Anda di halaman 1dari 23

6

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian secara sistemik untuk menentukan atau menilai
kegunaan,

keefektifan

sesuatu

yang

didasarkan

pada kriteria tertentu dari

program. Evaluasi harus memiliki tujuan yang jelas, sesuai dengan tujuan
yang ditetapkan dalam program. Ada tiga elemen penting dalam evaluasi yaitu
(1) kriteria/pembanding yaitu merupakan ciri ideal dari situasi yang diinginkan yang
dapat dirumuskan melalui tujuan operasional, (2) bukti /kejadian adalah kenyataan
yang ada yang diperoleh dari hasil penelitian, dan (3) penilaian (judgement) yang
dibentuk dengan membandingkan kriteria dengan kejadian (Sutjipta, 2009).
Lebih lanjut Sutjipta (2009) mengatakan lima ciri dalam evaluasi adalah
(1) kualitas: apakah program baik atau tidak baik, kualitas isi program, kegiatan
pendidik, media yang digunakan, penampilan pelaksana program, (2) kesesuaian
(suitability) : pemenuhan kebutuhan dan harapan masyarakat. Program tidak
menyulitkan atau membebani masyarakat, sesuai dengan tingkat teknis, sosial dan
ekonomis masyarakat, (3) keefektifan : seberapa jauh tujuan tercapai, (4) efisiensi :
penggunaan sumber daya dengan baik, dan (5) kegunaan (importance): kegunaan
bagi masyarakat yang ikut terlibat dalam program.
Evaluasi yang efektif dapat dinilai dari beberapa kriteria yaitu :
(1) memiliki tujuan evaluasi yang didefinisikan dengan jelas;
(2) pengukuran dilakukan dengan saksama menggunakan alat ukur yang valid;
(3) evaluasi dilakukan seobyektif mungkin yaitu bebas dari penilaian yang
bersifat pribadi;
6

(4) kriteria yang digunakan sebagai standar harus spesifik;


(5) evaluasi harus menggunakan metode ilmiah yang pantas sehingga memiliki nilai
kepercayaan yang tinggi;
(6) evaluasi harus dapat mengukur perubahan yang terjadi; dan
(7) evaluasi harus bersifat praktis.
2.2

Konsep Agribisnis Penyuluhan Pertanian


Istilah penyuluhan pada dasarnya diturunkan dari kata Extension yang

dipakai secara meluas dibanyak kalangan. Penyuluhan berasal

dari kata dasar

Suluh yang berarti pemberi terang ditengah kegelapan. Menurut Zakaria (2006,
dalam Deptan, 2010) penyuluhan pertanian adalah upaya pemberdayaan petani dan
nelayan beserta keluarganya melalui peningkatan pengetahuan, ketrampilan, sikap,
dan kemandirian agar mereka mau dan mampu, sanggup berswadaya memperbaiki
/meningkatkan daya saing usahanya, kesejahteraan sendiri serta masyarakatnya.
Dalam UU RI No. 16, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan (SP3K), tahun 2006 disebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan
warga Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan di bidang pertanian, baik
merupakan penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya. Adapun yang menjadi tugas
pokok

penyuluhan

adalah

menyiapkan,

melaksanakan,

mengembangkan,

mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian, sehingga penyuluh


dituntut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyuluh di lapangan
dengan mitra kerja petani yang berperan sebagai fasilitator. Penyuluhan adalah
sistem penyuluhan pertanian merupakan seluruh rangkaian pengembangan

kemampuan, pengetahuan, ketrampilan serta sikap pelaku utama (pelaku kegiatan


pertanian) dan pelaku usaha melalui penyuluhan.
Tujuan penyuluhan adalah mengubah perilaku (pengetahuan, ketrampilan,
dan sikap) petani agar dapat bertani lebih baik (better farming), berusahatani lebih
menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), dan
bermasyarakat lebih baik (better community) (Deptan, 2010).
Supartha (2005) mengatakan bahwa untuk meningkatkan perilaku
agribisnis diperlukan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis, yang materi
penyuluhannya mencakup keseluruhan aspek teknis produksi, aspek manajemen
agribisnis, dan aspek manajemen hubungan sistem agribisnis dengan wawasan
industri, terutama etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan kepribadian
sebagai pengusaha agribisnis agar para pelaku sistem agribisnis dapat memiliki
persepsi dan sikap yang sama tentang: visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran, dan
rencana kerja bersama yang dirumuskan dengan cara terbuka. Metode penyuluhan
maupun media komunikasi yang digunakan agar lebih beragam, inovatif, dan kreatif
sesuai dengan kebutuhan sasaran penyuluhan.
Penyuluhan sistem agribisnis adalah jasa layanan dan informasi agribisnis
yang dilakukan melalui proses pendidikan non formal untuk petani dan pihak-pihak
terkait yang memerlukan, agar kemampuannya dapat berkembang secara dinamis
untuk menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya dengan baik,
menguntungkan, dan memuaskan. Mutu jasa layanan dilihat dari segi keterpercayaan
(realibility), keterjaminan (assurance), penampilan (tangiability), kepemerhatian
(empaty), dan ketanggapan (responsiveness) (Supartha, 2005).

Supari (2002) mendefinisikan agribisnis sebagai unit bisnis yang berbasis


agroindustri dan terkait dengan produk agroindustri mulai dari hulu (up stream ),
ditingkat usaha tani (on farm), hilir (down stream) agribisnis, dan layanan
perdagangan. Agribisnis merupakan bentuk pendekatan pembangunan sektor
pertanian yang dikembangkan di Indonesia dewasa

ini. Agribisnis yang dilihat

sebagai suatu sistem yang holistik, merupakan suatu proses yang utuh dari proses
pertanian di daerah hulu sampai ke daerah hilir, atau proses dari penyediaan input
sampai pemasaran.
Arsyad, dkk (dalam Soekartawi, 2003) menjelaskan bahwa agribisnis
sebagai suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari
mata rantai produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran yang ada hubungannya
dengan pertanian dalam arti luas. Mata rantai kegiatan agribisnis yang dipandang
sebagai suatu konsep sistem dapat dibagi menjadi empat subsistem yaitu : (1)
subsistem produksi, (2) subsistem pengolahan, (3) subsistem pemasaran, dan (4)
subsistem lembaga penunjang. Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat
antara salah satu subsistem berpengaruh terhadap subsistem lainnya.
Supartha (2005) mengatakan bahwa uraian dari subsistem agribisnis antara
lain subsistem perusahaan agribisnis hulu berfungsi menghasilkan dan menyediakan
sarana produksi pertanian terbaik agar mampu menghasilkan produk usahatani yang
berkualitas, melakukan pelayanan yang bermutu kepada usahatani, memberikan
bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen dan hubungan sistem
agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran atau pelatihan bagi petani, menyaring

10

dan mensintesis informasi agribisnis praktis untuk petani, mengembangkan


kerjasama bisnis (kemitraan) yang dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Subsistem perusahaan usahatani sebagai produsen pertanian berfungsi
melakukan kegiatan teknis produksi agar produknya dapat dipertanggungjawabkan
baik secara kualitas maupun kuantitas. Mampu melakukan manajemen agribisnis
secara baik agar proses produksi menjadi efisien sehingga mampu bersaing di pasar.
Petani umumnya memerlukan penyuluhan, informasi agribisnis, teknologi, dan
inovasi lainnya dalam proses produksi, bimbingan teknis atau pendampingan
agar petani dapat melakukan proses produksi secara efisien dan bernilai
tambah lebih tinggi.
Subsistem perusahaan agribisnis hilir, berfungsi melakukan pengolahan
lanjut (baik tingkat primer, sekunder maupun tersier) untuk mengurangi susut nilai
atau meningkatkan mutu produk agar dapat memenuhi kebutuhan dan selera
konsumen, serta berfungsi memperlancar pemasaran hasil melalui perencanaan
sistem pemasaran yang baik. Subsistem jasa penunjang (penyuluhan, penelitian,
informasi agribisnis, peraturan, kredit modal, dan transportasi) secara aktif ataupun
pasif berfungsi menyediakan layanan bagi kebutuhan pelaku sistem agribisnis untuk
memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem agribisnis.
Agar semua pelaku sistem agribisnis mendapat peluang yang adil dalam
memperoleh keuntungan, maka cara pandang terhadap agribisnis secara makro
artinya aktivitas agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem,
dimana antara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling terkait dan terpadu

11

untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal bagi para pelakunya (Badan
Agribisnis, 1995), (Saragih, 1998 dalam Supartha, 2005).
Keberhasilan

pengembangan

agribisnis

sangat

ditentukan

oeh

keharmonisan kerjasama tim sumber daya manusia yang berada pada semua
subsistem agribisnis. Kunci keberhasilan kerjasama tim adalah SDM yang terlibat
dalam agribisnis, disamping memiliki perilaku yang cukup di bidang pekerjaannya
sendiri (on job skill), harus juga mempunyai perilaku positif tentang posisi dirinya
dalam perusahaan agribisnis, dan posisi perusahaannya dalam integrasi vertikal
agribisnis, serta wawasan ekonomi secara makro (macro behavior) (Saragih, 1998
dalam Supartha, 2005).
Konsep perusahaan dan sistem agribisnis dimunculkan untuk mengubah
paradigma petani, bahwa petani adalah manajer perusahaan agribisnis yang
berkedudukan setara dengan perusahaan agribisnis yang berada di hulu maupun di
hilir. Petani agar mulai dari memperhatikan kebutuhan pasar, bersinergi dengan
perusahaan agribisnis lain untuk memproduksi barang yang dibutuhkan pasar. Jika
hal ini

dapat

dilakukan, maka tercapailah peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan petani. Untuk

mengubah

sikap

dan perilaku itulah, diperlukan

penyuluhan pertanian dengan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis serta


penyuluhan profesional (Supartha, 2005).
Lebih lanjut Supartha (2005) perilaku agribisnis yaitu (1) aspek perilaku
teknis produksi, (2) manajemen agribisnis (perencanaan usaha, pemanfaatan sumber
daya agribisnis, peningkatan efisiensi, peningkatan produktivitas, perbaikan mutu

12

hasil, perekayasaan teknologi, perekayasaan kelompok atau koperasi, dan pemuasan


pelanggan; dan (3) aspek perilaku hubungan sistem agribisnis.
2.3

Uraian Kegiatan FMA


FMA adalah proses perubahan perilaku, pola pikir, dan sikap petani dari

petani subsisten tradisional menjadi petani modern berwawasan agribisnis melalui


pembelajaran yang berkelanjutan dilaksanakan dengan pendekatan belajar sambil
berusaha (learning by doing) yang menitikberatkan pada pengembangan kapasitas
managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan pelaku utama dalam rangka
mewujudkan wirausahawan (enterpreneur) agribisnis yang handal. Output yang
diharapkan bukan sekedar pengembangan aspek PKS (pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap) petani dalam hal produksi pertanian, akan tetapi dari proses pembelajaran ini
secara rill diharapkan mampu membangun agribisnis dari hulu sampai ke hilir.
Tujuan umum pelaksanaan FMA adalah untuk meningkatkan kemampuan
petani sebagai wirausaha agribisnis dalam mengelola kegiatan penyuluhan/
pembelajaran di desa dalam mengembangkan agribisnisnya sehingga pelaku utama
mampu melaksanakan prinsip-prinsip agribisnis dalam melaksanakan usahanya
dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama.
Tujuan khusus pelaksanaan FMA adalah meningkatkan kemampuan
pelaku utama dan pelaku usaha dalam:
(1) mengidentifikasi peluang dan kebutuhan pasar yang potensial sebagai dasar
untuk menyusun rencana agribisnisnya (business plan);
(2) mengidentifikasi potensi sumberdaya yang dimiliki, masalah-masalah yang
dihadapi dalam pengelolaan agribisnis, dan alternatif-alternatif pemecahannya;

13

(3) memilih usaha yang paling menguntungkan serta mengidentifikasi


informasi,

teknologi,

dan

sarana

yang

diperlukan

untuk

kebutuhan
mendukung

pengembangan usahanya secara berkelanjutan;


(4) menerapkan prinsip - prinsip agribisnis (orientasi pasar, menguntungkan,
memiliki kepercayaan jangka panjang, kemandirian, dan daya saing usaha,
komitmen terhadap kontrak usaha) dalam pelaksanaan usahanya;
(5) mengembangkan jejaring dengan berbagai sumber informasi teknologi,
pemasaran, permodalan dalam rangka pengembangan agribisnisnya;
(6) mengembangkan kemitraan usaha dengan berbagai pihak;
(7) mengembangkan

dirinya

menjadi

pengusaha

agribisnis

yang

profesional (enterpreneur);
(8) menumbuhkan dan mengembangkan wadah pembelajaran bagi pelaku utama
dan organisasi petani (kelompoktani/gapoktan/asosiasi), untuk menghasilkan
pelaku utama sebagai enterpreneur yang mandiri di bidang pertanian;
(9) menciptakan penyuluh swadaya sebagai motivator di perdesaan, terutama untuk
menggerakkan, membimbing dalam pelaksanaan agribisnis yang mampu
membangun jaringan antar pelaku agribisnis pada satuan wilayah Desa
dan Kecamatan; serta
(10) menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan pembelajaran /penyuluhan di
Desa (pos penyuluhan pertanian) untuk menjamin keberlanjutan penyuluhan
oleh, dari, dan untuk pelaku utama dalam pengembangan agribisnis.

14

2.3.1

Prinsip-prinsip dasar pelaksanaan FMA

(1) Partisipatif : kegiatan FMA harus melibatkan pelaku utama dan pelaku usaha
untuk berperan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, termasuk kelompok terpinggirkan
(disadvantaged groups) yaitu keluarga miskin dan perempuan. Partisipasi akan
berkembang dalam berbagai cara sesuai keadaan spesifik lokasi, dan pelibatan
sejak proses perencanaan akan menumbuhkan perasaan memiliki dan jaminan
keberlanjutan program.
(2) Demokratis : setiap keputusan dibuat melalui musyawarah atau kesepakatan
sebagian besar pelaku utama dan pelaku usaha untuk menjamin dukungan yang
berkelanjutan dan rasa memiliki dari masyarakat. Seluruh kegiatan FMA, dari
perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dilaksanakan dengan prinsip dari
petani ke petani dan untuk petani.
(3) Desentralisasi : kegiatan penyuluhan pertanian direncanakan dan dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan
perempuan) untuk memperbaiki dan mengembangkan agribisnisnya serta
meningkatkan

rasa

memiliki

terhadap

pelaksanaan dan hasil-hasil dari

kegiatan penyuluhan.
(4) Keterbukaan : manajemen dan administrasi penggunaan dana FMA harus
diketahui dan diumumkan ke masyarakat baik di tingkat Desa.
(5) Akuntabilitas : pelaksanaan
pelaksanaan FMA

harus

seluruh masyarakat Desa.

kegiatan

dan

pengelolaan

dana

untuk

dilaporkan dan dipertanggung jawabkan kepada

15

(6) Sensitif gender : kegiatan FMA memberikan manfaat kepada pelaku utama dan
pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan termasuk mereka berasal dari
kelompok yang terpinggirkan dalam pelaksanaan agribisnisnya.
(7) Kemandirian: pelaku utama dan pelaku usaha, keluarga dan masyarakat
tani, serta

seluruh anggota organisasi

petani ( laki-laki dan perempuan )

memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengembangkan usahatani yang


menguntungkan dan berkelanjutan

tanpa

harus

bergantung

kepada

bantuan Pemerintah.
(8) Belajar sambil berusaha : kegiatan pembelajaran dirancang terintegrasi dengan
pelaksanaan usaha untuk memenuhi kebutuhan belajar.
2.3.2 Fasilitator
Fasilitator terdiri atas penyuluh swadaya, praktisi, peneliti dan petugas /
penyuluh pertanian lapangan.
2.3.3 Ciri-ciri pembelajaran agribisnis dalam FMA
(1) Kegiatan pembelajaran di perdesaan sesuai dengan produk/komoditi yang
dibutuhkan pasar dan disepakati dalam rembugtani Desa/organisasi petani dalam
rangka mengembangkan agribisnis berskala ekonomi.
(2) Kegiatan pembelajaran yang diajukan berdasarkan pada kebutuhan pelaku
utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan) dalam melaksanakan
agribisnisnya dan disepakati dalam rembugtani di tingkat Desa/organisasi petani.
(3) Proses pembelajaran diutamakan difasilitasi oleh pelaku usaha yang berhasil /
praktisi ahli/penyuluh swadaya yang berkaitan dengan produk/komoditi sesuai
dengan keahlian yang berkaitan dengan topik pembelajaran yang diusulkan.

16

(4) Proses pembelajaran di Desa dilaksanakan sambil melaksanakan kegiatan


agribisnisnya (learning by doing).
(5) Proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan belajar berdasarkan
pengalaman dan menemukan sendiri dalam pengembangan agribisnisnya
(discovery learning).
(6) Materi, metode dan durasi/waktu pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan
dan aspirasi pelaku utama dan pelaku usaha serta produk/komoditi yang
diusahakan dalam satu siklus usaha.
2.3.4

Indikator keberhasilan FMA meliputi

2.3.4.1 Indikator proses pelaksanaan kegiatan FMA


(1) Kepuasaan petani terhadap proses pembelajaran FMA dan rencana usaha
berkelompok sesuai dengan kebutuhan pasar.
(2) Adanya

kesepakatan dalam rembugtani tentang penetapan

produk /

komoditi unggulan.
(3) Kegiatan belajar pelaku utama dalam FMA terintegrasi dengan pelaksanaan
agribisnis yang ditetapkan sesuai dengan skala usaha ekonomi.
(4) Seluruh proses pembelajaran diselenggarakan/dikelola oleh pelaku utama.
(5) Jumlah dan jenis pembelajaran partisipatif petani.
2.3.4.2 Indikator hasil pelaksanaan kegiatan FMA
(1) Kepuasan petani tentang produk/komoditi yang dihasilkan melalui proses
pembelajaran agribisnis diterima oleh pasar.
(2) Pelaku

utama dapat merencanakan, melaksanakan

peluang pasar.

agribisnis berdasarkan

17

(3) Kepuasan petani atas metode dan proses belajar untuk meningkatkan
kemampuan dalam pengembangan agribisnis.
(4) Kepuasan anggota organisasi petani atas metode dan proses pembelajaran
perencanaan penyuluhan partisipatif.
(5) Kepuasan petani atas pelayanan kelembagaan penyuluhan Kabupaten.
(6) Jumlah penyuluh swadaya yang ada di desa meningkat dan memiliki berbagai
keahlian dalam memfasilitasi pengembangan agribisnis di Desa.
(7) Jumlah

kelompok

pembelajaran

yang

berfungsi

dalam

memfasilitasi

pengembangan agribisnis di Desa.


(8) Persentase petani termasuk wanita dan pemuda yang melaksanakan usaha
berorientasi agribisnis.
2.3.4.3 Dampak keberhasilan FMA :
Berkembangnya aktivitas agribisnis di perdesaan lokasi kegiatan FMA
yang dicirikan sebagai berikut :
(1) Adanya kontrak permintaan pasar terhadap produk/komoditi yang dihasilkan
dalam satuan waktu tertentu secara berkesinambungan.
(2) Meningkatnya pendapatan dari pelaku utama agribisnis dan keluarga.
(3) Peningkatan produktivitas komoditi unggulan dan diversifikasi usaha.
(4) Penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, ramah lingkungan,
dan lebih menguntungkan.
(5) Peningkatan jaringan kemitraan agribisnis antar organisasi petani dengan pelaku
usaha lainnya dalam mengembangkan agribisnis diberbagai tingkatan mulai di
tingkat Desa, Kabupaten, dan seterusnya.

18

(6) Meningkatnya

kemandirian dan keswadayaan organisasi

petani

dalam

mengembangkan agribisnis dan penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani


(Farmer Led Extension).
(7) Pemilihan produk/komoditi yang diusahakan menjadi unggulan Desa.
(8) Produk yang akan dihasilkan sudah terjamin pemasarannya.
(9) Berperannya organisasi petani dalam mengelola penyuluhan di Desa.
(10) Hasil pelaksanaan agribisnis menguntungkan.
(11) Tumbuhnya organisasi petani yang berorientasi agribisnis.
(12) Tumbuhnya organisasi petani yang menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan
berdasarkan kebutuhan petani.
(13) Jumlah organisasi petani baru yang berfungsi dengan baik.
2.3.5 Proses pelaksanaan FMA
Rembugtani Desa adalah forum yang anggotanya terdiri dari pengurus
kelompok tani ditambah dengan dua orang perwakilan dari masing - masing
kelompok tani serta wakil dusun ( laki-laki dan perempuan) yang dipilih secara
demokratis oleh anggotanya. Rembug tani bertugas untuk :
(1) memilih pengurus pengelola FMA dan penyuluh swadaya;
(2) menetapkan rencana usaha berkelompok (business plan) sesuai dengan hasil
kajian pengembangan agribisnis perdesaan;
(3) menetapkan kegiatan pembelajaran yang akan diusulkan untuk didanai P3TIP
berdasarkan programa penyuluhan Desa sesuai hasil identifikasi dan analisis
kajian pengembangan agribisnis perdesaan; dan

19

(4) memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan pemanfaatan dana


stimulant penguatan permodalan di Desa baik yang didanai oleh dana FMA
maupun dari sumber-sumber lain.
Mengelola FMA Desa, perlu dibentuk unit yang akan mengelola kegiatan
penyuluhan Desa yang pengurusnya dipilih secara demokratis oleh rembugtani Desa.
Unit pengelola FMA bertanggung jawab untuk :
(1) mengkoordinasikan kegiatan pembelajaran agribisnis dan pemanfaatan dana
stimulant penguatan permodalan yang dibiayai dari dana FMA;
(2) mengadministrasikan pelaksanaan kegiatan, membuat pembukuan terhadap
penerimaan/ pengeluaran dana untuk pembelajaran agribisnis dan pemanfaatan
dana stimulan penguatan permodalan yang dibiayai dari dana FMA;
(3) menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana FMA Desa melalui
penyediaan informasi tentang penggunaan dana FMA kepada masyarakat Desa
(bebas dari korupsi);
(4) menjamin tersedianya peluang yang sama untuk keikutsertaan seluruh
komponen masyarakat Desa dalam pemanfaatan dana FMA (bebas dari
nepotisme dan kolusi);
(5) menjamin keberlanjutan dan penyebarluasan FMA;
(6) memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan FMA Desa; dan
(7) membuat laporan teknis kegiatan dan keuangan FMA.
Pengurus unit pengelola FMA minimal terdiri dari ketua, sekretaris,
bendahara, dan penyuluh swadaya. Persyaratan pengurus harus memiliki kriteria
sebagai berikut :

20

(1) jujur, berwawasan luas tentang organisasi kemasyarakatan;


(2) berdedikasi untuk mengelola kegiatan FMA;
(3) tidak mempunyai tunggakan hutang dengan pihak lain;
(4) memiliki kemampuan untuk membantu proses pembelajaran petani dalam
mengembangkan usahanya; dan
(5) bersedia meluangkan waktu untuk mengelola seluruh kegiatan.
Tugas masing-masing pengurus adalah sebagai berikut:
(1) Ketua : bertanggungjawab

pada

aspek - aspek

FMA

baik

teknis

maupun administrasi.
(2) Sekretaris: bertanggungjawab untuk memonitor dan mencatat pelaksanaan
kegiatan penyuluhan di Desa dan pemanfaatan dana stimulan penguatan
permodalan dalam pelaksanaan kegiatan agribisnis.
(3) Bendahara: bertanggungjawab secara administrasi atas penerimaan/ pengeluaran
dana dan masalah keuangan lainnya sesuai dengan dana FMA.
(4) Penyuluh swadaya : bertanggungjawab untuk merencanakan, memandu proses
kegiatan pembelajaran dan pelaksanaan agribisnis.
Pengurus unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya dilatih melalui
pelatihan teknik fasilitasi FMA, pelatihan bagi unit pengelola FMA, pembinaan, dan
bimbingan teknik lainnya yang dilakukan secara rutin oleh tim pemandu lapang.
Pelatihan reorientasi pengelolaan FMA untuk meningkatkan kualitas kemampuan
unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya.
Kegiatan pembelajaran FMA dilaksanakan terintegrasi dengan pelaksanaan
agribisnis berdasarkan produk/ komoditi sesuai dengan permintaan pasar dalam satu

21

siklus usaha dengan skala ekonomi untuk produk/komoditi yang diusahakan. Kriteria
peserta pembelajaran adalah :
(1) pelaku utama yang melaksanakan agribisnis sesuai dengan produk/komoditi
yang diperlukan pasar dan telah ditetapkan melalui pertemuan rembugtani Desa;
(2) bersedia untuk mengikuti pembelajaran dalam satu siklus usaha;
(3) berkomitmen untuk menerapkan hasil pembelajaran dalam kegiatan usahanya;
(4) bersedia bekerjasama antar anggota kelompok belajar dalam penyediaan sarana
usaha, pemasaran, dan lain-lain; serta
(5) bersedia untuk menyertakan sumberdaya yang dimiliki secara swadaya dalam
satuan pelaksanaan agribisnis berskala ekonomi.
Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kecamatan adalah tim penyuluh
lapangan sebagai berikut :
(1) Anggota tim penyuluhan lapangan terdiri dari penyuluh pertanian pada setiap
Kecamatan lokasi P3TIP. Apabila diperlukan dan tersedia di kecamatan, dapat
ditambah dengan anggota masyarakat (penyuluh swadaya dan swasta) yang
memiliki keahlian teknis agribisnis dan mampu memfasilitasi kegiatan
pembelajaran yang diperlukan para pelaku utama.
(2) Tim penyuluhan lapangan berkedudukan di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP),
dibentuk oleh Kepala Lembaga Penyuluhan Kabupaten, yang dikoordinir oleh
koordinator penyuluh.
Tim Penyuluh Lapangan bertugas untuk :
(1) Mensosialisasikan FMA.

22

(2) Membantu penyuluh swadaya dan pengurus unit pengelola FMA dalam
memfasilitasi perencanaan, pelaksanaan, memonitor serta melakukan evaluasi
kegiatan penyuluhan pertanian.
(3) Mengembangkan kemitraan diantara pelaku utama dan pelaku usaha dibidang
hasil produksi pertanian, teknologi, proses, dan pemasaran di tingkat Kecamatan.
(4) Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan di tingkat
Kecamatan secara partisipatif dan mempersiapkan laporan bulanan untuk
diserahkan ke Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten.
(5) Melaksanakan pertemuan koordinasi FMA di tingkat Kecamatan setiap bulan
yang dihadiri pengurus unit pengelola FMA dengan biaya APBD.
(6) Memfasilitasi pelatihan untuk penyuluh swadaya.
(7) Menilai kemajuan/kinerja unit pengelola FMA dalam pelaksanaan kegiatan FMA
yang sudah atau sedang berjalan.
Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kabupaten sebagai berikut :
(1) Komisi penyuluhan Kabupaten
Komisi penyuluhan Kabupaten dibentuk oleh Bupati yang berkedudukan
di tingkat Kabupaten. Keanggotaan komisi penyuluhan terdiri dari wakil Pemerintah
dan non Pemerintah yang memiliki keterkaitan dan kepedulian terhadap
penyelenggaraan penyuluhan di Kabupaten. Perbandingan perwakilan organisasi
Pemerintah dan non Pemerintah harus seimbang, dengan jumlah anggota perempuan
minimal 30% yang dapat menyuarakan kaum perempuan yang berusaha
disektor pertanian.

23

Komposisi keanggotaan komisi penyuluhan Kabupaten mewakili unsur


Pemerintah, organisasi petani/LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian serta
perwakilan organisasi yang bergerak di bidang usaha yang berkaitan dengan
pertanian/agribisnis. Komisi penyuluhan Kabupaten bertanggung jawab untuk
memberikan rekomendasi terhadap penilaian proposal FMA yang disampaikan oleh
tim verifikasi FMA Kabupaten yang selanjutnya disampaikan ke PPK P3TIP
Kabupaten untuk didanai kegiatannya melalui dana hibah FMA.
(2) Tim verifikasi proposal FMA
Tim verifikasi terdiri dari staf senior yang memiliki keahlian teknis di
bidang pertanian, dan keuangan yang berasal dari lembaga penyuluhan Kabupaten,
perguruan tinggi, dan lembaga penelitian, yang ditugaskan oleh komisi penyuluhan
Kabupaten untuk membantu sekretariat komisi penyuluhan Kabupaten dalam
penyelenggaraan FMA di Desa. Tim verifikasi bertugas melakukan penilaian
terhadap proposal FMA yang disampaikan oleh pengurus unit pengelola FMA
Desa, penilaian mencakup :
(1) kelayakan dari segi teknis dan keuangan, serta manfaat dari kegiatan yang
diusulkan dalam proposal;
(2) kesesuaian dengan persyaratan untuk memperoleh dana FMA; dan
(3) aspek lingkungan yang tidak membahayakan.
Dana FMA Desa, hanya digunakan untuk membiayai kegiatan penyuluhan pertanian
yang dikelola oleh kelompok tani/gapoktan desa yang bersifat strategis sesuai dengan
ruang lingkup dan materi FMA. Dana pembelajaran yang tersedia digunakan untuk
kegiatan sebagai berikut :

24

(1) biaya pembelajaran sesuai dengan proposal yang telah disetujui (studi petani,
sekolah lapangan, demonstrasi, magang, pelatihan, dll)
(2) modal usaha untuk keperluan seluruh proses usaha yang dilaksanakan oleh
peserta pembelajaran
(3) biaya Operasional
a. Gaji, upah yang rutin diberikan mingguan/bulanan bagi pengurus FMA dan
b. Tranpor bagi peserta rapat/pertemuan/rembugtani yang dilaksanakan di Desa
yang bersangkutan.
(4) Transport kegiatan FMA
a. Transport bagi tenaga harian lepas - tenaga bantu PPL dan
b. Transport bagi peserta pembelajaran kecuali sewa kendaraan untuk studi
banding, magang, dan kunjungan petani antar Desa.
(5) Kegiatan yang terkait dengan FMA dan tidak dibiayai dari dana FMA, antara lain
kajian pengembangan agribisnis perdesaan, penyusunan rencana usaha
berkelompok (business plan), penyusunan programa penyuluhan Desa, serta
penyelenggaraan forum penyuluhan pertanian perdesaan. Pelaksanaan kegiatankegiatan ini dibiayai FMA Desa dari sumber lain, yaitu dari swadaya
masyarakat, APBN, dan APBD (Deptan, 2009).
2.4 Participatory Rural Appraisal (PRA)
Kegiatan

Pemahaman

Pedesaan

secara

Partisipatif

(PPsP)

atau

Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan suatu metode untuk memahami


secara partisipatif kondisi pedesaan dan masalah pembangunan serta upaya antisipasi

25

yang dibutuhkan dengan memperhitungkan kendala dan seluruh potensi sumber daya
yang tersedia (Irawan dan Priyanto, 2006 dalam Deptan, 2010).
PRA adalah pengalaman belajar bersama yang intensif, sistematis, semi
struktural, dilakukan di masyarakat dengan tim multidisiplin dimana anggota
masyarakat termasuk dalam peserta (Rangkuti, et al, 1998 dalam Deptan, 2010).
Dalam PRA peranan orang luar adalah sebagai katalis, fasilitator dan pemersatu
terhadap suatu proses dalam komuniti, terjadi proses transformasi peran-peran dan
pengenalan penduduk lokal pria dan wanita, sebagai analisis yang aktif, perencanaan
dan organisatoris (Chambers dan Guut, 1995 dalam Deptan, 2010).
Participatory Rural Appraisal / Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif,
dilakukan secara sistematis tetapi fleksibel (semi-terstruktur) untuk menggali
persepsi/ tanggapan masyarakat setempat tentang keadaan lingkungan/wilayahnya
dan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat tersebut (permasalahan, potensi, dll)
PRA berusaha untuk mengidentifikasi potensi dan masalah-masalah yang
dihadapi dalam bidang pertanian sehingga memberikan arah teknologi atau inovasi
apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan potensi
yang ada. Masalah-masalah pertanian di lokasi tersebut tidak hanya pada tataran on
farm saja, tetapi mencakup kelembagaan (input, output, penunjang) dalam kerangka
mewujudkan agribisnis industrial. Agribisnis industrial adalah sistem yang
memanfaatkan keseluruhan potensi yang ada untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan petani (Sinar Tani,1-7 Nop 06 dalam Deptan, 2010).
Keluaran PRA adalah (1) pemahaman potensi, masalah, dan peluang pengembangan

26

agribisnis, (2) penetapan rencana definitif kegiatan kelompok, dan (3) teknologi yang
diintrodusir antara lain :
(1) manajemen produksi (pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama/penyakit,
introduksi klon unggul (sambung pucuk dan tempel samping);
(2) penanganan pasca panen biji kakao untuk meningkatkan mutu melalui
fermentasi biji; dan
(3) pengolahan kulit kakao menjadi pakan ternak dan pupuk bokashi.
2.5

Kondisi Sosial Budaya Petani Indonesia


Soetrisno (2002) mengatakan bahwa kondisi sosial budaya petani

merupakan masalah dalam fungsi sektor pertanian di dalam pembangunan nasional


dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing abad yang akan datang. Berdasarkan
data statistik, sekitar 75% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Lebih
dari 54% diantaranya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, dengan tingkat
pendapatan yang relatif rendah. Perbedaan pendapatan tersebut berkaitan erat dengan
produktivitas para petani Indonesia, antara lain luas lahan, rendahnya mutu sumber
daya manusia, dan kebijakan Pemerintah.
Lebih lanjut Soetrisno (2002) mengatakan konsep petani dalam sosiologi
barat mengenai petani yaitu peasants dan farmers. Peasants (subsistence farmers)
adalah petani yang memiliki lahan sempit dan memanfaatkan sebagian terbesar dari
hasil pertanian yang diperoleh untuk kepentingan mereka sendiri. Farmers adalah
orang-orang yang hidup dari pertanian dan memanfaatkan sebagian besar hasil
pertanian yang diperoleh untuk dijual. Farmers telah akrab dengan teknologi
modern, misalnya perbankan. Para sosiolog pertanian Indonesia memperoleh

27

kesulitan dalam mengaplikasikan dua konsep tersebut, karena mengandung arti yang
sama yaitu semua orang yang hidup dari pertanian disebut petani.
Jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia didominasi oleh petani yang
memiliki luas lahan kurang dari 0,5 ha. Jika dilihat dari luas lahan yang dimiliki,
dapat dikatakan bahwa petani Indonesia dapat digolongan sebagai peasants atau
subsistence farmers. Sebagian besar petani di

Indonesia,

yakni

40,37%

berpendidikan sekolah dasar; 4,62% berpendidikan SLTA; dan hanya 0,39% yang
berpendidikan akademi/universitas. Kelompok yang tidak berpendidikan (tidak
sekolah) dan tidak tamat SD mencapai 47,33%. Maka dikatakan petani Indonesia
adalah petani gurem untuk menggantikan istilah peasant (Soetrisno, 2002).
Umur petani Indonesia cenderung tua, sangat berpengaruh terhadap
produktivitas sektor pertanian. Petani yang berusia tua biasanya cenderung
konservatif dalam menyikapi perubahan atau inovasi teknologi. Namun untuk
menyikapi hal ini diperlukan sikap yang hati-hati. Petani Indonesia pada umumnya
adalah petani gurem dan usahatani di lingkungan tropika yang penuh resiko,
misalnya hama dan penyakit, tidak menentu curah hujan, dan sebagainya. Dalam
kondisi yang penuh resiko, petani lebih berhati-hati dalam menerima inovasi, karena
kegagalan berarti penderitaan bagi seluruh keluarga. Sementara di Indonesia belum
terdapat asuransi yang dapat melindungi para petani dari kegagalan dalam
pengembangan usaha tani. Agar lebih survive pada abad yang akan datang, petani
harus berani mengambil risiko dalam berinovasi (Soetrisno, 2002).

28

2.6

Penelitian Penelitian yang Relevan


Penelitian Mahyuni (2003) dengan judul Efektivitas Pola Kemitraan

Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Bali (Kasus Pada PT. Aneka Satwa Perkasa)
menyimpulkan bahwa efektivitas kemitraan antara peternak plasma dengan PT.
Aneka Satwa Perkasa telah berjalan efektif yang ditunjukkan dengan menggunakan
tiga indikator efektivitas yaitu indikator hubungan sistem kemitraan dengan hasil
kriteria baik, indikator produktivitas tenaga kerja, kandang dan peralatan dengan
hasil nilai produktif dan indikator efisiensi usaha ternak plasma dengan hasil
yang efisien.
Hasil penelitian Kartika (2005) dengan judul Evaluasi Kinerja Kemitraan
Agribisnis Komoditas Kopi di Kabupaten Bangli (Studi Kasus Pada CV. Tri Agung
Mulia) menyimpulkan bahwa kemitraan antara CV. Tri Agung Mulia dengan
Pemerintah Kabupaten Bangli menguntungkan secara signifikan dan efektif
berdasarkan analisis finansial dan non finansial. Kemitraan juga memberikan
manfaat finansial terhadap pemerintah Kabupaten, perusahaan dan petani/kelompok
tani. Berdasarkan hasil analisis Fishbein dan Likert pelayanan perusahaan dirasakan
belum optimal oleh petani dalam hal kapasitas tampung dan sosialisasi kualitas buah
kopi. Tetapi petani memberikan sikap positip terhadap kemitraan dan dinilai
puas terhadap atribut/aspek kemitraan, yaitu pembinaan Pemerintah Kabupaten,
penetapan

kualitas, mekanisme penentuan barang, harga jual, pola insentif dan

proses pemasaran.

Anda mungkin juga menyukai