Anda di halaman 1dari 14

I.

I.1.

PENDAHULUAN

Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui tingkat

kerentanan Kepiting Bakau/Ikan dengan menggunakan metode


Analisis

Produktivitas

dan

Kerentanan

(Productivity

and

Susceptability Analysis/ PSA).


I.2.

Manfaat Praktikum
Manfaat dari praktikum ini secara ekologi diharapkan dapat

memberikan informasi

mengenai tingkat kerentanan Kepiting

Bakau/Ikan yang dalam hal ini dicerminkan dengan

Nilai

Produktivitas dan Kerentanan Kepiting Bakau/Ikan.


I.3.
Waktu Dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 16 April
20160ean berlokasi di TPI Tambak Lorok Kabupaten Semarang

II.
II.1.

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Dan Taksonomi


Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies

jenis

kepiting

Portunidae

yang

tergolong

merupakan

salah

dalam
satu

keluarga

keluarga

Portunidae.

kepiting

yang

mempunyai pasangan kaki jalan dan pasangan kaki kelimanya


berbentuk pipih dan melebar pada ruas yang terakhir dan
sebagian besar hidup di laut, perairan bakau dan perairan payau
(Kasry, 1996 dalam Agus, 2008).
Klasifikasi kepiting bakau menurut Nybakken (1992) sebagai
berikut:
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Crustacea

Family

: Portunidae

Genus
Species

: Scylla
: Scylla serrata

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis


Crustacea dari famili Portunidae yang mempunyai nilai protein
tinggi, dapat dimakan dan merupakan salah satu spesies yang
mempunyai ukuran paling besar dalam genus Scylla (Hill, 1992
dalam Agus, 2008). Secara umum morfologi kepiting bakau dapat
dikenali dengan ciri sebagai berikut:
1. Seluruh tubuhnya tertutup oleh cangkang
2. Terdapat 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri
disamping kiri dan kanan mata.
3. Mempunyai

sepasang

capit,

pada

kepiting

jantan

dewasa

Cheliped (kaki yang bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali


panjang karapas.
4. Mempunyai 3 pasang kaki jalan
5. Mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih.

6. Kepiting jantan mempunyai abdomen yang berbentuk agak


lancip menyerupai segi tiga sama kaki, sedangkan pada kepiting
betina dewasa agak membundar dan melebar.
7. Scylla serrata dapat dibedakan dengan jenis lainnya, karena
mempunyai ukuran paling besar, disamping itu Scylla serrata
mempunyai pertumbuhan yang paling cepat dibanding ketiga
spesies lainnya. Selain itu, Scylla serrata memiliki warna relatif
yang hampir sama dengan warna lumpur, yaitu coklat kehitamhitaman pada karapaksnya dan putih kekuning-kuningan pada
abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri
yang runcing dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah.
Selain itu habitat kepiting bakau spesies ini sebagian besar di
hutan-hutan bakau di perairan Indonesia.
Kepiting bakau (Scylla serrata), dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (ANSA NSW, 2016 )


Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai
bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai
kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai
Chelipeds dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga
dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit.

Chelipeds

terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki


struktur

Chelipeds

yang

berbeda-beda.

Chelipeds

dapat

digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali,

membuka

kulit

kerang

dan

juga

sebagai

senjata

dalam

menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi


dengan

Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau

dengan istilah lain Exoskeleton (kulit luar), berfungsi untuk


melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan insang.
Anatomi kepiting bakau (Scylla serrata), dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut:

Capit

Propodus

Lebar

Mata

Carpus

Merus
Karapaks

Kaki renang

Gambar 2. Anatomi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber:


Modifikasi dari Robertson, 1998 dalam Suryani, 2006)
Menurut Shimek (2008), bahwa anatomi tubuh bagian
dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian bawah
tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi
dalam memegang makanan dan juga memompakan air dari
mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras
sehingga

mulutnya

tidak

dapat

dibuka

lebar.

Hal

ini

menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan capit dalam


memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan
dengan menggunakan capit, kemudian baru dimakan.

Perbedaan pada kepiting jantan dan betina dapat diketahui


secara eksternal. Kepiting bakau jantan mempunyai ruas-ruas
abdomen yang berbentuk menyerupai segitiga pada bagian
perut, sedangkan pada kepiting betina ruas-ruas abdomen lebih
melebar dan sedikit membulat (Moosa dkk.,1985)
Perbedaan antara kepiting jantan dan betina dapat dilihat pada
Gambar 3 berikut:

Jantan

Betina

Gambar 3. Perbedaan kepiting jantan dan betina (Sumber: Foto


lapangan, 2012)

II.2.

Distribusi Spesies
Kepiting bakau (Scylla serrata) tersebar pada perairan

berkondisi tropis.

Daerah sebarannya meliputi wilayah Indo-

Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan,


Mozambik terus ke Iran, Pakistan, India, Srilanka, Bangladesh,
pulau-pulau di Lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang,
Taiwan, Philipina, dan ditemukan di Lautan Pasifik mulai dari
kepulauan Hawai di Utara sampai ke Selandia Baru dan Australia
di Selatan. Kepiting bakau merupakan kepiting yang bisa
berenang dan hampir terdapat di seluruh perairan pantai
Indonesia, terutama di daerah mangrove juga di daerah tambak
air payau atau muara sungai (Kasry, 1996 dalam Rosminar,
2008).

Kepiting

merupakan

fauna

yang

habitat

dan

penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenisjenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di
setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak
hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove.
Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit
Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau (Prianto, 2007).

II.3.

Faktor Lingkungan (Biotik Dan Abiotik)


Parameter

mempengaruhi

pendukung

atau

pertumbuhan

dari

faktor-faktor
kepiting

yang

bakau

dapat

dijelaskan sebagai berikut:


1.

Suhu
Suhu merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam

pengaturan aktifitas hewan akuatik. Suhu air mempengaruhi


proses fisiologi ikan seperti
pakan,

pertumbuhan,

respirasi, metabolisme, konsumsi

tingkah

laku,

dan

reproduksi

serta

mempertahankan hidup. Menurut Cholik (2005) dalam Agus


(2008), suhu yang diterima untuk kehidupan kepiting bakau
adalah 18 35C, sedang suhu yang ideal adalah 25 30C. Suhu
yang

kurang

dari

titik

optimum

berpengaruh

terhadap

pertumbuhan organisme.
2.

Salinitas
Salinitas dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion

terlarut dalam air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan


dalam permil (o/oo) atau ppt (Part Perthousand) atau g/l.
Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua
karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida
digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah
dioksidasi (Effendi, 2003 dalam Agus, 2008).

Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi dan


osmoregulasi. Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh
terhadap perilaku biota tetapi berpengaruh terhadap perubahan
sifat kimia air (Brotowidjoyo, et al. 1995 dalam Agus, 2008). Biota
air laut mengatasi kekurangan air dengan mengkonsumsi air laut
sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam
mencegah terjadinya dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam
harus dibatasi dengan jalan mengekskresi klorida lebih banyak
lewat urine yang isotonik (Hoer, et al. 1979 dalam Agus, 2008).
Kepiting mengatur ion plasmanya agar tekanan osmotik didalam
cairan tubuh sebanding dengan kapasitas regulasi. Salinitas yang
sesuai untuk pemeliharaan kepiting adalah 15 25 ppt (Ramelan,
1994 dalam Agus, 2008).
Kepiting akan mengalami pertumbuhan yang lambat jika
salinitas berkisar antara 35 40 ppt, dan tumbuh dengan baik
pada salinitas 10 15 ppt, tetapi lebih sensitif terhadap serangan
penyakit. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi konsumsi
oksigen, sehingga mempengaruhi laju metabolisme dan aktivitas
suatu organisme.
3.

pH Air
Menurut Boyd (1990) dalam Agus (2008), derajat keasaman

atau pH menggambarkan aktifitas potensial ion hidrogen dalam


larutan yang dinyakatan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l)
pada suhu tertentu, atau pH = - log (H+). Air murni mempunyai
nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedangkan pada air payau
berada pada kisaran normal antara 7 9.
Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan
karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang
asam cenderung menyebabkan kematian pada ikan demikian
juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa, hal ini

disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas


pernafasan tinggi dan berpengaruh terhadap menurunnya nafsu
makan (Ghufron dan H. Kordi, 2005 dalam Agus, 2008). Menurut
Amir (1994) dalam Agus (2008), kepiting bakau mengalami
pertumbuhan dengan baik pada kisaran pH 7,3 8,5
II.4.

Productivity And Susceptability Analysis (PSA)


Productivity

sebuah

cara

kerentanan

and Susceptability

yang

stok

dapat

dengan

Analysis

digunakan
dasar

untuk

produktivitas

(PSA)

adalah

mengevaluasi
biologi

dan

kerentanan perikanan yang mengeksploitasinya (Braccini et al.,


2006). Sedangkan menurut WWF (2013) dalam kaitannya dengan
produksi perikanan, PSA adalah suatu metode yang digunakan
untuk menilai resiko atau kerentanan dari suatu spesies terhadap
tekanan perikanan yang berdasarkan pada produktivitas biologi
dan kerentanan spesies perikanan tersebut. Input data yang
dibutuhkan berupa parameter biologi spesies meliputi usia
pertama matang gonad, usia maksimum, kesuburan, kematian
alamiah, dan tingkah laku spesies yang bersangkutan yang mana
data tersebut bisa didapatkan dari literatur ilmiah dan informasi
perikanan dari nelayan dan pengelola (stakeholder). Analisis
produktivitas dan kerentanan dilakukan menggunakan software
PSA yang dikembangkan oleh

Marine Stewardship Council

(Braccini et al., 2006).


Pendekatan kajian resiko pada umumnya digunakan untuk
membantu pengelolaan perikanan (Francis & Shotten, 1997).
Astles (2008) memberikan sebuah review kajian resiko dalam
bidang kelautan dan perikanan serta elemen yang dibutuhkan
untuk memperkirakan resiko ekologis. Kajian resiko ekologis
(Ecological

Risk

Assessment/ERA)

mampu

menyediakan

metodologi yang transparan dalam penilaian resiko yang lebih


kompleks dan/atau dalam mengambil tindakan pengelolaan

untuk berbagai spesies dalam perikanan (Arizabalaga et al.,


2011).
Dalam beberapa penelitian yang sudah ada, PSA digunakan
dalam menganalis beberapa spesies perikanan diantaranya ikan,
yakni seperti yang dilakukan Triharyuni et al. (2013) yang ingin
mengetahui

produktivitas

dan

kerentanan

Ikan

Kurisi

(Nemipterus sp.) hasil tangkapan Cantrang di Laut Jawa. Dengan


menggunakan analisis PSA ini maka dapat digambarkan tingkat
resiko Ikan Kurisi yang tertangkap dengan Cantrang di Laut Jawa.
Sementara itu, dikatakan oleh Hidayat (2014) bahwa
tingkat kerentanan sumber daya Ikan Sidat (Anguila bicolor
bicolor McClelland, 1844) di Sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu
memiliki resiko potensi kerentanan yang tinggi dengan peluang
keberlanjutan yang rendah dikarenakan nilai produktivitasnya
yang

rendah

dan

nilai

kerentanannya

tinggi.

Selanjutnya,

dilakukan juga penelitian oleh WWF (2014) yaitu mengenai Kajian


Pendugaan Stok Data Terbatas dan Pemodelan Eksosistem
Karang di 5 Wilayah di Indonesia. Penelitian ini bermaksud untuk
mengetahui tingkat kerentanan Ikan Karang akibat penangkapan
oleh alat tangkap Gill Net dan Hand Line dan menunjukan resiko
kerentanan rendah terhadap penangkapan.

III.

MATERI DAN METODA

III.1.
Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Praktikum.
No.
Alat/Bahan
1
Kepiting
Bakau/Ikan
2
Kamera Digital
3
Alat Perekam
4
Alat Tulis
III.2.

Kegunaan
Bahan Identifikasi
Dokumentasi
Merekam hasil wawancara
Mencatat data lapangan

Keterangan

Recorder
Buku tulis dan
pensil

Cara Kerja
1. PSA diperoleh dengan teknik wawancara.
2. Sampel nelayan dipilih (purposive) berdasarkan alat
tangkap yang digunakan untuk menangkap Kepiting
Bakau/Ikan.
3. Atribut yang dikumpulkan merupakan data kerentanan
meliputi

ketersediaan,

kemampuan

tertangkap,

selektivitas, dan kematian pasca tangkap Kepiting


Bakau/Ikan.

IV.
IV.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
IV.1.1. Gambaran Umum Lokasi
IV.1.2.
Hasil Analisis PSA
IV.2.
Pembahasan
IV.2.1. Productivity And Susceptability Analysis (PSA)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN


V.1.
V.2.

Kesimpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2016. http://ansansw.com.au/ Diakses tanggal 21 Mei
2016 pukul 23.00
Agus, M. 2008. Tesis: Analisis Carryng Capacity
Sentra

Tambak

Pada

Budidaya Kepiting Bakau (Scylla Sp)

Di

Kabupaten Pemalang Jawa

Tengah. Program

Pascasarjana Undip. Semarang.


Astles K.L. 2008. A Systematic Approach to Estimating Ecological
Risks in Marine Fisheries. CABI Reviews: Perspectives in
Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural
Resources 3, 16 p
Braccini, J.M. 2006. Assessment of ecological risks from effects of
fishing to piked spurdog (Squalus megalops) in southeastern Australia. Ph.D. thesis, University of Adelaide,
Adelaide, South Australia.
Hidayat, D.R. 2014. Tingkat Kerentanan Sumber Daya Ikan Sidat
(Anguila bicolor bicolor McClelland, 1844) di Sungai
Cimandiri,

Palabuhan

Ratu.

[Skripsi].

Departemen

Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan


dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 41
hlm
Moosa, M.K., I. Aswandy dan A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau
Scylla serrata (Forskal) dari Perairan Indonesia. LONLIPI, Jakarta. 18 p.
Nybakken, J. w. 1992. Biologi Laut, suatu pendekatan ekologis.
Alih Bahasa Eidman, M., Koesoebion, D. G. Bengen, M.
hutomo, S. sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone


Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum
Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan
Perairan Umum. Banyuasin.
Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau
(Scylla spp.) serta Hubungannya dengan Faktor Fisik
Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang,
Tesis Program Pascasarjana USU. Medan
Shimek,

R.L.

2008.

Crabs,

(Online),

(www.reefkeeping.com,

diakses 15 Mei 2008).


Suryani, M., 2006. Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal)
dalam Ekosistem Mangrove di Pulau Enggano Provinsi
Bengkulu.

Tesis

Program

Pascasarjana

Manajemen

Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro Semarang.


Triharyuni, S., Hartati, S. Turni Hartati dan R. Fiji Anggawangsa.
2013.

Produktivitas

dan

Kerentanan

Ikan

Kurisi

(Nemipterus spp.) Hasil Tangkapan Cantrang di Laut


Jawa.

Pusat

Penelitian

Pengelolaan

Perikanan

dan

Konservasi Sumber Daya Ikan. Jakarta


WWF, 2013. Kajian Pendugaan Stok serta Pemodelan Ekosistem
Kepiting Bakau di Indonesia. WWF Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai