Anda di halaman 1dari 24

Urgensi Penanganan Perubahan Iklim

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan penting


dalam negosiasi penanganan perubahan iklim global. Bagaimana posisi
Indonesia? Presiden SBY pernah mengatakan upaya penanganan perubahan
iklim merupakan agenda nasional bukan hanya agenda dunia. Terdapat beberapa
hal yang perlu dicatat dalam agenda penanganan perubahan iklim Indonesia
pada masa pemerintahan SBY. Pertama, Presiden SBY telah membentuk DNPI
(Perpres 46/2008) yang bertugas sebagai koordinator pelaksana dari
penanganan perubahan iklim di Indonesia serta sebagai pihak yang bertugas
untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di forum internasional mengenai
perubahan iklim. Kedua, Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun
2004 dan memiliki undang-undang mengenai pengesahan Protokol Kyoto (UU
17/2004). Dengan disahkannya UU 17/2004, maka Indonesia secara hukum telah
mendukung upaya pencapaian komitmen hukum negara maju dalam penurunan
emisinya, terutama dengan kerjasama mitigasi yang dinamakan Mekanisme
Pembangunan Bersih (MPB). Ketiga, sejumlah kegiatan mitigasi perubahan iklim
yang berasal dari Protokol Kyoto maupun di luar Protokol Kyoto telah diakomodir
dengan sejumlah produk hukum nasional. Misalnya, MPB yang lahir dari Protokol
Kyoto, telah diatur dengan keputusan menteri (Kepmen LH 206/2005). Selain itu,
mekanisme di luar Protokol Kyoto, seperti mekanisme pengurangan emisi yang
berasal dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD-plus) telah diatur oleh
sejumlah keppres, inpres dan permenhut (antara lain oleh Permenhut 68/2008,
Permenhut 30/2009, Keppres 19/2010, Inpres 10/2011, dan Keppres 25/2011).
Keempat, pada tanggal 20 September 2011, Presiden SBY menandatangani
perpres mengenai rencana penurunan emisi gas rumah kaca secara nasional
(Perpres 61/2011). Perpres ini mengatur dengan detail target penurunan emisi
per sektor secara nasional dan menginstruksikan agar pemerintah daerah untuk
membuat hal yang serupa.
Tidak hanya itu, pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), juga
merupakan bukti komitmen pemerintah untuk serius dan cakap dalam
menanggulangi perubahan iklim berikut dampak-dampaknya. Sesuai dengan
dasar hukumnya, Peraturan Pemerintah No. 46/2008, DNPI bertugas untuk :
1. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan
pengendalian perubahan iklim.
2. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian
perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi
dan pendanaan.
3. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara
perdagangan karbon.
4. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang
pengendalian perubahan iklim.
5. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk
lebih bertanggungjawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Dan untuk teknis pelaksanaannya, dibentuk kelompok-kelompok kerja, yaitu;
1. Kelompok Kerja Adaptasi
2. Kelompok Kerja Mitigasi

3.
4.
5.
6.

Kelompok
Kelompok
Kelompok
Kelompok

Kerja
Kerja
Kerja
Kerja

Alih Teknologi
Pendanaan
Post Kyoto 2012
Kehutanan dan Alih Guna Lahan

Hingga kini DNPI telah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berasal dari


studi-studi yang telah dilakukan di beberapa lokasi. Dari hasil tersebut terdapat 3
urgensi tentang penanganan perubahan iklim yang antara lain berkaitan dengan
gap kebijakan, gap program dan gap kelembagaan MRV.

Gap Kebijakan
Kebijakan Terkait Perubahan Iklim di Tingkat Pusat
Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi visi Indonesia untuk
menjadi masyarakat mandiri dan madani yang yang dapat tetap memberikan
jaminan terhadap keberlanjutan ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian
lingkungan, di saat yang bersamaan juga mengejar pencapaian target
pertumbuhan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang setara dan demokratis.
Berdasarkan data Indonesia Climate Change Sectoral Road Map (ICSSR 2010) yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tahunan Indonesia dari tiga
kelompok utama GRK (CO2, CH4 dan N2O) pada tahun 2005 berkisar pada nilai
670 juta ton CO2 (MtCO2 ekuivalen) tanpa memperhitungkan emisi dari sector
LULUCF; atau berkisar pada nilai 1120 MtCO2 ekuivalen jika memperhitungkan
emisi dari kebakaran lahan gambut, namun tidak sector LUCF (Land Use Change
and Forestry). Di sisi lain, sektor energi di Indonesia menyumbang emisi sebesar
396 MtCO2 ekuivalen yang mewakili 35.4% emisi total nasional (Second National
Communication (SNC) - 2009).
Hal ini menjadi tantangan bagi sebuah negara berkembang sebesar
Indonesia ketika upaya mitigasi sangat perlu dilakukan, namun hal tersebut tidak
akan cukup untuk membantu terhindar dari dampak perubahan iklim, jika
menilik tingkat emisi saat ini. Dalam kondisi ini, kebutuhan untuk beradaptasi
terhadap (dampak) perubahan iklim menjadi hal yang sangat krusial.
Perubahan iklim seharusnya tidak dipandang sebagai sektor yang baru
namun harus dapat diarusutamakan kedalam proses perencaaan pembangunan.
Penganggulangan perubahan iklim dalam konteks pembangunan nasional,
regional dan lokal membutuhkan upaya mitigasi yang efektif, sekaligus
pengembangan sistem yang memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan
iklim jangka panjang. Hal ini tentu saja akan membutuhkan pendekatan lintas
sektor baik di level nasional, regional/provinsi maupun lokal.
Isu perubahan iklim telah menjadi perhatian pemerintah pusat dalam
beberapa tahun terakhir. Salah satu indikasinya adalah adanya serangkaian
kebijakan, peraturan, strategi dan studi terkait adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim, seperti yang ditunjukkan oleh tabel dibawah ini.
TABEL - 1 DAFTAR KEBIJAKAN ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI
TINGKAT PUSAT

Sumber: Hasil analisis, 2011


Terlepas dari dikeluarkannya serangkaian kebijakan tersebut dan
maraknya diskusi (baik pada tingkat nasional maupun internasional) mengenai
perubahan ikim pada beberapa tahun terakhir, paradigma adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim sebagai bagian dari kegiatan pembangunan masih bersifat
sektoral dan parsial. Selain itu, pengarusutamaan isu perubahaan iklim juga
masih berada pada konteks perencanaan (planning policy), dan belum sampai
pada tahap implementasi (policy action). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa
belum ada petunjuk pelaksanaan ataupun petunjuk tenis dalam bentuk
Peraturan Menteri yang dapat diadopsi oleh pemerintah daerah untuk
pelaksanaan mitigasi dan adaptasi, termasuk dalam tata cara pengukuran.
Di dalam perencanaan pun, isu ini masih terbungkus dalam konteks
ekonomi, dan bukan konteks yang sebenarnya. Dikarenakan adanya
selubungekonomi ini, maka seringkali keterkaitan suatu sektor dengan isu
perubahan iklim tidak terlihat, terutama jika berbicara pada level daerah. Hal
inilah yang perlu menjadi bahan pertimbangan penyusunan kebijakan di masa
yang akan datang, bagaimana mengubah paradigma berpikir para stakeholders
terhadap isu ini. Perubahan iklim ini seyogyanya dapat dilihat sebagai peluang
oleh pemerintah daerah untuk melakukan proses transisi dari pola pembangunan
yang, mungkin, selama ini masih mengorbankan integritas lingkungan hidup
kearah pembangunan yang berkelanjutan tanpa menafikan potensi pertumbuhan
ekonomi serta pencapaian target-target pembangunan lainnya terutama upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paradigma baru terkait pembangunan
dan tatanan ekonomi yang rendah karbon (low carbon economy)
yang
dilengkapi dengan penguatan sistem-sistem pembangunan yang memiliki
ketahanan terhadap dampak perubahan iklim jangka panjang harus menjadi cara
pandang yang diadopsi oleh pemerintah daerah baik di level pusat maupun

daerah. Diperlukan instrumen, termasuk regulasi, yang lebih kuat dan memadai
agar kegiatan mitigasi dan adaptasi dapat berjalan sebagaimana seharusnya.
Hasil analisa terhadap kebijakan adaptasi perubahan iklim yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat menunjukkan bahwa belum ditemukan
kebijakan umum yang dapat menjadi dokumen acuan bagi kementerian/lembaga
di tingkat pusat serta instansi di daerah. Walaupun adaptasi di setiap daerah
akan berbeda-beda, tergantung pada bahaya-kerentanan-kapasitas daerah itu
sendiri; namun tetap diperlukan 1 acuan bagi daerah sebagai pedoman
penyusunan strategi adaptasi yang sesuai.
Dalam melakukan kajian kebijakan terkait mitigasi perubahan iklim,
digunakanlah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN
GRK) sebagai tools untuk melakukan gap analysis. RAN GRK dipilih karena ia
adalah landasan bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan pelaku
ekonomi dalam pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak
langsung menurunkan emisi gas rumah kaca dalam periode 2010-2020 (terbagi
atas 2 tahapan; 2010-2014 dan 2015-2020) yang sesuai dengan target
pembangunan nasional. Penjabaran mengenai RAN GRK akan disampaikan pada
bagian selanjutnya. Selain RAN GRK, untuk tingkat pusat, studi ini juga akan
mengkaji kebijakan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang
terintegrasi di dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang
menjadi sampel studi.
Kebijakan-kebijakan seperti yang disebutkan diatas dikaji untuk
mengetahui apa isu utama yang diangkat dalam kebijakan tersebut. Hasil kajian
diolah lebih lanjut untuk mendapatkan benang merah kesesuaian bahasan antar
kebijakan di setiap tingkat kebijakan. Pemetaan kesesuaian kebijakan
ditunjukkan oleh tabel dibawah ini.
TABEL - 2 PEMETAAN KESESUAIAN BAHASAN KEBIJAKAN

UU

PP
UU
32/2009

RPJPN
Pengelolaa
n
Lingkungan
Hidup

RPJMN
Mitigasi
dan
adaptasi PI

Perpres
Perpres
Perpres
61/2011
71/2011
Penurunan
emisi
GRK
26%
dan
41%
Inventarisasi
GRK

Permen
-

Sumber: Hasil analisis, 2011


Inventarisasi kebijakan terkait perubahan iklim di tingkat pusat dilakukan
dengan mengumpulkan dan menelaah kebijakan dari tingkat Undang-Undang
hingga Peraturan Menteri. Inventarisasi dilakukan secara menyeluruh supaya
didapat gambaran mengenai comprehensiveness kebijakan penanggulangan
perubahan iklim yang dimiliki oleh Indonesia saat ini. Diharapkan pemetaan yang
dilakukan dapat menemukan celah (gap) kebijakan yang menghambat upaya
penanganan perubahan iklim saat ini dan dapat menjadi masukan bagi
penyusunan kebijakan di masa mendatang.
Penyajian hasil inventarisasi kebijakan terkait perubahan iklim di tingkat
pusat dilakukan dengan mengelompokkannya ke dalam dua bagian utama, yaitu

kebijakan mitigasi dan adaptasi. Pada bagian kebijakan mitigasi akan dijelaskan
upaya Pemerintah dalam mengurangi sumber emisi dari sektor-sektor dalam RAN
GRK, yaitu 1) Pertanian, kehutanan dan lahan gambut, 2) Energi, Transportasi
dan Industri, serta 3) Pengelolaan Limbah. Pada bagian kebijakan adaptasi,
inventarisasi kebijakan diklasifikasi berdasarkan jenis sektor terdampak yang
disusun oleh ICCSR, yaitu 1) Sumber dan manajemen air bersih, 2) Properti,
barang dan jasa terkait ekosistem , 3) Pangan, serat dan produk hutan, 4)
Kesehatan masyarakat, 5) Sistem pesisir dan dataran rendah, 6) Pulau-pulau
kecil dan 7) Industri, permukiman dan masyarakat.

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN


GRK)
Pada tanggal 20 September 2011 yang lalu, Presiden Indonesia telah
mengesahkan Peraturan Presiden No.61 Tahun 2011 terkait RAN GRK. Dengan
disahkanya Perpres tersebut, maka RAN GRK saat ini sudah menjadi dokumen
resmi Pemerintah Indonesia yang berkekuatan hukum dalam menyediakan
landasan bagi setiap K/L, industri dan Pemerintah Daerah untuk
mengimplementasikan aktivitas-aktivitas yang secara langsung dan tidak
langsung terkait dengan upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Dokumen ini dipersiapkan sebagai bagian dari RPJMN untuk menanggulangi isu
Perubahan Iklim, terutama dari sisi mitigasi, yang diharapkan dapat berkontribusi
mengurangi emisi GRK dari sektor-sektor utama pembangunan di
atas.Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Bappenas, RAN GRK berasal dari
usulan K/L yang merupakan optimalisasi kegiatan eksisting dimana dapat
memberikan penurunan emisi GRK sebagai co-benefitnya. Pengoptimalisasian
kegiatan eksisting ini di satu sisi merupakan langkah yang baik untuk mereduksi
potensi halangan dalam pengimplementasian upaya mitigasi jika merupakan
sesuatu hal yang diluar rencana kerja dan program K/L eksisting.
RAN GRK mengklasifikasikan sektor emitter ke dalam tiga kelompok
bidang (sektor-sektor utama pembangunan), yaitu:
Pertanian, Kehutanan dan Lahan Gambut
Energi, Transportasi, dan Industri
Pengelolaan Limbah
RAN GRK dibuat untuk memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam
pertemuan G-20 Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26%
dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional
pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (Bussines as
Usual/BAU). Adapun kontribusi penurunan emisi untuk masing-masing bidang,
beserta rangkuman aksi tiap bidang dan K/L pelaksananya adalah sebagai
berikut:
TABEL - 3 KONTRIBUSI PENURUNAN EMISI GRK SETIAP BIDANG BESERTA
RANGKUMAN AKSI DAN K/L PELAKSANA

Rencana
Penurunan Emisi
Sektor

(Giga ton CO2e)

Rencana Aksi

K/L
Pelaksana

26%

41%

Kehuta
-nan
dan
Lahan
Gambu
t

0,672

1,039

Pengendalian kebakaran hutan dan


lahan, Pengelolaan sistem jaringan
dan tata air, Rehabilitasi hutan dan
lahan, HTI, HR. Pemberantasan
illegal
logging,
Pencegahan
deforestasi,
Pemberdayaan
masyarakat.

Kemenhut,
KLH,
Kemen.PU,
Kementan

Limba
h

0,048

0,078

Pembangunan TPA, pengelolaan


sampah
dengan
3R
dan
pengolahan air limbah terpadu di
perkotaan

Kemen.PU,
KLH

Pertan
ian

0,008

0,011

Introduksi varietas padi rendah


emisi,
efisiensi
air
irigasi,
penggunaan pupuk organik

Kementan,
KLH

Indust
ri

0,001

0,005

Efisiensi energi,
renewable energi, dll

penggunaan

Kemenperin

Energi
dan
Transp
ortasi

0,038

0,056

Penggunaan
biofuel,
mesin
dengan standar efisiensi BBM lebih
tinggi, memperbaiki TDM, kualitas
transportasi umum dan jalan,
demand
side
management,
efisiensi energi,
pengembangan
energi terbarukan

Kemenhub,
Kemen.ESD
M,
Kemen.PU

Total
Penur
u-nan
Emisi

0.767

1,189

Sumber: Penyederhanaan Matriks Inti RAN GRK, Bappenas 2011


Dalam pengimplementasiannya, RAN GRK ini sendiri akan terbagi atas dua
periode pelaksanaan yaitu periode 2010-201 4 dan 2015-2020. Kerangka waktu
RAN GRK ini jika disandingkan dengan kerangka waktu rencana pembangunan
nasional akan mencakup tiga periode RPJMN yaitu periode RPJMN 2009-2014,
2014-2019 dan 2019-2025. Dengan menimbang sebagai arahan utama strategi
pembangunan nasional, posisi RAN GRK idealnya menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari RPJMN tersebut, dengan begitu semua aktivitas yang tercantum
didalam RAN GRK akan tergambar sepenuhnya didalam RPJMN. Pembagian
periode pelaksanaan RAN GRK memberikan ruang untuk penginklusian secara

optimal dari RAN GRK yang sudah disusun kedalam RPJMN periode selanjutnya
yaitu periode 2014-2019.
Hal yang serupa namun juga akan terjadi terkait hubungan antaran RAD
GRK dan RPJMD nantinya; dimana idealnya semua kegiatan yang terangkum
didalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) yang
akan disusun kemudian pada akhirnya dapat terinklusi secara sempurna didalam
RPJMD daerah pada periode dan kerangka waktu yang relevan.
Pengimplementasian RAN GRK juga harus dilengkapi dengan mekanisme
MRV yang jelas serta proses evaluasi dan peninjauan berkala untuk melihat
sejauh mana kegiatan-kegiatan mitigasi yang dilakukan memberikan kontribusi
secara nyata dalam penurunan emisi GRK. Proses evaluasi dan peninjauan
berkala ini juga harus jelas kerangka waktunya apakah akan dilakukan dalam
periode tahunan atau hanya dilakukan untuk setiap periode pengimplementasian
RAN GRK tersebut. Dengan adanya proses peninjauan berkala tersebut
diharapkan dapat dilakukan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk memastikan
pengimplementasian RAN GRK tersebut sesuai dengan scenario dan dapat
mencapai target yang diharapkan.
Telah diketahui bahwa RAN GRK disusun untuk mencapai target penurunan
emisi 26% secara domestik (unilateral) dan tambahan 15% dengan adanya
bantuan pendanaan internasional, namun isi dari RAN GRK sendiri masih belum
cukup spesifik. Tidak ada penjelasan mengenai kontribusi setiap aktivitas
terhadap perwujudan target 26%+15%. Dokumen tersebut juga belum
mencantumkan kontribusi setiap terhadap penurunan emisi GRK. Pembagian
kontribusi yang jelas akan memudahkan, terutama pihak daerah, dalam isu
pendanaan. Pendanaan secara domestik lewat APBD diharapkan dapat
diprioritaskan kepada aktivitas-aktivitas mitigasi dengan besaran nilai jual
karbon (carbon price ) rendah.
Pembagian yang jelas juga akan membantu proses penyusunan
metodologi MRV dikarenakan kriteria MRV untuk aktivitas-aktivitas mitigasi yang
mendapatkan dukungan dana internasional, baik yang sifatnya dibawah jalur
konvensi maupun pasar karbon akan berbeda dengan skema MRV yang
dibutuhkan untuk aktivitas mitigasi secara domestik/ unilateral dikarenakan
untuk skema MRV mitigasi dengan bantuan pendanaan internasional, konsultasi
dan analisis internasional akan menjadi prasyarat utama.
Selain itu juga harus diperjelas bahwa kegiatan mitigasi yang menjadi
kegiatan offsetting negara maju tidak bisa dikategorikan kedalam aksi
penurunan +15%. Sejauh ini upaya-upaya mitigasi berbasis pasar karbon di
Indonesia, baik yang berasal dari jalur Clean Development Mechanism sebagai
salah satu mekanisme fleksibel Protokol Kyoto, maupun yang berasal dari jalur
Voluntary Carbon Market berdiri secara independen terlepas dari target reduksi
emisi GRK Indonesia. Dengan adanya target reduksi emisi GRK Indonesia yang
berupaya dicapai lewat aktivitas-aktivitas termaktub dalam RAN GRK, maka
mekanisme inventarisasi dan dokumentasi serta monitoring harus diperjelas dan
dipertegas, untuk mencegah terjadinya double counting dari upaya mitigasi
tersebut. Mekanisme ini juga diperlukan untuk mencegah double counting
inisiatif-inisiatif pemerintah (baik di tingkat pusat maupun daerah) yang telah
berjalan saat ini, sebelum RAN GRK disahkan.

Di dalam Perpresnya sendiri disebutkan bahwa dengan merujuk pada RAN


GRK, nantinya setiap pemerintahan provinsi dimandatkan untuk menyusun
Rencana Aksi Daerah (RAD) GRKnya masing-masing yang kemudian
diarusutamakan kedalam perencanaan pembangunanya. Dalam tenggat waktu
satu tahun semenjak Perpres RAN GRK ini disahkan, maka setiap daerah
diwajibkan sudah memiliki RAD GRKnya masing-masing.
Pemandatan perumusan RAD GRK untuk setiap daerah di level provinsi ini
tentu saja menjadi tantangan tersendiri mengingat harus diakui masih adanya
gap kapasitas tiap pemerintah daerah terkait isu perubahan iklim ini, belum lagi
dalam bahgaimana mengarusutamakan isu perubahan iklim ini kedalam rencana
pembangunan mereka. Sampai sejauh ini, baru terdapat setidaknya dua provinsi
yang sudah secara remi menyatakan target penurunan emisi daerahnya, yaiti
Provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Tengah dengan target penurunan emisi
keduanya sebesar 30%. Kedua daerah tersebut juga sudah menyusun rencana
aksi daerah mereka terkait pembangunan berkelanjutan rendah karbon yang
digharapkan bisa menjadi dasar perumusan dokumen RAD GRK kedepannya.
Walau didalam RAN GRK sudah dikategorikan lokasi-lokasi (provinsi)
prioritas dalam pelaksanaan setiap kegiatan rencana aksi tersebut, belum
adanya pendisagregasian yang jelas dari target penurunan emisi nasional ke
dalam target penurunan emisi di level daerah diperkirakan akan menjadi salah
satu kendala dalam perumusan RAD GRK. Apakah pendisagregasian target
nasional ini akan dilakukan sepenuhnya lewat pendekatan top down atau bottom
up atau kombinasi keduanya harus segera dirumuskan dalam suatu mekanisme
yang jelas. Adanya pendisagregasian yang jelas dari target nasional kedalam
target-target daerah juga akan memudahkan pemerintah nasional, khususnya
Bappenas, dalam memberikan dukungan terkait alokasi pendanaan APBN ke
setiap daerah.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah dalam proses
penyusunan RAD GRK adalah nomenklatur yang digunakan dalam penamaan
kegiatan; dimana diperlukan adanya kesesuaian penamaan antara rencana aksi
dengan program di dalam PRJMD untuk memastikan kelancaran proses
administrasi dan persetujuan pengimplementasian kegiatan di level daerah.
Studi ini berupaya melakukan identifikasi terhadap kegiatan pemerintah daerah
yang terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Adanya kesesuaian
kegiatan eksisting pemerintah daerah terhadap isi dari RAN GRK, terutama untuk
kegiatan yang ditargetkan untuk dilaksanakan di provinsi tersebut, akan menjadi
modal yang signifikan bagi daerah untuk menyusun RAD GRK. Kegiatan tersebut
dapat langsung dimasukkan sebagai bagian dari RAD GRK provinsi tersebut. Isu
nomenklatur yang disampaikan sebelumnya perlu menjadi bahan pertimbangan
ketika daerah akan memasukkan kegiatan baru di luar program/kegiatan yang
telah tercantum di dalam Renstra SKPD/UPT provinsi.
Keberhasilan RAN GRK sepenuhnya bertumpu pada komitmen
Kementerian/ Lembaga/ Daerah dalam menjalankan kegiatan yang ditetapkan
dalam rencana aksi, dimana target penurunan emisi sebesar 26% hanya akan
terwujud apabila seluruh kegiatan yang diarahkan diimplementasikan oleh K/L/D.
Cara untuk mengetahui dukungan K/L/D terhadap upaya penurunan emisi adalah
dengan menyandingkan RAN GRK dengan rencana strategis dan rencana kerja
K/L/D untuk periode yang sama. Dengan cara itu akan diketahui apakah kegiatan

yang ditetapkan dalam RAN GRK juga direncanakan untuk dilakukan oleh K/L/D
yang diberi mandat untuk mengeksekusinya.

Rekomendasi Kebijakan Umum Terkait Perubahan Iklim


Berdasarkan hasil analisa, terdapat 3 aspek yang perlu menjadi fokus
kebijakan terkait perubahan iklim untuk mendorong implementasi mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim di tingkat pusat maupun daerah yaitu :
Payung Hukum perubahan iklim
Mekanisme kelembagaan
Mekanisme pendorong inovasi
Aspek diatas dijabarkan menjadi usulan kebijakan sebagai berikut :
1. Penggunaan RPPLH sebagai payung hukum untuk isu perubahan iklim
Di dalam pendekatan ini diusulkan untuk menggunakan UU No 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai payung hukum
untuk penyelenggaraan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Usulan
pendekatan ini didasarkan pada substansi dari UU 32/2009 yang memuat
mengenai penyusunan rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai
bagian dari Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
(pasal 10 ayat 4 UU 32/2009). Substansi ini dapat menjadi cantolan hukum bagi
pemerintah pusat maupun daerah untuk pelaksanaan kegiatan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim.
2. Penyusunan mekanisme pendorong kinerja dan inovasi adaptasi serta
mitigasi perubahan iklim
Mekanisme insentif-disinsentif merupakan salah satu mekanisme yang
dapat diiterapkan, Mekanisme ini tidak hanya diperlukan untuk mengatur sistem
pengelolaan isu perubahan iklim di level pusat, tetapi juga untuk memberikan
dorongan bagi pihak daerah untuk berkontribusi aktif dalam isu ini, terutama
untuk upaya mitigasi. Dengan disahkannya RAN GRK, daerah akan berperan
penting dalam penurunan emisi GRK. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi
yang dapat mendorong pemerintah daerah untuk mengimplementasikan upaya
mitigasi, misalnya saja dengan menerapkan sistem reward and punishment.
3. Penyusunan tata kelola kelembagaan di level provinsi terkait isu perubahan
iklim
Strategi terkait perubahan iklim haruslah komprehensif mengingat isu ini
bersifat lintas sektor. Mempertimbangkan hal ini, maka dibutuhkan penyesuaian
tata kelola kelembagaan di level provinsi terkait isu perubahan iklim.
Penyesuaian sistem kelembagaan yang lebih diprioritaskan adalah pembentukan
suatu kelembagaan baru yang bertanggung jawab spesifik untuk isu perubahan
iklim agar kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di daerah tersebut
dapat berjalan lebih sinergis dan terkoordinir. Untuk mendorong penyesuaian
tata kelola kelembagaan ini, sebaiknya dikeluarkan juga regulasi di tingkat pusat
(misalnya dalam bentuk Instruksi Presiden) yang mengamanahkan pembentukan
institusi untuk implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat
daerah. Institusi ini akan memiliki fungsi koordinasi dan peran sentral dalam hal

pengelolaan isu perubahan iklim di tingkat daerah, sehingga diharapkan


pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan isu ini tidak akan lagi bersifat
parsial, melainkan holistik. Keberadaan dan operasionalisasi institusi ini akan
menjadi suatu indikasi komitmen daerah untuk berperan aktif dalam isu
perubahan iklim.
Namun di beberapa daerah, langkah ini akan sulit untuk dilakukan,
terutama berkaitan dengan isu pendanaan. Untuk kondisi ini, bisa diambil
langkah berupa penyesuaian jalur koordinasi serta tupoksi dari dan diantara
lembaga-lembaga yang sudah ada, sehingga pada akhirnya akan tetap ada satu
leading
sector
yang
akan
berperan
dalam
mensinergiskan
dan
mengkoordinasikan isu dan kegiatan perubahan iklim di daerah tersebut.
Di beberapa provinsi yang telah memiliki Dewan Daerah Perubahan Iklim
(DDPI) seperti Kalteng dan Kaltim, diperlukan penegasan di segi struktural;
misalnya di dalam hal pembagian peran, tanggung jawab dan otoritas dari DDPI.
Selain itu, diperlukan juga mekanisme yang jelas untuk alur sistem koordinasi. Di
provinsi lain seperti Kalbar dan Kalsel yang belum memiliki suatu lembaga yang
khusus menangani isu perubahan iklim selayaknya DDPI, perlu dirumuskan
mekanisme yang tepat guna dari segi kelembagaannya.
Perumusan kelembagaan ini juga harus mempertimbangkan proses
pengintegrasian dan pengadopsian isu perubahan iklim ke dalam strategi
pembangunan daerah selayaknya isu pembangunan lain seperti pertumbuhan
ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Maka dari itu, perumusan mekanisme
kelembagaan juga perlu dilengkapi dengan instrumen yang jelas dalam
mengarusutamakan isu perubahan iklim tersebut dalam rencana pembangunan.
Selain itu, untuk memastikan operasionalisasi kelembagaan serta kegiatan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dapat berjalan dengan optimal, diperlukan
penyusunan kebijakan teknis berupa standardisasi pelayanan pemerintah (baik
pusat maupun daerah) yang mampu menunjukkan kinerja pengelolaan adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim. Keberadaan regulasi ini akan membantu proses
capacity building pemerintah daerah dalam menjalankan upaya mitigasi dan
adaptasi agar dapat berjalan lebih efektif dan optimal. Dengan adanya
standardisasi ini, diharapkan knowledge gap antara tingkat pusat dan daerah
tidak akan terlalu jauh, sehingga proses transfer ilmu pengetahuan dan
koordinasi kegiatan terkait isu perubahan iklim akan menjadi lebih lancar.

Gap Program
Program Kementerian/Lembaga terkait Mitigasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi visi Indonesia untuk
menjadi masyarakat mandiri dan madani yang yang dapat tetap memberikan
jaminan terhadap keberlanjutan ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian
lingkungan, di saat yang bersamaan juga mengejar pencapaian target
pertumbuhan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang setara dan demokratis.
1. Bidang Pertanian
Di Indonesia, sektor pertanian adalah salah sektor yang merasakan
dampak secara nyata dari fenomena perubahan iklim. Fenomena-fenomena
seperti banjir ROB, kekeringan dan intrusi air laut yang melanda areal pertanian

a.

meyebabkan penurunan produktivitas areal pertanian tersebut. Dalam 5 tahun


terakhir rata-rata luas lahan sawah yang terkena banjir dan kekeringan masingmasing sebesar 29.743 Ha terkena banjir (11.043 Ha diantaranya puso karena
banjir) dan 82.472 Ha terkena kekeringan (8.497 Ha diantaranya puso karena
kekeringan). Kondisi ini kecenderungannya akan terus meningkat pada tahuntahun ke depan.
Sampai sejauh ini, sektor pertanian masih merupakan salah satu
penyumbang terbesar pendapatan negara. Selain itu, sektor pertanian juga
memainkan peranan penting dalam aktivitas perekonomian Indonesia, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih menggantungkan kehidupanya pada sektor
pertanian. Oleh karena itu, upaya untuk memelihara dan meningkatkan
kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian Indonesia dengan tetap berusaha
meminimalisir dampak perubahan iklim merupakan cara yang efektif dalam
meningkatkan keberlanjutan perekonomian Indonesia.
Namun disamping menjadi salah satu sektor yang terkena dampak
perubahan iklim, pertanian juga salah satu sektor yang turut andil dalam
fenomena perubahan iklim ini. Sektor pertanian disinyalir sebagai salah satu
sumber emisi gas rumah kaca, terutama metana. Luas sawah di Indonesia yang
lebih dari 10,9 juta hektar diduga memberi kontribusi sekitar 1% dari total global
metana (Setyanto, 2006). Jika total metana diduga berbanding lurus dengan
total produksi padi maka setiap usaha peningkatan produksi padi harus dibayar
dengan kerusakan lingkungan berupa meningkatnya emisi metana. Kontribusi
metana pada pemanasan global berlipat ganda dibandingkan gas-gas rumah
kaca lainnya. Metana mempunyai kapasitas pemanasan global 21 kali lebih
besar dari karbon dioksida. Berdasarkan hasil salah satu penelitian, emisi metan
dari tanah sawah di Indonesia mencapai 14% dari total emisi GRK yang berasal
dari sektor energi (Setyanto et al., 2000). Perhitungan tersebut didasarkan pada
asumsi:
a) laju emisi metan sebesar 1.7 juta ton per tahun
b) potensi terhadap pemanasan global dari metan 20 kali lipat dibandingkan
karbondioksida, dan sumber emisi karbondioksida dari sektor energi
sekitar 250 juta ton per tahun.Produksi pangan yang lebih tinggi dengan
harga yang terjangkau konsumen dan menguntungkan petani dengan
tanpa mengorbankan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam dan
lingkungan merupakan issue utama pembangunan pertanian di seluruh
dunia, khususnya di negara-negara berkembang dan sedang berkembang
seperti Indonesia. Oleh karena itu, upaya adaptasi dan peningkatan
produksi beras harus tetap diiringi dengan upaya untuk menurunkan emisi
metan dari tanah sawah (mitigasi) untuk mencapai pemantapan
ketahanan pangan nasional dan peningkatan produksi pertanian dengan
emisi GRK yang rendah merupakan kebikanan yang krusial bagi sektor
pertanian di Indonesia.
Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap Rancangan Renstra
Kementrian Pertanian periode 2010-2014 dapat diidentifikasi beberapa program
kegiatan yang sekiranya sejalan dengan visi tersebut. Berikut dibawah ini akan
dijabarkan lebih jelas terkait relevansi dari setiap program kegiatan tersebut.
Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Pangan Untuk
Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan

Penyaluran subsidi benih tanaman pangan(Prioritas Nasional dan


Bidang)
Pengelolaan sistem penyediaan dan pengawasan sarana produksi
tanaman pangan (Prioritas Bidang)
Penyaluran pupuk bersubsidi (Prioritas Nasional dan Bidang)
Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Produk Tanaman
Hortikultura Berkelanjutan
Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian
Perluasan areal pertanian (Prioritas Nasional dan Bidang)
Pengelolaan air untuk pertanian (Prioritas Nasional dan Bidang):
Tersedianya (unit) pengembangan sumber air alternatif skala kecil
(melalui irigasi pedesaan, pengembangan sumber air tanah,
pompanisasi air permukaan) yang berfungsi. Disamping itu Kementrian
Pekerjaan Umum juga memiliki Kebijakan Pendayagunaan sumber
daya air untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi difokuskan pada
upaya peningkatan fungsi jaringan irigasi yang sudah dibangun tapi
belum berfungsi, rehabilitasi pada areal irigasi berfungsi yang
mengalami kerusakan, dan peningkatan kinerja operasi dan
pemeliharaan terangkum dalam program pengelolaan sumber daya air
lewat kegiatan Penyelenggaraan Penerapan Kebijakan, Pembinaan
Perencanaan, Pelaksanaan dan Pembinaan Operasi dan Pemeliharaan
(O dan P) Bidang Irigasi, Penyediaan Air Baku dan Pemanfaatan Air
Tanah. Sebagian besar areal persawahan di Indonesia, merupakan
areal persawahan basah/tergenang (wetland). Oleh karena ekosistem
tanah sawah basah memiliki potensi emisi metan yang tinggi dengan
penyebaran areal yang luas, maka prioritas utama upaya mitigasi
dalam jangka pendek perlu diarahkan ke eksositem tersebut.
Pengoptimalan jaringan air irigasi areal persawahan ini dapat
dilakukan lewat pengembangan sstem irigasi yang sifatnya
intermitten.
Pengembangan pengelolaan lahan pertanian (Prioritas Nasional dan
Bidang) dengan salah satu indikator relevanya adalah Terlaksananya
1.000.000 Ha optimasi lahan pertanian (pupuk organik), dan 11.000
Km JUT/Jalan produksi serta Luasan (Ha) lahan yang dioptimasi,
dikonservasi dan direhabilitasi, direklamasi (Pengembangan rumah
kompos)
Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan
Berkelanjutan lewat kegiatan Penyediaan bahan tanaman sumber bahan
bakar nabati (bioenergi): Jarak, kelapa sawit, kelapa dan kemiri sunan
Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Peningkatan Penyediaan
Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal lewat kegiatan
Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber
daya lokal (Prioritas Nasional dan Bidang) dengan indikator spesifik
Pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk organik dan pemberian
paket bantuan sosial pupuk organik (rumah kompos)
Pengembangan dan pembinaan Biogas Asal Ternak Bersama
Masyarakat (BATAMAS) terutama di sentra terpencil dan padat ternak
(unit)

b.
c.

d.

e.

Pengembangan integrasi ternak dan tanaman melalui pengelolaan


kotoran ternak (padat & cair) menjadi pupuk organik dan pengolahan
limbah tanaman untuk ternak terutama di sentra perkebunan,
tanaman pangan dan holti kulture (klp)
Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai bahan baku pembuatan
pupuk organik ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Dari sisi
petani, mereka mendapat sumber pupuk alternatif yang berpotensi
lebih ekonomis. Bagi peternak sendiri, dapat membantu mereka
menanggulangi permasalahan dalam pengolahan limbah kotoran
ternak.

2. Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut


Dalam studi yang dilakukan oleh DNPI diperoleh kesimpulan bahwa pada
tahun 2005 Indonesia berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dunia
sebesar 5%, dan diproyeksikan akan meningkat secara signifikan pada tahun
2020 dan 2030 . Sumber emisi terbesar adalah Land Use, Land Use Change and
Forestry (LULUCF) dan lahan gambut, yaitu sebesar 1610 GtCO2e dari total emisi
2,052 GtCO2e pada tahun 2005. Dengan praktek Business As Usual, LULUCF dan
lahan gambut akan tetap menjadi juara sumber emisi Indonesia. Ia akan
berkontribusi lebih dari 50% pada tahun 2020 dan 2030. Hal ini berarti bahwa
2,5% dari emisi gas rumah kaca dunia disumbang oleh LULUCF dan lahan
gambut di Indonesia.
Kawasan hutan Indonesia, menurut Kementerian Kehutanan (2010 dalam
DNPI, 2011) menguasai 71% total lahan di Indonesia, dan sisanya sebesar 29%
adalah kawasan non-hutan, yang disebut APL (Areal Penggunaan Lain) atau
KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan).
TABEL - 4 STATUS KAWASAN HUTAN DI INDONESIA TAHUN 2006

FOREST
COVERAGE

FOREST AREA
Extend
(ha)

NON-FOREST
AREA

TOTAL

% Extend (ha)

Area (ha)

FORESTED

92,328
(Virgin=43,8
01;
LOA=48,526
)

4
9

8,412

100,74

54

UNFORESTED

40,071

2
1

46,976

2
5

87,047

46

TOTAL

132,399

7
1

55,388

2
9

187,787

10
0

Sumber: Landsat imagery 7 ETM+ 2005/2006 (217 scenes)

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari sekitar 132 juta atau 71% dari
kawasan hutan yang ditunjuk, 40 juta hektar tidak berhutan . Selebihnya adalah
virgin and secondary or logged over forest areas (LOA). LOA sebesar 48,5 juta

a.

b.

c.
d.

e.

hektar saat ini berada di bawah ijin konsesi hutan. Kawasan hutan, pada
kenyataannya tidak hanya terletak di dalam kawasan hutan yang ditunjuk,
melainkan juga di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk, yang kebanyakan
merupakan lahan yang dimiliki privat. Sekitar 8 juta kawasan hutan berada pada
kategori ini. Jika jumlah ini ditambahkan dengan kawasan hutan dalam kawasan
hutan yang ditunjuk, dan diasumsikan bahwa 25% dari LOA berada dalam kondisi
bagus, maka Indonesia kurang-lebih memiliki 65 juta kawasan hutan. Angka ini
menjadi komponen penting ketika carbon removal dan carbon sink menjadi poin
utama untuk menjaga peran signifikan hutan dalam mempertahankan net
carbon sink.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hutan dan lahan gambut merupakan
dua sumber utama emisi Indonesia. Dengan target pengurangan emisi sebesar
26% pada tahun 2020, sektor kehutanan khususnya, mempunyai porsi terbesar
dari kegiatan pengurangan emisi dibandingkan sektor lain. diestimasikan bahwa
54% dari total reduksi dapat datang dari kegiatan terkait sektor kehutanan. Hal
ini dapat berupa upaya mitigasi dan adaptasi. Perbaikan praktek sylviculture,
seperti mengurangi dampak penebangan, sylviculture intensif, dan perlindungan
kebakaran hutan merupakan kegiatan yang paling realistis dan pragmatis yang
dapat dilakukan oleh pemerintah. Lebih dari itu, penegakan hukum bagi
kejahatan kehutanan seperti pencegahan pembalakan liar dan tata kelola
pemerintahan yang baik adalah hal yang fundamental dan menjadi bagian dari
penilaian kebijakan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap Rancangan Renstra
Kementrian Kehutanan periode 2010-2014 dapat diidentifikasi beberapa program
dan kegiatan yang mendukung upaya mitigasi sektor kehutanan. Berikut akan
dijabarkan lebih jelas hasil pemetaan kebijakan, rencana program dan kegiatan:
Program Perencanaan Makro Bidang Kehutanan dan Pemantapan Kawasan Hutan
Penyusunan Rencana Makro Kawasan Hutan
Pengukuhan Kawasan Hutan
Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan
Pengendalian Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Di
Luar Kegiatan Kehutanan
Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Pengembangan Perhutanan Sosial
Pengembangan Perbenihan Tanaman Hutan
Pembinaan Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Reklamasi Hutan
Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan
Penyidikan dan Perlindungan Hutan
Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Pengembangan Perhutanan Sosial
Pengembangan Perbenihan Tanaman Hutan
Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan
Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

3. Bidang Energi dan Transportasi

Sektor energi menjadi salah satu sektor prioritas dalam upaya Indonesia
menurunkan emsisi GRKnya. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat dari
aspek pemakaian energi primer di Indonesia, suplai terbesar masih didominasi
pemakaian minyak bumi, yang diikuti dengan pemanfaatan biomass dan gas
alam. Berdasarkan data Kementrian ESDM dalam Handbook of Energi and
Economic Statisticnya, proporsi pemakaian minyak bumi sebagai energi primer
di Indonesia berkisar 43.5% di tahun 2000 sebelum turun menjadi 35.3% di
2008. Signifikan peningkatan kontribursi terjadi pada batu bara, dimana terjadi
peningkatan pemanfaatan komoditas ini dari nilai 93.8 Triliun BOE (Barrel of Oil
Equivalen) pada tahun 2000 menjadi 322.9 Triliun BOE pada tahun 2008. Gas
alam dan geothermal mengalami peningkatan proporsi pemanfaatan yang cukup
signifikan pada periode yang sama yaitu berkisar 2% dan 4% secara berturutturut.
Sedangkan dari sektor pemanfaatan energi akhir dari referensi yang sama
diketahui bahwa bahan bakar minyak dan biomasa menjadi dua komponen
dengan proporsi tertinggi. Pemanfaatan bahan bakar minyak ,meningkat dari
315.3 Milyar BOE pada tahun 2000 hingga mencapai 312.2 Triliun BoE oada
tahun 2008. Walau masih memiliki proporsi cukup besar, pemanfaatan biomasa
sendiri mengalami penurunan menjadi 27% pada tahun 2008 dimana
sebelumnya mencapai 35% di tahun 2000. Penurunan proporsi biomasa ini
dipercaya karena meningkatnya akses kepada bentuk energi modern bagi
masyarakat pedesaan. Komponen penting lain dari sektor energi final adalah
sumber daya listrik. Konsumsi listrik di Indonesia mengalami peningkatan
sebesar 6.3% per tahunnya pada periode 2000-2008 dengan proporsi pemakaian
tertinggi pada sektor rumah tangga dan industri.
Beradasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pelangi Indonesia diprediksi
jika tidak ada upaya yang signifikan dalam konservasi energi, sektor penggunaan
energi sendiri (demand-side) akan berkontribusi setidaknya sebesar 428 MTCO2e
pada tahun 2030 dengan rasio peningkatan emisi sebersar 5.7% per tahun pada
periode 2007-2030. Sektor pengemisi terbesar diduduki oles sektor transportasi
dan indsutri, diikuti oleh sektor pemukiman.
Melihat kecenderungan tersebut, sektor energi di Indonesia bisa menjadi
sangat potensial kontribusinya didalam upaya penanggulangan oerubahan iklim
lewat upaya reduksi emisi GRK disektor spesifik ini. Klasifikasi kegiatan mitigasi
dari sektor energi dapat diklasifikasikan secara umum kedalam dua kelompok
yaitu pengembangan energi baru terbarukan serta konservasi dan penghematan
energi. Di Indonesia sendiri, kendali kebijakan sektor energi dibawah Kementrian
ESDM.Berdasarkan kajian terhadap renstra kementrian ESDM, diidentifikasi
beberapa program secara general yang terkait dengan upaya mitigas perubahan
iklim di sektor energi, antara lain:
Program pengelolaan listrik dan pemanfaatan energi
Program pembinaan dan pengusahaan mineral, batubara, panas bumi
dan air tanah
Program penelitian, mitigasi dan pelayanan geologi
Program penelitian dan pengembangan ESDM
Pada Kementrian ESDM, program-program yang terkait isu energi baru
terbarukan dan konservasi energi berada di bawah tanggung jawab Direktorat
Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Analisa lebih

spesifik di level Ditjen ditemukan hampir seluruh agenda program yang terkait
langsung perubahan iklim berada dibawah Ditjen EBTKE. Agenda program
tersebut diantaranya:
Penyempurnaan dan harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
bidang EBTKE
Penyempurnaan Rencana Induk Diversifikasi dan Konservasi Energi
Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi
Pengembangan panas Bumi, bioenergi dan aneka EBT
Pengembangan dan penerapan Clean Energi Initiative (REFF - Burn)
Peningkatan kandungan lokal dan industri Penunjang EBTKE
Peningkatan Desa Mandiri Energi

Peningkatan percontohan green building, clean faktory, clean industrial


park, low carbon city, clean provincesKerangka Kebijakan dan Strategi Ditjen
EBTKE:
a.

Konservasi Energi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 70/2009 terkait Konservasi
Energi, fokus kegiatan konservasi dan efisiensi energi di empat sektor, yaitu:
industri, komersial, transportasi dan rumah tangga. PP ini juga menjelaskan
mengenai peran dan tanggung jawab dari keempat kelompok pemangku
kepentingan terkait dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi dan efisiensi
energi tersebut yang terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak
swasta dan masyarakat. PP ini menggarisbawahi bahwa kegiatan konservasi dan
efisiensi energi ini selayaknya dilaksanakan dalam setiap tahap proses
penyediaan dan pemanfaatan energi baik sejak proses pembangkitan,
penyediaan, penyediaan secara komersil maupun dalam proses penggunaanya.
Di dalam PP ini disebutkan bahwa industri dan bangunan yang memiliki
pemakaian energi lebih besar dari 6000 TOE (Tonnes of Oil Equivalent)/tahun
diwajibkan untuk melaksanakan program konservasi dan efisiensi energi, yang
dikekan dengan istilah Energi Management Program. Disamping itu PP ini juga
menjabarkan mekanisme insentif dan disinsentif bagi pengimplementasian
program konservasi dan efisiensi energi dimana mekanisme insentif yang
divberikan dapat berupa pengurangan pajak bagi pengadaan teknologi hemat
energi serta penetapan low interest rate untuk investasi di sektor konservasi dan
efisiensi energi disamping kerjasama dalam kegiatan audit energi.

b.

Diversifikasi Energi (pengembangan energi terbarukan baik di sektor


pembangkitan listrik maupun di pemanfaatan energi akhir)
Berdasarakan Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 terkait Kebijakan Energi
Nasional ditargetkan komposisi energi mix Indonsia pada tahun 2025 adalah
sebagai berikut:
Minyak bumi kurang dari 20%
Gas Alam lebih dari 30%
Batu bara lebih dari 33%
Biofuel lebih dari 5%
Geothermal lebih dari 5%

Sumber lain dari energi baru dan terbarukan khusunya biomas, tenaga
air, tenaga usrya dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%
Contoh sumber energi yang akan dikembangkan: panas bumi, tenaga air,
bioenergi, angin, surya, serta gelombang laut.(telah dilakukan analisa potensi
sumber daya energi tersebut)
Disamping menjabarkan terkait target komposisi energi mix Indonesia pada
tahun 2025, Peraturan Presiden ini juga menetapkan target pengurangan
intensitas energi (energi intencity) menjadi lebih kecil dari satu persen (1%).
Dengan begitu peraturan ini mendukung kebijakan sebelumnya dibawah
Rencana IndukKonservasi Energi Nasional (RIKEN) yang juga menargetkan
pengurangan intensitas energi menjadi lebih kecil dari 1% pada tahun 2025.
Pemenuhan target dari kedua kebijakan ytersebut melalui upaya diversivikasi
serta konservasi energi.
Peraturan Presiden No.71 Tahun 2006 juga memandatkat implementasi
Program fast track 10.0000MW periode kedua memberdayakan secara optimal
sumber daya energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi pembangkitnya

c.

Penerapan Teknologi Fosil Karbon Rendah


Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2006 juga menjabarkan mandate
pengimplementasian Program fast track 10.0000MW periode pertama dengan
pengembangan pembangkit berbasis batu bara, disamping target diversivikasi
energi Indonesia juga meamanahkan peningkatan pemanfaatan batu bara
sebagai sumber energi primer. Agar tetap sejalan dengan komitmen pemerintah
terkait penurunan emisi GRK dengan deviasi terhadap scenario baseline BAU,
pengembangan pembangkit berbasis batu bara ini nantinya akan difokuskan
padan penerapan teknologi fosil rendah karbon seperti Integrated Gasification
Combined Cycle (IGCC) dan Fuel Switching.
Saat ini, mengingat masa berlaku RIKEN sebelumnya yang disususn pada
tahun 2005 sudah berakhir, Kementerian ESDM sedang dalam proses
pengesahan Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN) periode
selanhjutnya (2010-2015). RIKEN sendiri akan menjadi dokumen resmi
kementrian ESDM dimana didalamnya mencakup target yang ingin dicapai,
kebijakan utama dan pendukung, serta program dan kegiatan yang dicanangkan
dalam kerangkan konservasi energi. RIKEN sendiri dikeluarkan setiap lima tahun
sekali dengan mekanisme review dapat dilakukan setiap tahunnya.
Instrumen Kebijakan yang digunakan sebagai pendukung program dan
kebijakan tersebut antara lain :
1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21 tahun 2010 tentang Pemberian
Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan
Sumber Energi Terbarukan yang dapat dirangkup sebagai berikut:
Pengurangan pajak pendapatan bersih hingga mencapai 30% dengan
pendisagregasian selama enam tahun dengan nilai 5% setiap
tahunnya
Percepatan depresiasi dan amortisasi menjadi 2-10 tahun dengan rasio
2,5 5%, disesuaikan dengan tipe asetnya
Pemotongan pajak atas dividen maksimal 105 saham investasi asing
(dapat lebih rendah dalam kasus perjanjian pajak)

Kehilangan kompensasi untuk 5-10 tahun


Pembebasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang
modal seperti mesin dan peralatan kecuali suku cadang
Pembebasan pajak impor untuk mesin, peralatan dan bahan konstruksi
2) Insentif fiskal untuk pengembangan EBT
3) Pricing EBT (Feed-in Tariff/FIT)
4) Renewable Portfolio Standard (RPS)
Sektor energi di Indonesia dibawah koordinasi Kementrian ESDM dalam hal
ini menyatakan komitmenya untuk berkontribusi daplam upaya penanggulangan
perubahan iklim. Komitmen ini tidak sekedar dalam bentuk pencapaian target
pengurangan emisis seperti yang diamanahkan didalam RAN GRK danmun dalam
hal ini visi ESDM adalah untuk mencapai ketahanan energi domestik. Menyadari
bahwa disamping pengembangan energi baru dan terbarukan serta kegiatan
konservasi energi, pemanfaatan energi fosil juga dapat berkontribusi dalam
upaya pengurangan emisi lewat pemanfaatan teknologi energi bersih.
Kementerian ESDM dalam hal ini telah mengembangkan Clean Energy Initiative
sebagai upaya terintegrasi dari sektor energi dalam Pengurangan Emisi
Pembakaran Bahan Bakar Fosil / Reducing Emission from Fossil Fuel Burning
(REFF-burn). Teknologi REFF-Burn berupaya menanggulangi emisi GRK dari
sektor energi lewat tiga upaya, yaitu:
1) Pre-Combustion, dalam bentuk pencegahan pembakaran bahan bakar
fosil berlebih yang dapat menghasilkan emsisi GRK lewat bentuk:
Pemanfaatan Teknologi Energi Efisien
Pengembangan Energi baru dan terbarukan (geothermal, bioenergi,
tenaga air, tenaga surya, angin dan tenaga laut)
Pengurangan emisi fugitif
2) During Combustion, lewat pengurangan emisi GRK yang dighasilkan
dari proses pembakaran bahan bakar fosil lewat upaya:
Pemanfaatan Clean Coal Technology, seperti teknologi batubara
superkritis, IGCC, dll.
Teknologi Berbahan Bakar Bersih (Clean Fuel Technology)
Teknologi Pengurangan Gas Flaring (Flared Gas Reduction Technology)
Pemanfaatan energi bersih di sektor rumah tangga, komersial,
transportasi dan industri
3) Post Combustion, untuk menanggulangi emisi GRK yang sduah
dihasilkan dari proses pembakaran melalui upaya:
Carbon Capture and Storage (CCS)
Bio-capture dengan alga
Reklamasi lahan bekas tambang
Pemanfaatan CO2

Jika disandingkan dengan RAN GRK, terlihat bahWa seluruh rencana aksi
yang tercantum dalam RAN GRK untuk spesifik bidang energi telah menjadi
bagian dari kebijakan dan program yang disebutkan diatas, yaitu:
1) Audit Energi, lewat Program Pengelolaan Listrik dan Pemanfaatan
Energi
2) Program lampu hemat energi
3) Penyediaan dan pengelolaan energi baru terbarukan dan konservasi
energi
4) Pemanfaatan biogas

5) Penggunaan Gas Alam sebagai bahan bakar angkutan umum


perkotaan
6) Peningkatan sambungan rumah yang teraliri gas bumi melalui pipa
7) Pembangunan kilang mini plant LPG
8) Reklamasi lahan pasca tambang
Transportasi merupakan salah satu sektor yang mengkonsumsi bahan bakar
minyak (BBM) dalam jumlah yang cukup tinggi. Pembakaran BBM inilah yang
menyebabkan sektor tranpsortasi menjadi salah satu emitter utama GRK di
Indonesia terutama mempertimbangkan laju peningkatan jumlah kendaraan
bermotor yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Masalah ini diperparah dengan
kurang efektifnya pengaturan lalu lintas yang diterapkan saat ini. Kemacetan,
terutama di kota-kota besar, tidaklah menjadi pemandangan yang aneh lagi.
Sebagai akibat dari kemacetan ini, emisi GRK yang dikeluarkan oleh kendaraan
bermotor akan lebih tinggi karena kendaraan akan mengemisikan gas buang
dalam konsentrasi yang lebih tinggi dalam kondisi menyala namun tidak
bergerak.
Terkait dengan hal ini, di dalam Renstranya, Kementerian Perhubungan
telah mencantumkan kebijakan yang spesifik dalam isu mitigasi perubahan iklim;
baik untuk transportasi darat, laut maupun udara. Kebijakan yang diambil oleh
kementerian ini tidak hanya terkait dengan penurunan emisi/penggunaan bahan
bakar, tetapi juga pengembangan sarana dan prasarana serta efisiensi
pengaturan lalu lintas. Diantara kebijakan yang diambil oleh Kementerian
Perhubungan adalah :
Pemantauan dan evaluasi lokasi potensi longsor jalan dan jalan rel
didukung sistem informasi yang akurat
Penjadwalan waktu pengerukan, pemeliharaan fasilitas pelabuhan
Pengembangan teknologi hidrodinamik, mesin yang lebih efisien, dan
penyesuaian desain fisik kapal sesuai karakteristik perairan
Pelaksanaan program Eco-Port
Pengawasan, penggunaan teknologi baru serta prosedur perawatan
pesawat udara
Penerapan program RVSM, RNP-10, PRNav, Non Precision Approach
ADS-B untuk mempersingkat navigasi penerbangan
Pelaksanaan program Ecoairport
Identifikasi lebih lanjut pada Renstra Kementerian Perhubungan
menunjukkan bahwa program dan kegiatan Kementerian ini telah mengakomodir
rencana aksi yang tercantum di dalam RAN GRK, yaitu melalui implementasi:
Peningkatan transportasi perkotaan berkelanjutan yang ramah
lingkungan
Pengurangan kemacetan lalu lintas melalui upaya penerapan
manajemen lalu lintas berbasis ITS (Intelligent Transport System)
Peningkatan aksesibilitas pelayanan di wilayah perkotaan yang
meliputi pengembangan jumlah bus rapid transit (BRT), pengadaan
armada baru angkutan jalan, dan pengadaan converter kit
Pengembangan jaringan kereta api untuk angkutan penumpang
untukmemenuhi potensi pasar di kota-kota besar diantaranya dengan
kereta api perkotaan, KRL
Pengembangan jalur kereta api
Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT)

Pengembangan jalur kereta api


Selain dari Kementerian Perhubungan, bidang ini juga berada di bawah
tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum, terutama yang berkaitan dengan
pembangunan infrastruktur jalan. Dalam kaitannya dengan RAN GRK, hasil
identifikasi pada Renstra Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa
kementerian ini telah mengakomodir RAN GRK di bidang transportasi melalui
kegiatan pelaksanaan preservasi dan peningkatan kapasitas jalan dan fasilitasi
jalan bebas hambatan dan perkotaan.
Hasil identifikasi juga menunjukkan beberapa rencana aksi yang tercantum
di dalam RAN GRK yang masih belum terakomodir di dalam Renstra Kementerian
Perhubungan, antara lain:
Congestion Charging dan Road Pricing (dikombinasikan dengan
angkutan umum massal cepat)
Program pelatihan dan sosialisasi smart driving (eco-driving)
d.

Bidang Industri
Sektor perindustrian termasuk ke dalam salah satu emitter utama GRK
dikarenakan konsumsi energi dan limbah (terutama solvent) yang dihasilkan
sektor ini cukup signifikan. Namun jika dikaitkan dengan RAN GRK, upaya
mitigasi di sektor ini hanya difokuskan pada efisiensi energi; tidak ada
pembahasan mengenai pengelolaan limbah industri. Strategi yang diambil oleh
pemerintah terkait implementasi RAN GRK di bidang ini adalah:
Melaksanakan audit energi khususnya pada industri-industri yang
boros energi
Pemberian insentif pada program efisiensi energi
Berdasarkan hasil identifikasi, kegiatan terkait mitigasi perubahan iklim
yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian difokuskan pada 3 program
utama, yaitu:
Program revitalisasi dan penumbuhan basis industri manufaktur,
melalui kegiatan efisiensi energi dan penurunan emisi CO2 untuk
industri material dasar logam
Program revitalisasi dan penumbuhan industri agro, melalui kegiatan
pengembangan Industri bahan kimia khusus berbasis hasil samping
dan/atau limbah industri Crude Palm Oil dan turunannya
Program pengkajian kebijakan, iklim dan mutu industri melalui
pengkajian
industri
hijau
dan
lingkungan
hidup
termasuk
pengembangan diversifikasi dan konservasi energi industri
Kegiatan yang tercantum di atas teridentifikasi sebagai berkontribusi
terhadap RAN GRK di bidang ini. Namun di dalam Renstra Kementerian tersebut
belum tercantum lokasi pelaksanaan kegiatan seperti yang telah dicantumkan di
dalam RAN GRK.
Mengingat fokus di bidang ini adalah upaya efisiensi energi, sementara
yang menjadi penanggung jawab utama adalah Kementerian Perindustrian;
maka aspek koordinasi antar Kementerian perlu menjadi salah satu perhatian
utama. Seperti diketahui, sektor energi juga menjadi fokus utama di bidang
energi dan transportasi; walaupun bidang industri di RAN GRK lebih
memfokuskan kegiatannya di industri semen dan baja, namun potensi adanya
irisan kegiatan dengan Kementerian ESDM akan tetap tinggi. Untuk mengatasi
hal ini, salah satu bentuk koordinasi yang dapat dilakukan adalah dengan

menerapkan joint program, misalnya saja untuk kegiatan pelatihan Energi


Manager. Inisatif REFF-Burn dibawah koordinasi Kementrian ESDM diharapkan
dapat mengatasi permasalahan terkait penintegrasian inisiatif-inisatif terkait
konservasi energi yang sudah dan akan dilakukan oleh beragam aktor yang ada.
e.

Bidang Pengelolaan Limbah


Dalam kaitannya dengan emisi GRK, sistem pengelolaan limbah yang
memadai dapat berfungsi untuk menurunkan emisi GRK dengan cara
menurunkan konsentrasi CH4 yang dilepaskan ke atmosfer. CH4 sendiri
terbentuk sebagai hasil sampingan proses degradasi bahan organik yang
terkandung di dalam limbah padat dan air limbah. Upaya mitigasi di bidang ini
dapat difokuskan pada reduksi timbulan limbah padat, optimalisasi pengelolaan
air limbah dan limbah padat serta peningkatan nilai tambah limbah padat.
Di dalam RAN GRK sendiri, kebijakan yang dilaksanan untuk menunjang
RAN GRK di bidang ini adalah meningkatkan pengelolaan sampah dan air limbah
domestik, dengan strategi yang difokuskan pada:
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan peraturan di daerah (Perda)
Peningkatan pengelolaan air limbah di perkotaan
Pengurangan timbulan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle)
Perbaikan proses pengelolaan sampah di TPA
Peningkatan/pembangunan/rehabilitasi TPA
Pemanfaatan limbah/ sampah menjadi produksi energi yang ramah
lingkungan
Dua kementerian yang memiliki peran penting pada bidang ini adalah KLH
dan Kementerian PU; dimana Kementerian PU memiliki dua kebijakan yang
terkait langsung dengan bidang ini, yaitu:
Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan air limbah, baik yang
dikelola BUMD maupun yang dikelola secara langsung oleh masyarakat
Meningkatkan peran serta seluruh stakeholders dalam upaya
mencapai sasaran pembangunan persampahan dan drainase
Identifikasi lebih lanjut menunjukkan bahwa Renstra kedua kementerian
tersebut telah memasukkan program-program yang terkait dengan mitigasi
perubahan iklim di bidang pengelolaan limbah, antara lain:
Program pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman
melalui
kegiatan
pengaturan,
pembinaan,
pengawasan
dan
penyelenggaraan sanitasi lingkungan (air limbah, drainase) serta
pengembangan sumber pembiayaan dan pola investasi persampahan
Program pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui
kegiatan pengendalian pencemaran limbah domestik dan peningkatan
kebijakan standarisasi teknologi dan produksi bersih dalam
pengelolaan lingkungan hidup
Selain mengintegrasikan program di atas ke dalam Renstra Kementerian,
Kementerian PU juga sedang dalam proses penyusunan Rencana Aksi Mitigasi
dan Adaptasi Kementerian Pekerjaan Umum. Penyusunan dokumen ini semakin
menunjukkan komitmen Kementerian PU untuk mengarusutamakan isu
perubahan iklim dalam pembangunan infrastruktur.
Jika disandingkan dengan RAN GRK, terlihat bahwa sebagian rencana aksi
yang tercantum di dalam RAN GRK telah menjadi bagian dari program dan
kegiatan yang disebutkan di atas, yaitu:

Pengembangan infrastruktur air limbah dengan sistem on-site dan offsite. Di dalam Renstra Kementerian PU juga tercantum daerah-daerah
yang menjadi target untuk pelaksanaan kegiatan ini
Upaya peningkatan pengelolan TPA dan sampah terpadu melalui
penyediaan
infrastruktur
persampahan,
fasilitasi
pengelolaan
persampahan dan fasilitasi pengurangan sampah (upaya 3R). Kegiatan
ini ditargetkan untuk dilaksanakan di seluruh provinsi.
Penurunan volume sampah melalui program 3R di kota besar dan
metropolitan
Satu rencana aksi di dalam RAN GRK yang belum diakomodir adalah
kegiatan pemanfaatan limbah hasil pembukaan lahan untuk bahan pembuatan
kompos, arang dan briket arang. Kegiatan tersebut ditargetkan untuk diterapkan
di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur di bawah tanggung
jawab KLH.
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap Renstra K/L terlihat bahwa K/L yang
menjadi sampel studi telah mengambil langkah-langkah terkait mitigasi
perubahan iklim; dimana sebagian besar kegiatan tersebut tercantum di dalam
RAN GRK. Kondisi ini akan memudahkan proses pengintegrasian RAN GRK ke
dalam program kerja K/L. Proses pengadopsian RAN GRK akan lebih sulit
dilakukan apabila kegiatan yang tercantum di dalam RAN GRK tidak sesuai
dengan fokus program dan fokus kegiatan K/L yang menjadi penanggung jawab
kegiatan karena proses administrasi dan persetujuan pengimplementasian akan
ditentukan oleh kesesuaian nomenklatur kegiatan dengan dokumen strategis
yang menjadi acuan, yaitu RPJMN. Program yang tercantum di dalam Renstra K/L
tentunya telah dianggap sesuai dengan RPJMN.

Gap Kelembagaan MRV


Kelembagaan MRV terkait Perubahan Iklim
Dalam kelembagaan MRV terkait dengan perubahan iklim diharapkan
dapat meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) berbasis
kompetensi serta menciptakan perangkat kebijakan dan sarana prasarana,
kerjasama, jejaring dan promosi bidang pendidikan dan pelatihan dalam kegiatan
adaptasi dan mitigasi.
Dalam kelembagaan MRV, diharapkan memiliki SDM memiliki kompetensi
untuk:
1) Mempersiapkan kegiatan adaptasi dan mitigasi terkait perubahan iklim
2) Mengidentifikasi isu, permasalahan, dan kondisi pelaksanaan adaptasi dan
mitigasi yang telah dilakukan oleh berbagai kementrian, lembaga dari
internasional-nasional-regional-lokal/daerah.
3) Memiliki pengetahuan dalam pemilihan metode yang digunakan dalam
pengukuran survey primer lapangan.
4) Mempersiapkan data dan informasi yang terstandarisasi dan terintegrasi
kedalam basis data untuk kegiatan adaptasi dan mitigasi terkait perubahan
iklim.
5) Membangun basisdata/database yang terstandarisasi sebagai bagian dari
simpul IDSN (Infrastructure Data Spasial Nasional) dan JDSD (Jaring Data
Spasial Daerah).

6) Menggunakan teknologi dalam pengolahan data, manajemen data, analisis


data dan diseminasi data khususnya dalam penerapannya dengan data
geospasial.
7) Menganalis data dan informasi kegiatan adaptasi dan mitigasi terkait
perubahan iklim.
8) Melakukan validasi dan verifikasi data dan informasi dari hasil analis
dengan survey ground check truthing secara teratur untuk kepentingan
para pembuat keputusan di level nasional- regional- lokal/daerah.
9) Bekerjasama dengan seluruh stakeholder terkait dengan kelembagaan MRV
dalam memberikan arahan, tuntunan dan rekomendasi pelaksanan MRV.
10) Membuat laporan yang sistematis, komprehensive dan rutin, untuk
melihat keberlanjutan pelaksanaan kegiatan dan mempresentasikannya
dengan jelas.
11) Mematuhi Kerangka Acuan Kerja, Etika Profesi, dan Manajemen Organisasi
Kerja.
12) Menerapkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Terkait
Peraturan tentang perubahan iklim terkait dengan mitigasi dan adaptasi.
Secara umum, diharapkan kelembagaan MRV memiliki 3 tim SDM yaitu
dalam hal data, survey dan kajian (analisis), dimana semuanya saling
berkoordinasi secara kondusif.
Dalam kelembagaan MRV, tidak hanya kapasitas SDM tetapi juga juga
dibantu dengan infrastrukturnya, yaitu alat dan teknologi yang digunakan dalam
pengolahan data, manajemen data, analisis data dan diseminasi data, meliputi:
1) GPS/teodolit sebagai alat pengukuran validasi dan survey ground check,
dari hasil pengolahan data.
2) Software dan hardware dengan spesifikasi tertentu terutama data
geospasial.
3) Server sebagai datawarehouse, basis data yang nantinya saling
terhubungkan dengan datawarehouse IDSN, yang nantinya terkait dengan
datawarehouse dari stakeholder jejaring IDSN yaitu JDSD
di
Kabupaten/Kota.
4) Printer, Scanner dan lainnya sebagai alat pembantu dalam pelaporan.
Dalam hal penguatan kapasitas kelembagaan yang perlu dilakukan agar
SDM kelembagaan MRV memiliki pengetahuan, keahlian yang memadai yang
mengetahui perkembangan perubahan iklim yang terjadi secara nasionalregional-lokal/daerah yaitu melalui :
1) Mengikuti pendidikan dan pelatihan/diklat teknis terkait dengan perubahan
iklim (sebagai contoh koordinasi antar lembaga pusat & daerah,
stakeholders dalam negeri dan luar negeri)
2) Mengikuti pelatihan menggunakan teknologi (software) untuk pengolahan
data, manajemen data, analisis data dan diseminasi data geospasial
meliputi integrasi infrastruktur jaringan fisik, optimalisasi infrastruktur
informasi dan aplikasi, meningkatkan sinergi dengan pihak pihak terkait
serta mendorong penggunaan perangkat lunak berlisensi atau opensource.
3) Pengembangan Forum Komunikasi sebagai langkah lanjut kesepakatan
pendidikan dan pelatihan (adanya mailinglist forum yang concern terhadap
perubahan iklim).

4) Mengikuti undangan-undangan workshop/seminar yang diselenggarakan


oleh pusat atau daerah.

Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Mendukung


Sistem MRV
Teknologi penginderaan jauh untuk mendukung kyoto protocol dalam
konteks LULUCF dari CDM (Clean Development Mechanism), ada 5 hal penting
terkait dengan studi LULUCF antara lain adalah perlunya:
1) Penyediaan observasi yang sistematik terhadap penggunaan lahan.
2) Penyediaan dukungan terhadap penetapan cadangan carbon tahun 1990.
3) Deteksi dan kuantifiaski secara spasial dari perubahan tutupan lahan.
4) Kuantifikasi cadangan biomasa tanah dan faktor yang mempengaruhi
perubahannya.
5) Pemetaan dan pemantauan sumber antropogenik CH4.
International Society for Photogrammetry and Remote Sensing (ISPRS) dan
University of Michigan (MI, USA) memiliki pemahaman yang sama bahwa
teknologi penginderaan jauh dapat memberikan kontribusi untuk menjawab
pelaksanaan Kyoto Protokol. Dimana
keuntungan terbesar dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dalam perhitungan emisi melalui
sistem observasi yang sistematik dan ketersedian data time series (historikal
data) melalui data akusisi saat ini dan masa yang akan datang. Teknologi
penginderaan jauh
dengan pengembangan sistem dapat berperan untuk
mengkaji, memonitor dan mengevaluasi anggaran karbon terestrial secara
global.
Kelebihan pemanfaatan data satelit penginderaan jauh optis dalam
menghitung estimasi cadangan dan emisi karbon antara lain adalah:
1) Cakupan yang luas.
2) Dapat menyediakan data dengan resolusi spasial yang homogen.
3) Konsisten dalam perolehan data (beberapa satelit mempunyai umur operasi
elasan/puluhan tahun).
4) Biaya lebih murah dibandingkan melaksanakan survei lapangan.
Beberapa keterbatasannya antara lain adalah:
1) Tutupan awan menghalangi pemantauan permukaan bumi.
2) Identikasi jenis tanah:
3) Data satelit penginderaan jauh optis tidak dapat membedakan jenis tanah
(tanah mineralatau gambut).
4) Identikasi spesies vegetasi:
Karena pada dasarnya klasikasi tutupan lahan ditentukan berdasarkan
nilai spektralnya, maka membedakan vegetasi berdasarkan jenis spesies adalah
tidak memungkinkan jika jenis-jenis spesies yang mempunyai nilai spektral yang
serupa.

Anda mungkin juga menyukai