipiatus

adalah terdapatnya caput sucsadaneum, molase hebat dan fraktur tulang tengkorak
serta ibu yang primipara.
Vernix caseosa (lemak bayi) telah dibersihkan, demikian pula bekas-bekas darah. Pada
bayi yang dibuang ke dalam air vernix tidak akan hilang seluruhnya dan masih dapat
ditemukan di daerah lipatan kulit; ketiak, belakang telinga, lipat paha, dan lipat leher.
Pakaian. Perawatan terhadap bayi antara lain adalah memberi pakaian atau penutup
tubuh pada bayi.
b. Pemeriksaan terhadap ibu[3]
Konsep Polimorfisme
Polimorfisme adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan adanya suatu
bentuk yang berbeda dari suatu struktur dasar yang sama. Jika terdapat variasi /
modifikasi pada suatu lokus yang spesifik (pada DNA) dalam suatu populasi, maka
lokus tersebut dikatakan bersifat polimorfik. Sifat polimorfik ini di samping
menunjukkan variasi individu, juga memberikan keuntungan karena dapat digunakan
untuk membedakan satu orang dari yang lain.
Dikenal polimorfisme protein dan polimorfisme DNA. Polimorfisme protein
antara lain ialah golongan darah, golongan protein serum, sistim golongan enzim
eritrosit dan sistim HLA (Huma Lymphocyte Antigen). Polimorfisme DNA
merupakan suatu polimorfisme pada tingkat yang lebih awal dibandingkan
polimorfisme protein, yaitu tingkat kode genetik atau DNA. Pemeriksaan
polimorfisme DNA meliputi pemeriksaan Sidik DNA (DNA fingerprint), VNTR
(Variable Number of Tandem Repeats) dan RFLP (Restriction Fragment Length
Polymorphism), secara Southern blot maupun dengan PCR (Polymerase Chain
Reaction).
Dibandingkan dengan pemeriksaan polimorfisme protein, pemeriksaan
polimorfisme DNA menunjukan beberapa kelebihan. Pertama, polimorfisme DNA
menunjukkan tingkat polimorfis yang jauh lebih tinggi, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan terhadap banyak sistem. Kedua, DNA jauh lebih stabil dibandingkan
protein, membuat pemeriksaan DNA masih dimungkinkan pada bahan yang sudah
membusuk, mengalami mummifikasi atau bahkan pada jenazah yang tinggal kerangka
saja. Ketiga, distribusi DNA sangat luas meliputi seluruh sel tubuh, sehingga berbagai
bahan mungkin untuk digunakan sebagai bahan pemeriksaan. Keempat, dengan

ditemukannya metode PCR, bahan DNA yang kurang segar dan sedikit jumlahnya
masih mungkin untuk dianalisis.
Pemeriksaan DNA Fingerprint
Pemeriksaan sidik DNA pertama kali dperkenalkan oleh Jeffreys pada tahun
1985. Pemeriksaan ini didasarkan atas adanya bagian DNA manusia yang termasuk
daerah non-coding atau intron (tak mengkode protein) yang ternyata merupakan
urutan basa tertentu yang berulang sebanyak n kali.
Bagian DNA ini tersebar dalam seluruh genom manusia sehingga dinamakan
multilokus. Bagian DNA ini dimiliki oleh smua orang tetapi masing-masing individu
mempunyai jumlah pengulangan yang berbeda-beda satu sama lain, sedemikian
sehingga kemungkinan dua individu mempunyai fragmen DNA yang sama adalah
sangat kecil sekali. Bagian DNA ini dikenal dengan nama Variable Number of
Tandem Repeats (VNTR) dan umumnya tersebar pada bagian ujung kromosom.
Seperti juga DNA pada umumnya, VNTR ini diturunkan dari kedua orangtua menurut
hukum Mendel, sehingga keberadaanya dapat dilacak secara tidak langsung dari
orangtua, anak maupun saudara kandungnya.
Jeffreys dan kawan - kawan menemukan bahwa suatu fragmen DNA yang
diisolasi dari DNA yang terletak dekat dengan gen globin manusia ternyata dapat
melacak VNTR ini secara simultan. Pelacak DNA (probe) multilokus temuannya ini
dinamakan pelacar Jeffreys yang terdiri dari beberapa probe, diantaranya 16.6 dan
16.15 yang paling sering digunakan.
Pemeriksaan sidik DNA diawali dengan melakukan ekstraksi DNA dari sel
berinti, lalu memotongnya dengan enzim restriksi Hinfl, sehingga DNA menjadi
potongan-potongan. Potongan DNA ini dipisahkan satu sama lain berdasarkan berat
molekulnya (panjang potongan) dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose.
Dengan menempatkan DNA pada sisi bermuatan negatif, maka DNA yang bermuatan
negatif akan ditolak ke sisi lainnya dengan kecepatan yang berbanding terbalik
dengan panjang fragmen DNA. Fragmen DNA yang tleha terpisah satu sama lain di
dalam agar lalu diserap pada suatu membran nitroselulosa dengan suatu metode yang
dinamakan metode Southern blot.
Membran yang kini telah mengandung potongan DNA ini lalu diproses untuk
membuat DNA-nya menjadi DNA untai tunggal (proses denaturasi), baru kemudian
dicampurkan dengan pelacak DNA yang telah dilabel dengan bahan radioaktif dalam

proses yang dinamakan hibridisasi. Pada proses ini pelacak DNA akan bergabung
dengan fragmen DNA yang merupakan basa komplemennya.
Untuk menampilkan DNA yang telah ber-hibridisasi dengan pelacak berlabel
ini, dipaparkanlah suatu film diatas membran sehingga film akan terbakar oleh adanya
radioaktif tersebut (proses autoradiografi). Hasil pembakan film oleh sinar radioaktif
ini akan tampak pada fil berupa pita-pita DNA yang membentuk gambaran serupa
Barcode (label barang di supermarket).
Dengan metode Jeffreys dan menggunakan 2 macam pelacak DNA umumnya
dapat dihasilkan sampai 20-40 buah pita DNA per-sampelnya. Pada kasus identifikasi
mayat tak dikenalm dilakukan pembandingan pita korban dengan pita orangtua atau
anak-anak tersangka korban. Jika korban benar adalah tersangka maka akan
didapatkan bahwa separuh pita anak akan cocok dengan ibunya dan separuhnya lagi
cocok dengan pita ayahnya. Hal yang sama juga dapat dilakukan pada kasus ragu
ayah (disputed paternity).
Analisis VNTR Lain
Setelah penemuannya Jeffreys ini, banyak terjadi penemuan VNTR lain.
Metode pemeriksaanpun menjadi beraneka ragam dengan menggunakan enzim
restriksi, sistim labeling pelacak dan pelacak yang berbeda, meskipun semua masih
menggunakan metode Southern blot seperti metode Jeffreys.
Setelah kemudian ditemukan suatu pelacak yang dinamakan pelacak lokus
tunggal (single locus), maka mulailah orang mengalihkan perhatiannya pada metode
baru ini. Pada sistim pelacakan dengan pelacak tunggal, yang dilacak pada suatu
pemeriksaan hanyalah satu lokus tertentu saja, sehingga pada analisis selanjutnya
hanya akan didapatkan dua pita DNA saja. Karena pola penurunan DNA ini juga
sama, maka satu pita berasal dari ibu dan pita satunya berasal dari sang ayah.
Adanya jumlah pita yang sedikit ini menguntungkan karena interpretasinya
menjadi lebih mudah dan sederhana. Secara umum, metode Jeffreys dan pelacak
multilokus dianjurkan untuk kasus identifikasi personal, sedang untuk kasus
perkosaan menggunakan metode dengan pelacak lokus tunggal.
Pemeriksaan RFLP
Polimorfisme yang dinamakan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
adalah suatu polimorfisme DNA yang terjadi akibat adanya variasi panjang fragmen

DNA setelah dipotong dengan enzim restriksi tertentu. Suatu enzim restriksi
mempunyai kamampuan memotong DNA pada suatu urutan basa tertentu sehingga
akan menghasilkan potongan-potongan DNA tertentu. Adanya mutasi tertentu pada
lokasi pemotongan dapat membuat DNA yang biasanya dapat dipotong menjadi tak
dapat dipotong sehingga membentuk fragmen DNA yang lebih panjang. Variasi inilah
yang menjadi dasar metode analisis RFLP.
VNTR yang telah dibicarakan di atas sesungguhnya adalah salah satu jenis RFLP,
karena variasi fragmennya didapatkan setelah pemotongan dengan enzim restriksi.
Metode pemeriksaan RFLP dapat dilakukan dengan metode Southern blot tetapi dapat
juga dengan metode PCR.
Metode PCR
Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu metode untuk memperbanyak
fragmen DNA tertentu secara in vitro dengan menggunakan enzim polimerase DNA.
Kelompok Cetus pada tahun 1985 menemukan bahwa DNA yang dicampur dengan
deoksiribonukleotida trifosfat atau dNTP (yang terdiri dari ATP, CTP, TTP dan GTP),
enzim polimerase DNA dan sepasang primer jika dipanaskan, didinginkan lalu
dipanaskan lagi akan memperbanyak diri dua kali lipat. Jika siklus ini diulang
sebanyak n kali, maka DNA akan memperbanyak diri 2n kali lipat.
Yang dimaksud dengan primer adalah fragmen DNA untai tunggal yang sengaja
dibuat dan merupakan komplemen dari bagian ujung DNA yang akan diperbanyak,
sehingga dapat diibaratkan sebagai patok pembatas bagian DNA yang akan
diperbanyak.
Adanya mesin otomatis untuk proses ini membuat prosedurnya menjadi amat
sederhana. DNA hasil perbanyakan dapat langsung dianalisis dengan melakukan
elektroforesis pada gel agarose atau gel poliakrilamide.
LokusDNA yang dapat dianalisis dengan metode PCR, meliputi banyak sekali lokus
VNTR maupun RFLP lainnya, diantaranya lokus D1S58 (dulu disebut D1S80) dan
D2S44. Metode analisis dengan PCR ini begitu banyak disukai sehingga penemuanpenemuan lokus DNA polimorfik yang potensial untuk analisis kasus forensik terus
terjadi tanpa henti setiap saat.
Pada masa sebelum berkembangnya teknologi bio-molekuler, identifikasi personal
dilakukan hanya dengan memanfaatkan pemeriksaan polimorfisme protein, seperti
golongan darah, dengan segala keterbatasannya. Keterbatasan pertama, ia hanya

dimungkinkan dilakukan pada bahan yang segar karena protein cepat rusak oleh
pembusukan. Keterbatasan kedua, ia hanya dapat memberikan kesimpulan eksklusi
yaitu "pasti bukan" atau "mungkin".
Pada metode konvensional, untuk mempertinggi ketepatan kesimpulan pada
kelompok yang tak terkesklusi, pemeriksaan harus dilakukan terhadap banyak sistim
sekaligus.
Penemuan DNA fingerprint yang menawarkan metode eksklusi dengan kemampuan
eksklusi yang amat tinggi membuatnya menjadi metode pelengkap atau bahkan
pengganti yang jauh lebih baik karena ia mempunyai ketepatan yang nyaris seperti
sidik jari.
Dengan mulai diterapkannya metode PCR, kemampuan metode ini untuk
memperbanyak DNA jutaan samapi milyaran kalomemungkinkan dianalisisnya
sampel forensik yang jumlahnya amat minim, seperti analisis kerokan kuku (cakaran
korban pada pelaku), bercak mani atau darah yang minim, puntung rokok dsb.
Kelebihan lain dari pemeriksaan dengan PCR adalah kemampuannya untuk
menganalisis bahan yang sudah berdegradasi sebagian. Hal ini penting karena banyak
dari sampel forensik merupakan sampe postmortem yang tak segar lagi.
Pemeriksaan TKP[2]
Dasar pemeriksaan adalah hexameter, yaitu menjawab 6 pertanyaan : (1) apa yang terjadi, (2)
siapa yang tersangkut, (3) dimana dan kapan terjadi, (4) bagaimana terjadinya dan (5)
dengan apa melakukannya, serta (6) kenapa terjadi peristiwa tersebut. Bila korban masih
hidup maka tindakan yang paling utama dan pertama bagi dokter adalah menyelamatkan
korban dengan tetap menjaga keutuhan TKP.
Perlengkapan yang sebaiknya dibawa pada saat pemeriksaan di TKP adalah kamera, film
berwarna dan hitam putih (untuk ruangan gelap), lampu kilat, lampu senter, lampu ultraviolet,
alat tulis dan tempat menyimpan barang bukti berupa amplop atau kantong plastik, pinset,
skapel, jarum, tang, kaca pembesar, termometer rectal, termometer rangan, sarung tangan,
kapas, kertas saring serta alat tulis (spidol) untuk memberi label pada benda bukti.
Pada pemeriksaan TKP didapatkan bayi terbungkus kain, masih terdapat plasenta, dan bayi
dinyatakan cukup bulan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan.

Teknik autopsi forensik[3]

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadinya kematian.
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam
empat fase, yaitu:
a. Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan karbon
dioksida dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata,
sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan
darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan
tangan.
b. Fase konvulsi. Akibat kadar karbon dioksida yang naik maka akan timbul rangsangan
terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi, yang mula-mula berupa
kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme
opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak
akibat kekurangan oksigen.
c. Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan
dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin, dan tinja.
d. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernafasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya
berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari
tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100 persen maka waktu kematian akan lebih lama
dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Pembekapan adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang menghambat pemasukan udara
ke paru-paru. Pembekapan menimbulkan kematian akibat asfiksia.
Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa :

a. Bunuh diri. Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya
pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur,
bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut.
b. Kecelakaan. Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau
selimut. Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu tempat yang sempit
dengan sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantung plastik.
c. Pembunuhan. Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri.
Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar jenazah
mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan
tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet tekan atau geser, goresan kuku, memar
pada ujung hidung, bibir, pipi, dagu yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
Luka memar atau lecet pada bagian atau permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong
dan menekan gigi, gusi, dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban.

Thanatologi[2]
1. Tanda yang segera dikenali setelah kematian.

Berhentinya sirkulasi darah.

Berhentinya pernafasan.

2. Tanda-tanda kematian setelah beberapa saat kemudian:


a. Perubahan temperatur tubuh (algor mortis)
Suhu tubuh pada orang yang sudah meninggal perlahan-lahan akan sama
dengan suhu lingkungannya karena mayat tersebut akan melepaskan panas dan
suhunya menurun. Kecepatan penurunan suhu pada mayat bergantung kepada suhu
lingkungan dan suhu mayat tu sendiri. Pada iklim yang dingin maka penurunan suhu
mayat berlangsung cepat.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Suhu Mayat
1. Usia. Penurunan suhu lebih cepat pada anak-anak dan orang tua dibandingkan
orang dewasa.

2. Jenis kelamin. Wanita mengalami penurunan suhu tubuh yang lebih lambat
dibandingkan

pria karena jaringan lemaknya lebih banyak.

3. Lingkungan sekitar mayat. Jika mayat berada pada ruangan kecil tertutup tanpa
ventilasi kecepatan penurunan suhu mayat akan lebih lambat dibandingkan jika
mayat berada pada tempat terbuka dengan ventilasi yang cukup.
4. Pakaian. Tergantung pakaian yang di pakai tebal atau nipis atau tidak
berpakaian.
5. Bentuk tubuh. Mayat yang berbadan kurus akan mengalami penurunan suhu
badan yang lebih cepat.
6. Posisi tubuh. Mayat dalam posisi terlentang mengalami penurunan suhu yang
lebih cepat.
b. Lebam mayat (livor mortis)
Lebam mayat terjadi akibat terkumpulnya darah pada jaringan kulit dan
subkutan disertai pelebaran pembuluh kapiler pada bagian tubuh yang letaknya
rendah atau bagian tubuh yang tergantung. Keadaan ini memberi gambaran berupa
warna ungu kemerahan.Setelah seseorang meninggal, mayatnya menjadi suatu
benda mati sehingga darah akan berkumpul sesuai dengan hukum gravitasi. Lebam
mayat pada awalnya berupa barcak. Dalam waktu sekitar 6 jam, bercak ini semakin
meluas yang pada akhirnya akan membuat warna kulit menjadi gelap. Pembekuan
darah terjadi dalam waktu 6-10 jam setelah kematian. Lebam mayat ini bisa berubah
baik ukuran maupun letaknya tergantung dari perubahan posisi mayat. Karena itu
penting sekali untuk memastikan bahwa mayat belum disentuh oleh orang lain.
Posisi mayat ini juga penting untuk menentukan apakah kematian disebabkan
karena pembunuhan atau bunuh diri.
Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan
penyebab kematian :
a. Merah kebiruan merupakan warna normal lebam
b. Merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN atau suhu dingin
c. Merah gelap menunjukkan asfiksia
d. Biru menunjukkan keracunan nitrit
e. Coklat menandakan keracunan aniline
c. Kaku mayat (rigor mortis)

Perubahan otot yang terjadi setelah kematian bisa dibagi dalam 3 tahap :
1. Periode relaksasi primer (flaksiditas primer)
Hal ini terjadi segera setelah kematian. Biasanya berlangsung selama 2-3 jam.
Seluruh otot tubuh mengalami relaksasi,dan bisa digerakkan ke segala arah.
Iritabilitas otot masih ada tetapi tonus otot menghilang. Pada kasus di mana
mayat letaknya berbaring rahang bawah akan jatuh dan kelopak mata juga akan
turun dan lemas.
2. Kaku Mayat
Kaku mayat akan terjadi setelah tahap relaksasi primer. Keadaan ini berlangsung
setelah terjadinya kematian tingkat sel, dimana aktivitas listrik otot tidak ada
lagi. Otot menjadi kaku. Fenomena kaku mayat ini pertama sekali terjadi pada
otot-otot mata, bagian belakang leher, rahang bawah, wajah, bagian depan leher,
dada, abdomen bagian atas dan terakhir pada otot tungkai. Akibat kaku mayat
ini seluruh mayat menjadi kaku, otot memendek dan persendian pada mayat
akan terlihat dalam posisi sedikit fleksi. Keadaan ini berlangsung selama 24 48 jam pada musim dingin dan 18 - 36 jam pada musim panas. Penyebabnya
adalah otot tetap dalam keadaan hidrasi oleh karena adanya ATP. Jika tidak ada
oksigen, maka ATP akan terurai dan akhirnya habis, sehingga menyebabkan
penumpukan asam laktat dan penggabungan aktinomiosin (protein otot).
3. Periode Relaksasi Sekunder
Otot menjadi relak (lemas) dan mudah digerakkan. Hal ini terjadi karena
pemecahan protein, dan tidak mengalami reaksi secara fisik maupun kimia.
Proses pembusukan juga mulai terjadi. Pada beberapa kasus, kaku mayat sangat
cepat berlangsung sehingga sulit membedakan antara relaksasi primer dengan
relaksasi sekunder.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kaku Mayat
1) Keadaan Lingkungan. Pada keadaan yang kering dan dingin, kaku mayat lebih
lambat terjadi dan berlangsung lebih lama dibandingkan pada lingkungan yang
panas dan lembab. Pada kasus di mana mayat dimasukkan ke dalam air dingin,
kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lebih lama.
2) Usia. Pada anak-anak dan orangtua, kaku mayat lebih cepat terjadi dan
berlangsung tidak lama. Pada bayi prematur biasanya tidak ada kaku mayat.

Kaku mayat baru tampat pada bayi yang lahir mati tetapi cukup usia (tidak
prematur).
3) Cara kematian. Pada pasien dengan penyakit kronis, dan sangat kurus, kaku
mayat cepat terjadi dan berlangsung tidak lama. Pada pasien yang mati
mendadak, kaku mayat lambat terjadi dan berlangsung lebih lama.
4) Kondisi otot. Terjadi kaku mayat lebih lambat dan berlangsung lebih lama pada
kasus di mana otot dalam keadaan sehat sebelum meninggal, dibandingkan jika
sebelum meninggal keadaan otot sudah lemah
3.

Tanda-tanda kematian setelah selang waktu yang lama:


a. Proses pembusukan
Perubahan warna. Perubahan ini pertama kali tampat pada fossa iliaka kanan
dan kiri berupa warna hijau kekuningan, disebabkan oleh perubahan hemoglobin
menjadi sulfmethemoglobin. Perubahan warna ini juga tampak pada seluruh
abdomen, bagian depan genitalia eksterna, dada, wajah dan leher. Dengan semakin
berlalunya waktu maka warnanya menjadi semakin ungu. Jangka waktu mulai
terjadinya perubahan warna ini adalah 6-12 jam pada musim panas dan 1-3 hari pada
musin dingin. Perubahan warna tersebut juga diikuti dengan pembengkakan mayat.
Otot sfingter mengalami relaksasi sehingga urin dan faeses keluar. Lidah juga terjulur.
Bibir menebal, mulut membuka dan busa kemerahan bisa terlihat keluar dari rongga
mulut. Mayat berbau tidak enak disebabkan oleh adanya gas pembusukan. Gas ini
bisa terkumpul pada suatu rongga sehingga mayat menjadi tidak mirip dengan korban
sewaktu masih hidup. Gas ini selanjutnya juga bisa membentuk lepuhan kulit
Lepuhan Kulit (blister)
Mulai tampak 36 jam setelah meninggal. Kulit ari dapat dengan cukup mudah
dikelupas. Di mana akan tampak cairan berwarna kemerahan yang sedikit
mengandung albumin. Jika pembusukan terus berlangsung, maka bau busuk yang
timbul akan menarik lalat untuk hinggap pada mayat. Lalat menempatkan telurnya
pada mayat, di mana dalam waktu 8-24 jam telur akan menetas menghasilkan larvayang sering disebut belatung. Dalam waktu 4-5 hari, belatung ini lalu menjadi pupa,
dimana setelah 4-5 hari kemudian akan menjadi lalat dewasa. Pada tahap ini bagian
dari tulang tengkorak mulai tampak. Rektum dan uterus juga tampak dan uterus
gravid juga bisa mengeluarkan isinya Rambut dan kuku dengan mudah dapat dicabut.

Bagian perut dan dada bisa pecah berhubung besarnya tekanan gas yang di
kandungnya. Jika pembusukan terus berlangsung, maka jaringan jaringan menjadi
lunak, rapuh dan berwarna kecoklatan.
Organ Tubuh Bagian Dalam
Organ tubuh bagian dalam juga mengalami perubahan. Bentuk perubahan sama
seperti diatas, jaringan-jaringan menjadi berwarna kecoklatan. Ada yang cepat
membusuk dan ada yang lambat.
Jaringan yang cepat membusuk :

Laring

Trakea

Otak terutama pada anak-anak

Lambung

Usus halus

Hati

Limpa

Jaringan yang lambat membusuk :

Jantung

Paru-paru

Ginjal Prostat

Uterus non gravid

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pembusukan.


a. Temperatur. Temperatur yang paling cocok untuk proses pembusukan adalah
antara 700F sampai 1000F. Pembusukan akan melambat diatas temperatur 1000F
dan dibawah 700F, dan berhenti dibawah 320 F atau diatas 2120F .
b. Udara. Udara yang mempercepat pembusukan. Kecepatan pembusukan lebih
lambat didalam air dan dalam tanah dibandingkan di udara terbuka.
c. Kelembaban. Keadaan lembab mempercepat proses pembusukan.
d. Penyebab kematian. Bagian tubuh yang terluka biasanya lebih cepat membusuk.
Beberapa jenis racun bisa memperlambat pembusukan, misalnya arsen, zinc
(seng) dan golongan logam antimon. Mayat penderita yang meninggal karena
penyakit kronis lebih cepat membusuk dibandingkan mayat orang sehat.

b. Saponifikasi atau adiposera


Fenomena ini terjadi pada mayat yang tidak mengalami proses pembusukan
yang biasa. Melainkan mengalami pembentukan adiposera. Adiposera merupakan
subtansi yang mirip seperti lilin yang lunak, licin dan warnanya bervariasi mulai dari
putih keruh sampai coklat tua. Adiposera mengandung asam lemak bebas, yang
dibentuk melalui proses hidrolisa dan hidrogenasi setelah kematian. Adanya enzim
bakteri dan air sangat penting untuk berlangsungnya proses tersebut. Dengan
demikian, maka adiposera biasanya terbentuk pada mayat yang terbenam dalam air
atau rawa-rawa. Lama pembentukan adiposera ini juga bervariasi, mulai dari 1
minggu sampai 10 minggu. Kepentingan medikolegal dari adiposere adalah dapat
menunjukkan tempat kematian (kering, panas atau tempat basah).
c. Mumifikasi
Mayat mengalami pengawetan akibat proses pengeringan dan penyusutan bagian-bagian
tubuh. Kulit menjadi kering, keras dan menempel pada tulang kerangka. Mayat menjadi lebih
tahan dari pembusukan sehingga masih jelas menunjukkan ciri-ciri seseorang. Fenomena ini
terjadi pada daerah yang panas dan lembab, di mana mayat dikuburkan tidak begitu dalam
dan angin yang panas selalu bertiup sehingga mempercepat penguapan cairan tubuh. Lama
terjadinya mummifikasi adalah antara 4 bulan sampai beberapa tahun. Kepentingan
medikolegal dari mummifikasi adalah dapat menunjukkan tempat kematian (kering, panas
atau tempat basah).
Traumatologi forensik[2]
Memar adalah suatu pendarah dalam jaringan bawah kutis/kulit akibat pecahnya kapiler dan
vena, yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka memar kadangkala memberi
petunjuk tentang bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya adalah
suatu pendarahan tepi (marginal hemorrhage).
Luka, bentuk, dan luas luka memar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti besarnya
kekerasan, jenis benda penyebab (karet, kayu, besi), kondisi dan jenis jaringan (jaringan ikat
longgar, jaringan lemak), usia, jenis kelamin, corak, dan warna kulit, kerapuhan pembuluh
darah, penyakit (hipertensi, penyakit kardiovaskuler, diatesis hemoragik).

Pada bayi, hematom cenderung lebih mudah terjadi karena sifat kulit yang longgar dan masih
tipisnya jaringan lemak subkutan, demikian pula pada usia lanjut sehubungan dengan
menipisnya jaringan lemak subkutan dan pembuluh darah yang kurang terlindung.
Akibat gravitasi, lokasi hematom mungkin terletak jauh dari benturan, misalnya kekerasan
benda tumpul pada dahi menimbulkan hematom palpebra atau kekerasan benda tumpul pada
paha dengan patah tulang paha menimbulkan hematom ada sisi luar tungkai bawah.
Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Pada saat
timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah menjadi warna ungu atau hitam, setelah 4
sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian berubah menjadi warna kuning dalam 7
sampai 10 hari, dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna tersebut
berlangsung mulai dari tepi dan waktunya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai
faktor yang mempengaruhinya.
Dari sudut pandang medikolegal, intepretasi luka memar dapat merupakan hal yang penting,
apalagi bila lika memar tersebut disertai luka lecet atau laserasi. Dengan perjalanan waktu,
baik pada orang hidup maupun mati, luka memar akan memberi gambaran yang makin jelas.
Hematom ante-mortem yang timbul beberapa saat sebelum kematian biasanya akan
menunjukkan pembengkakan dan infiltrasi darah dalam jaringan sehingga dapat dibedakan
dari lebam mayat dengna cara melakukan penyayatan kulit. Pada lebam mayat (hipostasis
pascamati) darah akan mengalir keluar dari pembuluh darah yang tersayat sehingga bila
dialiri air, penampang sayatan tetap berwarna merah kehitaman. Tetapi harus diingat bahwa
pada pembusukan juga terjadi ekstravasasi darah yang dapat mengacaukan pemeriksaan ini.
Luka lecet tekan disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Karena kulit adalah
jaringan yang lentur, maka bentuk luka lecet tekan belum tentu sama dengan bentuk
permukaan benda tumpul tersebut, tetapi masih memungkinkan identifikasi benda penyebab
yang mempunyai bentuk yang khas misalnya kisi-kisi radiator mobil, jejas gigitan, dan
sebagainya. Gambaran luka lecet tekan yang ditemukan pada mayat adalah daerah kulit yang
kaku dengan warna lebih gelap dari sekitarnya akibat menjadi lebih padatnya jaringan yang
tertekan serta terjadinya pengeringan yang berlangsung pasca mati.

Visum et Repertum[4]

Menurut bahasanya berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat), et
(dan), dan repertum (melaporkan). Visum et repertum adalah keterangan tetulis yang dibuat
oleh dokter (Pasal 133 KUHAP ayat 1), berisi temuan dan pendapat berdasarkan keilmuannya
tentang hasil pemeriksaan medis terhadap manusia atau bagian dari tubuh manusia, baik yang
hidup maupun mati, atas pemintaan tertulis (resmi; Pasal 133 KUHAP ayat 2) dari penyidik
yang berwenang (Pasal 133 KUHAP ayat 1) yang dibuat atas sumpat atau dikuatkan dengan
sumpah untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum adalah alat bukti surat dimana
merupakan satu dari lima alat bukti yang sah (Pasal 184 KUHAP) selain keterangan saksi,
keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Visum et repertum dibtuhkan pada kasus :
Luka (Pasal 133 KUHAP ayat 1)
Keracunan
Mati
Maka penyidik akan mencantumkan dalam surat permintaan visumnya, visum apa
yang diinginkan (Pasal 133 KUHAP ayat 2), sesuai dengan kebutuhan atas keterangan yang
mereka perlukan.
Pada kasus korban luka, jenis kasus yang umumnya dimintakan visum et repertum
oleh penyidik adalah kasus-kasus :

Kecelakaan lalu lintas


Kecelakaan kerja
Penganiayaan
Percobaan pembunuhan
Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap anak
Dugaan malpraktik
Visum et repertum terdiri dari lima bagian yaitu :

1. Projustisia
2. Pendahuluan
Bagian ini tidak diberi judul Pendahuluan. Merupakan uraian tentang identitas dokter
pemeriksa, instansi pemeriksa, tempat dan waktu pemeriksaan, instansi peminta visum,
nomor dan tanggal surat permintaan, serta identitas korban yang diperiksa sesuai dengan
permintaan visum et repertum tersebut.

Di bagian ini dicantumkan ada/tidaknya label identifikasi dari pihak penyidik, bentuk,
dan bahan label serta isi label identifikasi yang dilekatkan pada benda bukti, biasanya
pada ibu jari kaki kanan mayat.
3. Pemberitaan
Diberi judul Hasil Pemeriksaan. Memuat semua hasil pemeriksaan terhadap barang
bukti yang dituliskan secara sistematik, jelas, dan dapat dimengerti oleh orang yang
tidak berlatar belakang kedokteran.
Pada pemeriksaan jenazah, bagian ini terbagi tiga bagian, yaitu :
a. Pemeriksaan luar
b. Pemeriksaan dalam (bedah jenazah)
c. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan pendukung lainnya
4. Kesimpulan
Diberi judul Kesimpulan. Berisi kesimpulan pemeriksa atas hasil pemeriksaan dengan
berdasarkan keilmuan/keahliannya. Pada korban hidup berisi setidaknya jenis perlukaan
atau cidera, penyebab, serta derajat luka.
Apabila memungkinkan, tuliskan juga saat kematian dan petunjuk tentang kekerasan
ataupun pelakunya.
5. Penutup
Tanpa judul. Merupakan uraian kalimat penutup yang menyatakan bahwa visum et
repertum dibuat dengan sebenarnya, berdasarkan kelimuan mengingat sumpah dan sesuai
dengan KUHAP.

Daftar Pustaka
1. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia. Peraturan perundang-undangan
bidang kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 1994.h.1-25
2. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia. Ilmu kedokteran forensik. Edisi
ke-2. Jakarta: FKUI; 1997.h42-4.
3. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia. Teknik autopsy forensic. Edisi ke4. Jakarta: FKUI; 2000.h.
4. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta: FKUI; 2013.h.1-15

Anda mungkin juga menyukai