Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS KARSINOMA NASOFARING

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS KARSINOMA NASOFARING

A. KONSEP DASAR
1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya


di sebelah dorsal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh
koana. Nasofaring tidak bergerak berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut
menentukan

kualitas

suara

yang

dihasilkan

oleh

laring.

Nasofaring

mempunyai batas-batas sebagai berikut :


Atas : Basis cranii
Bawah : palatum mole
Depan : koana
Lateral : osteum tubae eusthacii, torus tubarius, fossa rosenmuller (rhesessus
pharingeus).
Pada atap dan dinding nasofaring terdapat adenoid atau tonsila pharingika.
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
a. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid
b. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal dan pada resesus
faringeus yang dikenal sebagai fosa rosenmuller
c. Torus tubarius- refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago saluran
tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai
tonjolan seperti ibu jari ke dindiing lateral nasofaring tepat di atas
perlekatan palatum mole.

d. Koana posterior rongga hidung


e. Foramina cranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat
perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang
dilalui oleh saraf cranial glosofaringeus, vagus, dan aasesoris spinalis.
f. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan
termasuk sinus petrosal inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang
meningeal dari oksipital dan arteri faringeal asenden, dan foramen
hipoglosus yang dilalui saraf hipoglosus
g. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak
dekat bagian lateral atap nasofaring
h. Ostium dari sinus-sinus sphenoid
2. Definisi
Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang
jaringan disekitarnya dan menyebar ke organ tubuh lain yang letaknya jauh
(Corwin,2009).
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring
(Arima, 2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
3. Etiologi (Utama, 2008)
a. Virus Epstein-Barr
Pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat , pasien tumor ganas
leher, dan kepala.
b. Letak geografis
c. Rasial/suku
d. Jenis kelamin
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum
dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
e. Genetik
Banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring
dengan keganasan pada organ tubuh lain. Pengaruh genetik terhadap
karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell

mediated immunity dan virus EB dan tumor associated antigens pada


karsinoma nasofaring.
f. Pekerjaan
g. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu,
h. Kebiasaan hidup
Kebiasaan penduduk Eksimo memakan makanan yang diawetkan
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma
ini.Selain itu juga kebiasaan makan makanan yang terlalu panas.
i.

Sosial ekonomi
Sebagian besar pasien ca Nasofaring adalah golongan sosial rendah dan
hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan
hidup.

j.

Infeksi kuman atau parasit

k. Iritasi menahun : nasofaringitis kronis disertai rangsangan oleh asap,


alkohol, dll
l.

Hormonal : adanya estrogen yang tinggi dalam tubuh.

4. Klasifikasi
Pembagian Karsinoma Nasofaring
Menurut hispatologi
1) Well differentiated epidermoid carcinoma
- Keratinizing
- Non keratinizing
2) Undiferentiated epidermoid carcinom = anaplastik carcinoma
- Transitional
- Lymphoephitelioma
3) Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh
1) Ulceratif
2) Eksofilik : tumbuh keluar seperti polip
3) Endofilik : tumbuh dibawah di bawah mukosa agar sedikit lebih tinggi dari
jaringan sekitar (creeping tumor).

Klasifikasi hispatologi menurut WHO (1982)


Tipe WHO 1
- Carcinoma sel squamosa (KSS)
- Diferensiasi baik samapai sedang
- Sering eksofilik (tumbuh di permukaan)
Tipe WHO 2
- Carcinoma non keritinisasi (KNK)
- Paling banyak variasinya
- Mneyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
- Carcinoma diferensiasi (KTD)
- Seperti antara lain limfoepithelioma, carcinoma anaplastik, Clear Cell
Carcinoma varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
Untuk penentuan stadium dipakai system TNM menurut UICC (2002)
T

: Tumor primer

T0

: Tidak tampak tumor

T1

: Tumor terbatas di nasofaring

T2

: Tumor meluas ke jaringan lunak


T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring
T2b: Disertai perluasan ke parafaring

T3

: Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal

T4

: Tumor dengan perluasan intracranial dan atau terdapat keterlibatan


saraf cranial, fossa intratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
masticator

: Pembesaran kelenjar getah bening regional

Nx

: Pembesara kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0

: Tidak ada pembesaran

N1

: Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar


kurang atau sama 6 cm, diatas fossa supraklavikula

N2

: Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar


kurang atau sama 6 cm, diatas fossa supraklavikula

N3

: Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar


dari 6 cm, atau terletak didalam fossa supraklavikula
N3a: Ukuran lebih dari 6 cm
N3b: Di dalam fossa supraklavikula

: Metastasis jauh

Mx

: Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0

: Tidak ada metastasis jauh

M1

: Terdapat metastasi jauh

Stadium 0

T1s

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium II A

T2a

N0

M0

Stadium II B

T1

N1

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0, N1

M0

T1

N2

M0

T2a, T2b

N2

M0

T3

N2

M0

Stadium IVa

T4

N0, N1, N2

M0

Stadium IVb

Semua T

N3

M0

Stadium IVc

Semua T

Semua N

M1

Stadium III

5. Manifestasi Klinik (Utama,2008)


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:
a. Gejala nasofaring sendiri
Dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
b. Gejala telinga
Gangguan pada telinga maerupakan gejala dini yang timbul karena tempat
asal tumor dekat muara tuba Eustachius.Gangguan dapat berupa tinitus,
rasa tidak nyaman ditelinga sampai rasa nyeri di telinga.
c. Gejala mata
Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf

otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala
diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu kedokter mata.
d. Metastasis atau gejala leher
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.
Gejala dapat dibedakan antara lain :
1) Gejala dini
Merupakan gejala yang dapat timbul waktu tumor masih tumbuh dalam
batas batas nasofaring, jadi berupa gejala setempat yang disebabkan
oleh tumor primer ( gejala gejala hidung dan telinga)
2) Gejala lanjut
3) Gejala lanjut merupakan gejala yangh dapat timbul oleh karena tumor
telah tumbuh melewati batas nasofaring, baik berupa metastasis
ataupun infiltrasi dari tumor.
Sebagai pedoman adanya tumor ganas nasofaring dapat dijumpai TRIAS
1) Tumor colli, gejala telinga, gejala hidung
2) Tumor colli gejala intra kranial (syaraf dan mata), gejala hidung dan
telinga
3) Gejala intra kranial, gejala hidung dan telinga.
6. Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan Ca nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr.
Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada
penderita Ca nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akanmenghasilkan
protein yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan
sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP2B.EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan
genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang
berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi
pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi
dan proliferasi laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel
kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

7. Pemeriksaan Penunjang (Adams,2012)


a. Nasofaringoskop
Dilakukan pemeriksaan tersebut karena sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih
terdapat dibawah mukosa.
b. CT-Scan
CT-Scan pada daerah kepala dan leher, sehinggan pada tumor primer
yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit untuk ditemukan.
c. Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Pemeriksaan

ini

hanya

digunakan

untuk

menentukan

prognosis

pengobatan.
d. Biopsy nasofaring
Ada 2 cara biopsy yaitu biopsy melalui hidung dan biopsy melalui mulut.
Biopsy melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya sedangkan
biopsy melalui mulut massa tumor akan terlihat lebih jelas.
e. Pemeriksaan THT
- Otoskopi : liang telinga, membran timpani.
- Rhinoskopi anterior : pada tumor endofilik tidak jelas kelainan di rongga
hidung, mungkin hanya banyak sekret, pada tumkoe eksofilik tampak
tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret muko purulen,
fenomena palatum mole negatif.
- Rhinskopi posterior : pada tumor endofilik tidak terlihat massa, mukosa
nasofaring tampak agak menojol, tdk rata vaskularisasi meningkat, pada
tumor eksofilik tampak tumor kemerahan.
-Faringoskopi dan Laringoskopi : kadang faring menyempit karena
penebalaan jaringan retrofaring, reflek muntah dapat menghilang.
8. Penatalaksanaan
a. Pengobatan
Stadium I

: Radioterapi

Stadium II & III : Kemoterapi


Stadium IV dengan N< 6 cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6cm :Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi

b. Pembedahan
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau
timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan
serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi
(Utama,2008).
9. Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,
fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus,
kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi.Retardasi
pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar
hipofisis.Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus.Kehilangan
pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan
radioterapi.Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima
cisplatin.Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis
paru.Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi
dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan
Nasir, 2009).
10. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta
mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang
timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan
hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai
hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Akhir
sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat
dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Utama,2008).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas
Kanker nasofaring meliputi sekitar 20% atau lebih dari seluruh keganasan
kepala dan leher. Pada anak-anak dan orang dewasa kurang dari 30
tahun, lebih sering ditemukan daripada tumor ganas lain pada saluran
napas bagian atas. Karsinoma nasofaring didapatkan banyak di cina
selatan dan asia tenggara termasuk Indonesia. Insiden yang tinggi ini
dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus epstein-barr.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Adanya rasa penuh pada telinga sampai tuli konduksi dan pembesaran
kelenjar getah bening pada leher.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya rasa penuh pada telinga sampai tuli konduksi, pembesaran
kelenjar getah bening pada leher, sumbatan pada hidung, pilek,
eistaksis, diplopia, paresis, enoftalmus dan ptosis.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Otitis media serosa, mengkonsumsi ikan asin, asap rokok, kekurangan
vitamin C dan vitamin A.
c. Pemeriksaan Fisik
Gordon:
1) Pola persepsi kesehatan
Klien yang datang ke RS sudah mengalami gejala stadium lanjut
2) Pola nutrisi
Penurunan berat badan
3) Pola eliminasi
Tidak ada gangguan eliminasi
4) Pola aktivitas
Klien mengalami kelemahan atau keletihan akibat progresivitas tumor
5) Pola istirahat
Klien mengalami perubahan pola istirahat
6) Pola kognitif persepsi
Klien mengalami gangguan pada indra penciuman

7) Pola persepsi diri dan konsep diri


Klien merasa sedih dan rendah diri karena penyakit yang dideritanya
8) Pola peran dan hubungan
Klien tidak mau berinteraksi dengan orang lain karena malu
9) Pola reproduksi dan seksualitas
Klien mengalami gangguan pada hubungan dengan pasangan karena
penyakit yang diderita
10) Pola koping dan toleransi stress
Klien akan bertanya mengenai pengobatan dan kualitas hidupnya
11) Pola nilai dan kepercayaan
Klien lebih mendekatkan diri pada Tuhan
Sistemik :
1) B1
RR meningkat, sesak napas, produksi sekret kental meningkat,
epistaksis.
2) B2
Takikardia, Hipertensi (nyeri hebat)
3) B3
Pusing, nyeri
Telinga: rasa penuh pada telinga sampai tuli konduksi, nyeri telinga,
tinitus.
Hidung: sumbatan hidung, produksi sekret meningkat, epistaksis
Mata: miosis, enoftalmus, ptosis, juling dan diplopia.
4) B4
Normal
5) B5
Disfagia, Nafsu makan turun, BB turun.
6) B6
Normal
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien kanker nasofaring antara
lain :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
jumlah produksi sekret.

b. Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan.


c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kesukaran menelan.
d. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan.
e. Ansietas berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
3. Intervensi
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
jumlah produksi sekret.
Tujuan : jalan napas bersih
Kriteria Hasil:
Jalan napas paten
Produksi sekret berkurang
Intervensi:
1) Catat perubahan upaya dan pola bernapas.
R/ penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal
menunjukkan upaya bernapas.
2) Catat karakteristik produksi sekret (jumlah, warna dan bau).
R/ Jumlah sekret yang banyak dan kental memerlukan intervensi
lanjut.
3) Berikan pasien posisi semi atau fowler. Bantu pasien untuk napas
dalam.
R/ posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya pernapasan.
4) Bersihkan sekret dari hidung dengan penghisapan sesuai dengan
keperluan.
R/ mencegah aspirasi.Penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak
mampu mengeluarkan sekret.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam obat-obat:
Agen mukolitik

: Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan

memudahkan pembersihan
Kortikosteroid

: Menurunkan inflamasi yang mengancam hidup

a. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).


Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol

Kriteria hasil

Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri


Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol.
Intervensi:
1) Tentukan riwayat nyeri, lokasi nyeri, frekuensi, durasi dan intensitas.
R/ untuk mengevaluasi kebutuhan intervensi.
2) Berikan tindakan kenyamanan (misal: gosok punggung) dan kativitas
hiburan (misal: musik, televisi).
R/ meningkatkan relaksasi dan membantu menfokuskan kembali
perhatian.
3) Dorong penggunaan keterampilan manajemen nyeri (misal: teknik
relaksasi, visualisasi).
R/ memungkinkan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dan
meningkatkan rasa kontrol.
4) Kolaborasi dengan dokter dalam terapi analgesik (morfin, metadon).
R/ nyeri adalah komplikasi sering dari kanker, meskipun respon
individu berbeda.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kesukaran menelan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
Berat badan dan tinggi badan.
Pasien mematuhi dietnya.
Kadar gula darah dalam batas normal.
Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia
Intervensi:
1) Pantau masukan makanan setiap hari.
R/ mengidentifikasi defisiensi nutrisi.
2) Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
R/ Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3) Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
R/ Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan
merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).

4) Identifikasi perubahan pola makan.


R/ Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang
ditetapkan.
c. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan.
Tujuan: Risiko cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil:
Menyatakan pemahaman faktor yang terlibat dalam kemungkinan
cedera.
Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor
risiko dan untuk melindungi diri dari cedera.
Intervensi:
1) Diskusikan tentang pembatasan aktivitas.
R/ membantu mengurangi rasa takut dan meningkatkan kerja sama
dalam pembatasan yang diperlukan.
2) Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba-tiba.
R/ menurunkan stres.
3) Kaji ketajaman mata klien
R/ : mengidentifikasi kemampuan visual klien
4) Sesuaikan ligkungan untuk optimalisasi penglihatan
R/ : meningkatkan kemampuan persepsi sensori
5) Orientasikan pasien terhadap lingkungan.
R/ Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi cedera
d. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prognosis.
Tujuan : tidak terjadi kecemasan
Kriteria hasil :
Klien mengungkapkan kecemasan berkurang
Klien berpartisipasi dalam kegiatan pengobatan
Intervensi :
1) Kaji derajat kecemasan, faktor yang mnyebabkan kecemasan, tingkat
pengetahuan, dan ketakutan klien akan penyakit
R/ : umumnya faktor yang menyebabkan kecemasan
kurangnya pengetahuan.

adalah

2) Orientasikan tentang penyakit yang dialami klien


R/ : meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit
3) Berikan kesempatan pada klien untuk bertanya tentang penyakitnya
R/ : menimbulkan rasa aman dan perhatian bagi klien
4) Beri dukungan psikologis
R/ : dapat berupa penguatan tentang kondisi klien, peran serta aktif
klien dalam perawatan
5) Terangkan setiap prosedur yang dilakukan dan jelaskan tahap
perawatan yang akan dijalani
R/ : mengurangi rasa ketidaktahuan dan kecemasan yang terjadi
6) Beri informasi tentang penyakit yang dialami
R/ : mengorientasikan pada penyakit dan kemungkinan realistik
sebagai konsekuensi penyakit dan menunjukkan realitas

DAFTAR PUSTAKA
Adams,George L. 2012. Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta:EGC
Arima, Aria C. 2006. Paralisis Saraf Kranial Multiple pada Karsinoma Nasofaring.
Available from: http://Library.usu.ac.id/download.pdf. akses tanggal 17
November 2014
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Fuda Cancer Hospital Guangzhou. 2002
Kimberly. 2011. Kapita Selekta Penyakit: dengan implikasi keperawatan edisi 2.
Jakarta: EGC
Maqbook,M. 2000. Tumours of Nasopharynk In:Textbook of Ear, Nose, and Throat
Disease edition 9. Srinagar:Jay Pee Brothers
Nasir,N. 2009. Karsinoma Nasofaring. Kedokteran Islam. Available from:
http://nasriyadinasir.co.cc/2009/12/karsinomanasofaring_20.html.
Accesed
17 November 2014
National Cancer Hospital.2009. Ca Nasofaring
nuzulul_fkp09.webunair.ac.id.availablefrom://nuzulul_fkp09.webunair.ac.id/downloa
d. Accesed tanggal 17 November 2014
Utama, Hendra. 2008. Penyakit THT Tenggorokan, Kepala, dan Leher edisi 6
cetakan ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai