3.
4.
5.
6.
Kelompok
Kelompok
Kelompok
Kelompok
Kerja
Kerja
Kerja
Kerja
Alih Teknologi
Pendanaan
Post Kyoto 2012
Kehutanan dan Alih Guna Lahan
Gap Kebijakan
Kebijakan Terkait Perubahan Iklim di Tingkat Pusat
Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi visi Indonesia untuk
menjadi masyarakat mandiri dan madani yang yang dapat tetap memberikan
jaminan terhadap keberlanjutan ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian
lingkungan, di saat yang bersamaan juga mengejar pencapaian target
pertumbuhan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang setara dan demokratis.
Berdasarkan data Indonesia Climate Change Sectoral Road Map (ICSSR 2010) yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tahunan Indonesia dari tiga
kelompok utama GRK (CO2, CH4 dan N2O) pada tahun 2005 berkisar pada nilai
670 juta ton CO2 (MtCO2 ekuivalen) tanpa memperhitungkan emisi dari sector
LULUCF; atau berkisar pada nilai 1120 MtCO2 ekuivalen jika memperhitungkan
emisi dari kebakaran lahan gambut, namun tidak sector LUCF (Land Use Change
and Forestry). Di sisi lain, sektor energi di Indonesia menyumbang emisi sebesar
396 MtCO2 ekuivalen yang mewakili 35.4% emisi total nasional (Second National
Communication (SNC) - 2009).
Hal ini menjadi tantangan bagi sebuah negara berkembang sebesar
Indonesia ketika upaya mitigasi sangat perlu dilakukan, namun hal tersebut tidak
akan cukup untuk membantu terhindar dari dampak perubahan iklim, jika
menilik tingkat emisi saat ini. Dalam kondisi ini, kebutuhan untuk beradaptasi
terhadap (dampak) perubahan iklim menjadi hal yang sangat krusial.
Perubahan iklim seharusnya tidak dipandang sebagai sektor yang baru
namun harus dapat diarusutamakan kedalam proses perencaaan pembangunan.
Penganggulangan perubahan iklim dalam konteks pembangunan nasional,
regional dan lokal membutuhkan upaya mitigasi yang efektif, sekaligus
pengembangan sistem yang memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan
iklim jangka panjang. Hal ini tentu saja akan membutuhkan pendekatan lintas
sektor baik di level nasional, regional/provinsi maupun lokal.
Isu perubahan iklim telah menjadi perhatian pemerintah pusat dalam
beberapa tahun terakhir. Salah satu indikasinya adalah adanya serangkaian
kebijakan, peraturan, strategi dan studi terkait adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim, seperti yang ditunjukkan oleh tabel dibawah ini.
TABEL - 1 DAFTAR KEBIJAKAN ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI
TINGKAT PUSAT
daerah. Diperlukan instrumen, termasuk regulasi, yang lebih kuat dan memadai
agar kegiatan mitigasi dan adaptasi dapat berjalan sebagaimana seharusnya.
Hasil analisa terhadap kebijakan adaptasi perubahan iklim yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat menunjukkan bahwa belum ditemukan
kebijakan umum yang dapat menjadi dokumen acuan bagi kementerian/lembaga
di tingkat pusat serta instansi di daerah. Walaupun adaptasi di setiap daerah
akan berbeda-beda, tergantung pada bahaya-kerentanan-kapasitas daerah itu
sendiri; namun tetap diperlukan 1 acuan bagi daerah sebagai pedoman
penyusunan strategi adaptasi yang sesuai.
Dalam melakukan kajian kebijakan terkait mitigasi perubahan iklim,
digunakanlah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN
GRK) sebagai tools untuk melakukan gap analysis. RAN GRK dipilih karena ia
adalah landasan bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan pelaku
ekonomi dalam pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak
langsung menurunkan emisi gas rumah kaca dalam periode 2010-2020 (terbagi
atas 2 tahapan; 2010-2014 dan 2015-2020) yang sesuai dengan target
pembangunan nasional. Penjabaran mengenai RAN GRK akan disampaikan pada
bagian selanjutnya. Selain RAN GRK, untuk tingkat pusat, studi ini juga akan
mengkaji kebijakan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang
terintegrasi di dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang
menjadi sampel studi.
Kebijakan-kebijakan seperti yang disebutkan diatas dikaji untuk
mengetahui apa isu utama yang diangkat dalam kebijakan tersebut. Hasil kajian
diolah lebih lanjut untuk mendapatkan benang merah kesesuaian bahasan antar
kebijakan di setiap tingkat kebijakan. Pemetaan kesesuaian kebijakan
ditunjukkan oleh tabel dibawah ini.
TABEL - 2 PEMETAAN KESESUAIAN BAHASAN KEBIJAKAN
UU
PP
UU
32/2009
RPJPN
Pengelolaa
n
Lingkungan
Hidup
RPJMN
Mitigasi
dan
adaptasi PI
Perpres
Perpres
Perpres
61/2011
71/2011
Penurunan
emisi
GRK
26%
dan
41%
Inventarisasi
GRK
Permen
-
kebijakan mitigasi dan adaptasi. Pada bagian kebijakan mitigasi akan dijelaskan
upaya Pemerintah dalam mengurangi sumber emisi dari sektor-sektor dalam RAN
GRK, yaitu 1) Pertanian, kehutanan dan lahan gambut, 2) Energi, Transportasi
dan Industri, serta 3) Pengelolaan Limbah. Pada bagian kebijakan adaptasi,
inventarisasi kebijakan diklasifikasi berdasarkan jenis sektor terdampak yang
disusun oleh ICCSR, yaitu 1) Sumber dan manajemen air bersih, 2) Properti,
barang dan jasa terkait ekosistem , 3) Pangan, serat dan produk hutan, 4)
Kesehatan masyarakat, 5) Sistem pesisir dan dataran rendah, 6) Pulau-pulau
kecil dan 7) Industri, permukiman dan masyarakat.
Rencana
Penurunan Emisi
Sektor
Rencana Aksi
K/L
Pelaksana
26%
41%
Kehuta
-nan
dan
Lahan
Gambu
t
0,672
1,039
Kemenhut,
KLH,
Kemen.PU,
Kementan
Limba
h
0,048
0,078
Kemen.PU,
KLH
Pertan
ian
0,008
0,011
Kementan,
KLH
Indust
ri
0,001
0,005
Efisiensi energi,
renewable energi, dll
penggunaan
Kemenperin
Energi
dan
Transp
ortasi
0,038
0,056
Penggunaan
biofuel,
mesin
dengan standar efisiensi BBM lebih
tinggi, memperbaiki TDM, kualitas
transportasi umum dan jalan,
demand
side
management,
efisiensi energi,
pengembangan
energi terbarukan
Kemenhub,
Kemen.ESD
M,
Kemen.PU
Total
Penur
u-nan
Emisi
0.767
1,189
optimal dari RAN GRK yang sudah disusun kedalam RPJMN periode selanjutnya
yaitu periode 2014-2019.
Hal yang serupa namun juga akan terjadi terkait hubungan antaran RAD
GRK dan RPJMD nantinya; dimana idealnya semua kegiatan yang terangkum
didalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) yang
akan disusun kemudian pada akhirnya dapat terinklusi secara sempurna didalam
RPJMD daerah pada periode dan kerangka waktu yang relevan.
Pengimplementasian RAN GRK juga harus dilengkapi dengan mekanisme
MRV yang jelas serta proses evaluasi dan peninjauan berkala untuk melihat
sejauh mana kegiatan-kegiatan mitigasi yang dilakukan memberikan kontribusi
secara nyata dalam penurunan emisi GRK. Proses evaluasi dan peninjauan
berkala ini juga harus jelas kerangka waktunya apakah akan dilakukan dalam
periode tahunan atau hanya dilakukan untuk setiap periode pengimplementasian
RAN GRK tersebut. Dengan adanya proses peninjauan berkala tersebut
diharapkan dapat dilakukan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk memastikan
pengimplementasian RAN GRK tersebut sesuai dengan scenario dan dapat
mencapai target yang diharapkan.
Telah diketahui bahwa RAN GRK disusun untuk mencapai target penurunan
emisi 26% secara domestik (unilateral) dan tambahan 15% dengan adanya
bantuan pendanaan internasional, namun isi dari RAN GRK sendiri masih belum
cukup spesifik. Tidak ada penjelasan mengenai kontribusi setiap aktivitas
terhadap perwujudan target 26%+15%. Dokumen tersebut juga belum
mencantumkan kontribusi setiap terhadap penurunan emisi GRK. Pembagian
kontribusi yang jelas akan memudahkan, terutama pihak daerah, dalam isu
pendanaan. Pendanaan secara domestik lewat APBD diharapkan dapat
diprioritaskan kepada aktivitas-aktivitas mitigasi dengan besaran nilai jual
karbon (carbon price ) rendah.
Pembagian yang jelas juga akan membantu proses penyusunan
metodologi MRV dikarenakan kriteria MRV untuk aktivitas-aktivitas mitigasi yang
mendapatkan dukungan dana internasional, baik yang sifatnya dibawah jalur
konvensi maupun pasar karbon akan berbeda dengan skema MRV yang
dibutuhkan untuk aktivitas mitigasi secara domestik/ unilateral dikarenakan
untuk skema MRV mitigasi dengan bantuan pendanaan internasional, konsultasi
dan analisis internasional akan menjadi prasyarat utama.
Selain itu juga harus diperjelas bahwa kegiatan mitigasi yang menjadi
kegiatan offsetting negara maju tidak bisa dikategorikan kedalam aksi
penurunan +15%. Sejauh ini upaya-upaya mitigasi berbasis pasar karbon di
Indonesia, baik yang berasal dari jalur Clean Development Mechanism sebagai
salah satu mekanisme fleksibel Protokol Kyoto, maupun yang berasal dari jalur
Voluntary Carbon Market berdiri secara independen terlepas dari target reduksi
emisi GRK Indonesia. Dengan adanya target reduksi emisi GRK Indonesia yang
berupaya dicapai lewat aktivitas-aktivitas termaktub dalam RAN GRK, maka
mekanisme inventarisasi dan dokumentasi serta monitoring harus diperjelas dan
dipertegas, untuk mencegah terjadinya double counting dari upaya mitigasi
tersebut. Mekanisme ini juga diperlukan untuk mencegah double counting
inisiatif-inisiatif pemerintah (baik di tingkat pusat maupun daerah) yang telah
berjalan saat ini, sebelum RAN GRK disahkan.
yang ditetapkan dalam RAN GRK juga direncanakan untuk dilakukan oleh K/L/D
yang diberi mandat untuk mengeksekusinya.
Gap Program
Program Kementerian/Lembaga terkait Mitigasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi visi Indonesia untuk
menjadi masyarakat mandiri dan madani yang yang dapat tetap memberikan
jaminan terhadap keberlanjutan ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian
lingkungan, di saat yang bersamaan juga mengejar pencapaian target
pertumbuhan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang setara dan demokratis.
1. Bidang Pertanian
Di Indonesia, sektor pertanian adalah salah sektor yang merasakan
dampak secara nyata dari fenomena perubahan iklim. Fenomena-fenomena
seperti banjir ROB, kekeringan dan intrusi air laut yang melanda areal pertanian
a.
b.
c.
d.
e.
FOREST
COVERAGE
FOREST AREA
Extend
(ha)
NON-FOREST
AREA
TOTAL
% Extend (ha)
Area (ha)
FORESTED
92,328
(Virgin=43,8
01;
LOA=48,526
)
4
9
8,412
100,74
54
UNFORESTED
40,071
2
1
46,976
2
5
87,047
46
TOTAL
132,399
7
1
55,388
2
9
187,787
10
0
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari sekitar 132 juta atau 71% dari
kawasan hutan yang ditunjuk, 40 juta hektar tidak berhutan . Selebihnya adalah
virgin and secondary or logged over forest areas (LOA). LOA sebesar 48,5 juta
a.
b.
c.
d.
e.
hektar saat ini berada di bawah ijin konsesi hutan. Kawasan hutan, pada
kenyataannya tidak hanya terletak di dalam kawasan hutan yang ditunjuk,
melainkan juga di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk, yang kebanyakan
merupakan lahan yang dimiliki privat. Sekitar 8 juta kawasan hutan berada pada
kategori ini. Jika jumlah ini ditambahkan dengan kawasan hutan dalam kawasan
hutan yang ditunjuk, dan diasumsikan bahwa 25% dari LOA berada dalam kondisi
bagus, maka Indonesia kurang-lebih memiliki 65 juta kawasan hutan. Angka ini
menjadi komponen penting ketika carbon removal dan carbon sink menjadi poin
utama untuk menjaga peran signifikan hutan dalam mempertahankan net
carbon sink.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hutan dan lahan gambut merupakan
dua sumber utama emisi Indonesia. Dengan target pengurangan emisi sebesar
26% pada tahun 2020, sektor kehutanan khususnya, mempunyai porsi terbesar
dari kegiatan pengurangan emisi dibandingkan sektor lain. diestimasikan bahwa
54% dari total reduksi dapat datang dari kegiatan terkait sektor kehutanan. Hal
ini dapat berupa upaya mitigasi dan adaptasi. Perbaikan praktek sylviculture,
seperti mengurangi dampak penebangan, sylviculture intensif, dan perlindungan
kebakaran hutan merupakan kegiatan yang paling realistis dan pragmatis yang
dapat dilakukan oleh pemerintah. Lebih dari itu, penegakan hukum bagi
kejahatan kehutanan seperti pencegahan pembalakan liar dan tata kelola
pemerintahan yang baik adalah hal yang fundamental dan menjadi bagian dari
penilaian kebijakan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap Rancangan Renstra
Kementrian Kehutanan periode 2010-2014 dapat diidentifikasi beberapa program
dan kegiatan yang mendukung upaya mitigasi sektor kehutanan. Berikut akan
dijabarkan lebih jelas hasil pemetaan kebijakan, rencana program dan kegiatan:
Program Perencanaan Makro Bidang Kehutanan dan Pemantapan Kawasan Hutan
Penyusunan Rencana Makro Kawasan Hutan
Pengukuhan Kawasan Hutan
Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan
Pengendalian Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Di
Luar Kegiatan Kehutanan
Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Pengembangan Perhutanan Sosial
Pengembangan Perbenihan Tanaman Hutan
Pembinaan Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Reklamasi Hutan
Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan
Penyidikan dan Perlindungan Hutan
Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Pengembangan Perhutanan Sosial
Pengembangan Perbenihan Tanaman Hutan
Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan
Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam
Sektor energi menjadi salah satu sektor prioritas dalam upaya Indonesia
menurunkan emsisi GRKnya. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat dari
aspek pemakaian energi primer di Indonesia, suplai terbesar masih didominasi
pemakaian minyak bumi, yang diikuti dengan pemanfaatan biomass dan gas
alam. Berdasarkan data Kementrian ESDM dalam Handbook of Energi and
Economic Statisticnya, proporsi pemakaian minyak bumi sebagai energi primer
di Indonesia berkisar 43.5% di tahun 2000 sebelum turun menjadi 35.3% di
2008. Signifikan peningkatan kontribursi terjadi pada batu bara, dimana terjadi
peningkatan pemanfaatan komoditas ini dari nilai 93.8 Triliun BOE (Barrel of Oil
Equivalen) pada tahun 2000 menjadi 322.9 Triliun BOE pada tahun 2008. Gas
alam dan geothermal mengalami peningkatan proporsi pemanfaatan yang cukup
signifikan pada periode yang sama yaitu berkisar 2% dan 4% secara berturutturut.
Sedangkan dari sektor pemanfaatan energi akhir dari referensi yang sama
diketahui bahwa bahan bakar minyak dan biomasa menjadi dua komponen
dengan proporsi tertinggi. Pemanfaatan bahan bakar minyak ,meningkat dari
315.3 Milyar BOE pada tahun 2000 hingga mencapai 312.2 Triliun BoE oada
tahun 2008. Walau masih memiliki proporsi cukup besar, pemanfaatan biomasa
sendiri mengalami penurunan menjadi 27% pada tahun 2008 dimana
sebelumnya mencapai 35% di tahun 2000. Penurunan proporsi biomasa ini
dipercaya karena meningkatnya akses kepada bentuk energi modern bagi
masyarakat pedesaan. Komponen penting lain dari sektor energi final adalah
sumber daya listrik. Konsumsi listrik di Indonesia mengalami peningkatan
sebesar 6.3% per tahunnya pada periode 2000-2008 dengan proporsi pemakaian
tertinggi pada sektor rumah tangga dan industri.
Beradasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pelangi Indonesia diprediksi
jika tidak ada upaya yang signifikan dalam konservasi energi, sektor penggunaan
energi sendiri (demand-side) akan berkontribusi setidaknya sebesar 428 MTCO2e
pada tahun 2030 dengan rasio peningkatan emisi sebersar 5.7% per tahun pada
periode 2007-2030. Sektor pengemisi terbesar diduduki oles sektor transportasi
dan indsutri, diikuti oleh sektor pemukiman.
Melihat kecenderungan tersebut, sektor energi di Indonesia bisa menjadi
sangat potensial kontribusinya didalam upaya penanggulangan oerubahan iklim
lewat upaya reduksi emisi GRK disektor spesifik ini. Klasifikasi kegiatan mitigasi
dari sektor energi dapat diklasifikasikan secara umum kedalam dua kelompok
yaitu pengembangan energi baru terbarukan serta konservasi dan penghematan
energi. Di Indonesia sendiri, kendali kebijakan sektor energi dibawah Kementrian
ESDM.Berdasarkan kajian terhadap renstra kementrian ESDM, diidentifikasi
beberapa program secara general yang terkait dengan upaya mitigas perubahan
iklim di sektor energi, antara lain:
Program pengelolaan listrik dan pemanfaatan energi
Program pembinaan dan pengusahaan mineral, batubara, panas bumi
dan air tanah
Program penelitian, mitigasi dan pelayanan geologi
Program penelitian dan pengembangan ESDM
Pada Kementrian ESDM, program-program yang terkait isu energi baru
terbarukan dan konservasi energi berada di bawah tanggung jawab Direktorat
Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Analisa lebih
spesifik di level Ditjen ditemukan hampir seluruh agenda program yang terkait
langsung perubahan iklim berada dibawah Ditjen EBTKE. Agenda program
tersebut diantaranya:
Penyempurnaan dan harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
bidang EBTKE
Penyempurnaan Rencana Induk Diversifikasi dan Konservasi Energi
Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi
Pengembangan panas Bumi, bioenergi dan aneka EBT
Pengembangan dan penerapan Clean Energi Initiative (REFF - Burn)
Peningkatan kandungan lokal dan industri Penunjang EBTKE
Peningkatan Desa Mandiri Energi
Konservasi Energi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 70/2009 terkait Konservasi
Energi, fokus kegiatan konservasi dan efisiensi energi di empat sektor, yaitu:
industri, komersial, transportasi dan rumah tangga. PP ini juga menjelaskan
mengenai peran dan tanggung jawab dari keempat kelompok pemangku
kepentingan terkait dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi dan efisiensi
energi tersebut yang terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak
swasta dan masyarakat. PP ini menggarisbawahi bahwa kegiatan konservasi dan
efisiensi energi ini selayaknya dilaksanakan dalam setiap tahap proses
penyediaan dan pemanfaatan energi baik sejak proses pembangkitan,
penyediaan, penyediaan secara komersil maupun dalam proses penggunaanya.
Di dalam PP ini disebutkan bahwa industri dan bangunan yang memiliki
pemakaian energi lebih besar dari 6000 TOE (Tonnes of Oil Equivalent)/tahun
diwajibkan untuk melaksanakan program konservasi dan efisiensi energi, yang
dikekan dengan istilah Energi Management Program. Disamping itu PP ini juga
menjabarkan mekanisme insentif dan disinsentif bagi pengimplementasian
program konservasi dan efisiensi energi dimana mekanisme insentif yang
divberikan dapat berupa pengurangan pajak bagi pengadaan teknologi hemat
energi serta penetapan low interest rate untuk investasi di sektor konservasi dan
efisiensi energi disamping kerjasama dalam kegiatan audit energi.
b.
Sumber lain dari energi baru dan terbarukan khusunya biomas, tenaga
air, tenaga usrya dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%
Contoh sumber energi yang akan dikembangkan: panas bumi, tenaga air,
bioenergi, angin, surya, serta gelombang laut.(telah dilakukan analisa potensi
sumber daya energi tersebut)
Disamping menjabarkan terkait target komposisi energi mix Indonesia pada
tahun 2025, Peraturan Presiden ini juga menetapkan target pengurangan
intensitas energi (energi intencity) menjadi lebih kecil dari satu persen (1%).
Dengan begitu peraturan ini mendukung kebijakan sebelumnya dibawah
Rencana IndukKonservasi Energi Nasional (RIKEN) yang juga menargetkan
pengurangan intensitas energi menjadi lebih kecil dari 1% pada tahun 2025.
Pemenuhan target dari kedua kebijakan ytersebut melalui upaya diversivikasi
serta konservasi energi.
Peraturan Presiden No.71 Tahun 2006 juga memandatkat implementasi
Program fast track 10.0000MW periode kedua memberdayakan secara optimal
sumber daya energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi pembangkitnya
c.
Jika disandingkan dengan RAN GRK, terlihat bahWa seluruh rencana aksi
yang tercantum dalam RAN GRK untuk spesifik bidang energi telah menjadi
bagian dari kebijakan dan program yang disebutkan diatas, yaitu:
1) Audit Energi, lewat Program Pengelolaan Listrik dan Pemanfaatan
Energi
2) Program lampu hemat energi
3) Penyediaan dan pengelolaan energi baru terbarukan dan konservasi
energi
4) Pemanfaatan biogas
Bidang Industri
Sektor perindustrian termasuk ke dalam salah satu emitter utama GRK
dikarenakan konsumsi energi dan limbah (terutama solvent) yang dihasilkan
sektor ini cukup signifikan. Namun jika dikaitkan dengan RAN GRK, upaya
mitigasi di sektor ini hanya difokuskan pada efisiensi energi; tidak ada
pembahasan mengenai pengelolaan limbah industri. Strategi yang diambil oleh
pemerintah terkait implementasi RAN GRK di bidang ini adalah:
Melaksanakan audit energi khususnya pada industri-industri yang
boros energi
Pemberian insentif pada program efisiensi energi
Berdasarkan hasil identifikasi, kegiatan terkait mitigasi perubahan iklim
yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian difokuskan pada 3 program
utama, yaitu:
Program revitalisasi dan penumbuhan basis industri manufaktur,
melalui kegiatan efisiensi energi dan penurunan emisi CO2 untuk
industri material dasar logam
Program revitalisasi dan penumbuhan industri agro, melalui kegiatan
pengembangan Industri bahan kimia khusus berbasis hasil samping
dan/atau limbah industri Crude Palm Oil dan turunannya
Program pengkajian kebijakan, iklim dan mutu industri melalui
pengkajian
industri
hijau
dan
lingkungan
hidup
termasuk
pengembangan diversifikasi dan konservasi energi industri
Kegiatan yang tercantum di atas teridentifikasi sebagai berkontribusi
terhadap RAN GRK di bidang ini. Namun di dalam Renstra Kementerian tersebut
belum tercantum lokasi pelaksanaan kegiatan seperti yang telah dicantumkan di
dalam RAN GRK.
Mengingat fokus di bidang ini adalah upaya efisiensi energi, sementara
yang menjadi penanggung jawab utama adalah Kementerian Perindustrian;
maka aspek koordinasi antar Kementerian perlu menjadi salah satu perhatian
utama. Seperti diketahui, sektor energi juga menjadi fokus utama di bidang
energi dan transportasi; walaupun bidang industri di RAN GRK lebih
memfokuskan kegiatannya di industri semen dan baja, namun potensi adanya
irisan kegiatan dengan Kementerian ESDM akan tetap tinggi. Untuk mengatasi
hal ini, salah satu bentuk koordinasi yang dapat dilakukan adalah dengan
Pengembangan infrastruktur air limbah dengan sistem on-site dan offsite. Di dalam Renstra Kementerian PU juga tercantum daerah-daerah
yang menjadi target untuk pelaksanaan kegiatan ini
Upaya peningkatan pengelolan TPA dan sampah terpadu melalui
penyediaan
infrastruktur
persampahan,
fasilitasi
pengelolaan
persampahan dan fasilitasi pengurangan sampah (upaya 3R). Kegiatan
ini ditargetkan untuk dilaksanakan di seluruh provinsi.
Penurunan volume sampah melalui program 3R di kota besar dan
metropolitan
Satu rencana aksi di dalam RAN GRK yang belum diakomodir adalah
kegiatan pemanfaatan limbah hasil pembukaan lahan untuk bahan pembuatan
kompos, arang dan briket arang. Kegiatan tersebut ditargetkan untuk diterapkan
di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur di bawah tanggung
jawab KLH.
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap Renstra K/L terlihat bahwa K/L yang
menjadi sampel studi telah mengambil langkah-langkah terkait mitigasi
perubahan iklim; dimana sebagian besar kegiatan tersebut tercantum di dalam
RAN GRK. Kondisi ini akan memudahkan proses pengintegrasian RAN GRK ke
dalam program kerja K/L. Proses pengadopsian RAN GRK akan lebih sulit
dilakukan apabila kegiatan yang tercantum di dalam RAN GRK tidak sesuai
dengan fokus program dan fokus kegiatan K/L yang menjadi penanggung jawab
kegiatan karena proses administrasi dan persetujuan pengimplementasian akan
ditentukan oleh kesesuaian nomenklatur kegiatan dengan dokumen strategis
yang menjadi acuan, yaitu RPJMN. Program yang tercantum di dalam Renstra K/L
tentunya telah dianggap sesuai dengan RPJMN.