Anda di halaman 1dari 4

Fiqh Hadiah Dan Korupsi Menurut

Kitab Kuning
Rabu, 15 April 2009

Idhaah Al Ahkam Lima Yakhuzhuhu Al mmal Wa Al Hukkam


Kaab berkata : Suap bisa membuat bodoh orang santun dan membutakan mata orang bijak
Rabiah berkata : Hadiah merupakan jalan menuju suap dan penyakit yang mendatangkan
kegelapan
Kasus korupsi, suap atau uang pelicin dan nepotisme, KKN, telah menjadi kasus yang serius di
negeri kita. Ibarat kanker ganas ia telah menggerogoti seluruh anggota tubuh dan menyebar dalam
segala lini kehidupan kita sehingga pemerintah perlu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), dan pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR), dan hasilnya masih belum memuaskan
banyak kalangan. Kejaksaan, kepolisian, lembaga peradilan justru dianggap sarang jual-beli kasus
hukum. Bebas atau tidaknya suatu persoalan hukum tergantung tawar-menawar dibelakang layar.
Anehnya kitapun sudah biasa memberikan uang pelicin, uang rokok, jika berhadapan dengan aparat,
kepolisian, atau birokrasi jika kita ingin urusan lancar, bahkan anggota DPR pun terbiasa menerima
uang ini dan itu dari berbagai pihak yang ingin urusan mereka lancar dan mendapat dukungan dari
anggota DPR yang sedang membahas rancangan UU tertentu.
Agaknya kasus korupsi dan suap kepada para pejabat, birokrat, dan kepada hakim untuk
memenangkan perkara sudah menjadi persoalan klasik, sama tuanya dengan peradaban manusia itu
sendiri. Bahkan persoalan korupsi sudah ada ketika Rasulallah SAW masih hidup, apalagi pada masa
dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, dan dinasti Mamluk, dimana Ibnu Hajar Al Haitami menulis
karyanya yang berjudul Idhaah Al Ahkam Lima Yakhuzhuhu Al mmal Wa Al Hukkam.
Di kalangan Mazhab Syafii, nama Ibnu Hajar Al Haitami sangatlah popular, karya-karyanya
memiliki otoritas dan menjadi salah satu rujukan penting mazhab. Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro,
Al Fatawa Al Haditsiah, Tuhfah Al Muhtaj Bi Syarh Al Minhaj, As Shawa`iq Al Muhriqah Fi Ar
Radd Ala Ahl Al Bida Wa Az Zanadiqah adalah sederet karya pentingnya yang menjadi rujukan
mazhab di kalangan syafiiah, lebih-lebih pesantren dan Nahdatul Ulama.
Lahir tahun 909 H dengan nama Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Ali Bin
Muhammad Bin Ali Ibni Hajar Al Haitami, meski demikian ia lebih popular dengan nama Ibnu Hajar
karena kakeknya terkenal sangat pendiam dan jarang berbicara kecuali hal-hal yang sangat mendesak
dan karena itulah dikonotasikan dengan batu. Ibnu Hajar lahir dalam keadaan yatim di daerah
Salmanat. Oleh karena banyak kekacauan dan fitnah di daerah itu maka kakeknya membawanya
pindah ke daerah Al Haitam. Sehingga namanya lebih popular dinisbahkan ke daerah Haitam, salah
satu daerah di Mesir. Nisbah ini digunakan untuk membedakan dengan Ibnu Hajar Al Asqolani yang
lebih terkenal dengan pakar hadits. Ia banyak belajar kepada para ulama terkenal di Mesir
diantaranya adalah Syaikh Zakaria Al Anshari, pengarang Fath Al Wahab yang terkenal itu. Ia juga
berguru pada Muhammad bin Abi Al Hamail, Abdul Haq bin Muhammad As Sinbathi, Abu Bakar Al
Masyhadi, Syihabuddin Ahmad Ar Ramli, dan Abu Al Hasan, dll. Dan diantara muridnya yang cukup
terkenal adalah Imam Az Zayadi.

Tahun 933 H ia menemani gurunya Syaikh Al Bakri melakukan ibadah haji dan disana ia tinggal
selama satu tahun. Tahun 937 H untuk yang kedua kalinya ia juga menemani sang guru melakukan
ibadah haji dan pada tahun 940 H, ia bersama sang guru melakukan ibadah haji untuk yang ketiga
kalinya. Mulai saat itu ia menghabiskan masa karir ilmiahnya di Makkah, mengajar, berfatwa dan
mengarang. Namanya menjulang tinggi sebagai seorang alim yang mendapat kedudukan terhormat di
Makkah dan memiliki banyak murid serta menjadi ulama yang memiliki otoritas yang kuat.
Meskipun demikian ia tetaplah menjalani hidupnya yang tidak mudah, serba kekurangan bahkan
menurut keterangannya sendiri, pernah selama empat tahun ia tidak makan daging karena saking
miskinnya. Ia juga bergulat dengan penyakit wasir dan kencing batu yang senantiasa menderanya.
Dan pada tahun 947 H, tepatnya hari Senin tanggal 23 Rajab ia berpulang kehadirat ilahi dan
dimakamkan di pekuburan Mala, Makkah. Hari itu Makkah diselimuti duka yang mendalam, ribuan
orang berdesak-desakan untuk dapat menyentuh jenazahnya dan membawanya keperistirahatan
terakhirnya.
Menurut Ridha Fathi Muhammad Khalil Al Ibadi, pentahkik kitab ini, karya Ibnu Hajar ini hampir
tidak dikenal sebagai salah satu karya Ibnu Hajar yang berjumlah delapan puluh karya ilmiah, baik
yang masih berbentuk manuskrip atau yang sudah dicetak. Hal ini dikarenakan para penulis
ensiklopedia biografi para ulama dan karya-karya mereka seperti Umar Ridha Kahala, Khairuddin Az
Zirikli, Haji Khalifah, dan Al Baghdadi tidak mendaftar kitab ini sebagai karya Ibnu Hajar. Ibnu
Hajar sendirilah yang menyebutkan karya ini dalam salah satu kitabnya Tahrir Al Maqal Fi Adabi
Wa Ahkam Wa Fawaid Yahtaju Ilaiha Muaddibu Al Athfal. Hlm.61-62
Karya ini dapat hadir dan dibaca publik atas kerja keras sang pentahkik yang secara tekun menelusuri
kitab yang menghimpun senarai kitab-kitab dan karya-karya yang menghimpun dan mengkaji karyakarya Ibnu Hajar Al Haitami dan akhirnya ia menemukan naskah manuskrip ini di Dar Al Kutub Al
Mishriyyah, Maktabah Al Ahqaf di Yaman dan di Perpustakaan Al Azhar.
Karya ini sebetulnya ditulis Ibnu Hajar Al Haitami (909-974 H) sebagai jawaban atas penyataan
tertulis yang berasal dari Yaman pada tahun 957 H mengenai persoalan persoalan yang berkaitan
dengan hukum hadiah dan suap, lalu ia menulis jawabannya secara ringkas. Untuk membahas secara
mendalam persoalan ini ia meneliti berbagai kitab dan diantaranya adalah kitab Fashl Al Maqal Fi
Hadaya Al Ummal karya Syaikhul Islam , Tajuddin As Subki. Akan tetapi menurut Ibnu Hajar karya
ini telalu panjang lebar sehingga sangat sulit untuk dipahami para pelajar bahkan semua kalangan,
karena As Subki tidak melakukan tarjih terhadap banyak persolan bahkan cenderung pada pendapat
yang lemah. Oleh karena itu Ibnu Hajar ingin meringkas dan menjelaskannya dengan bahasa yang
mudah dipahami bagi semua kalangan yang ada dan melengkapinya dengan banyak persoalanpersoalan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat.
Karya ini sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh Ibnu Hajar merupakan kitab yang tiada duanya
dalam persoalan ini. Hlm. 85. Pernyataan ini memang tidak berlebih-lebihan karena di dalam
Mazhab Syafii, inilah kitab pertama dan secara spesifik, sudah barang tentu asal karya ini, yakni
karya As Subki, yang membahas persoalan hadiah, korupsi dan suap yang diterima oleh para
pegawai pemerintah. Biasanya persoalan ini dibahas dalam persoalan peradilan dan sewa menyewa
dalam karya-karya sebelum Ibnu Hajar Al Haitami. Ada satu hal yang agak aneh, meski Syaikh Abd
Al Ghani An Nabulsi wafat 1143 H telah menyusun satu kitab yang berjudul Tahqiq Al Qadhiyah Fi
Al Farq Bain Ar Risywah Wa Al Hadiyah, Fiqh Mazhab Hanafi, ia sama sekali tak pernah menyebut
nama dan karya Ibnu Hajar ini ketika membeberkan pendapat mazhab syafii dalam kitabnya itu.
Hlm. 64
Sebagaimana dari judulnya kitab ini memang secara khusus mengupas persoalan hukum memberi
hadiah kepada para pejabat pemerintahan, para hakim, dan para birokrat.
Pada pasal pertama Ibnu Hajar Al Haitami memulai dengan menukil sejumlah hadits-hadits yang
mengharamkan praktek suap dan hadiah kepada para pejabat pemerintah. Paling tidak ada dua belas
hadits yang dinukil oleh Ibnu Hajar, diantaranya hadits riwayat At Tirmizhi, Ahmad dan Al Hakim

yang berasal dari Abdullah bin Amru berkata: Rasulallah melaknat penyuap dan yang minta suap.
Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif. (HR. Ahmad dan Al Bazzar). Penghianat yang
paling besar adalah penguasa yang menjadikan rakyatnya sebagai obyek bisnis. (HR. An Nuqqasy
dan Abi Nuaim). Barangsiapa yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan lalu kami
memberikan gaji kepadanya, maka apa yang ia ambil selain gajinya itu adalah tindakan koruptif
(ghulul). (HR. Abu Daud). Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif (ghulul). ( HR. Al
Bazzar dan Ahmad ). Hadits-hadits ini diletakkan pada pasal pertama tentunya sebagai basis teologis
dan hukum bahwa suap dan hadiah kepada para pejabat adalah tindakan tercela, dilaknat, dan
koruptif. Dari hadits-hadits ini pula kita dapat mengatakan bahwa hadiah-hadiah yang diberikan
kepada para pejabat, hakim, para pengambil keputusan seperti anggota DPR entah atas nama hadiah
tetaplah dianggap sebagai tidakan koruptif karena mereka sudah memperoleh gaji yang sudah
ditentukan pemerintah.
Selanjutnya pada pasal kedua Ibnu Hajar Al Haitami menjelaskan bahwa Allah S.W.T telah
memerintahkan para wakil-Nya, seperti para penguasa dan para hakim untuk menegakkan keadilan
tanpa menukarnya dengan imbalan apapun. Jika mereka mengambil dan menerima suap berarti
mereka menjadikan suap itu harga dari keadilan. Allah tidak rela jika keadilanNya ditukar dengan
harta duniawi dan itu berarti tindakan penghianatan terhadap Allah, para rasulNya, para malaikatNya,
dan orang-orang beriman, karena itu keadilan tidak boleh diperdagangkan. Ia laksana air mengalir
dan siapapun berhak untuk menikmatinya. Hlm. 114-115.
Adakalanya suap diberikan seseorang kepada seorang hakim agar ia memenangkan perkara yang
sebenarnya ia jelas berada di pihak yang salah, namun bisa juga seseorang berada di pihak yang
benar memberikan suap untuk memperoleh haknya. Yang pertama jelas haram, sedang untuk yang
kedua, hakim yang menerima suaplah yang berdosa sedang yang memberi suap tidak. Hakim yang
demikian berarti telah merubah hukum Allah dan menjadikannya sebagai lahan bisnis. Hlm. 117-121.
Mengenai hadiah kepada hakim, Ibnu Hajar berpendapat hal itu boleh saja asalkan orang yang
memberikan hadiah itu sudah terbiasa sebelumnya memberikan hadiah kepada sang hakim sebelum
dia diangkat menjadi hakim dan dia sedang tidak memiliki sengketa hukum, tidak ada indikasi
hadiah itu sebagai permulaan suap, hadiah tidak melebihi dari biasanya. Meskipun hal ini makruh
menurut Al Mawardi, menyalahi hal utama, khilaf al aula menurut Ashab Syafiiah dan yang paling
utama adalah tidak menerimanya. Menerima hadiah bisa juga menjadi haram hukumnya menurut
ijma` ulama jika yang memberikan hadiah itu sedang memiliki sengketa hukum, meskipun bukan di
wilayah kompetensi hakim yang bersangkutan dan sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah
kepada sang hakim sebelum ia diangkat menjadi hakim. Hlm. 139-147.
Adapun hadiah yang mengandung subhat sebagai suap atau jelas-jelas sebagai suap, maka seorang
hakim harus mengembalikannya kepada pemberi dan tidak boleh memilikinya, apabila barang itu
rusak maka ia menjadi hutang yang harus dikembalikan sesuai dengan nilai barang tersebut. Jika ia
meninggal sebelum melunasi pengembalian hadiah itu maka diambilkan dari tirkah (warisan). Lalu
bagaimana jika pemiliknya tidak diketahui atau tidak ditemukan, menurut imam Ibnu Hajar haruslah
dikembalikan kepada Baitul Mal (Kas Negara) karena uang atau barang itu statusnya sama dengan
barang hilang. Inilah pendapat yang mu`tamad dalam Mazhab Syafii. Hlm. 145.
Jika hadiah atau suap dalam bentuk manfaat dan bukan dalam bentuk uang atau benda, maka
menurut Ibnu Hajar berdasarkan pendapat yang zhahir dalam mazhab statusnya sama dengan benda
atau uang. Hlm. 214.
Karya Ibnu Hajar ini kiranya perlu dibaca dan dikaji secara seksama, lebih-lebih kita kalangan
pesantren harus turut bertanggungjawab mendidik para santri dan menanamkan nilai-nilai agama
sehingga mereka tidak menjadi koruptor serta adil dan amanah dalam jabatan. Pemerantasan korupsi,
suap dan sebagainya dimulai dari pendidikan dan disinilah peran pesantren. Dan kitab ini bisa
menjadi bahan bacaan wajib mengenai fiqh suap dan korupsi dan di sini pulalah urgensi kitab karya
Ibnu Hajar Al Haitami. Meski demikian, dalam kitab ini ada beberapa persoalan yang tidak relevan
dengan situasi kontemporer kita. Misalnya hakim yang mengambil upah dari pihak-pihak yang

bersengketa. Hal ini karena di zaman dahulu memang ada hakim yang tidak menerima gaji dari
pemerintah, berbeda halnya dengan zaman sekarang.
Kitab yang ditahkik oleh RidhaFathi Muhammad Khalil AlIbadi ini memang patut diapresiasi
karena hasil tahkik kitab ini sangat membantu pembaca karena banyaknya anotasi atau footnote yang
diberikan, baik berkaitan dengan nama, riwayat hidup tokoh-tokoh dan ulama-ulama yang ada di
dalam kitab ini disajikan dengan baik atau pendapat-pendapat yang ada dirujukkan kepada kitabkitab fiqh yang menjadi acuan didalam Mazhab Syafii atau mazhab yang lain. Tahkik kitab ini juga
ditambah dengan biografi lengkap Ibnu Hajar, senarai judul-judul karya Ibnu Hajar dan sumbersumber kitab manuskrip juga beberapa variasi perbedaan antara berbagai manuskrip disajikan
sebagai footnote. Keseriusan tahkik ini dapat dilihat dari referensi yang digunakan yang jumlahnya
mencapai 213 judul kitab, baik yang berbahasa arab atau bahasa inggris, jerman dan perancis
ditambah lagi dengan fihris baik al Qur-an atau al Hadis maupun tokoh-tokoh ulama. (Samito, MSI,
Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)
Tentang Kitab
Judul
: Idhaah Al Ahkam Lima Yakhuzhuhu Al mmal Wa Al Hukkam
Karya
: Syaikhul Islam Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad Bin Ali Ibni Hajar Al Haitami
Pentahkik : Ridha Fathi Muhammad Khalil AlIbadi
Penerbit
: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyah
Cetakan
: Pertama, 2004
Tebal
: 286 Halaman

Anda mungkin juga menyukai