MHPT Gema Akbar.P 135040200111191
MHPT Gema Akbar.P 135040200111191
Disusun Oleh :
Nama:
NIM: 135040200111191
Kelas : L
Layu fusarium disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC).
Penyakit ini umumnya menyerang tanaman pisang yang masih muda umur 5-10 bulan
(Swastika, 2014). F. oxysporum dapat dijumpai pada batang tanaman sakit. Cendawan ini
bertahan dalam tanah sebagai miselium atau spora tanpa adanya inang. Jika terdapat inang
maka akan menginfeksi akar, masuk ke jaringan vaskular menginfeksi akar, masuk ke
jaringan vaskular (xylem) akan menyebar dan memperbanyak diri, dan akan menyebabkan
inang mengalami kelayuan karena sistem pembuluh tersumbat (Huda, 2010).
Cendawan mengadakan infeksi melalui akar. Menurut Hwang (1980) dalam Huda
(2010), cendawan tidak dapat menginfeksi batang atau akar-rimpang meskipun bagian ini
dilukai. Nematoda Radopholus similis membantu dalam infeksi Fusarium. Gejala layu
Fusarium yaitu pada daun-daun bagian bawah berwarna kuning orange lalu menjadi cokelat
dan mengering, tangkai daun patah di sekeliling batang palsu. Gejala lain pada organ daun
yaitu perubahan bentuk dan ukuran ruas daun yang baru muncul lebih pendek. Kadangkadang lapisan luar batang terbelah dari permukaan tanah. Gejala yang paling khas adalah
gejala pada bagian dalam. Jika pengkal batang dibelah membujur, terlihat garis-garis cokelat
kehitaman menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh
ke pangkal daun dan tangkai. Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah warnanya,
namun seringkali akar tanaman sakit berwarna hitam dan membusuk, tergantung dari keadaan
tanaman dan lingkungannya.
Gambar 2. Daun pisang yang patah karena terserang Penyakit Layu Fusarium (CABI, 2007)
Menurut Witjaksono, dkk. (2012), gejala yang tampak pada tanaman adalah tepi daun
bawah berwarna kuning tua, dimulai dari tepi daun bagian pangkal. Daun bergejala kemudian
menjadi coklat dan mengering. Gejala penyakit layu Fusarium dimulai dengan penguningan
dan pelayuan daun tua, yang berkembang ke daun lebih muda sampai akhirnya seluruh
tanaman mati. Secara internal, tanaman dengan infeksi yang berlanjut memperlihatkan
perubahan warna pada rizome dan nekrosis pada xilem. Gejala penyakit berkembang sangat
cepat pada kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman pisang dan gejala kelihatan jelas
pada 2-5 bulan sesudah infeksi pertama.
Gambar 3. Gejala Penyakit Layu Fusarium: Pseudostem: Perubahan Warna Vascular (CABI,
2007)
Gambar 4. Gejala Penyakit Layu Fusarium: Rhizome: Perubahan Warna Jaringan Vascular
Pada Rhizome (CABI, 2007)
Bioekologi
Jamur Fo dalam perkembangbiakannya membentuk dua jenis spora aseksual yaitu spora
mikrokonidium dan spora makrokonidium. Spora mikrokonidium bersel tunggal, tidak
bersekat, tidak berwarna, berdinding tipis, bentuknya bulat telur sampai lurus dengan ukuran
2 5 x 2,3 3,5 m (Gambar 5).
Gambar 5. Mikrokonidium
Spora makrokonidium bentuknya lancip, ujungnya melengkung seperti bulan sabit, bersekat
35, ukurannya 2046 x 3,28 m. Pada keadaan tertentu menghasilkan klamidospora
berwarna coklat muda, dindingnya tebal, ukuran 6 10 m, dibentuk di ujung terminal atau di
tengah hifa (Semangun, 2000). Menurut Blaney, (1991) dalam Auliya, (2008), Fo merupakan
fungi berfilamen yang memiliki 3 macam konidia, yaitu klamidiospora, makrokonidia yang
berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan kedua ujung yang lancip dan mikronidia yang
berbentuk bulat, tidak bersekat dan tidak berwarna, berdinding tebal dan sangat resisten
terhadap keadaan lingkungan yang buruk. Spora ini terbentuk dari penebalan bagian-bagian
tertentu dari suatu hifa somatik. Inokulum Foc terdiri atas makrokonidium, mikrokonidium,
klamidospora dan miselia.
Gambar 6. Makrokonidium
Gambar 7. Klamidospora
Morfologi
Cendawan Fo tergolong kedalam
Kingdom
: Mycetae,
Divisi
: Mycota,
Subdivisi
: Deuteromycotina,
Kelas
: Hypomycetes,
Ordo
: Hyphales(Moniliales),
Famili
: Tubercularia-ceae,
Genus
: Fusarium,
Spesies
Miselium Cendawan ini bersekat terutama terdapat di dalam sel, khususnya di dalam
pembuluh kayu .Cendawan ini juga membentuk miselium yang terdapat diantara sel-sel,
yaitu dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat tempat terjadinya infeksi Semangun
2004).
Pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) mula-mula miselium berwarna putih, semakin tua
warna menjadikrem atau kuning pucat, dalam keadaan tertentu berwarna merah muda
agak ungu. Miselium bersekat dan membentuk percabangan. Beberapa isolat Fusarium
akan membentuk pigmen biru atau merah di dalam medium.
Di alam cendawan ini membentuk konidium pada suatu badan buah yang disebut
sporodokium, yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat yang telah
lanjut. Konidiofor bercabang - cabang rerata mempunyai panjang 70 m. Cabang-cabang
samping biasanya bersel satu, panjangnya sampai 14 m. Konidium terbentuk pada ujung
cabang utama atau cabang samping. Mikrokonidium sangat banyak dihasilkan oleh cendawan
pada semua kondisi, bersel satu atau bersel dua, hialin, jorong atau agak memanjang,
berukuran
5-7 x 2.5-3 m, tidak bersekat atau kadang-kadang bersekat satu dan
berbentuk bulat telur atau lurus. Makrokonidium berbentuk sabit, bertangkai kecil,
kebanyakan bersel empat, hialin, berukuran 22-36 x 4-5 m. Klamidospora bersel satu,
jorong atau bulat, berukuran 7-13 x 7-8 m, terbentuk di tengah hifa atau pada
makrokoniudium, seringkali berpasangan (Sastrahidayat, 1992).
kedelai; dan f.sp. zingiberi sebagai penyebab penyakit kuning pada jahe (Raabe et al, 1981
dalam Djaenuddin, .... ).
Miseliumnya dapat ditemukan di sekitar jaringan tanaman dan umumnya dapat diisolasi
dari jaringan yang sakit atau di dalam pembuluh xylem tanaman yang diserang [Frank, (1972)
dalam Isnaini, dkk. (2004)]. Seperti serangan pada tanaman pisang sebagai penyakit busuk
batang pisang yaitu dengan menanam bagian tanaman yang bergejala pada media PDA
(potato dextrose agar).
Kerusakan yang ditimbulkan meliputi rebah benih, busuk akar, busuk batang dan busuk
tangkai yang terjadi ketika tanaman berada pada kondisi stress atau ketika terjadi luka pada
bagian luar jaringan tanaman. Fusarium sangat berbahaya bagi tanaman pangan karena
menyebabkan kerusakan seperti kematian bibit, busuk akar dan busuk tangkai (Bacon dan
Hinton, 1999 dalam Auliya, 2008).
Faktor yang berpengaruh adalah cuaca lembab sehingga penyakit banyak dijumpai di
kebun yang terlalu rapat, terutama pada musim hujan karena banyak terjadi infeksi baru.
Kebun yang peteduhnya ringan kurang mendapat gangguan penyakit (Semangun, 2004).
Jamur Fo juga dapat bertahan lama di dalam tanah. Tanah yang sudah terinfeksi sukar
dibebaskan kembali dari jamur ini.
Fo adalah cendawan tanah yang dapat bertahan lama dalam tanah sebagai
klamidospora yang terdapat banyak dalam akar-akar yang sakit. Cendawan dapat
bertahan juga pada akar bermacam-macam rumput, dan pada tanaman jenis Heliconia. Fo
menyerang melalui akar, terutama akar yang luka. Baik luka mekanis maupun luka yang
disebabkan nematoda Radophulus similis. Tetapi tidak bisa masuk melalui batang atau
akar rimpang, meskipun bagian ini dilukai (Semangun, 2004).
tanaman dengan perlawanan yaitu memparasit patogen secara langsung, memproduksi antibiotik
(toksin), dan kemampuannnya dalam kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim untuk melawan
komponen sel patogen, menginduksi respon ketahanan tanaman, dan produksi metabolisme
tanaman dalam mensetimulasi perkecambahan spora patogen.
Cook dan Baker (1983) mengemukakan bahwa pengendalian hayati dapat dilakukan
dengan beberapa cara misalnya dengan: (a) manipulasi lingkungan; (b) introduksi agens
antagonis; (c) introduksi patogen avirulen dan hipo-virulen alami serta mikroorganisme endofit
untuk menginduksi sistem ketahanan tanaman inang. Pemanfaatan mikroorganisme seperti plant
growth promoting rhizobacteria (PGPR), Gliocladium fimbriatum dan fungi mikoriza arbuskula
(FMA) sebagai agens biokontrol dalam pengendalian patogen tanaman.
Gliocladium fimbriatum
G. fimbriatum termasuk golongan cendawan yang berasal dari filum Ascomycota, kelas
Ascomycetes, ordo Hypocreales, dan genus Gliocladium (Agrios 2005). Gliocladium spp.
merupakan cendawan mikoparasit sebagai salah satu cendawan antagonis bagi cendawan patogen
yang mempunyai beberapa mekanisme antagonisme antara lain: penyerangan terhadap patogen
diantaranya dapat mematikan atau menghancurkan hifa inangnya dengan mengeluarkan satu
macam atau lebih antibiotik atau enzim, dan mekanisme hiperparasit dengan melilit hifa patogen
sebagai inang, kemudian hidup dan berkembang pada isi sel inang yang telah mati (Sinaga 1992).
Sinaga (2002) mengemukakan bahwa Gliocladium spp. mempunyai prospek yang tinggi
sebagai agens biokontrol berbagai patogen yang merupakan penyebab penyakit pada berbagai
jenis tanaman. hasil penelitiannya, baik pengujian secara invitro maupun invivo dalam rumah
kaca maupun di lapangan menunjukkan bahwa G. fimbriatum memiliki kemampuan yang tinggi
dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan berbagai patogen terutama patogen tular tanah
seperti F. oxysporum. Gliocladium spp. juga dapat meningkatkan vigor tanaman jauh lebih baik
dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan Gliocladium spp. Menurut Agrios (2005)
Gliocladium spp. dapat digunakan sebagai agens antagonis terhadap layu Fusarium melalui
mekanisme antagonismenya.
Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan oleh Sinaga (2000), diketahui bahwa
penggunaan Gliocladium spp. Sebagai agens biokontrol di lapangan akan lebih optimum bila
dikombinasikan dengan komponen PHT yang lain. Yulianti (2001) melaporkan hasil pemanfaatan
kombinasi cendawan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan G. fimbriatum dapat menekan
perkembangan penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit (Ganoderma boninense) dan
meningkatkan vigor tanaman.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Mikoriza adalah asosiasi atau simbiosis antara tanaman dengan cendawan yang
mengkolonisasi jaringan korteks akar selama periode aktif pertumbuhan tanaman. Mikoriza dapat
diklasifikasikan menjadi ektomikoriza dan endomikoriza. Fungi mikoriza arbuskula merupakan
mikoriza yang membentuk arbuskular, atau struktur bercabang banyak dalam sistem korteks
(endomikoriza); misalnya ordo Glomales; dapat memproduksi hifa ekstramatik yang ekstensif
(hifa di luar akar) (Handayanto & Hairiah 2007). Arbuskel pada fungi mikoriza arbuskula (FMA)
membantu dalam mentransfer nutrea (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran dan hifa
mikoriza di luar akar dapat memberikan keuntungan secara fisiologis yaitu adanya perlindungan
terhadap patogen akar, seperti Fusarium spp. (Rao 2004).
Menurut Rainiyati (2007) menyatakan bahwa bibit pisang raja nangka yang bersimbiosis
FMA menunjukkan pertumbuhan dan serapan fosfor lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa FMA.
Setiap jenis FMA memiliki keefektifan yang berbeda dengan bibit pisang. FMA yang diberikan
pada saat aklimatisasi lebih efektif menginfeksi akar bibit pisang 23,7-46,7 persen. Pemberian
FMA pada umur 2 bulan menginfeksi 25,7-35,7 persen dan pemberian FMA pada umur 1 bulan
menginfeksi 21-30 persen. Selain itu juga bibit pisang raja nangka yang bersimbiosis dengan
FMA dapat tumbuh dan berproduksi lebih cepat dibandingkan dengan tanaman tanpa FMA.
Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode penanaman protoplas, sel, jaringan, dan organ pada
media buatan dalam kondisi aseptik sehingga dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Salah
satu aplikasi kultur jaringan yang telah dikenal secara meluas dan telah banyak diusahakan untuk
tujuan komersial adalah perbanyakan tanaman (Mariska & Sukmadjadja 2003). Hampir semua
teknik kultur jaringan yang digunakan oleh ahli tumbuhan penting bagi ilmu penyakit tumbuhan
yang digunakan untuk menghasilkan tumbuhan bebas patogen (Agrios 1996). Penyediaan bibit
yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam
pengembangan pertanian di masa mendatang.
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan terutama pada tanamantanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif, selain itu perbanyakan tanaman melalui
teknik kultur jaringan memeiliki beberapa keuntungan, yaitu diperolehnya bibit yang seragam
dalam jumlah besar dan bebas penyakit sehingga meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran
penyakit ke sentra-sentra produksi baru dibanding dengan penggunaan bibit asal konvensional
(anakan) [Biogen 2008]. Menurut Murashige (1974 dalam Mattjik 2005), mengemukakan bahwa
salah satu dari kegunaan teknik kultur jaringan yaitu untuk memperoleh klon yang bebas dari
penyakit sistemik. Menurut lembaga laboratotium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP (2007)
menyatakan bahwa keunggulan bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan dengan bibit dari
anakan adalah bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti bakteri layu Moko
(Pseudomonas solanacearum) dan layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp cubense). Tingkat
kecermatan dalam pemilihan bibit pisang sangat berperan/ menentukan munculnya penyakit layu
pisang. Penyakit layu pisang dapat ditekan dengan menggunakan bibit hasil kultur jaringan [Dir.
PTH 2008].
Daftar bacaan:
Agrios, G.N. 1996. Plant Pathology. Penerjemah Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit
Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Auliya, Nur Hikmatullah, Hikmatul Ilmi, Handa Muliasari, 2008. Pemanfaatan Alkaloid
Lombine dalam Ekstrak Kasar Daun Kumbi (Voacanga foetida) sebagai Fungisida
alami. Makalah tidak dipublikasikan. Universitas Mataram. Mataram.
CABI. 2007.
Cook, RJ & Baker, KF. 1983. The Nature and Practice of Biological Co Plant Patogen. The
American Phytopathological Soceity. USA.
Djaenuddin, N : tanpa tahun, Bioekologi dan Pengelolaan Penyakit Layu Fusarium Balai
Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Handayanto, E & Hairiah K. 2007. Biologi Tanah: Landasan Pengelolaan Tanah Sehat.
Jakarta: Pustaka Adipura.
Hasanuddin. 2003. Peningkatan perananan mikroorganisme dalam system pengendalian
penyakit
tumbuhan
seSara
terpadu.
USU
Digital
Library
1.
http://library.usu.aS.id/download/fp/fp-hasanuddin.
Horiuchi S. 2000. Soil Solarization for Supressing Soilborne Disease in Japan. Hirosima.
Huda, M. 2010. Pengendalian Layu Fusarium Pada Tanaman Pisang (Musa paradisiaca L.)
Secara
Kultur
Teknis
dan
Hayati.
Available
at
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/27524?show=full
Hwang, SC. 1980. Incidene, spread, and control of fusarium wilt of banana in Taiwan. SEA
Symp. Pl. Dis. Tropics II, Bangkok, Okt. 1980:63 007. Teknologi pendukung agribisnis
pisang. Ika Blog. http.//ika pisan
Isnaini, M. Rohyadi, dan Murdan, 2004. Identifikasi dan Uji Patogenitas Jamur-jamur
Penyebab Penyakit Busuk Batang Tanaman Vanili di Lombok Timur. Fakultas
Pertanian Universitas Mataram. Mataram.
Juniawan, 2015. Fungitoksisitas Eugenol terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense..
Universitas Brawijaya.Malang.
Kloepper, JW, dkk. 1980. Enhanced plant growth by siderophores produced by plant growth
pro
Rainiyati. 2007. CMA Tingkatkan Produksi Pisang Raja Nangka. Cyber News. SUARA
MERDEKA CyberNews - NASIONAL.htm.
Rao, NSS. 1994. Mikroorganisme tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke-2. Susilao H,
penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Soil MiSroorganisms and Plant
Growth
Semangun H. 1994. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. UGM Press.
Jogyakarta.
Semangun, 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sinaga, MS. 1992. Biokontrol sebagai salah satu komponen pengendalian penyakit secara
terpadu. Bogor: Makalah disampaikan dalam Seminar Perhimpunan Mikrobiologi
Indonesia cabang Bogor, 5 November 1992. Bogor. Faperta, IPB..
Soesantio Persada. lian Penyakit Layu Pisang di Soesanto L. 2008. Pengantar Pengendalian
Hayati Penykit Tanaman. Jakarta. Rajagrafind
Sudantha, I M. 2009. Karakterisasi dan Virulensi Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense
Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang dan Pengendaliannya Secara Hayati
Menggunakan Jamur Saprofit Trichoderma spp. Prosiding Seminar Hasil Penelitian.
Universitas Mataram. Mataram.
Swastika, IW. 2014. Identifikasi dan Pengendalian Penyakit Layu Pada Pisang Di Kota
Denpasar. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar. Available
at denpasarkota.go.id/assets_subdomain/CKImages/files/PISANG.pdf
Witjaksono, dkk. 2012. Diaagnosis Lima Penyakit Utama Karena Jamur Pada 100 Kultivar
Bibit Pisang. Jurnal HPT Tropika. Vol.12, No 1: 36-45. Available at
journal.unila.ac.id/index.php/jhtrop/article/view/755/1031