Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

MODUL KARDIOVASKULAR
PEMICU 3

KELOMPOK DISKUSI 2
Muthiah Azzahra
Dwi Wahyuningsih
Diana Putri Lestari
Feddy Setiady
Zulfa Khairunnisa Ishan
Sarah Ersha Mutiari
Aulianissa Pujiasari
Yalenko Afirio
Titah Arief Cahyo Kumoro
Arini Utami Putri
Gata Dila
Sadam Husen

I11112071
I1011131013
I1011141004
I1011141019
I1011141021
I1011141035
I1011141045
I1011141048
I1011141050
I1011141056
I1011141068
I1011141076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke IGD dibawa oleh


keluarganya dengan keluhan sesak nafas. Keluhan sesak dirasakan sejak 3
bulan terakhir. Sesak nafas dirasakan terutama pada malam hari sehingga
pasien sering terbangun dan mengganggu tidur. Pasien mengaku nyaman
jika tidur dengan posisi agak tinggi dengan 2-3 bantal sebagai penahan.
Sesak juga dirasakan saat berganti posisi dari tidur ke duduk atau duduk ke
posisi berdiri. Pasien mengeluhkan mudah lelah meskipun melakukan
aktivitas ringan, pasien juga suka berdebar dan batuk di malam hari
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sesak. Kesadaran
compos mentis. Tekanan darah 170/90 mmHg, denyut nadi 135 x/menit,
pernafasan 30 x/menit, suhu 36,60 C. Tekanan Vena jugularis 5+4 CmH2O.
Pada auskultasi jantung didapatkan s1-s2 ireguler, s3 (+). Pemeriksaan
paru : ronki basah halus di basal paru kanan dan kiri, pemeriksaan
abdomen : hepar teraba membesar dengan konsistensi keras, lien dan ren
tidak teraba. Pemeriksaan ekstremitas : pitting edema yang tidak nyeri pada
ke dua tungkai.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
a. Ronki, yaitu suara nafas tambahan bernada redah terdengar tidak
mengenakkan.
b. S1, yaitu bunyi jantung petama dan berbunyi keras dana terjadi karena
penutupan katuo AV sebagaai tanda awalan sistol ventrikel.
c. S2, yaitu bunyi kedua dan berbunyi lebih halus dan terjadi karena
penutupan katup SL sebagai tanda awalan diastok ventrikel
d. S3, yaitu bunyi jantung patologis pada pengisian cepat ventrikel.
e. Kesadaran compos mentis, yaitu kesadaran normal atau sadar
sepenuhnya.
1.3 Kata Kunci
a. Laki-laki 55 tahun
b. Sesak nafas sejak 3 bulan terakhir
c. Paroxysmal nocturnal dyspnea
d. Ronki basah halus
e. Pitting edema kedua tungkai

f.
g.
h.
i.
j.
k.

Hepatomegali
S1, S2 irreguler, S3 positif
Tekanan darah 170/90 mmHg
Denyut nadi 135 x/menit
Pernafasan 30 x/menit
TVJ 5+4 cmH2O

1.4 Rumusan Masalah


Apa yang muungkin dialami oleh laki-laki 55 tahun yang mengalami
sesak nafas pada malam hari, mudah lelah dan berdebar walaupun
melakukan aktivitas ringan?

1.5 Analisis Masalah

Prognosis

DD: Gagal Jan


Penyakit Jantu

1.6 Hipotesis
Laki-laki 55 tahun mengalami gagal jantung kongestif
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Gagal Jantung Kongestif
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Etiologi
d. Manifestasi Klinis
e. Patofisiologi
f. Epidemiologi
g. Faktor Risiko
h. Diagnosis
i. Tatalaksana
j. Prognosis
2. Jelaskan mengenai Penyakit Jantung Hipertensi!
3. Bagaimana perbedaan bunyi jantung normal dan abnormal?
4. Jelaskan mengenai pemeriksaan vena jugularis!
5. Jelaskan mengenai ronkhi!
6. Bagaimana hubungan berganti posisi terhadap keluhan pasien?
7. Bagaimana pengaruh hipertensi terhaap keluhan?
8. Apa yang menyebabkan edema pada kedua tungkai?
9. Mengapa sesak nafas dan batuk terjadi pada malam hari?
10. Bagaimana tatalaksana kegawatdaruratan terhadap pasien takikardi?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gagal Jantung Kongestif


2.1.1 Definisi

Diag

Gagal jantung bukan berarti jantung telah berhenti bekerja,


melainkan gagal jantung berarti bahwa kekuatan memompa jantung
lebih lemah dari normal.
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan
adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekanan pengisian ventrikel kiri.(1)
Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung.
Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik
atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload
dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada
pasien. Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan
gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal
jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung
kronis.(2,3)
2.1.2 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara
epidemiologi cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal
jantung, di negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi
merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkemban
yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan
penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat
sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada
keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung
koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal
jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.(2,3)

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot


jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi
yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup
ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif
atau inflamasi.(1)
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium
karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia
dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung.

Peradangan

dan

penyakit

miokardium

degeneratif

berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara


langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas
menurun.
1. Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load)
meningkatkan

beban

kerja

jantung

dan

pada

gilirannya

mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.


2. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung
yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung.
Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah
yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan
jantung

untuk

mengisi

darah

(tamponade,

pericardium,

perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak


after load.
4. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (missal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan
anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis

respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat


menurunkan kontraktilitas jantung.
2.1.3 Klasifikasi
Pada pasien gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis
fungsional dapat dikategorikan berdasarkan kriteria New York Heart
Association (NYHA) Functional Classification.(4)
1)

NYHA I
Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan
dalam aktivitas fisik sehari-hari misalnya berjalan, naik tangga
dan sebagainya.

2)

NYHA II
Gejala ringan (sesak napas ringan dan/atau angina) serta
terdapat keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-hari
biasa.

3)

NYHA III
Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat gagal
jantung pada tingkatan yang lebih ringan, misalnya berjalan 20100 m. Pasien hanya merasa nyaman saat istirahat.

4)

NYHA IV
Terdapt keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya muncul
saat istirahat.
Klasifikasi berdasarkan American College Of Cardiology (ACC)

and The American Heart Association (AHA):(5)


1) Kelas I
Pasien dengan penyakit jantung. Tidak terdapat batasan
dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
2) Kelas II

Pasien dengan penyakit jantung. Terdapat batasan aktifitas


ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik
sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
3) Kelas III
Pasien dengan penyakit jantung. Terdapat batasan aktifitas
bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas
fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
4) Kelas IV
Pasien dengan penyakit jantung. Tidak dapat melakukan
aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Tanda dominan : (1)

Meningkatnya volume intravaskuler


Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat
akibat penurunan curah jantung. Manifestasi kongesti berbeda
tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.

Gagal Jantung Kiri :

Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel


kiri tak mampu memompa darah yang dating dari paru.

Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :


Dispnea, Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan
mengganggu pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnoe. Beberapa
pasien dapat mengalami ortopnoe pada malam hari yang

dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)


Batuk
Mudah lelah, Terjadi karena curah jantung yang kurang yang
menghambat jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta
menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi

karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan

insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk


Kegelisahan atau kecemasan, Terjadi karena akibat gangguan
oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan
pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.

Gagal jantung Kanan :

Kongestif jaringan perifer dan visceral


Oedema ekstremitas bawah (oedema dependen), biasanya oedema

pitting, penambahan BB.


Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen

terjadi akibat pembesaran vena hepar


Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis

vena dalam rongga abdomen


Nokturia
Kelemahan

Pasien gagal jantung akut dapat muncul dengan kondisi klinis:(4)

Acute decompensated heart failure, dapat baru pertama kali (de


novo) atau dekompensasi dari gagal jantung kronis (acute on
chronic).

Hypertensive acute heart failure. Gejala gagal jantung dengan


tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel yang masih baik,
apabila ada gambarann edema paru akut.

Edema paru. Sesak napas hebat, dengan ronki basah kasar


terutama di basal [aru, ortopnea, saturasi O 2 < 90%, dikonfirmasi
dengan foto rontgen dada.

Syok kardiogenik. Adanya bukti hipoperfusi jaringan walaupun


volume telah dikoreksi. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg,
produksi urin 0,5 cc/KgBB/jam, dengan laju nadi > 60 kali/menit
(tidak ada blok jantung) dengan atau tanpa kongesti organ/paru.

High output failure. Gejala curah jantung tinggi, laju nadi yang
cepat, akral hangat, kongesti paru, kadang-kadang tekanan darah
rendah seperti syok septik.

Gagal jantung kanan. Gejala curah jantung rendah, peningkatan


tekanan vena jugularis, serta pembesaran hati dan hipotensi.

2.1.5 Patofisiologi
Gagal

jantung

terjadi

akibat

sejumlah

proses

yang

mengakibatkan penurunan kapasitas pompa jantung seperti iskemia,


hipertensi, infeksi, dan sebagainya. Penurunan kapasitas awalnya
akan dikompensasi oleh mekanisme neurohormonal: sistem saraf
adnergik, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan sisem sitokin.
Kompensasi awal bertujuan untuk menjaga curah jantung dengan
meningkatkan tekanan pengisian ventrikel (preload) dan kontraksi
miokardium. Namun, aktivitas sistem tersebut akan menyebabkan
kerusakan sekunder pada ventrikel seperti remodelling ventrikel kiri
dan dekompensasi jantung. Kadar angiotensin II, aldosteron, dan
katekolamin akan semakin tinggi mengakibatkan fibrosis dan
apoptosis miokardium yang bersifat progresif. Pada tahap yang lebih
lanjut, penurunan fungsi ini juga akan disertai peningkatan risiko
terjadinya aritmia jantung. Prinsip neurohormonal inilah yang
mendasari terapi gagal jantung saat ini.(4)
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi
baik pada jantung dan secara sistemik. Jika stroke volume kedua
ventrikel

berkurang

oleh

karena

penekanan

kontraktilitas

atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan


pada akhir diastolik dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Ini
akan meningkatkan panjang serabut miokardium akhir diastolik,
menimbulkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini
berlangsung lama, terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat
istirahat masih bisa baik tapi, tapi peningkatan tekanan diastolik

yang berlangsung lama/kronik akan dijalarkan ke kedua atrium dan


sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler
akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan dan
timbul edema paru atau edema sistemik. Penurunan cardiac output,
terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan arterial atau
penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf
dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan
memacu kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena ;
perubahan yang terkhir ini akan meningkatkan volume darah sentral.
yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi
adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi
itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu , takikardi dan
peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya
iskemia pada pasien pasien dengan penyakit arteri koroner
sebelumnya dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti
pulmoner.
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi
perifer ;adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke
organ organ vital, tetapi jika aktivasi ini sangat meningkatmalah
akan menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Resitensi vaskuler
perifer dapat juga merupakan determinan utama afterload ventrikel,
sehingga aktivitas simpatis berlebihan dapat meningkatkan fungsi
jantung itu sendiri. Salah satu efek penting penurunan cardiac
outputadalah penurunan aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan
filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan retensi sodium dan
cairan. Sitem rennin angiotensin aldosteron juga akan teraktivasi,
menimbulkan peningkatan resitensi vaskuler perifer selanjutnta dan
penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium dan
cairan. Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar
arginin vasopresin dalam sirkulasi yang meningkat, yang juga
bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan. Pada gagal

jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat


peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi
resistensi terhadap efek natriuretik dan vasodilator.

Gambar 1. Aktivasi sistem neuorhormonal pada jantung(6)


2.1.6 Epidemiologi
Menurut American Heart Association, gagal jantung menyerang
hampir 5,7 juta orang Amerika. Dengan peningkatan kelangsungan
hidup pasien dengan infark miokard akut dan dengan populasi yang
berlanjut usia, gagal jantung akan terus meningkat dan mencolok
sebagai masalah kesehatan utama di Amerika Serikat.(711)
Meskipun penurunan lebih dari satu dekade-panjang (20002012) dalam kejadian kematian terkait dengan gagal jantung di
Amerika Serikat, kematian tersebut meningkat, khususnya di

kalangan laki-laki dan populasi kulit hitam non-Hispanik, menurut


2000- 2014 data yang dirilis oleh Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) pada bulan Desember 2015. Total
seluruh kematian terkait gagal jantung menurun dari 103,1 kematian
per 100.000 penduduk di 2.000-89,5 pada tahun 2009; kemudian
meningkat menjadi 96,9 pada 2014. Berdaasakan usia yang
disesuaikan kematian terkait gagal jantung menurun dari 105,4
kematian per 100.000 penduduk standar dalam 2.000-81,4 pada
tahun 2012; kemudian meningkat menjadi 83,4 pada tahun 2013 dan
84,0 pada tahun 2014. Kecenderungan ini tampaknya mewakili
pergeseran dari penyakit jantung koroner sebagai penyebab kematian
gagal

jantung

menuju

penyebab

kardiovaskular

dan

non

kardiovaskuler lainnya, termasuk keganasan, diabetes, penyakit


pernapasan bawah kronis, dan penyakit ginjal.(12,13)
Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar antara 0,4 sampai 2%
dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74
tahun. Prognosis gagal jantung akan menjadi buruk apabila dasar
atau penyebabnya tidak diperbaiki. Setengah dari populasi pasien
gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis
ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50%
akan meninggal dalam tahun pertama.(14)
Gagal jantung merupakan masalah yang meluas hingga ke
seluruh dunia, dengan lebih dari 20 juta orang menderita gagal
jantung. Prevalensi gagal jantung pada orang dewasa di negara
berkembang mencapai 2%. Prevalensi gagal jantung akan meningkat
seiring peningkatan usia, dan diderita 6 sampai 10% pada individu
yang melebihi umur 65 tahun.(15)
2.1.7 Faktor Risiko
Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri koroner
dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko

terpenting kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari


kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, diabetes dan penyakit katup
jantung.
2.1.8 Diagnosis
Kriteria gagal jantung, klasifikasi, dan penentuan stadium
Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung dapat dilihat
dengan adanya 2 kriteria mayor maupun 1 mayor dan 2 kriteria
minor.(16)
Kriteria mayor meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

Paroxysmal nocturnal dyspnea


Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari dalam pengobatannya
Distensi vena leher
Rales
Edema paru akut
Hepatojugular refluks
S 3 gallop
Central venous pressure lebih besar dari 16 cm
Waktu sirkulasi dari 25 detik
Kardiomegali radiografi
Edema paru, kongesti viseral, atau kardiomegali di otopsi

Kriteria minor adalah sebagai berikut:


a. Batuk nocturnal
b. Dyspnea saat aktivitas biasa
c. Penurunan kapasitas vital oleh salah satu nilai maksimal ketiga
dicatat
d. Efusi pleura
e. Takikardia (tingkat 120 bpm)
f. Bilateral pergelangan kaki edema
The New York Heart Association (NYHA) sistem klasifikasi
mengkategorikan gagal jantung pada kelas I sampai IV, sebagai
berikut:(17,18)
Gejala pasien
1) Kelas I

Pasien dengan penyakit jantung. Tidak terdapat batasan


dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
2) Kelas II
Pasien dengan penyakit jantung. Terdapat batasan aktifitas
ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas
fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
3) Kelas III
Pasien dengan penyakit jantung. Terdapat batasan aktifitas
bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas
fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
4) Kelas IV
Pasien dengan penyakit jantung. Tidak dapat melakukan
aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.
Assessment Objektif
1) Tidak ada bukti objektif penyakit kardiovaskular. Tidak ada
gejala dan tidak ada batasan dalam aktivitas fisik biasa.
2) Bukti obyektif penyakit kardiovaskular minimal. gejala ringan
dan keterbatasan sedikit selama aktivitas biasa. Nyaman saat
istirahat.
3) Bukti obyektif penyakit kardiovaskular cukup parah. Ditandai
keterbatasan dalam aktivitas karena gejala, bahkan selama
aktivitas yang kurang biasa. Nyaman hanya pada saat istirahat.
4) Bukti obyektif penyakit kardiovaskular yang berat. keterbatasan
parah. Pengalaman gejala bahkan ketika beristirahat.
2.1.9 Tatalaksana
Pengobatan meliputi:

a. Terapi nonfarmakologis: Oksigen dan non-invasif ventilasi


tekanan positif, natrium diet dan pembatasan cairan, aktivitas
fisik yang sesuai, dan perhatian terhadap bertambahnya berat
badan
b. Farmakoterapi:

Diuretik,

vasodilator,

agen

inotropik,

antikoagulan, beta blockers, dan digoxin.


Diuretic oral maupun parental tetap merupakan ujung ombak
pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai
euvolemik). ACE- inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker
(ARB) dosis kecil dapat dimulai secara euvolemik sampai dosis
optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai
setelah diuretic dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.(19)
Digitalis diberikan bila ada aritmia supraventrikular atau ketiga
obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi
digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun atau kadar
kalium rendah.(19)
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretic
atau pada pasien dengan hipokalemia dan ada beberapa studi yang
menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian alat bantu seperti cardiac resychronization therapy
(CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (intra-cardiac
defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal
jantung akibat iskemia atau non-iskemia dapat memperbaiki status
fungsional dan kualitas hidup, namun mahal.(19)
Bantuan Sirkulasi & Transplantasi Jantung
Bantuan Sirkulasi
Alat bantu sirkulasi dapat dipakai untuk menopang fungsi
ventrikel atau menggantikan jantung yang gagal. Alat bantu dapat
berupa pintas kardiopulmonar, pmpa balon intra-aorta, dan alat bantu
ventrikel.(20)

1. Pintas kardiopulmonar
Mesin pintas kardiopulmonar mempunyai beberapa fungsi
sebagai berikut: (1) oksigenasi darah, (2) mendinginkan darah
untuk menginduksi hipotermia sistemik dan menurunkan
kebutuhan oksigen jaringan, dan (3) filrasi darah untuk
membuang udara dan partikel-partikel lain.
2. Pompa balon intra aorta
Balon

intra-aorta

ditempatkan

pada

aorta

toraksika

desendens yang terletak tepat disebelah distal arteria subklavia


sinistra. Balom dimasukkan perkutan atau melalui arteriotomi
femoralis dan disusupkan retrograde melalui aorta abdominalis
desenden. Balom kemudian mengembang dan mengempis sesuai
dengan peristiwa mekanis dari siklus jantung. Selama ejeksi
ventrikel arau dalam fase sistol, maka balon harus dikempiskan.
Selama diastole ventrikel, balon dikembangkan.
3. Alat bantu ventrikel
Indikasi tersering penggunaan VAD (ventricle assist
devices) adalah sebagai jembatan untuk transplantasi. Pada
metode

ini,

VAD

digunakan

untuk

menstabilkan

dan

mempertahankan pasien yang mungkin akan meninggal sebelum


tersedianya jantung. Setelah jantung donor tersedia, maka
dukungan VAD tidak lagi dilanjutkan. Indikasi kedua pada
penggunaan VAD adalah sebagai jembatan pemulihan. Indikasi
penggunaan

adalah

syok

kardiogenik

atau

kegagalan

memisahkan diri dengan pintas kardiopulmonar. Kedua kaadaan


ini harus refrakter terhadapat terapi farmakologi konvensional
dan pemompaan balon intra-aorta. Bantuan ventrikel bertujuan
untuk menstabilkan sirkulasi sambil menunggu pulihnya
miokardium. Indikasi terakhir penggunaan VAD adalah ebagai
terapi tujuan. Pada keadaan ini, VAD mungkin merupakan terapi

terakhir. Penelitian mengenai penggunaan VAD ini maih terus


berlangsung.
4. Jantung buatan
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk
mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap
ketiga penentu utama fungsi miokardium, baik secara secara sendirisendiri ataupun gabungan dari ; (1) beban awal, (2) kontraktilitas,
dan (3) beban akhir. Penanganan biasanya dimulai bila timbul gejala
saat beraktifutas biasa. Regimen penanganan secara progresif
ditingaykan sampai mencapai respons klinis yang diinginkan.
Eksaserbasi akut dari gagal jantung atau perkembangan menuju
gagal jantung berat dapat menjadi alasan untuk perawatan di rumah
sakit dan penanganan yang lebih agresif.
Pengurangan beban awal
Pembatasan asupan garam dalam makanan akan mengurangi
beban awal dengan menurunkan retensi cairan. Apabila gejala- gejala
menetap dengan pembatasan garam yang sedang, diperlukan
pemberian deuretik oral untuk mengatasi retensi natrium dan air.
Biasanya diberikan regimen diuretik maksimum sebelum dilakukan
pembatasan asupan natrium yang ketat. Diet yang tidak mempunyai
rasa dapat menghilangkan nafsu makan dan menyebabkan gizi
buruk.
Vasodilatasi vena dapat menurunkan beban awal melalui
redistribusi darah dari sentral ke sirkulasi perifer. Venodilatasi
menyebabkan mengalirnya darah ke perifer dan mengurangi aliran
balik vena ke jantung. Pada situasi yang ekstrim mungkin diperlukan
pengeluaraan cairan melalui hemodialisis miokardium.
Perbaikan fungsi ventrikel yang menyertai pengurangan beban
awal. Ventrikel yang gagal akan bekerja menurut kurva fungsi
ventrikel yang menurun dan menddatar. EDV ( volume akhir

diastolik) diturunkan dengan diuretik dan pembatasan natrium, titik


pada kurva yang berhubungan dengan pergeseran fungsi ventrikel.
Gejala- gejala kongesti dapat diredakan dengan penurunan EDV,
namun volume sekuncup dan curah jantung akan tetap stabil dengan
terapi beban awal yang optimal karena terjadi pergeseran di
sepanjang daerah kurvayang mendatar.
Peningkatan kontraktilitas
Obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium.
Mekanisme pasti yang menghasilkan efek intropik positif ini masih
belum jelas, tetapi petunjuk umum tampaknya adalah meningkatnya
persediaan kalsium intrasel untuk protein- protein kontraktil, aktin
dan miosin. Ion kalsium sangat berguna untuk terbentuknya
jembatan penghubung antara protein kontraktil dan selanjutnya
kontraksi otot.
Dua golongan obat inotropik dapat dipakai: (1) glikosida
digitalis, dan (2) obat nonglikosida. Obat nonglikosida meliputi amin
simpatomimetik, seperti epinefrindan norepinefrin, dan penghambat
fosfodiesterasse,

seperto

amrinon

dan

enoksimon.

Amin

simpatomimetik meningkatkan kontraktilitas secara langsung dengan


merangsang reseptor beta adrenergik pada miokardium, dan secara
tidak langsung melepaskan norepinefrin dari medula adrenal.
Fosfodiesterase adalah enzim yang menyebabkan pemecahan suatu
senyawa, adenosin monofosfat ciklik (cAMP), yang memulai
perpindahan kalsium ke dalam sel melalui saluran kalsium lambat.
Penghambatan PDE meningkatkan kadar cAMP dalam darah,
sehingga meningkatkan kadar kalsium intrasel. Penghambat PDE
juga mengakibatkan vasodilatasi.
Obat inotropik memeprbaiki fungsi ventrikel dengan menggeser
ke seluruh kurva fungsi ventrikel kiri ke atasdan ke kiri sehingga
curah jantung lebih besar pada volume dan tekanan akhir diastolik

tertentu. Peningkatan aliran darah ke depan mengakibatkan


menurunnya EDV, akan tercapai titik optimal pada kurva fungsi
ventrikel sehingga gejala mereda dan curah jantung dipertahankan.
Pengurangan beban akhir
Dua respon kompensasi terhadap gagal jantung ( aktivasi sistem
simpatis dan sistem renin Angiotensin- aldosteron) menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi yang selanjutnya meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel dan beban akhir. Dengan meningkatnya
beban akhir, kerja jantung bertambah dan curah jantung menurun.
Vasodilator arteri akan menekan efek- efek negatif tersebut.
vasodilator umum yang sering dipakai mengakibatkan dilatasi
anyaman vaskuler dengan dua cara ; (1) dilatasi langsung otot polos
pembuluh darah, dan (2) hambatan enzim Conferting Angiotensin.
Vasodilator langsung terdiri atas obat- obatan seperti hidralazin dan
nitrat. Supaya efektif hiralazin harus dikombinasikan dengan nitrat.
Kombinasi obatyang paling sering adalah hidralazin- isosorbid
dinitrat yang dapat dikombinasikan dengan terapi enzim penghambat
konversi

angiotensin

atau

diberikan

sendiri

apabila

pasien

penghambat enzim konversi angiotensin tidak dapat ditoleransi. .


Penghambat enzim konversi angiotensin menghambat konversi
angiotensin

menjadi

angotensin

II.

Efek

ini

mencegah

vasokonstriksi yang diinduksi angiotensin, dan juga menghambat


produksi aldosteron dan retensi cairan. Penghambat enzim konversi
angiotensin memeberikan harapan besar untuk penanganan gagal
jantung. Akibatnya terapi vasodilator oral kini diberikan lebih awal,
yaitu untuk gagal jantung NYHA kelas II dan bukan pada kelas III
atau IV.
Vasodilator arteri mengurangi tahanan terhadap ejeksi ventrikel
dapat terjadi lebih mudah dan sempurna. Beban jantung berkurang
dan curah jantung meningkat. Dengan penaganan yang optimal,

penurunan

tekanan

arteri

biasanya

tidak

bermakna

karena

peningkatan curah janrung menghilangkan kemungkinan penurunan


tekanan darah yang biasanya timbul jika pasien hanya diberi
vasodilator.
Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa obat penyekat beta
adrenergik efektif menurunkan morbiditas pada gagal jantung.
Carvedilol merupakan satu- satunya obat penyekat beta yang
disetujui oleh U.S Food and Drugs Administration untuk penggunaan
pada gagal jantung dan sebaiknya obat penyakit beta terpilih pada
penderita gagal jantung ringan sampai seddang. Propanolol,
metropolol, atau timolol dapat digunakan pada pasienn asimtomatis
tanpa disfungsi ventrikel kiri yang menyertai infark miokardium.
2.1.10

Prognosis
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks,

banyak variabel seperti yang harus diperhitungkan seperti etiologi,


usia, ko-morbiditas, variasi progresi gagal jantung tiap individu yang
berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah mendadak atau progresif
akibat gagal jantung). Dampak pengobatan spesifik gagal jantung
terhadap tiap individu pun sulit untuk diperkirakan.(21)
2.2 Jelaskan mengenai Penyakit Jantung Hipertensi!
Hipertensi atau tekanan darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang
dibawa

oleh

darah

terhambat

sampai

ke

jaringan

tubuh

yang

membutuhkannya. Kemudian terjadi pengerasan arteri akibat gangguan


tekanan darah yang tidak normal pada hipertensi. (22)
Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik
(hipertensi esensial), yang memungkinkan umur panjang, kecuali apabila
infark miokardium, kecelakaan serebrovaskular, atau penyulit lainnya.
Selain itu terdapat pula jenis hipertensi lainnya yang disebut dengan

hipertensi sekunder, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh gangguan organ


lainya. Gangguan ginjal yang dapat menimbulkan hipertensi yaitu,
glomerulonefritis akut, penyakit ginjal kronis, penyakit polikistik, stenosis
arteria renalis, vaskulitis ginjal, dan tumor penghasil renin. Gangguan pada
sistem endokrin juga dapat menyebabkan hipertensi, dintaranya seperti
hiperfungsi adrenokorteks (sindrom Cushing, aldosteronisme primer,
hiperplasia

adrenal

kongenital,

ingesti

licorice),

hormon

eksogen

(glukokortikoid, estrogen, makanan yang mengandung tiramin dan


simpatomimetik,

inhibitor

monoamin

oksidase),

feokromositoma,

akromegali, hipotiroidisme, dan akibat kehamilan. Gangguan pada sistem


kardiovaskular seperti koarktasio aorta, poliarteritis nodosa, peningkatan
volume intravaskular, peningkatan curah jantung, dan rigiditas aorta juga
dapat menyebabkan hipertensi, begitu pula dengan gangguan neurologik
seperti psikogenik, peningkatan intrakranium, apnea tidur, dan stres akut.
(23)
Penatalaksanaan umum hipertensi dapat mengacu kepada tuntutan
umum berdasarkan JNC VIII. Pengelolaan lipid agresif dan pemberian
aspirin sangat bermanfaat. Selain itu pasien hipertensi pasca infark jantung
sangat mendapat manfaat dengan pengobatan dengan beta blocker, ACE
inhibitor atau antialdosteron. Pasien hipertensi dengan risiko PJK yang
tinggi mendapat manfaat dengan pengobatan diuretik, beta blocker dan
calcium channel blocker. Adapun pasien hipertensi dengan gangguan fungsi
ventrikel mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik, ACE
inhibitor/ARB, beta blocker dan antagonis aldosteron. Apabila sudah
mencapai tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip pengobatan yang
dilakukan antara lain diuretik, ACE inhibitor/ARB, beta blocker dan
antagonis aldosteron.(14)
Penatalaksanaan (pencegahan dan pengobatan) Hipertensi secara garis
besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu:(21)
1.

Penatalaksanaan Non Farmakologis

Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi


Penurunan berat badan

Memperoleh dan mempertahankan BMI

Reduksi garam
Adaptasi rencana

ideal, dan pencegahan obesitas


< 5 gr NaCl / hari
Diet yang kaya buah-buahan, sayur-

diet

jenis-DASH

sayuran, konsumsi makanan rendah asam

Pengurangan

lemak jenuh dan kolesterol


Mengurangi konsumsi alcohol

konsumsi

alcohol
Aktivitas fisik

bagi

mereka yang mengkonsumsi alcohol


Aktivitas latihan fisik secara teratur,
seperti jalan cepat selama 30 menit / hari

2.

Pentalaksanaan Farmakologis
Golongan obat-obatan yang diberikan pada klien dengan
hipertensi seperti obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium,
atau penghambat ACE, vasodilator langsung, dapat digunakan dengan
memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada
penderita.

2.3 Bagaimana perbedaan bunyi jantung normal dan abnormal?


1. S1
S1 disebabkan menutupnya katup mitral dan tricuspid pada awal
systole dan terdengar paling keras pada apex jantung. Walaupun
penutupan katup mitral mendahului penutupan katup tricuspid, kedua
suara hanya berjarak 0,01 detik, dengan demikian hanya terdengar
sebagai satu suara pada telinga manusia. Pengecualian pada pasien
dengan RBBB dengan komponen suara yang berbeda karena
keterlambatan kontraksi ventrikel kanan dan keterlambatan penutupan
katup tricuspid.(24)
2. S2
Suara jantung kedua terjadi karena penutupan katup pulmonal dan
aorta dengan begitu memiliki dua komponen yaitu aorta (A2)

dan

pulmonal(P2). Tidak seperti S1, yang biasanya terdengar sebagai satu

suara, komponen S2 dipengaruhi siklus respirasi: suara tersebut secara


normal tergabung sebagai satu suara pada saat ekspirasi tetapi terdengar
terpisah pada saat inspirasi, situasi yang disebut splitting normal atau
physiologis.(24)
Terdapat tiga jenis splitting abnormal dari S2: widened, fixed, dan
paradoxical. Widened splitting dari S2 terjadi dengan meningkatnya jarak
antara A2 dan P2, sehingga kedua komponen tersebut terdengar terpisah
bahkan saat ekspirasi dan akan semakin terpisah saat inspirasi. Pola ini
biasanya terjadi karena keterlambatan penutupan katub pulmonal, yang
terjadi karena RBBB dan stenosis katup pulmonal.(24)
Fixed splitting dari S2 adalah keadaan perbedaan abnormal dari
interval A2 dan P2 yang tetap terjadi tanpa dipengaruhi siklus respirasi.
Abnormalitas paling sering yang menyebabkan fixed splitting dari S2
adalah atrial septal defect(ASD). Pada kondisi ini kelebihan volume
kronik pada sirkulasi bagian kanan menyebabkan tingginya capacitance,
dan

rendahnya

resistance

vascular

sistem

vascular.

Perubahan

hemodynamic pada arteri pulmonal memperlambat tekanan balik yang


bertanggung jawab terhadap penutupan katup pulmonal. Dengan
demikian P2 terjadi lebih lambat dibanding normal, bahkan saat
ekspirasi, sehingga terdapat jarak abnormal antara A2 dan P2. Pola
splitting tidak berubah ketika siklus respirasi karena inspirasi tidak
meningkatkan capacitance pulmonal, dan peningkatan pengisian atrium
kanan dari sistem vena saat inspirasi di lawan dengan berkurangnya
shunt dari kiri ke kanan, mengurangi variasi pengisian ventrikel kanan
pada respirasi.(24)
Paradoxical splitting adalah pemisahan A2 dan P2 ketika ekspirasi
yang menyatu menjadi satu suara pada saat inspirasi, berkebalikan
dengan situasi normal. Hal itu menggambarkan keterlambatan abnormal
dari penutupan katup aorta sehingga P2 terjadi sebelum A2. Pada orang
dewasa, Penyebab paling sering adalah LBBB. Pada LBBB penyebaran
aktivitas listrik dari kiri terhambat, sehingga kontraksi ventrikel terlambat

dan penutupan katup aorta terlambat, menyebabkan A2 secara abnormal


mengikuti P2. Pada saat inspirasi seperti pada saat normal, suara
penutupan katup pulmonal menjadi terlambat dan suara penutupan katub
aorta terjadi lebih awal. Hal ini menyebabkan penyempitan dari kedua
suara, sehingga tidak terdapat perbedaan saat inspirasi. Paradoxical
splitting juga dapat terjadi ketika ejeksi dari ventrikel diperlama, seperti
pada keadaan stenosis aorta.(24)
3. S3
Ketika terjadi, S3 terjadi pada awal diastole, terjadi ketika
pembukaan katup AV,saat pengisian cepat ventrikel. Suara S3 normal
didapatkan pada anak dan dewasa muda. Pada kelompok ini, S3
menandakan keadaan ventrikel yang baik yang dapat mengembang pada
awal diastole. Tetapi, ketika terdengar pada dewasa, suara S3 biasanya
tanda penyakit, mengindikasi volume berlebihan pada gagal jantung
kongestif, atau peningkatan aliran transvalvular yang diikuti regurgitasi
mitral dan tricuspid. Suara S3 patologis biasanya disebut sebagai
ventricular gallop.(24)
4. S4
Ketika S4 muncul, biasanya terjadi pada akhir diastole dan terjadi
pada saat kontraksi atrium. Suara ini muncul dari kontraksi atrium kiri
(atau kanan) melawan ventrikel yang kaku. Dengan begitu kemunculan
S4 biasanya menjadi penanda penyakit jantung. S4 biasanya disebut
sebagai atrial gallop.(24)
5. Murmur(24)
Murmur adalah suara yang disebabkan aliran turbulent. Pada kondisi
normal, pergerakan darah pada dasar vascular adalah laminar, halus, dan
diam. Akan tetapi, atas sebab gangguan structural.
2.4 Jelaskan mengenai pemeriksaan vena jugularis!
Denyut vena jugularis (jugularis venous pressure (JVP) memberikan
informasi langsung mengenai tekanan di jantung kanan, karena sistem

jugular berhubungan langsung dengan atrium kanan. Vena jugularis tidak


terlihat pada orang normal dengan posisi tegak. Vena jugularis baru terlihat
pada

posisi

berbaring

di

sepanjang

permukaan

musculus

sternocleidomastoideus. Pada orang sehat, JVP maksimum 2 cm di atas atau


dibawah sudut sternum. Distensi vena jugularis disebabkan oleh
peningkatan volume dan tekanan pengisian pada sisi kanan jantung. Distensi
>2 cm pada klien dalam posisi duduk, dapat mengindikasikan kelebihan
volume cairan. Naiknya JVP yang diikuti dengan suara jantung ketiga,
merupakan tanda yang spesifik dari gagal jantung.(25)
Tahapan pemeriksaan tekanan vena jugularis antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Buat pasien senyaman mungkin. Angkat kepala pasien sedikit ke atas
bantal untuk merileksan otot sternomastoid.
b. Angkat kepala tempat tidur setinggi 30 derajat. Hadapkan wajah pasien
sedikit jauh dari sisi yang sedang diperiksa.
c. Gunakan pencahayaan yang tidak langsung dan periksa kedua sisi dari
leher. Identifikasi vena jugular eksternal kedua sisi, kemudian temukan
pulsasi vena jugular internal.
d. Jika diperlukan, angkat atau turunkan kepala tempat tidur sampai dapat
melihat titik osilasi atau meniscus dari pulsasi vena jugular internal pada
bagian bawah setegah leher.
e. Fokus pada vena jugular internal kanan. Lihat pulsasi pada suprasternal
notch, diantara otot sternomatoid pada sternum dan klavikula, atau pada
posterior dari sternomastoid.
f. Identifikasi titik tertinggi pulsasi pada vena jugular internal. Panjangkan
objek rectangular atau kartu secara horizontal dari titik ini dan vertical
dari sterna angle, untuk membuat sudut yang benar. Kemudian ukut
jarak vertical dalam centimeter diatas sterna angle dimana objek
horizontal menyilang dengan penggaris dan tambahkan jarak ini dengan
4 cm, jarak dari sterna angle ke senter dari atrium kanan. Jumlah dari
JVP.(26)

Pemeriksaan pada leher untuk melihat vena jugularis, dapat


memberikan gambaran tentang aktifitas jantung. Perubahan aktifitas jantung
dapat memberikan gambaran pada vena

dengan cara menyebabkan

perubahan tekanan vena-vena perifer, bendungan pada vena-vena perifer


dan perubahan pada bentuk pulsus vena. Kesulitan penilaian tekanan vena
jugularis terjadi jika terdapat peningkatan tekanan intratoraks yang
menyebabkan penjalaran tekanan vena dari jantung terhambat, misalnya
pada saat tertawa, sesak, batuk, menangis, mengejan, Manuver Valsava,
pada penderita-penderita dengan emfisema, struma, atau jika terdapat
sklerosis vena jugularis karena usia, pasca kanulasi, dan sebagainya.(26)
Manifestasi gejala ini dapat terlihat pada refluks hepatojuguler yang
dapat dilakukan sebagai berikut: Penderita dibiarkan bernafas biasa,
kemudian dilakukan penekanan pada daerah di bawah arkus kosta kanan
yang

menyebabkan

meningkatnya

tekanan

vena

jugularis

karena

berpindahnya sebagian darah dari hepar akibat penekanan tersebut Pulsasi


vena dapat terlihat terutama pada vena jugularis eksterna dan interna.
Karena tekanannya yang rendah pulsasi ini tak teraba namun dapat terlihat
pada bagian atas dari kolom darah yang mengisinya. Seperti juga pulsus
atrium, terdapat tiga komponen dari pulsus vena yaitu gelombang a
disebabkan karena aktivitas atrium, gelombang c karena menutupnya katup
trikuspid, serta gelombang v yang merupakan desakan katup waktu akhir
sistol ventrikel.(26)

Gambar 2.1 Posisi pasien saat pemeriksaan JVP(27)


2.5 Jelaskan mengenai ronkhi!
Ronki dibagi menjadi 2 macam yaitu ronki basah dengan suara
terputus- putus dan ronki kering dengan suara tidak terputus. Ronki basah
kasar seperti suara gelembung udara besar yang pecah, terdengar pada
saluran napas besar bila terisi banyak secret. Ronki basah sedang seperti
suara gelembung kecil yang pecah, terdengar bila adanya secret pada
saluaran napas kecil dan sedang, biasanya pada bronkiektasis dan
bronkopneumonia. Ronki basah halus tidak mempunyai sifat gelembung
lagi, terdengar seperti gesekan rambut, biasanya pada pneumonia dini.(28)
Ronki kering lebih mudah didengar pada fase ekspirasi, karena saluran
napasnya menyempit. Ronki kering bernada tinggi disebut sibilan, terdengar
mencicit atau squacking, ronki kering akibat ada sumbatan saluran napas
kecil disebut wheeze.

Ronki kering bernada rendah akibat sumbatan

sebagaian saluran napas besar disebut sonourous, terdengar seperti orang


mengerang atau grouning.(28)
2.6 Bagaimana hubungan berganti posisi terhadap keluhan pasien?
Orthopnea yaitu sesak yang terjadi saat berbaring, merupakan salah
satu manifestasi dari gagal jantung dan sering muncul dibandingkan dengan
sesak saat berkativitas. Sesak tersebut terjadi karena adanya redistribusi dari

cairan menuju sirkulasi splanchnic dan ekstremitas bawah menuju sirkulasi


pusat selama berbaring, sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler
pulmonal. Biasanya orthopnea dapat diringankan dengan tidur dalam posisi
tegak lurus dan menambah bantal saat tidur.(15)
Sebagian besar penderita merasakan sesak nafas ketika sedang berada
dalam posisi berbaring karena cairan mengalir ke jaringan paru-paru. Jika
duduk, gaya gravitasi menyebabkan cairan terkumpul di dasar paru-paru dan
sesak akan berkurang. Karena adanya tahanan perifer sistemik menjadi lebih
tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu
berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan
tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua
jaringan tercapai sesuai kebutuhannya.(29)
Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan
hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle
hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan
mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap
ejeksi. Ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru,
sehingga peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan
terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang terjadi meliputi dispnu,
batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardia), kecemasan dan
kegelisahan.(29)

2.7 Bagaimana pengaruh hipertensi terhaap keluhan?


Hipertensi telah dihubungkan dengan peningkatan resiko gagal jantung
pada beberapa penelitian epidemiologis. Hubungan antara hipertensi dan
gagal jantung ini tampaknya merupakan hubungan sebab akibat. Hal ini
dapat terlihat dari gambaran biologis, runutan kejadian (hipertensi yang
mengawali gagal jantung), kuatnya hubungan (2-3x resiko), adanya
hubungan terkait dosis (resiko meningkat dengan derajat peningkatan

tekanan darah), dan dengan konsistensi pada observasi dalam studi


epidemiologi yang berbeda. Dari penelitian, didapatkan penurunan resiko
gagal jantung pada pengobatan peningkatan tekanan darah pada percobaan
klinis dengan kontrol plasebo yang menyingkap dasar dari hubungan ini.
Resiko pada populasi (Population Attributable Risk-PAR) dari hipertensi
menjadi gagal jantung pada populasi umum diperkirakan sekitar 39% pada
pria dan 59% pada wanita. Tingginya nilai resiko ini menunjukan kombinasi
tingginya prevalensi hipertensi sekaligus juga besarnya resiko gagal jantung
akibat hipertensi. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa penanganan
awal dan adekwat terhadap hipertensi dapat menurunkan kejadian gagal
jantung di masyarakat.(30)
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertrofi
ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh
miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat
peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina
dan infark miokardium.(31)
Hubungan antara TD dan risiko kejadian CVD terus berlangsung, dan
konsisten. Semakin meningkat TD, semakin besar peluang terjadinya
serangan jantung, gagal jantung, stroke, dan penyakit ginjal. Adanya
tambahan faktor risiko lain, seperti peningkatan kadar kolesterol, penurunan
HDL, merokok, diabetes, dan LVH menambah risiko terhadap terjadinya
Chronic Heart Disease (CHD). Peningkatan risiko terlihat pada kelompok
umur mulai dari usia 40-89 tahun. Setiap peningkatan TD sistol 20 mmHg
atau diastole 10 mmHg, terdapat peningkatan dua kali lipat mortalitas dari
penyakit jantung iskemik (IHD) dan stroke. Hipertensi juga mendahului
perkembangan dari gagal jantung mencapai 90% pasien dan meningkatkan
risiko gagal jantung 2-3 kali lipat.(32)
2.8 Apa yang menyebabkan edema pada kedua tungkai?

Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial


lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh
mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara
plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam rongga
maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium. Penimbunan
cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada jantung terjadinya
edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah
jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh
kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga
darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan
cairan ke intestisial.(33)
Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam
mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi
semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di
mulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah
keatas tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian
bawah. Edema sakral jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena
daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Bila terjadinya edema maka
kita harus melihat kedalaman edema dengan pitting edema. Pitting edema
adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan
pada ujung jari , baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling
tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama mengalami edema.
(33)

2.9 Mengapa sesak nafas dan batuk terjadi pada malam hari?
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) merupakan gejala akut dari sesak
napas berat dan batuk yang dapat terjadi pada malam hari, bahkan dapat
membangunkan pasien dari tidurnya, yaitu sekitar 1 sampai 3 jam setelah
istirahat. PND dapat muncul sebagai batuk dan meningkat karena arteri
bronkialis mengakibatkan adanya tekanan pada udara, bersamaan dengan

adanya edema interstital pada paru sehingga terjadi peningkatan resistensi


aliran udara. Pasien dengan PND memiliki batuk yang persisten dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan posisi. (15)
2.10 Bagaimana

tatalaksana

kegawatdaruratan

terhadap

pasien

takikardi?
Pasien yang datang dengan nyeri dada, tanda vital abnormal, risiko
penyakit vaskular, dan dyspnea harus ditempatkan pada ranjang perawatan,
diinisiasikan untuk dilakukan monitor jantung, dilakukan pemberian IV line,
diberikan oksigen, dan dilakukan EKG. Evaluasi inisial harus difokuskan
pada hal-hal yang mengancam hidup: dilakukan pengecekan jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Tanda vital harus dinilai dan dilakukan secara
berulang dalam interval yang regular untuk melihat kondisi pasien. Riwayat
initial harus fokus pada pertanyaan yang mengarah pada bagaimana karakter
nyeri dada, adanya gejala terkait, dan riwayat penyakit cardiopulmonary.
Pasien disarankan untuk menilai derajat nyeri dengan intensitas rasa nyeri
untuk memberikan terapi.(34)
Selanjutnya dilakukan secondary survey yang meliputi pertanyaan
mengenai riwayat yang lebih komprehensif dan pemeriksaan fisik dan uji
laboratorium dan diagnosis yang tepat. Evaluasi ini harus fokus pada
variabel yang dapat mengarah pada diagnosis tertentu dan menegakan halhal yang mengancam jiwa. Pemeriksaan fisik pada tahap ini harus dilakukan
dengan melakukan pengecekan sistem tubuh yang sebelumnya belum di cek
dan dilakukan pengecekan ulang terhadap abnormalitas.(34)

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipotesis diterima.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Heart Failure: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. 2016 Apr


28

[cited

2016

May

23];

Available

http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview

from:

2.

Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC Of Heart Failure: Aetiology. BMJ
2000; 320:104-7.

3.

Mc Namara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure. In:


Dec GW, editors. Heart Failure A Comprehensive Guide To Diagnosis And
Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.117-36.

4.

Tanto, C, Frans L, Sonia H, Eka AP. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jilid
II. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.

5.

Gray Huon H, dkk. Lecture Notes: Kardiologi. Jakarta: Erlangga; 2005.

6.

Longo DL, editor. Harrisons principles of internal medicine. 18th ed. New
York: McGraw-Hill; 2012. 2 p.

7.

Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, et
al. Heart disease and stroke statistics--2012 update: a report from the
American Heart Association. Circulation. 2012 Jan 3;125(1):e2220.

8.

Fonarow GC. Epidemiology and risk stratification in acute heart failure. Am


Heart J. 2008 Feb;155(2):2007.

9.

Gottlieb SS, Khatta M, Friedmann E, Einbinder L, Katzen S, Baker B, et al.


The influence of age, gender, and race on the prevalence of depression in
heart failure patients. J Am Coll Cardiol. 2004 May 5;43(9):15429.

10. He J, Ogden LG, Bazzano LA, Vupputuri S, Loria C, Whelton PK. Risk
factors for congestive heart failure in US men and women: NHANES I
epidemiologic follow-up study. Arch Intern Med. 2001 Apr 9;161(7):996
1002.
11. Masoudi FA, Havranek EP, Smith G, Fish RH, Steiner JF, Ordin DL, et al.
Gender, age, and heart failure with preserved left ventricular systolic
function. J Am Coll Cardiol. 2003 Jan 15;41(2):21723.
12. CDC:

Heart-Failure-Related

Medscape.

[cited

2016

Mortality

Increasing

May

25].

Again
Available

[Internet].
from:

http://www.medscape.com/viewarticle/856704
13. Products - Data Briefs - Number 231 - December 2015 [Internet]. [cited
2016

May

25].

Available

http://www.cdc.gov/nchs/products/databriefs/db231.htm

from:

14. Setiati, S, dkk. Ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jilid 2. Jakarta: Internal
Publishing; 2014.
15. Kasper DL, editor. Harrisons principles of internal medicine. 19th edition /
editors, Dennis L. Kasper, MD, William Ellery Channing, Professor of
Medicine, Professor of Microbiology, Department of Microbiology and
Immunobiology, Harvard Medical School, Division of Infectious Diseases,
Brigham and Womens Hospital, Boston, Massachusetts [and five others].
New York: McGraw Hill Education; 2015. 1 p.
16. Ho KK, Pinsky JL, Kannel WB, Levy D. The epidemiology of heart failure:
the Framingham Study. J Am Coll Cardiol. 1993 Oct;22(4 Suppl A):6A
13A.
17. Classes of Heart Failure [Internet]. [cited 2016 May 25]. Available from:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFail
ure/Classes-of-Heart-Failure_UCM_306328_Article.jsp#.V0V2Pfl97IU
18. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, Francis GS, Ganiats TG, et
al. ACC/AHA 2005 Guideline Update for the Diagnosis and Management of
Chronic Heart Failure in the Adult: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(Writing Committee to Update the 2001 Guidelines for the Evaluation and
Management of Heart Failure): developed in collaboration with the
American College of Chest Physicians and the International Society for
Heart and Lung Transplantation: endorsed by the Heart Rhythm Society.
Circulation. 2005 Sep 20;112(12):e154235.
19. Marulam M. Panggabean. Gagal Jantung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
20. Price SA, Wilson LM, editors. Pathophysiology: clinical concepts of disease
processes. 6th ed. St. Louis, Mo: Mosby; 2003. 1183 p.
21. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.
22. Sherwood L, Cengage Learning (Firm). Human physiology: from cells to
systems. 2012.

23. Corwin EJ. Handbook of pathophysiology. 3rd ed. Philadelphia: Wolters


Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2008. 750 p.
24. Lilly LS, Harvard Medical School, editors. Pathophysiology of heart disease:
a collaborative project of medical students and faculty. 5th ed. Baltimore,
MD: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2011. 461 p.
25. Tao. L dan Kendall. K. Sinopsis Organ System Kardiovaskular. Tangerang:
Karisma Publishing Group. 2013.
26. Bickley LS, Szilagyi PG, Bates B. Bates guide to physical examination and
history-taking. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins; 2013. 994 p.
27. Tim Pelaksana Skills Lab FK Unand. Penuntun Skills Lab Blok 12
Kardiorespirasi. Edisi 2. Padang; 2010.
28. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Physical diagnosis: bedside
evaluation of diagnosis and function. Baltimore: Williams & Wilkins; 1994.
804 p.
29. Farrell M, Dempsey J. Smeltzer & Bares textbook of medical-surgical
nursing. Broadway, N.S.W.: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
30. Coats, A. Controversies in the management of Heart Failure. UK: Pearson
Professional, 1997.
31. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et
al. Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003
Dec;42(6):120652.
32. McCance KL, Huether SE, editors. Pathophysiology: the biologic basis for
disease in adults and children. Seventh edition. St. Louis, Missouri: Elsevier;
2014. 1810 p.
33. Brunner LS, Suddarth DS, Smeltzer SCO, editors. Brunner & Suddarths
textbook of medical-surgical nursing. 11th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008. 2630 p.
34. Kumar V, Abbas AK, Aster JC, Robbins SL, editors. Robbins basic
pathology. 9th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2013. 910 p.

Anda mungkin juga menyukai