Anda di halaman 1dari 14

Upaya

Kreatif
Meningkatk
an Tax Ratio
Seminar Perpajakan

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5


KELAS X-A
Aditya Aji Prabowo (02)
Eko Bagus Setiawan (12)
I Gusti Ayu Diah Cintya Utami (16)
Roni Okto Junaedi M. (25)
Teguh Wibowo (28)

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI


NEGARA

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


A. PENDAHULUAN
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama. Secara
nominal, dari tahun ke tahun jumlah penerimaan pajak senantiasa
meningkat, seiring dengan peningkatan target penerimaan. Namun
demikian, jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB),
nampaknya penerimaan pajak serasa jalan di tempat. Secara garis besar,
PDB merupakan jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
perekonomian. PDB bisa pula dilihat sebagai seluruh penghasilan yang
diproduksi di dalam suatu negara. Dengan demikian PDB pada hakikatnya
adalah potensi dasar pemungutan pajak. Oleh karena itu seiring dengan
meningkatnya PDB Indonesia, penerimaan pajak juga diharapkan
meningkat. Hal ini diimplementasikan dalam peningkatan tax ratio, yang
merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan PDB. Namun
demikian, perlu dipahami bahwa peningkatan tax ratio tidak selalu berarti
peningkatan penerimaan pajak.
Tax ratio di Indonesia pada tahun 2014 adalah sebesar 12%,
sedangkan pada tahun 2015 ditargetkan sebesar 12,32%. Rasio tersebut
tergolong rasio yang rendah dibandingkan dengan negara-negara maju
yang dapat mencapai 30-40%. Dalam pembahasan antara pemerintah dan
DPR, tax ratio yang diinginkan oleh DPR adalah antara 13-16%, namun
pemerintah tidak mau mengajukan angka yang terlalu tinggi karena
khawatir bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi dan iklim usaha.
Beberapa kalangan menyatakan bahwa tax ratio Indonesia di atas terlalu
rendah. Menurut mereka, tax ratio seharusnya ada pada kisaran 20%
karena masih besarnya potensi pajak yang belum terjaring serta adanya
insentif perpajakan berupa tax holiday maupun tax allowance. Bahkan
International Monetary Fund memperkirakan bahwa tax ratio Indonesia
bisa mencapai 21,5%.
Perhitungan tax ratio di Indonesia hanya memperhitungkan
penerimaan pajak pusat, tanpa memperhitungan penerimaan dari pajak
daerah dan SDA. Jika kedua komponen tersebut dimasukkan, maka tax
ratio yang didapat akan lebih besar. Pada tulisan ini akan dijelaskan
gambaran umum tax ratio di Indonesia serta langkah-langkah yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan tax ratio tersebut.
B. PEMBAHASAN
1. Sekilas tentang Tax ratio
a. Pengertian Tax ratio
Tax ratio merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan
pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara.
Rasio itu dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran
pajak oleh masyarakat dalam suatu negara. Manfaat tax ratio adalah
untuk mengetahui kira-kira seberapa besar porsi pajak dalam
perekonomian nasional.

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


Tax ratio bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, tax ratio menunjukkan
kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak.
Semakin tinggi penerimaan pajak suatu negara, maka semakin besar
pula tax ratio-nya. Penerimaan pajak yang besar akan memungkinan
suatu negara menyelenggarakan manajemen pemerintahan dengan
lebih leluasa. Karena terkait erat dengan penerimaan inilah maka
pembahasan tax ratio antara pemerintah dan DPR biasanya alot. Dalam
hal ini bahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghimbau supaya
semua pihak dalam menghitung tax ratio menggunakan pendekatan
yang dianut oleh Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD).
Kedua, tax ratio bisa dilihat sebagai ukuran beban pajak.
Logikanya adalah bahwa selain dilihat sebagai keseluruhan nilai pasar
barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun, GDP
bisa pula dilihat sebagai total penghasilan semua orang di dalam suatu
perekonomian. maka semakin tinggi tax ratio, semakin besar pula
penghasilan masyarakat yang masuk ke dalam penerimaan pajak
(ceteris paribus). Alhasil peningkatan penerimaan pajak yang tidak
diiringi dengan peningkatan penghasilan akan menyebabkan beban
pajak masyarakat semakin tinggi.
b. Perhitungan Tax Ratio
Ada berbagai macam cara dalam menghitung tax ratio.
Perbedaannya biasanya adalah pada pembilangnya, yaitu jenis pajak
mana saja yang dihitung. Ada yang hanya menggunakan pajak pusat
saja namun ada pula yang memasukkan unsur pajak-pajak daerah.
Terdapat tiga alternatif dalam perhitungan tax ratio. Alternatif
pertama, jika Tax ratio diukur dari Penerimaan Pajak Pusat
saja terhadap PDB. Alternatif kedua, jika Tax ratio diukur dari
penerimaan Pajak Pusat plus Pajak Daerah terhadap PDB. Dan alternatif
ketiga jika Tax ratio diukur dari penerimaan Pajak Pusat plus Pajak
Daerah plus penerimaan dari SDA terhadap PDB.
Dalam hal penerimaan negara berasal dari Pajak Pusat, maka
penerimaan negara itu meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pajak Penghasilan (PPh)


Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Bumi dan Bangunan(PBB)
Bea Meterai
Cukai; dan
Pajak lainnya seperti Pajak
Pajak/Pungutan Ekspor)

Perdagangan

(Bea

Sedangkan penerimaan dari Pajak Daerah mencakup:


1. Pajak Hotel

Masuk

dan

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


2.
3.
4.
5.
6.

Pajak Restoran
Pajak Hiburan Penyelenggaraan Pertunjukan Film Bioskop
Pajak Hiburan Penyelenggaraan Olah Raga
Pajak Hiburan Pertunjujkan Kesenian dan sejenisnya
Pajak Hiburan Penyelenggaraan Pasar Malam, Diskotik, Karaoke dan
sejenisnya
7. Pajak Hiburan Persewaan Video Cassete, Laser Disk, dan sejenisnya
8. Pajak Hiburan Penyelenggaran Klub Malam, Diskotik, Karaoke dan
sejenisnya
9. Pajak Hiburan Taman Rekreasi, Kolam Memancing, Kolam Renang
dan sejenisnya
10.Pajak Hiburan Gelanggang Permainan dan sejenisnya.
11.Pajak Hiburan Permainan Bilyard, Bowling, Permainan Golf dan
sejenisnya
12.Pajak Hiburan Kesegaran Jasmani dan sejenisnya
13.Pajak Hiburan lainnya
14.Pajak Reklame
15.Pajak Bahan Galian
16.Pajak Penerangan Jalan
17.Pajak Kendaraan Bermotor
18.Pajak Hasil Usaha Burung Walet
19.Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Permukaan
20.Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C
21.Pajak Pengguna Tenaga Listrik yang berasal dari bukan PLN
22.Pajak Pengguna Tenaga Listrik yang berasal dari PLN untuk kegiatan
bukan industri
23.Pajak Pengguna Tenaga Listrik dari PLN untuk kegiatan Industri
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Alam
24.Pajak Parkir
25.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) mulai 1
Januari 2011
26.Pajak Daerah lainnya
Dari 30 (tiga puluh) lebih jenis Pajak tersebut di atas, Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) hanya berwenang memungut 3 (tiga) jenis
pajak saja. Yaitu:
1. PPh
2. PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
3. PBB sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Migas (PBB
sektor P3)
Sedangkan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB sektor P2)
dialihkan menjadi pajak daerah secara bertahap paling lambat hingga
tanggal 31 Desember 2013. Sehingga mulai 2014, PBB sektor P2 bukan
lagi wewenang DJP melainkan wewenang Pemerintah Daerah
(Pemda).

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


Berdasarkan alternatif yang ada, maka alternatif ketiga yang
memperhitungkan pajak nasional, pajak daerah, dan penerimaan SDA
akan menghasilkan tax ratio yang paling tinggi. Perhitungan ini telah
diterapkan oleh negara-negara maju, seperti Finlandia dan Denmark,
yang memiliki tax ratio sebesar 40%. Perhitungan ini juga telah
diterapkan oleh OECD.
c. Tax Ratio di Indonesia
Perhitungan tax ratio di Indonesia hanya menggunakan data
penerimaan pajak pusat dibandingkan dengan PDB. Para ahli bahkan
Menteri Keuangan sebenarnya sudah berpendapat bahwa perhitungan
tax ratio seharusnya juga memasukkan komponen penerimaan pajak
daerah dan penerimaan SDA, mengingat negara lain telah menerapkan
perhitungan tersebut. Dengan menerapkan perhitungan tersebut, maka
Indonesia dapat bersaing dengan tax ratio negara-negara Asia Tenggara
sebesar 16-17%, meskipun masih kalah jauh denga tax ratio negara
maju di Eropa dan Amerika yaitu 35% keatas.
Hal yang lebih penting untuk menjadi perhatian adalah
menerapkan cara-cara yang harus dilakukan untuk meningkatkan
jumlah penerimaan pajak, baik meningkatkan basis pajak maupun caracara lainnya, sehingga adanya peningkatan PDB dapat berdampak pula
pada peningkatan tax ratio.
Berikut gambaran tax ratio Indonesia tahun 2004-2014:
No
.

Tahu
n

Penerimaan
Pajak (Milyar)

PDB
(Milyar)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

282.387
352.334
406.049
490.988
658.701
619.922
723.307
873.874
980.518
1.148.365
1.310.219

2.295.826
2.774.281
3.339.217
3.950.893
4.948.688
5.606.203
6.446.852
7.419.187
8.229.439
9.083.972
10.918.492

Tax
ratio
(%)
12,30%
12,70%
12,16%
12,43%
13,31%
11,06%
11,22%
11,78%
11,91%
12,64%
12,00%

2. Upaya Kreatif untuk Meningkatkan Tax Ratio di Indonesia


Klausa peningkatan tax ratio di Indonesia dapat diinterpretasikan
dengan banyak makna. Rasio pajak terdiri dari dua elemen yaitu
penerimaan pajak dan PDB. Dengan demikian, akan ada beberapa
kondisi yang menghasilkan dampak berupa peningkatan tax ratio.

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


1) Kondisi ketika penerimaan pajak meningkat tetapi PDB tidak
meningkat;
2) Kondisi ketika penerimaan pajak tetap tetapi PDB menurun;
3) Kondisi ketika penerimaan pajak meningkat dengan tingkat kenaikan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan PDB.
Kondisi 1 dan 2 sulit untuk terealisasi di negara berkembang
seperti Indonesia. Negara berkembang mempunyai kecenderungan
untuk terus bertumbuh dengan delta peningkatan PDB yang cukup
signifikan. Dengan demikian, peningkatan yang akan dibicarakan disini
adalah peningkatan pada kondisi tiga yaitu peningkatan penerimaan
pajak lebih tinggi dari peningkatan PDB. Dengan kata lain, peningkatan
tax ratio sama dengan peningkatan penerimaan pajak.
Rumus sederhana untuk meningkatkan penerimaan pajak ada 2
yaitu intensifikasi atau ekstensifikasi. Ekstensifikasi wajib pajak adalah
kegiatan yang berkaitan dengan penambahan wajib pajak terdaftar dan
perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan
serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi
pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak1. Intinya adalah DJP mempunyai
dua pilihan memaksa yang sudah ada untuk terus membayar atau
mencari-cari objek pajak baru untuk dikenakan pajak.
Menurut Ikhsan (2005), there is still the opportunity to increase
national revenue without increasing rates and by increasing the
capacity of tax administration and expanding the tax base, tax
collection/revenue will increase.2 Tulisan Ikhsan menyatakan bahwa
untuk negara berkembang upaya yang seharusnya dilakukan adalah
ekstensifikasi pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak bukan
dengan melakukan intensifikasi. Untuk itu, penulis memaparkan
peluang-peluang ekstensifikasi yang bisa dilakukan pemerintah.
Tentunya upaya tersebut merupakan upaya yang inovatif dan kreatif.
Diagram 1
Kerangka Strategi Peningkatan Penerimaan Pajak

1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang


pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi pajak.
2 Ikhsan, Mohamad dkk. 2005. Indonesias new tax reform: Potential and
direction. Journal of Asian Economic 16 (2005) 10291046. Elsivier

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


Penguatan
Organisasi
Pelajar
Jangka
Panjang
Strategi

Ekstensifik
asi
Jangka
Pendek

Intensifika
si

Edukasi
Exposure
Menamba
h WP

Sektor
Informal

Orang
Pribadi

Menamba
h Objek
Pajak

Optimalisa
si basis
pajak

Upaya ekstensifikasi yang penulis rancang dinamakan Program 4E.


Program terdiri dari edukasi, exposure, ekstensifikasi wajib pajak dan
ekstensifikasi objek pajak. Program edukasi dan exposure merupakan
program dengan tujuan ekstensifikasi jangka panjang sedangkan
program ekstensifikasi wajib pajak dan ekstensifikasi objek pajak
merupakan ekstensifikasi jangka pendek.
a. Ekstensifikasi
1) Program Edukasi
Pepatah tak kenal maka tak sayang merupakan ungkapan yang tepat
untuk mengambarkan pengetahuan masyarakat mengenai perpajakan.
Untuk membuat warga negara mau membayar pajak, setiap warga negara
harus diberi pengetahuan yang cukup mengenai perpajakan, sistem,
administrasi, dan terutama kegunaan pajak bagi masyarakat Indonesia.
Dengan memberikan pendidikan perpajakan bagi generasi muda dan
sektor informal diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran di masyarakat
untuk membayar pajak. Masyarakat di negara modern seperti Australia
dan Amerika Serikat adalah contoh masyarat yang mempunyai
pengetahuan perpajakan yang cukup baik. Rata-rata warga negaranya
memahami yang dimaksud dengan pajak dan kewajiban perpajakannya.
Di Indonesia, pajak masih menjadi sesuatu yang asing untuk menjadi topik
perbincangan di kalangan masyarakat yang bukan pengusaha. Bahkan,
para lulusan STAN yang tidak berkarier di DJP banyak yang tidak
memahami perpajakan dan menyadari kewajiban perpajakan pribadinya.
Program edukasi merupakan program jangka panjang, terutama
program yang dirancang untuk siswa dan mahasiswa. Pengetahuan dan

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


kesadarannya akan pajak akan berguna ketika mereka telah memasuki
dunia kerja dan memperoleh penghasilan. Masyarakat yang sadar dan
mengerti lebih mudah untuk diarahkan dan diajak berkomunikasi
mengenai pentingnya membayar pajak.
Adapun rencana kerja yang dapat ditempuh dalam program ini ada
dua yaitu untuk menyasar siswa (generasi muda) dan menyasar sektor
informal.
a) Meningkatkan Moral Obligation to Pay Tax melalui pendidikan
formal dan non-formal
Setiap orang tentunya tidak akan mau membayar pajak secara
sukarela. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih dari pemerintah
untuk meningkatkan moral obligation warga negara untuk membayar
pajak dengan sukarela. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
pendidikan mengenai kewajiban membayar pajak sebagai bentuk
kontribusi masyarakat kepada negara. Untuk mencapai moral
obligation to pay tax yang tinggi ini, kami mengusulkan melalui:

Edukasi perpajakan melalui literasi keuangan anak-anak


dan remaja bersama Otoritas Jaringan Keuangan (OJK).
OJK dan Bank Indonesia sedang mengimplementasikan Strategi
Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Keuangan inklusif merupakan
upaya untuk memperluas penetrasi masyarakat terhadap sektor
keuangan guna meningkatkan kesejahteraan. Salah satu pilar SNKI
adalah literasi keuangan. Secara harafiah, literasi keuangan
merupakan
pengetahuan
masyarakat
terkait
pengelolaan
keuangan dan kemampuan mengambil keputusan keuangan yang
tepat. Pada tahun 2015, OJK menyasar anak sekolah (SMP dan
SMA) untuk diberikan pendidikan dan pelatiha keuangan pribadi
atau dikenal dengan personal finance.
Pajak merupakan bagian dari personal finance. Pajak akan
mengurangi penghasilan seseorang. DJP dapat melakukan
kerjasama dengan OJK untuk memasukkan unsur perpajakan
dalam program-program literasi keuangan yang sedang dirintis
OJK. Kolaborasi bersama OJK akan menghemat sumber daya DJP
sekaligus dapat menjangkau cukup luas karena program bersifat
nasional.
Pendidikan mengenai kewajiban membayar pajak ini juga dapat
disampaikan melalui media elektronik seperti memasukkan ceritacerita manfaat mambayar pajak pada film anak-anak atau sinetron
yang menjadi kegemaran masyarakat Indonesia pada umumnya.
Program CSR wajib di bidang literasi perpajakan bagi KPP
kepada sektor informal di wilayah kerja setiap KPP.
Dewasa ini, perusahaan dalam menjalankan bisnisnya menganut
prinsip 3P yaitu Profit, People, Planet. DJP dapat menerapkan
prinsip 3P ini berupa Penerimaan, People, Planet. Program CSR
Wajib bagi KPP ini merupakan program pelatihan dan pendidikan
yang wajib dilakukan KPP setiap tahun untuk sektor informal yang
ada di wilayah kerjanya.

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


Program CSR ini dapat menyasar dua tujuan. Pertama, program ini
akan mendidik dan melatih para pelaku usaha informal untuk
mengenal pajak terlebih dalam dan perlahan menyadari bahwa
pajak bukanlah hal untuk ditakuti. Kedua, program ini akan
meningkatkan citra DJP jika dilakukan dengan promosi yang masif
dan bersamaan.
2) Program Exposure
Program Exposure merupakan program jangka panjang yang bertujuan
untuk lebih mengenalkan Institusi Perpajakan yaitu DJP. Program ini bisa
juga disebut dengan program popularitas. Orang mengenal POLRI lebih
banyak dibandingkan dengan masyarakat mengenal DJP. Dari sedikit
orang yang mengenal DJP atau mengetahui mengenai DJP, dapat
dipastikan bahwa sebagaian besar berpadangan negatif terhadap DJP.
Pencitraan penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
Citra yang baik memuat masyarakat percaya akan kinerja DJP sehingga
DJP akan lebih mudah dalam melakukan tindakan persuasif agar
masyarakat bersedia untuk membayar pajak.
Adapun langkah-langkah dalam Program Exposure ini adalah sebagai
berikut:
a) Menjadikan NPWP sebagai salah satu alat untuk mendapat
fasilitas kenyamanan
Kartu NPWP biasanya hanya menjadi juru kunci di dompet. DJP
dapat membuat kartu NPWP menjadi sesuatu yang layak dan
diinginkan oleh banyak orang. DJP dapat melakukan kerja sama
dengan Angkasa Pura atau institusi lainnya untuk pemegang kartu
NPWP tertentu.
Kartu NPWP dibedakan menjadi tiga jenis yaitu NPWP biasa, NPWP
silver, dan NPWP Gold. Wajib pajak dengan tingkat kepatuhan
paling tinggi dan tingkat pembayaran pajak yang tinggi akan
mendapatkan fasilitas tertentu seperti lounge khusus di bandara.
Masyarakat middle class merupakan masyarakat yang menyukai
program ini.
Mekanisme yang kami usulkan adalah dengan membuat kriteria
wajib pajak prioritas bagi wajib pajak orang pribadi yang
berkontribusi dengan membayar pajak sebesar Rp 100.000.000 ke
atas dan patuh dalam pelaporan pajaknya (selalu menyampaikan
SPT tepat waktu selama 5 tahun berturut). Salah satu fasilitas
yang kami usulkan untuk diberikan adalah fasilitas kemudahan
untuk mengajukan kredit di bank, yaitu tidak perlu melalui proses
analisis bank dan kemudahan dalam pengurusan izin usaha
perorangan. Tentunya untuk mewujudkan program ini perlu ada
kerjasama dengan berbagai pihak baik perbankan maupun instansi
terkait lainnya.
Dengan pemberian fasilitas ini, menurut kami wajib pajak akan
merasa bahwa dengan taat membayar pajak, maka mereka akan
mendapat kemudahan yang tentunya akan mendorong usaha
mereka juga, kemajuan usaha ini secara tidak langsung akan

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


meningkatkan lagi penerimaan pajak. Demikian seterusnya seperti
lingkaran yang saling mendukung.
b) Bayar pajak dapat Mobil (program hadiah undian bagi
pembayar pajak atau kupon gratis bagi pembayar pajak
melalui e-filling)
DJP dapat membuat program undian berhadiah bagi wajib pajak
orang pribadi yang tepat waktu dalam menyampaikan SPT dan
tepat waktu dalam melunasi hutang pajak. Program ini akan cukup
menarik bagi pekerja dan orang pribadi kalangan menengah.
Program ini juga dapat memicu orang untuk ingin mendaftar
sebagai wajib pajak.
c) Iklan secara berkala (di media elektronik)
Masyarakat di kota kecil dan pedesaan kurang terekspose dengan
media internet dan media lisan. Televisi merupakan salah satu
media yang masih cukup efektif untuk menyampaikan pesan. Iklan
apa kata dunia merupakan salah satu contoh promosi yang
berhasil. Selanjutnya, program seperti ini harus dilaksanakan
secara berkala dan berkesinambungan.
d) Manfaat sosial media gratis (twitter, facebook, dan email)
untuk layanan responsif
DJP telah memanfaatkan fasilitas sosial media gratis, namun
belum secara optimal. Twitter yang dimiliki DJP hanya sebatas meretweet berita dan kegiatan yang dilaksanakan DJP. Kedepannya,
DJP harus menggunakan twitter, facebook, dan email untuk
menanggapi pertanyaan, keluhan, dan pemberitaan terbaru.
Twitter dapat digunakan sebagai media kultwit oleh fiskus
profesional, selain itu, DJP juga dapat membuat kuis berhadiah
melalui twitter.
Perkembangan sosial media di Indonesia sangat menakjubkan.
Trending topik yang menggunakan Bahasa Indonesia merupakan
indikasi pesatnya sosial media. Oleh sebab itu, merupakan
kesempatan yang baik bagi di DJP untuk membangun citra di sosial
media.
3) Program Ekstensifikasi Subjek dan Objek Pajak
Dalam jangka pendek, DJP dapat melakukan perluasan subjek pajak
atau objek pajak. Dalam hal ini yang lebih dimungkinkan adalah perluasan
subjek pajak. Jika menambah objek, akan menjadi tidak adil bagi wajib
pajak yang telah terdaftar karena akan dibebani pajak yang lebih besar.
Sehingga alternatif yang harus dilaksanakan adalah menambah wajib
pajak. 55% Penduduk Indonesia bergerak di sektor Informal, untuk itu
orang pribadi merupakan sasaran dari ekstensifikasi ini.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menyasar Subjek
Pajak Orang Pribadi dengan menjadikan NPWP sebagai prasyarat dalam
membeli barang/jasa, atau mendapatkan layanan publik yang merupakan
barang konsumsi bagi masyarakat middle income. DJP berkerjasama
dengan elemen pemerintah yang lain untuk membuat kebijakan

10

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


menjadikan NPWP sebagai prasyarat dalam membeli barang/jasa tertentu.
Barang/Jasa/Layanan ini merupakan sesuatu yang hanya dapat dikonsumsi
oleh masyarakat di atas PTKP. Dengan demikian, masyarakat yang tidak
mempunyai NPWP akan kesulitan untuk mengkonsumsi barang tersebut.
Misalnya, ketika Tuan A membeli mobil, seseorang harus mencantumkan
NPWP dalam transaksi jual-beli. Apabila Tuan A tidak mempunyai NPWP,
maka tuan A harus mendaftar ke kantor pajak terlebih dahulu untuk
mendapatkan NPWP atau tuan A tidak dapat mengkonsumsi mobil.
Beberapa barang/jasa/layanan yang dapat masuk kategori ini antara
lain rumah, mobil, perhiasan/emas, jasa penerbangan, jasa internet
(provider), layanan imigrasi, layanan rumah sakit mewah, klub kebugaran,
dan sejenisnya.
b. Intensifikasi
1) Program Intensifikasi Pajak: Meningkatkan Basis Pengenaan
Pajak (Tax Base) e-commerce
Peningkatan basis pengenaan pajak dilakukan dengan membuat
kepastian hukum mengenai pengenaan pajak pada bidang usaha online
(e-commerce). Saat ini peraturan perpajakan bisnis online (e-commerce),
seperti: forum jual beli kaskus, berniaga.com, lazada.com, olx.co.id, dan
sebagainya menjadi sangat penting, karena potensi perpajakan dari bisnis
online saat ini belum tersentuh. Padahal sebagaimana diketahui umum
potensi jenis transaksi ini untuk berkembang adalah sangat besar.
Meskipun telah dikeluarkan SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan
Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-commerce, tetap saja masih
terdapat potensi perpajakan yang belum dioptimalkan terutama PPN dan
PPh Orang Pribadi. Selain e-commerce masih banyak potensi yang belum
tergali karena perekonomian Indonesia saat ini masih sangat ditopang
oleh underground economy. Underground economy tidak hanya yang
berasal dari aktivitas illegal tetapi juga banyak yang berasal dari aktivitas
legal seperti usaha kecil, UMKM, dan lain sebagainya. Aktivitas
underground economy ini masih belum dapat disentuh oleh DJP secara
baik mengingat potensinya yang cukup besar terhadap penerimaan pajak.
Pengawasan atas transaksi online ini perlu menjalin kerjasama dengan
otoritas jasa keuangan untuk memastikan setiap transaksi online
dikenakan pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Selama DJP belum mampu menciptakan mekanisme yang efektif dalam
penetrasi ke pasar transaksi online ini menurut kami angka tax ratio
Indonesia tidak akan dapat meningkat sepesat yang diharapkan. Terkait
mekanisme pemungutan pajak e-commerce, Indonesia sesungguhnya
dapat belajar dari negeri sakura, Jepang. Di Jepang bahkan dibuat sebuah
badan khusus yang berada di bawah otoritas pajak setempat yang
bertugas khusus untuk mengawasi arus transaksi online yang terjadi.
c. Penguatan Organisasi
1) Strategi Penguatan Internal DJP

11

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


Selain dengan program yang biasa dikenal seperti intensifikasi dan
ekstensifikasi, upaya yang harus dilakukan adalah dengan melakukan
perbaikan terus-menerus dari segi organisasi DJP sebagai institusi
pemungut pajak. Beberapa upaya yang perlu dilakukan antara lain:

Penyempurnaan atas peraturan perpajakan yang ada


Peraturan perpajakan di Indonesia masih memiliki banyak sekali
kekurangan. Salah satunya adalah adanya ketidaksesuaian antara
aturan yang ada dengan peraturan pelaksanaannya. Bahkan antar
peraturan pelaksanaan kadang sering tumpang tindih dan saling
meniadakan. Selain itu, peraturan perpajakan yang ada juga memiliki
celah-celah yang masih dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk
menghindari pajak atau upaya tindak pidana pajak lainnya. Oleh
karena itu, pemerintah dan DPR diharapkan dapat bahu-membahu
dalam perumusan peraturan yang baik ke depannya. Untuk langkah
kongkret saat ini adalah dengan melakukan penyempurnaan
peraturan yang ada dengan melakukan penghapusan, penyesuaian,
pembuatan aturan baru atas peraturan yang sebelumnya masih
memiliki celah yang dapat dimanfaatkan untuk upaya melakukan
tindak pidana perpajakan. Penyederhanaan peraturan juga secara
tidak langsung dapat membantu dalam meningkatkan penerimaan
DJP. Hal ini mengingat banyak Wajib Pajak yang dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya tidak sepenuhnya paham dengan aturan
yang ada. Wajib Pajak melakukan kewajiban perpajakan secara tidak
sempurna hanya untuk menghindari sanksi yang ada tanpa
mengetahui maksud dan cara yang benar karena tidak memahami
peraturan perpajakan dengan baik. Penyederhanaan peraturan akan
sangat membantu Wajib Pajak tersebut untuk lebih dapat mendalami
hal-hal terkait dengan kewajiban perpajakannya.

Perbaikan tata kelola organisasi


OECD membuat kajian yang didalamnya terdapat sembilan jenis
kewenangan yang dimiliki oleh otoritas perpajakan di berbagai
negara yaitu membuat peraturan, memberikan pembebasan
sanksi/bunga, mendesain struktur organisasi, mengalokasikan
anggaran, pengalokasian pegawai, menetapkan tingkat pelayanan,
mengusulkan kriteria pegawai, merekrut dan memberhentikan
pegawai, dan menegosiasikan tingkat gaji pegawai. Atas dasar kajian
tersebut selayaknya DJP diberi kewenangan lebih dalam mengelola
organisasinya. Kewenangan yang patut digarisbawahi antara lain
kewenangan penentuan struktur organisasi, pengelolaan SDM,
pengelolaan anggaran, dan penentuan remunerasi. Pemberian
keleluasaan bagi DJP diharapkan dapat membantu meningkatkan
penerimaan pajak sebagaimana terjadi di beberapa negara seperti
Peru, Meksiko, Venezuela, dan Bolivia.

Pengelolaan SDM DJP

12

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


SDM DJP sempat menjadi sorotan terkait beberapa kasus korupsi
yang melanda. Selain itu, Dirjen Fuad Rahmani juga pernah
mengeluhkan masalah SDM yang dimiliki oleh DJP, yaitu kurangnya
jumlah pegawai pajak yang dimiliki saat ini. Untuk itu, DJP perlu
diberikan
perlakuan
khusus
dalam
pengelolaan
SDM-nya.
Pengelolaan tersebut antara lain terkait kemudahan dalam rekrutmen
dan pemecatan pegawai. Untuk menunjang kinerjanya juga
diperlukan alokasi SDM yang sesuai dengan keahlian dan penerapan
sistem reward dan punishment yang baik. Selain itu, dalam
pengembangan SDMnya DJP dapat senantiasa memberikan
kemudahan akses pengembangan diri melalui pelatihan, seminar,
atau pendidikan lainnya yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya.

Peningkatan kerja sama dengan pihak lain dan penguatan


basis data perpajakan
Peningkatan kerja sama dengan pihak eksternal memegang peranan
penting dalam membantu meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
Wajib Pajak yang nantinya akan berdampak pada peningkatan
penerimaan dan tax ratio Indonesia. Kerja sama tersebut dapat
dibangun dengan instansi pemerintah lain, maupun dengan pihak
swasta. Lemahnya kerja sama yang dimiliki saat ini cukup
menghambat kemampuan DJP dalam menghimpun data perpajakan.
Peraturan terkait kewajiban pemberian data dalam UU KUP masih
belum cukup membantu untuk mendapatkan kemudahan dalam
memperoleh data-data pendukung yang ada. Oleh karena itu,
dituntut peranan aktif dari DJP, Kementerian Keuangan, atau bahkan
Presiden sendiri untuk dapat memberikan akses dan kemudahan
dalam menjalin kerja sama dengan pihak eksternal tersebut.

C. PENUTUP
Masih rendahnya tax ratio Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah
belum cukup efektif dalam menggali potensi penerimaan pajak. Untuk itu
diperlukan langkah-langkah nyata yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat meningkatkan penerimaan pajak. Hal-hal yang perlu
dilakukan antara lain dengan edukasi, program exposure, intensifikasi dan
ekstensifikasi, serta penguatan internal DJP.
Edukasi perpajakan dimaksudkan untuk meningkatkan moral
obligation to pay tax sehingga masyarakat semakin menyadari arti
penting perpajakan serta tidak lagi menganggap pajak sebagai beban
sehingga mau membayar pajak secara sukarela. Program exposure
merupakan program-program populis seperti insentif dengan maksud
menyenangkan wajib pajak. Program intensifikasi dan ekstensifikasi
dilakukan untuk mengejar potensi penerimaan yang masih belum tergali,
sementara penguatan internal DJP dimaksudkan agar DJP dapat semakin

13

Upaya Kreatif Meningkatkan Tax Ratio


matang secara organisasi baik dari sisi regulasi, tata kelola, maupun
sumber daya manusia.
Dengan program-program yang terencana dan terarah, diharapkan
pemerintah mampu meningkatkan tax ratio yang sejajar atau tidak terlalu
tertinggal dari negara-negara maju.

DAFTAR REFERENSI
1. Ikhsan, Mohamad dkk. 2005. Indonesias new tax reform: Potential
and direction. Journal of Asian Economic 16 (2005) 10291046.
Elsivier.
2. Kristian Agung Prasetyo, Quo Vadis Tax ratio Indonesia?, 2014.
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001
tentang pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi
pajak.
4. Tabel Produk Domestik Bruto:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&
id_subyek=11&notab=1
5. Tabel Penerimaan Negara: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
tabel=1&daftar=1&id_subyek =13
6. http://matapajak.com/2014/08/18/apa-itu-tax-ratio-rasio-pajak/
7. http://aanwakhidansori.blogspot.com/2010/06/peradilan-pajak.html
8. http://www.pajak.go.id/content/article/berapa-sih-sebenarnya-taxratio-indonesia
9. http://finansial.bisnis.com/read/20121113/10/104341/bedaperhitungan-tax-ratio-pengamat-diminta-gunakan-formula-oecd
10.http://www.tempo.co/read/news/2014/08/21/087601383/Tax-RatioDinilai-Kurang-Ini-Jawaban-Chatib-Basri

Anda mungkin juga menyukai