Unud-149-436938797-Bab II
Unud-149-436938797-Bab II
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian secara sistemik untuk menentukan atau menilai
kegunaan,
keefektifan
sesuatu
yang
didasarkan
program. Evaluasi harus memiliki tujuan yang jelas, sesuai dengan tujuan
yang ditetapkan dalam program. Ada tiga elemen penting dalam evaluasi yaitu
(1) kriteria/pembanding yaitu merupakan ciri ideal dari situasi yang diinginkan yang
dapat dirumuskan melalui tujuan operasional, (2) bukti /kejadian adalah kenyataan
yang ada yang diperoleh dari hasil penelitian, dan (3) penilaian (judgement) yang
dibentuk dengan membandingkan kriteria dengan kejadian (Sutjipta, 2009).
Lebih lanjut Sutjipta (2009) mengatakan lima ciri dalam evaluasi adalah
(1) kualitas: apakah program baik atau tidak baik, kualitas isi program, kegiatan
pendidik, media yang digunakan, penampilan pelaksana program, (2) kesesuaian
(suitability) : pemenuhan kebutuhan dan harapan masyarakat. Program tidak
menyulitkan atau membebani masyarakat, sesuai dengan tingkat teknis, sosial dan
ekonomis masyarakat, (3) keefektifan : seberapa jauh tujuan tercapai, (4) efisiensi :
penggunaan sumber daya dengan baik, dan (5) kegunaan (importance): kegunaan
bagi masyarakat yang ikut terlibat dalam program.
Evaluasi yang efektif dapat dinilai dari beberapa kriteria yaitu :
(1) memiliki tujuan evaluasi yang didefinisikan dengan jelas;
(2) pengukuran dilakukan dengan saksama menggunakan alat ukur yang valid;
(3) evaluasi dilakukan seobyektif mungkin yaitu bebas dari penilaian yang
bersifat pribadi;
6
Suluh yang berarti pemberi terang ditengah kegelapan. Menurut Zakaria (2006,
dalam Deptan, 2010) penyuluhan pertanian adalah upaya pemberdayaan petani dan
nelayan beserta keluarganya melalui peningkatan pengetahuan, ketrampilan, sikap,
dan kemandirian agar mereka mau dan mampu, sanggup berswadaya memperbaiki
/meningkatkan daya saing usahanya, kesejahteraan sendiri serta masyarakatnya.
Dalam UU RI No. 16, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan (SP3K), tahun 2006 disebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan
warga Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan di bidang pertanian, baik
merupakan penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya. Adapun yang menjadi tugas
pokok
penyuluhan
adalah
menyiapkan,
melaksanakan,
mengembangkan,
sebagai suatu sistem yang holistik, merupakan suatu proses yang utuh dari proses
pertanian di daerah hulu sampai ke daerah hilir, atau proses dari penyediaan input
sampai pemasaran.
Arsyad, dkk (dalam Soekartawi, 2003) menjelaskan bahwa agribisnis
sebagai suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari
mata rantai produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran yang ada hubungannya
dengan pertanian dalam arti luas. Mata rantai kegiatan agribisnis yang dipandang
sebagai suatu konsep sistem dapat dibagi menjadi empat subsistem yaitu : (1)
subsistem produksi, (2) subsistem pengolahan, (3) subsistem pemasaran, dan (4)
subsistem lembaga penunjang. Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat
antara salah satu subsistem berpengaruh terhadap subsistem lainnya.
Supartha (2005) mengatakan bahwa uraian dari subsistem agribisnis antara
lain subsistem perusahaan agribisnis hulu berfungsi menghasilkan dan menyediakan
sarana produksi pertanian terbaik agar mampu menghasilkan produk usahatani yang
berkualitas, melakukan pelayanan yang bermutu kepada usahatani, memberikan
bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen dan hubungan sistem
agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran atau pelatihan bagi petani, menyaring
10
11
untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal bagi para pelakunya (Badan
Agribisnis, 1995), (Saragih, 1998 dalam Supartha, 2005).
Keberhasilan
pengembangan
agribisnis
sangat
ditentukan
oeh
keharmonisan kerjasama tim sumber daya manusia yang berada pada semua
subsistem agribisnis. Kunci keberhasilan kerjasama tim adalah SDM yang terlibat
dalam agribisnis, disamping memiliki perilaku yang cukup di bidang pekerjaannya
sendiri (on job skill), harus juga mempunyai perilaku positif tentang posisi dirinya
dalam perusahaan agribisnis, dan posisi perusahaannya dalam integrasi vertikal
agribisnis, serta wawasan ekonomi secara makro (macro behavior) (Saragih, 1998
dalam Supartha, 2005).
Konsep perusahaan dan sistem agribisnis dimunculkan untuk mengubah
paradigma petani, bahwa petani adalah manajer perusahaan agribisnis yang
berkedudukan setara dengan perusahaan agribisnis yang berada di hulu maupun di
hilir. Petani agar mulai dari memperhatikan kebutuhan pasar, bersinergi dengan
perusahaan agribisnis lain untuk memproduksi barang yang dibutuhkan pasar. Jika
hal ini
dapat
mengubah
sikap
12
13
teknologi,
dan
sarana
yang
diperlukan
untuk
kebutuhan
mendukung
dirinya
menjadi
pengusaha
agribisnis
yang
profesional (enterpreneur);
(8) menumbuhkan dan mengembangkan wadah pembelajaran bagi pelaku utama
dan organisasi petani (kelompoktani/gapoktan/asosiasi), untuk menghasilkan
pelaku utama sebagai enterpreneur yang mandiri di bidang pertanian;
(9) menciptakan penyuluh swadaya sebagai motivator di perdesaan, terutama untuk
menggerakkan, membimbing dalam pelaksanaan agribisnis yang mampu
membangun jaringan antar pelaku agribisnis pada satuan wilayah Desa
dan Kecamatan; serta
(10) menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan pembelajaran /penyuluhan di
Desa (pos penyuluhan pertanian) untuk menjamin keberlanjutan penyuluhan
oleh, dari, dan untuk pelaku utama dalam pengembangan agribisnis.
14
2.3.1
(1) Partisipatif : kegiatan FMA harus melibatkan pelaku utama dan pelaku usaha
untuk berperan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, termasuk kelompok terpinggirkan
(disadvantaged groups) yaitu keluarga miskin dan perempuan. Partisipasi akan
berkembang dalam berbagai cara sesuai keadaan spesifik lokasi, dan pelibatan
sejak proses perencanaan akan menumbuhkan perasaan memiliki dan jaminan
keberlanjutan program.
(2) Demokratis : setiap keputusan dibuat melalui musyawarah atau kesepakatan
sebagian besar pelaku utama dan pelaku usaha untuk menjamin dukungan yang
berkelanjutan dan rasa memiliki dari masyarakat. Seluruh kegiatan FMA, dari
perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dilaksanakan dengan prinsip dari
petani ke petani dan untuk petani.
(3) Desentralisasi : kegiatan penyuluhan pertanian direncanakan dan dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan
perempuan) untuk memperbaiki dan mengembangkan agribisnisnya serta
meningkatkan
rasa
memiliki
terhadap
kegiatan penyuluhan.
(4) Keterbukaan : manajemen dan administrasi penggunaan dana FMA harus
diketahui dan diumumkan ke masyarakat baik di tingkat Desa.
(5) Akuntabilitas : pelaksanaan
pelaksanaan FMA
harus
kegiatan
dan
pengelolaan
dana
untuk
15
(6) Sensitif gender : kegiatan FMA memberikan manfaat kepada pelaku utama dan
pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan termasuk mereka berasal dari
kelompok yang terpinggirkan dalam pelaksanaan agribisnisnya.
(7) Kemandirian: pelaku utama dan pelaku usaha, keluarga dan masyarakat
tani, serta
tanpa
harus
bergantung
kepada
bantuan Pemerintah.
(8) Belajar sambil berusaha : kegiatan pembelajaran dirancang terintegrasi dengan
pelaksanaan usaha untuk memenuhi kebutuhan belajar.
2.3.2 Fasilitator
Fasilitator terdiri atas penyuluh swadaya, praktisi, peneliti dan petugas /
penyuluh pertanian lapangan.
2.3.3 Ciri-ciri pembelajaran agribisnis dalam FMA
(1) Kegiatan pembelajaran di perdesaan sesuai dengan produk/komoditi yang
dibutuhkan pasar dan disepakati dalam rembugtani Desa/organisasi petani dalam
rangka mengembangkan agribisnis berskala ekonomi.
(2) Kegiatan pembelajaran yang diajukan berdasarkan pada kebutuhan pelaku
utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan) dalam melaksanakan
agribisnisnya dan disepakati dalam rembugtani di tingkat Desa/organisasi petani.
(3) Proses pembelajaran diutamakan difasilitasi oleh pelaku usaha yang berhasil /
praktisi ahli/penyuluh swadaya yang berkaitan dengan produk/komoditi sesuai
dengan keahlian yang berkaitan dengan topik pembelajaran yang diusulkan.
16
produk /
komoditi unggulan.
(3) Kegiatan belajar pelaku utama dalam FMA terintegrasi dengan pelaksanaan
agribisnis yang ditetapkan sesuai dengan skala usaha ekonomi.
(4) Seluruh proses pembelajaran diselenggarakan/dikelola oleh pelaku utama.
(5) Jumlah dan jenis pembelajaran partisipatif petani.
2.3.4.2 Indikator hasil pelaksanaan kegiatan FMA
(1) Kepuasan petani tentang produk/komoditi yang dihasilkan melalui proses
pembelajaran agribisnis diterima oleh pasar.
(2) Pelaku
peluang pasar.
agribisnis berdasarkan
17
(3) Kepuasan petani atas metode dan proses belajar untuk meningkatkan
kemampuan dalam pengembangan agribisnis.
(4) Kepuasan anggota organisasi petani atas metode dan proses pembelajaran
perencanaan penyuluhan partisipatif.
(5) Kepuasan petani atas pelayanan kelembagaan penyuluhan Kabupaten.
(6) Jumlah penyuluh swadaya yang ada di desa meningkat dan memiliki berbagai
keahlian dalam memfasilitasi pengembangan agribisnis di Desa.
(7) Jumlah
kelompok
pembelajaran
yang
berfungsi
dalam
memfasilitasi
18
(6) Meningkatnya
petani
dalam
19
20
pada
aspek - aspek
FMA
baik
teknis
maupun administrasi.
(2) Sekretaris: bertanggungjawab untuk memonitor dan mencatat pelaksanaan
kegiatan penyuluhan di Desa dan pemanfaatan dana stimulan penguatan
permodalan dalam pelaksanaan kegiatan agribisnis.
(3) Bendahara: bertanggungjawab secara administrasi atas penerimaan/ pengeluaran
dana dan masalah keuangan lainnya sesuai dengan dana FMA.
(4) Penyuluh swadaya : bertanggungjawab untuk merencanakan, memandu proses
kegiatan pembelajaran dan pelaksanaan agribisnis.
Pengurus unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya dilatih melalui
pelatihan teknik fasilitasi FMA, pelatihan bagi unit pengelola FMA, pembinaan, dan
bimbingan teknik lainnya yang dilakukan secara rutin oleh tim pemandu lapang.
Pelatihan reorientasi pengelolaan FMA untuk meningkatkan kualitas kemampuan
unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya.
Kegiatan pembelajaran FMA dilaksanakan terintegrasi dengan pelaksanaan
agribisnis berdasarkan produk/ komoditi sesuai dengan permintaan pasar dalam satu
21
siklus usaha dengan skala ekonomi untuk produk/komoditi yang diusahakan. Kriteria
peserta pembelajaran adalah :
(1) pelaku utama yang melaksanakan agribisnis sesuai dengan produk/komoditi
yang diperlukan pasar dan telah ditetapkan melalui pertemuan rembugtani Desa;
(2) bersedia untuk mengikuti pembelajaran dalam satu siklus usaha;
(3) berkomitmen untuk menerapkan hasil pembelajaran dalam kegiatan usahanya;
(4) bersedia bekerjasama antar anggota kelompok belajar dalam penyediaan sarana
usaha, pemasaran, dan lain-lain; serta
(5) bersedia untuk menyertakan sumberdaya yang dimiliki secara swadaya dalam
satuan pelaksanaan agribisnis berskala ekonomi.
Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kecamatan adalah tim penyuluh
lapangan sebagai berikut :
(1) Anggota tim penyuluhan lapangan terdiri dari penyuluh pertanian pada setiap
Kecamatan lokasi P3TIP. Apabila diperlukan dan tersedia di kecamatan, dapat
ditambah dengan anggota masyarakat (penyuluh swadaya dan swasta) yang
memiliki keahlian teknis agribisnis dan mampu memfasilitasi kegiatan
pembelajaran yang diperlukan para pelaku utama.
(2) Tim penyuluhan lapangan berkedudukan di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP),
dibentuk oleh Kepala Lembaga Penyuluhan Kabupaten, yang dikoordinir oleh
koordinator penyuluh.
Tim Penyuluh Lapangan bertugas untuk :
(1) Mensosialisasikan FMA.
22
(2) Membantu penyuluh swadaya dan pengurus unit pengelola FMA dalam
memfasilitasi perencanaan, pelaksanaan, memonitor serta melakukan evaluasi
kegiatan penyuluhan pertanian.
(3) Mengembangkan kemitraan diantara pelaku utama dan pelaku usaha dibidang
hasil produksi pertanian, teknologi, proses, dan pemasaran di tingkat Kecamatan.
(4) Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan di tingkat
Kecamatan secara partisipatif dan mempersiapkan laporan bulanan untuk
diserahkan ke Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten.
(5) Melaksanakan pertemuan koordinasi FMA di tingkat Kecamatan setiap bulan
yang dihadiri pengurus unit pengelola FMA dengan biaya APBD.
(6) Memfasilitasi pelatihan untuk penyuluh swadaya.
(7) Menilai kemajuan/kinerja unit pengelola FMA dalam pelaksanaan kegiatan FMA
yang sudah atau sedang berjalan.
Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kabupaten sebagai berikut :
(1) Komisi penyuluhan Kabupaten
Komisi penyuluhan Kabupaten dibentuk oleh Bupati yang berkedudukan
di tingkat Kabupaten. Keanggotaan komisi penyuluhan terdiri dari wakil Pemerintah
dan non Pemerintah yang memiliki keterkaitan dan kepedulian terhadap
penyelenggaraan penyuluhan di Kabupaten. Perbandingan perwakilan organisasi
Pemerintah dan non Pemerintah harus seimbang, dengan jumlah anggota perempuan
minimal 30% yang dapat menyuarakan kaum perempuan yang berusaha
disektor pertanian.
23
24
(1) biaya pembelajaran sesuai dengan proposal yang telah disetujui (studi petani,
sekolah lapangan, demonstrasi, magang, pelatihan, dll)
(2) modal usaha untuk keperluan seluruh proses usaha yang dilaksanakan oleh
peserta pembelajaran
(3) biaya Operasional
a. Gaji, upah yang rutin diberikan mingguan/bulanan bagi pengurus FMA dan
b. Tranpor bagi peserta rapat/pertemuan/rembugtani yang dilaksanakan di Desa
yang bersangkutan.
(4) Transport kegiatan FMA
a. Transport bagi tenaga harian lepas - tenaga bantu PPL dan
b. Transport bagi peserta pembelajaran kecuali sewa kendaraan untuk studi
banding, magang, dan kunjungan petani antar Desa.
(5) Kegiatan yang terkait dengan FMA dan tidak dibiayai dari dana FMA, antara lain
kajian pengembangan agribisnis perdesaan, penyusunan rencana usaha
berkelompok (business plan), penyusunan programa penyuluhan Desa, serta
penyelenggaraan forum penyuluhan pertanian perdesaan. Pelaksanaan kegiatankegiatan ini dibiayai FMA Desa dari sumber lain, yaitu dari swadaya
masyarakat, APBN, dan APBD (Deptan, 2009).
2.4 Participatory Rural Appraisal (PRA)
Kegiatan
Pemahaman
Pedesaan
secara
Partisipatif
(PPsP)
atau
25
yang dibutuhkan dengan memperhitungkan kendala dan seluruh potensi sumber daya
yang tersedia (Irawan dan Priyanto, 2006 dalam Deptan, 2010).
PRA adalah pengalaman belajar bersama yang intensif, sistematis, semi
struktural, dilakukan di masyarakat dengan tim multidisiplin dimana anggota
masyarakat termasuk dalam peserta (Rangkuti, et al, 1998 dalam Deptan, 2010).
Dalam PRA peranan orang luar adalah sebagai katalis, fasilitator dan pemersatu
terhadap suatu proses dalam komuniti, terjadi proses transformasi peran-peran dan
pengenalan penduduk lokal pria dan wanita, sebagai analisis yang aktif, perencanaan
dan organisatoris (Chambers dan Guut, 1995 dalam Deptan, 2010).
Participatory Rural Appraisal / Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif,
dilakukan secara sistematis tetapi fleksibel (semi-terstruktur) untuk menggali
persepsi/ tanggapan masyarakat setempat tentang keadaan lingkungan/wilayahnya
dan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat tersebut (permasalahan, potensi, dll)
PRA berusaha untuk mengidentifikasi potensi dan masalah-masalah yang
dihadapi dalam bidang pertanian sehingga memberikan arah teknologi atau inovasi
apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan potensi
yang ada. Masalah-masalah pertanian di lokasi tersebut tidak hanya pada tataran on
farm saja, tetapi mencakup kelembagaan (input, output, penunjang) dalam kerangka
mewujudkan agribisnis industrial. Agribisnis industrial adalah sistem yang
memanfaatkan keseluruhan potensi yang ada untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan petani (Sinar Tani,1-7 Nop 06 dalam Deptan, 2010).
Keluaran PRA adalah (1) pemahaman potensi, masalah, dan peluang pengembangan
26
agribisnis, (2) penetapan rencana definitif kegiatan kelompok, dan (3) teknologi yang
diintrodusir antara lain :
(1) manajemen produksi (pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama/penyakit,
introduksi klon unggul (sambung pucuk dan tempel samping);
(2) penanganan pasca panen biji kakao untuk meningkatkan mutu melalui
fermentasi biji; dan
(3) pengolahan kulit kakao menjadi pakan ternak dan pupuk bokashi.
2.5
27
kesulitan dalam mengaplikasikan dua konsep tersebut, karena mengandung arti yang
sama yaitu semua orang yang hidup dari pertanian disebut petani.
Jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia didominasi oleh petani yang
memiliki luas lahan kurang dari 0,5 ha. Jika dilihat dari luas lahan yang dimiliki,
dapat dikatakan bahwa petani Indonesia dapat digolongan sebagai peasants atau
subsistence farmers. Sebagian besar petani di
Indonesia,
yakni
40,37%
berpendidikan sekolah dasar; 4,62% berpendidikan SLTA; dan hanya 0,39% yang
berpendidikan akademi/universitas. Kelompok yang tidak berpendidikan (tidak
sekolah) dan tidak tamat SD mencapai 47,33%. Maka dikatakan petani Indonesia
adalah petani gurem untuk menggantikan istilah peasant (Soetrisno, 2002).
Umur petani Indonesia cenderung tua, sangat berpengaruh terhadap
produktivitas sektor pertanian. Petani yang berusia tua biasanya cenderung
konservatif dalam menyikapi perubahan atau inovasi teknologi. Namun untuk
menyikapi hal ini diperlukan sikap yang hati-hati. Petani Indonesia pada umumnya
adalah petani gurem dan usahatani di lingkungan tropika yang penuh resiko,
misalnya hama dan penyakit, tidak menentu curah hujan, dan sebagainya. Dalam
kondisi yang penuh resiko, petani lebih berhati-hati dalam menerima inovasi, karena
kegagalan berarti penderitaan bagi seluruh keluarga. Sementara di Indonesia belum
terdapat asuransi yang dapat melindungi para petani dari kegagalan dalam
pengembangan usaha tani. Agar lebih survive pada abad yang akan datang, petani
harus berani mengambil risiko dalam berinovasi (Soetrisno, 2002).
28
2.6
Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Bali (Kasus Pada PT. Aneka Satwa Perkasa)
menyimpulkan bahwa efektivitas kemitraan antara peternak plasma dengan PT.
Aneka Satwa Perkasa telah berjalan efektif yang ditunjukkan dengan menggunakan
tiga indikator efektivitas yaitu indikator hubungan sistem kemitraan dengan hasil
kriteria baik, indikator produktivitas tenaga kerja, kandang dan peralatan dengan
hasil nilai produktif dan indikator efisiensi usaha ternak plasma dengan hasil
yang efisien.
Hasil penelitian Kartika (2005) dengan judul Evaluasi Kinerja Kemitraan
Agribisnis Komoditas Kopi di Kabupaten Bangli (Studi Kasus Pada CV. Tri Agung
Mulia) menyimpulkan bahwa kemitraan antara CV. Tri Agung Mulia dengan
Pemerintah Kabupaten Bangli menguntungkan secara signifikan dan efektif
berdasarkan analisis finansial dan non finansial. Kemitraan juga memberikan
manfaat finansial terhadap pemerintah Kabupaten, perusahaan dan petani/kelompok
tani. Berdasarkan hasil analisis Fishbein dan Likert pelayanan perusahaan dirasakan
belum optimal oleh petani dalam hal kapasitas tampung dan sosialisasi kualitas buah
kopi. Tetapi petani memberikan sikap positip terhadap kemitraan dan dinilai
puas terhadap atribut/aspek kemitraan, yaitu pembinaan Pemerintah Kabupaten,
penetapan
proses pemasaran.